hyucklavender

Pemuda April yang penuh kejutan.

Aska bahkan nggak bisa menebak apa yang pemuda tersebut akan lakukan pada detik berikutnya. Yang Aska tahu pasti, pemuda tersebut akan selalu membuat ia mengulas senyum terbaiknya.

Seperti saat sekarang, pemuda bernama Juna itu tengah menutup pintu mobilnya. Berjalan mendekat sembari menggenggam buket bunga, berharap Aska akan merasa jauh lebih bahagia tatkala ia tiba di hadapannya.

“Selamat, ya, Aska.”

Padahal bukan sesuatu yang amat besar untuk dirayakan, tapi Juna selalu memiliki cara untuk mengapresiasi pencapaian pujaan hatinya itu.

Senyum manis Aska kian terpampang nyata sampai-sampai tulang pipinya begitu tercetak jelas. Merupakan senyum paling manis yang pernah Juna saksikan keindahannya.

“Kaget banget tiba-tiba didatengin pake bunga....”

Well deserved.

Aska nggak lagi bisa menahan keinginannya untuk merengkuh pemuda di hadapannya. Jadi pada detik berikutnya, Aska maju selangkah untuk melingkarkan lengannya pada leher jenjang laki-laki kelahiran April itu, yang kemudian dibalas dengan lengan Juna yang terlingkar pada pinggang ramping Aska.

Juna turut merasakan betapa bahagianya laki-laki manis yang kini tengah memeluknya dengan erat. Dan ia berani bersumpah kalau kebahagiaan Aska adalah salah satu hal yang paling nggak ingin ia hancurkan.

“Mau tau sesuatu nggak?” Juna bertanya dengan suara yang teredam pada perpotongan leher Aska, membuat yang lebih muda jadi melepaskan pelukannya.

“Apa kenapa?”

Ponsel yang berada pada kantong celana jeans hitamnya kini telah berpindah pada genggam tangannya. Ibu jari Juna bergerak di atas layar untuk membuka barisan kalimat yang menyatakan,

BP Kemahasiswaan Arjuna Prima Putra M'21

Refleks, Aska kembali membawa Juna ke dalam pelukannya ketika ia berhasil mencerna informasi bahwa pemuda di hadapannya juga telah berhasil lolos pada pilihan pertamanya.

Lucu bagaimana keduanya merayakan pencapaian ini.

Mereka nggak baru saja diterima menjadi mahasiswa universitas ternama di dunia, pun atau pekerja di perusahaan multinasional bergengsi. Tapi mereka tetap terlihat berantusias atas pencapaian satu sama lain.

Juna terkekeh pelan tatkala Aska kembali merengkuhnya. Pelukan ini rasanya hangat, nggak jauh berbeda dengan ketika sang ibu merengkuhnya. Sama-sama menenangkan, Juna harap ia bisa merasakan hangat ini untuk jangka waktu yang panjang.

“Ah, congrats. Sorry refleks meluk lagi.”

Thank you... dan gapapa.” Juna berucap sembari melangkah maju untuk kembali memeluk Aska dengan bonus usapan pada tengkuknya. “Akhirnya gue tau gimana rasanya dipeluk sama orang yang gue sayang.”

Hangat.

Pipi Aska hangat sebab rona kemerahan yang menjalar begitu saja pada kedua pipinya.

“Gue nggak nyiapin apa-apa buat lu....”

Kekehan Juna lolos begitu ia dengar sahutan Aska yang kelewat polos. “Hahaha. Gapapa, gue emang sengaja nggak ngasih tau kalo pengumuman gue diundur. Soalnya hari ini 'kan harinya Aska,” ucapnya dengan telapak tangan yang bergerak bebas mengusap puncak kepala Aska. Begitu banyak afeksi yang Juna beri sampai Aska merasakan senang yang membuncah.

“Udah makan belom?”

“Hm... belom, sih. Mau cari makan?”

“Ya udah!” Aska berseru semangat. “Gue masakin nasi goreng mau nggak? Yah... nggak seberapa, sih, sama buket lu, tap-”

“Mau!” Juna berseru dengan senyuman jenaka pada durjanya. “Mau, mau, mau. Mau makan masakan Aska.”

Ah, dunia ini memang isinya cinta-cintaan saja.

Lihat bagaimana kini Aska yang berganti mengusap sisi kepala Juna dengan gemas. Dua remaja itu memang sama kasmarannya. Mudah bagi keduanya untuk merasa gemas akan satu sama lain hanya dari gestur yang sederhana.

“Papa mana? Gue mau salim dulu,” tanya Juna tatkala kakinya telah menginjak area ruang tamu rumah Aska.

“Lagi nginep di rumah opa oma.”

“Lho, lu sendirian dong?”

“Iya,” jawab Aska dengan mudahnya, membuka kulkas untuk mencari-cari protein apa yang dapat ia tambahkan ke dalam nasi gorengnya nanti.

“Papa udah tau gue mau ke sini?”

“Udah, Junaaa. Tenang aja, nggak mungkin gue nggak izin dulu.”

“Oh... terus kata papa apa?”

“Ya... boleh-boleh aja.” Aska menjawab dengan fokusnya yang tertuju pada bawang-bawangan di atas talenan. “Asal pulangnya jangan malem-malem.”

“Oke, gue pulang jam sepuluh, ya?”

Begitu Juna mengajukan jam untuk dirinya pulang, Aska langsung menoleh secepat cahaya. “Ah... kok cepet banget? Ini gue kelar masak aja paling jam delapan.”

”'Kan kata papa nggak boleh malem-malem.”

“Setengah sebelas juga belom kemaleman....”

“Ahahaha.” Juna tertawa gemas melihat kening Aska yang berkerut kecewa. “Besok-besok 'kan masih bisa ketemu lagi. Bukannya apa-apa, gue cuma nggak mau ngelanggar aturan dari papa. Ya, Aska?”

“Ya udah, deh.”

“Jangan ditekuk mukanya, 'kan tadi baru keterima siwa. Harusnya seneng dong?”

“Iya, enggaaak. Nih, senyum.”

“Iya gitu senyum. 'Kan cantik jadinya.”

“Hahaha diem luuu.”

Sudah banyak yang keduanya bicarakan, saling bertukar cerita dengan satu sama lain. Sampai ketika pada topiknya habis, keduanya hanya akan berbincang mengenai hal-hal kecil yang terjadi di kehidupan masing-masing. Sesederhana apa pun topiknya, mereka akan tetap mendengarkan satu sama lain dengan penuh perhatian.

Bagian favorit Juna ketika ia tengah mendengarkan rentetan kalimat yang dengan lancarnya keluar dari belah bibir Aska ialah bagaimana laki-laki Agustus itu bercerita dengan sangat ekspresif. Kedua alis tebalnya ikut bergerak naik dan turun, pun gestur tangannya yang ikut bermain-main. Juna akan selalu bersukarela menopang dagunya untuk memerhatikan Aska.

Nggak jauh berbeda dengan Juna, Aska nggak kalah senang ketika harus mendengarkan cerita mengenai bagaimana hari laki-laki April itu berjalan. Baik itu penuh tawa atau juga duka, Aska akan selalu setia untuk mendengarkan pemuda itu. Jemarinya yang bebas sesekali bergerak untuk menyisir pelan surai hitam Juna atau merapikan kerah bajunya.

Cintanya sederhana. Nggak perlu susah payah untuk membahagiakan satu sama lain. Cukup dengan hadir di keseharian, lantas, Juna dan Aska, keduanya akan sama-sama merasa cukup.

Hingga linear pada jam dinding ruang keluarga mengarah ke angka 10, Juna bangkit dari duduknya untuk meraih jaket hitam yang tersampir pada kursi meja makan. Aska pun ikut pergi mengantarnya sampai tempat mobil Juna terparkir.

“Juna.”

“Iya, Aska?”

Alih-alih menjawab, Aska justru membawa lengan kanan yang tergantung pada sisi tubuhnya untuk bergerak naik. Jemarinya yang ramping ia pakai untuk mengusap sisi kepala Juna hingga ke tengkuk. Telapaknya hinggap untuk menangkup pipi Juna yang terasa dingin sebab terpaan udara malam.

Aska telusuri fitur-fitur wajah Juna yang tegas dan tepat pada porsinya.

Lihat bagaimana alis Juna yang terukir dengan sempurna, kemudian turun pada hidung bangirnya, dan nggak lupa, tahi lalat pada bawah mata kanannya yang membuat durja tersebut tampak jutaan kali lebih manis.

Rasa-rasanya Tuhan memang menghabiskan waktu yang cukup lama dalam memahat figur pemuda itu. Aska bersyukur, amat bersyukur, sebab telah dipertemukan olehnya.

Juna tersenyum kecil, menggenggam punggung tangan Aska yang senantiasa menangkup pipi kirinya. Memilih untuk mengunci mulutnya rapat-rapat, ikut memandang manik yang segelap gulita malam.

Larut dalam pikirannya masing-masing, keduanya bertahan pada posisi yang sama untuk beberapa saat.

Hingga pada akhirnya, Aska menjadi pihak pertama yang mengeluarkan suara, yang kemudian membuat Juna hanya bisa menelan ludahnya gugup, nggak terpikir balasan apa yang tepat untuk pertanyaan tersebut.

“Kita, tuh, nungguin apa, sih, sebenernya?”

Skak mat.

Juna hanya berharap detik pada arlojinya akan berhenti bergerak.

Menepati janjinya kemarin, hari ini Juna tengah melajukan kendaraannya untuk menjemput Aska di rumahnya. Terdengar berlebihan, namun pemuda tersebut memang sudah terbiasa dengan kehadiran Aska. Jadi, ia selalu berusaha meluangkan waktunya untuk menemui laki-laki Agustus itu. Mumpung keduanya masih belum disibukan kembali oleh kegiatan perkuliahan, mungkin ini memang saat yang tepat bagi keduanya untuk sering-sering menghabiskan waktu bersama.

Persis seperti kali sebelumnya, Juna akan mendapati Aska tersenyum sebelum membuka pintu mobilnya, kemudian masuk ke dalam, duduk di kursi penumpang menemani Juna melajukan kendaraan di balik kemudinya. Atau sesekali posisinya akan tertukar, Aska yang berada di balik kemudi, sedang Juna menemani Aska di sebelahnya.

“Mau ke mana kita?” tanya Juna, menurunkan rem tangan sesaat setelah Aska berhasil memasang sabuk pengaman.

“Nggak tau.” Aska berucap sembari melihat pantulan dirinya pada cermin sunvisor, berusaha merapikan rambut depannya. “Nggak nemu-nemu ide dari tadi.”

“Hm... ke mana, ya? Gue juga nggak kepikiran apa-apa lagi.” Juna kembali menjawab, namun setelahnya nggak terdengar sahutan dari pemuda di sebelahnya. Alih-alih menyahut, Aska justru kembali fokus merapikan rambutnya.

“Udah bagus, Askaaa.” Juna terkekeh sembari mengusap tengkuk yang lebih muda. “Kenapa disisir-sisir terus?”

“Ini poninya bandel. Dari tadi melengkung ke kiri terus padahal biasanya model gue ke kanan.”

Tergelak, Juna berpikir itu lucu tentang bagaimana Aska memarahi rambut miliknya sendiri.

Still pretty eitherway,” ucap Juna dengan pandangannya yang masih fokus ke jalanan di depan, membuat Aska menoleh secepat kilat, nggak percaya kalau Juna baru saja memujinya secara langsung dan tanpa salah tingkah. Sepertinya pemuda itu sudah mulai punya keberanian lebih.

“Oooh....” Aska meledeknya dengan senyuman yang mengembang sempurna. “Someone’s getting braver I see.

“Ahahaha. Ya udah... ini mau ke mana jadinya?”

“Nggak tau. Gue ngikut aja, deh.” Aska menutup sunvisor dan akhirnya menyenderkan punggungnya. “Coba bentar gue cari-cari dulu.”

“Oke. Kalo bisa yang sedaerah sama Senop gitu-gitu. Soalnya adek gue nitip makanan di daerah sana.” Juna bersahut memberikan saran. “Terserah, sih, tapi maksud gue biar sekalian aja.”

“Adek lu nitip apa?”

“Sliced Pizzeria. Mau nyobain dia.”

“Oh... ya udah kalo gitu.”

“Ya udah apa?” Kepala Juna bertoleh ke arah kiri.

“Beliin adek lu dulu, terus ke Bogor aja kita. Mau nggak?”

“Ke rumah gue...?”

“Iya.”

Keduanya saling melempar pandang, sunyi untuk sesaat.

“...nggak mau, ya?” tanya Aska yang kemudian disambut gelengan Juna.

“Nggak, nggak. Mau gue, cuma belom bilang ke mami. Nanti pas beli pizza, gue coba WA mami dulu, deh.”

“Bener nggak? Kalo lu nggak mau, ya gapapa kita di sini-sini aja.”

“Mau, kok, mau. Kaget sedikit aja tadi.”

“Ih, serius.”

“Seriuuus. Mami juga pasti seneng ketemu sama lu lagi.” Juna tersenyum, mengusap lembut tengkuk Aska. “Oke, oke. Kita ketemu mami sama Wylsa, ya?”

Keduanya sempat bertandang ke toko pizza ternama di bilangan Senopati sebelum kembali melanjutkan perjalanan ke Bogor, tempat Juna tinggal bersama ibu dan adiknya.

Impresi pertama yang terlintas pada benak Aska ketika kakinya melangkah masuk ke dalam rumah Juna ialah cantik. Rumah ini terlihat jauh lebih hidup ketimbang rumah milik ayah Juna yang terletak di bilangan Antasari. Seluruh ruangannya didominasi dengan warna putih dan furnitur yang kebanyakan terbuat dari kayu jati berwarna cokelat tua, sebuah kombinasi yang nggak pernah salah. Seluruh dekorasi ruangan berada tepat pada porsinya, nggak terlihat berlebihan pun juga kekurangan.

Anjani keluar dari dalam dapur untuk menyambut Aska dan begitu pula anak tengahnya. Wanita tersebut tersenyum sumringah begitu mendapati keberadaan Aska di rumahnya. Sudah beberapa waktu sejak kali terakhir beliau bertemu dengan pemuda Agustus itu.

“Aska, apa kabar, Nak?”

“Baik, Tan. Tante sendiri gimana, nih?”

“Baik, baik selalu. Sini masuk, Aska. Tante sudah buatkan makanan. Tadi Tante sudah bilang ke aa’ buat jangan makan, biar makan bareng di rumah aja.”

“Iya, Tan. Tadi cuma beliin titipan Wylsa aja, kok.”

“Oh, iya.” Anjani menjentikkan jarinya. “Sekalian makan bareng Wylsa, ya?”

“Boleh, Tante.”

“Adeeek.” Anjani beralih untuk memanggil anak bungsunya. “Deeek, ini ada aa’ sama kakak Aska! Ayo sini makan dulu, Dek.”

Wylsa terlihat malu-malu ketika keluar dari kamar tidurnya. Baru bertemu sebanyak dua kali membuat dirinya belum terbiasa untuk banyak berbincang dengan Aska. Juna telihat menahan tawanya ketika Wylsa menyapa Aska dengan senyuman yang canggung. Padahal Juna tahu persis adiknya nggak sepemalu itu ketika sudah kenal dekat dengan seseorang yang baru.

Syukurlah Aska merupakan tipe pemuda yang mudah untuk mengakrabkan diri dengan orang tua. Ia nggak begitu merasa canggung ketika diharuskan untuk berbincang dengan Anjani. Topiknya berada di sekitar dunia perkuliahan, termasuk persiapan Wylsa untuk masuk ke kampus yang sama dengan kedua kakaknya. Ternyata, adik bungsu Juna itu sama-sama ingin masuk ke fakultas yang sama seperti kakak laki-lakinya.

Makanan di atas meja telah tandas. Anjani dan Wylsa meninggalkan keduanya untuk menghabiskan waktu bersama sembari sang ibu kembali melanjutkan pekerjaan desainnya serta Wylsa yang kembali mengerjakan latihan soal pada buku lesnya.

Juna memilih untuk membawa Aska pergi ke ruang tengah, meminta Aska untuk duduk di atas sofa bersamanya. Namun ternyata, laki-laki tersebut justru melangkahkan kakinya ke piano yang berada di samping ruangan.

Tubuh Aska terduduk di atas kursi empuk piano. Jemarinya perlahan-lahan membuka penutup piano hingga jejeran tuts hitam putih terpampang nyata di hadapannya. Kepalanya tertoleh seolah meminta izin Juna untuk memainkannya. Lantas, pemuda kelahiran April yang tengah mengistirahatkan badan di atas sofa jadi kembali berdiri, menghampiri Aska dan duduk tepat di sampingnya. Kedua bahu laki-laki tersebut menempel, memberikan sensasi nyaman ketika tengah bersama.

“Mainin aja.”

“Ganggu nggak?”

“Nggak, kok. Kamar Wylsa di atas, mami juga lagi di atas.”

Aska tersenyum menanggapi Juna. Jemarinya yang ramping mulai ia bawa untuk menyentuh tuts piano di hadapannya. Memainkan piece Nocturne Op. 9 No. 2, piece yang sudah sangat familier di telinga Juna. Namun, nggak peduli seberapa banyak ia telah mendengarnya, Juna tetap akan selalu kagum dengan manusia yang memainkannya.

“Ah... udah kaku banget gue.” Aska menghentikan permainannya, menepuk jidatnya kesal.

“Udah lama nggak main, ya?”

“Iya. Habis masuk kuliah gue udah nggak pernah main lagi.”

Still sounds magical though.

“Bohooong.”

Sebuah kekehan lolos begitu saja dari belah bibir Juna. “Well, di telinga orang yang nggak bisa main piano kayak gue, kedengerannya masih bagus, Aska. Walaupun kedengerannya nggak begitu nge-feel kayak kalo mami yang main.”

“Oh, mami juga sering main?”

“Iya, iseng-iseng aja atau nggak Wylsa... dia juga suka main kalo lagi gabut.”

Aska nggak menanggapi pemuda di sampingnya, hanya tersenyum pelan sembari memainkan lagu Love Story karya Taylor Swift. Jemarinya terlihat lebih luwes ketika bermain lagu yang bukan klasik.

Crazy yet funny at the same time how we've come this far.

“Kita berdua?”

“Ya... iya? Mau siapa lagi emang?”

Right....

Yang lebih muda melanjutkan permainannya untuk beberapa saat. Membuat Juna turut bernyanyi melantunkan liriknya. Untuk lagu ini, Juna memang hafal akan sebagian liriknya.

Romeo, take me somewhere we can be alone. I'll be waiting, all there's left to do is run. You'll be the prince and I'll be the princess. It's a love story, baby just say yes.

Keduanya tertawa lepas, menikmati momen yang tengah keduanya rajut bersama. Sempat saling melempar tatap, kemudian kembali tersenyum.

“Padahal ya, Jun... gue nggak ada niatan buat deket sama orang lagi pas masuk kuliah.”

Neither do I, Aska. Cuma lu yang berhasil bikin gue jadi muter haluan.”

“Ahahah, berisik lu. Bisa aja kalo ngomong.”

“Serius gueee.”

Aska kembali dibuat tertawa oleh pemuda di sampingnya, sedang Juna hanya bisa memandangnya dengan penuh kasih.

Ah, tipikal kisah cinta dua remaja.

Anjani yang tadinya ingin menghampiri Juna dan Aska untuk memberikan makanan ringan jadi urung. Wanita itu tersenyum teduh, bersender pada dinding dapur yang mengarah ke ruang tengah. Batinnya berharap agar anak laki-lakinya dapat mencintai laki-laki di sampingnya dengan tulus dan tanpa rasa ragu. Semoga kelak, Juna nggak akan pernah merasakan apa yang beliau rasakan.

“Aska.”

“Apa, Junaaa?”

Still believe in me?

“Dulu awalnya skeptis, but you prove me wrong everyday. So I have no reasons buat nggak percaya sama lu.”

Alih-alih melanjutkan bicaranya, Juna hanya bergeleng sembari tersenyum. Berharap ia bisa membalas sayang yang telah Aska curahkan sebab laki-laki tersebut memang pantas atas segala cinta di muka bumi ini. Mana tega pemuda April itu menghancurkan ekspektasi Aska terhadap dirinya.

Sebut semua frasa yang bisa mengungkapkan rasa cinta seseorang, maka Juna akan menggunakannya untuk mendeskripsikan apa yang benaknya rasakan terhadap laki-laki manis yang telah mengisi hari-harinya.

Untuk saat ini Juna masih sedikit takut. Takut belum bisa memberi cinta yang pantas untuk Aska terima setiap harinya.

Semoga, semoga dunia berinya kebaikan. Rasa takut itu akan perlahan sirna jika ia sendiri berani untuk melawan.

Seolah memang hanya tercipta untuknya, hal pertama yang Aska dapat lihat ketika maniknya menangkap figur Juna nggak lain dan nggak bukan adalah senyumnya yang khas, senyum seorang Arjuna yang selalu tampak melekat pada durjanya yang menawan.

Baju putih yang membingkai tubuh Juna dengan sempurna menjadi daya tarik tersendiri bagi pemuda kelahiran Agustus di hadapannya. Ditelannya liur demi bisa mengusir rasa gugup ketika Aska melihat Juna berpakaian sederhana, namun tetap semenarik itu.

“Hai, ayo masuk. BTW, ternyata papi tiba-tiba pergi jadi gue sendirian sekarang.” Juna dengan suara berat khas bangun tidurnya, tersenyum sembari meminta Aska untuk masuk ke dalam rumah sang ayah.

Rumahnya tampak lengang, mungkin karena satu penghuninya sedang nggak berada di mari. Aska dapat melihat ciri khas gagasan seni ciptaan sang ayah. Tata ruangnya terlihat khas sekali, pun elemen-elemen lain yang tampak familier bagi Aska. Juna memandu jalannya di depan, menyugar rambutnya ke arah belakang sembari menarik kursi ruang makan untuk Aska duduki.

“Sini duduk dulu.”

“Mau makan sekarang?”

“Hm... emang lu beneran mau masakin gue?”

Tas kain yang Aska jinjing kini diangkat oleh sang empunya. “Nih, gue beneran bawa.”

“Oke, sini.” Juna mengambil alih tas kain tersebut. “Hari ini gue jadi asisten lu.”

Terkekeh, Aska mencubit gemas pipi Juna. “Ya udah, ayo.”

Kendati baru pertama menginjakkan kaki ke dalam dapur pemuda April itu, Aska memang sudah tampak mahir dalam urusan masak memasak. Dikeluarkannya peralatan masak yang sekiranya akan ia butuhkan, kemudian Aska memulai dengan meminta Juna untuk membantunya mencuci serta memotong-motong sayuran yang akan ia sulap menjadi sebuah hidangan lezat nan hangat.

Pergerakan tangan Juna dalam memotong sayuran memang bisa dikatakan lamban dan nggak seluwes dirinya, namun Aska tetap senang memperhatikan bagaimana alis Juna bertaut tanda dirinya sedang berkonsentrasi dalam pekerjaannya. Sesekali, Aska membantu menyelipkan helaian rambut Juna yang mulai memanjang menutupi matanya.

“Udah gondrong lagi aja, Jun.”

“Iya, nih.” Juna berbalas dengan fokusnya yang masih belum hilang dari wortel di hadapannya. “Potong lagi aja kali, ya?”

“Yah, nanti gue ngusak-ngusaknya nggak enak.”

Kegiatannya terhenti, Juna bertoleh ke samping kiri. “Emang ada bedanya ngusak-ngusak rambut gondrong sama rambut pendek? Coba contohin dong, gue mau tau.”

Aska terkekeh geli, diikuti dengan tawa Juna yang kemudian menyusul. Ia tahu persis kalau laki-laki di hadapannya itu hanya ingin dirinya mengusak rambut hitamnya yang tebal itu.

“Udah mulai berani ya lu?” Aska berujar dengan sisa kekehannya, namun kemudian dirinya tetap melakukan apa yang Juna minta. “Nih. Enak aja gitu kalo nyisir rambut gondrong.”

Jari-jari Aska bergerak pelan menyusuri puncak kepala Juna hingga ke tengkuknya, kemudian diakhiri dengan tepukan kecil pada puncaknya lagi. Membuat pipi Juna menjadi pegal sebab senyum yang terus-terusan mengembang.

“Eh, mau tau cerita gue semalem nggak?”

“Cerita apa, Jun?”

“Nih, semalem, tuh, gue minum karena udah diajakin Hanan, tapi gue emang nggak pernah izin ke mami soal begitu-begituan karena rada canggung aja. Padahal sebenernya mami bolehin gue minum, asal nggak berlebihan dan nggak macem-macem kalo lagi di tempat.”

“Hm... terus, terus?” Aska mendengarkannya dengan seksama, sesekali jemarinya kembali merapikan helai rambut Juna yang berjatuhan.

“Terus ya udah, deh. Gue pergi-pergi aja, tapi tau-tau mami nungguin gue pulang sampe jam tiga pagi. Gue udah bilang 'kan, kayak... ya udah mami tidur aja nggak usah nungguin Aa'. Tapi, akhirnya gue malah dimarahin terus disuruh nginep di rumah papi aja karena mami takut gue kenapa-kenapa di jalan. Padahal posisinya gue udah OTW ke Bogor karena janji nganterin Yale balik. Jadi akhirnya gue beneran bolak-balik Jakarta–Bogor–Jakarta gara-gara mami nggak mau bukain gue pintu. Posisinya gue fully sadar, cuma mami aja yang nggak percayaan.”

“Ahahah, kasian banget, siiih, jadi harus bolak-balik,” ledek Aska sembari mengusak surai Juna. “Tapi, gapapa. Omongan orang tua nggak boleh dilawan daripada kualat.”

“Iya, sih. Untung papi masih bangun, kalo nggak gue nggak tau, deh, mau nginep di mana.”

“Makanya izin dari awal dong, A’.”

“Ya...” Juna menjeda kalimatnya. “Bingung izinnya.”

“Terus udah gitu nggak izin sama gue juga lagi.”

Kedua ujung bibir Juna tertarik ke bawah, wajahnya memelas meminta maaf. “Maaf... 'kan tadi udah dibilangin bingung....”

“Hahaha, enggak, enggak. Gue nggak masalahin minumnya, sih, tapi semalem gue nyariin lu. Jadi lain kali bilang aja kalo lagi di luar jadi gue nggak nyariin. Untung Hanan nge-story. Dan oh! Untung ada Find My juga.” Aska mengusap tengkuk Juna penuh pengertian. “Eh, udah kepotong semua. Makasih, ya, A’ Ajun udah dibantuin motong-motong. Gih udah duduk aja, biar gue yang lanjutin.”

“Hehehe, sama-sama. Oh, sama pottery-nya udah gue ambil tau.”

“Oh, ya? Mana coba liat.”

Juna berlarian pelan keluar dapur untuk membawakan Aska hasil karya keduanya tempo waktu yang lalu yang kini sudah kering sempurna dan bisa dijadikan pajangan maupun digunakan sesuai fungsinya.

“Papi semalem nanyain belinya di mana, hahaha. Padahal ini lu yang buat.”

“Loh?” Kening Aska berkerut tanda kebingungan. “Papi tau lu ngerokok?”

“Loh lu nggak tau? Gue sama papi kalo lagi makan habis golf pasti udahnya ngerokok bareng tau, hahaha.”

“Ya ampun....” Aska hanya dapat bergeleng-geleng. Pemuda tersebut memang benar turunan ayahnya.

Sarapan Juna pagi itu dimulai dengan sedikit terlambat, namun nggak apa sebab Aska lah yang memasakan hidangan di hadapannya. Dengan ditemani Aska beserta layar laptopnya yang menampilkan pekerjaan creative slides-nya, Juna menyuap potong demi potong sayuran di dalam sup masuk ke dalam mulutnya.

“Gue kira dulu lu matil pas SMA.” Juna berceletuk ketika netranya menangkap deretan pengalaman kepanitiaan yang tertera di atas CV Aska.

“Enak aja. Sembarangan kalo ngomong.”

“Hahaha.” Juna terkekeh pelan, berhenti menyuap makanannya untuk sesaat. “Lu bukannya mageran? Lu ‘kan oknum yang pindah dari PS ke Sency naik Gocar.”

“Sembarangaaan.” Aska gemas hingga dirinya nggak tahan buat nggak mencubit paha Juna yang sedang duduk bersila itu.

“Aaak, ampun, Aska. Iya enggak, enggak, lu nggak matil, kok.”

Hidangan di atas mangkuknya telah tandas, kini Juna hanya menyenderkan dagunya di atas pangkal bahu Aska sembari menonton laki-laki tersebut mengerjakan tugas rekrutmennya.

“Aska.”

“Iya, Jun?”

“Aska.” Jemari Juna kini bermain-main dengan benang yang menjuntai pada ripped jeans yang melekat sempurna pada kaki jenjang Aska.

“Apa?”

“Askaaa....”

“Apa, Ganteeeng?”

Juna tergelak mendengar sapaan yang Aska beri untuknya. Ia tersipu malu sampai harus menutupi wajahnya menggunakan telapak tangannya yang besar itu.

“Apa manggil-manggil?” ulang Aska.

“Gapapa, bosen aja,” balas Juna dengan cengiran khasnya.

“Iya, sebentar, yaaa? Yang anteng, dong. Habis CV-nya selesai gue udahan dulu, deh.”

“Nggak, sih, gapapa. Lanjutin aja dulu tugasnya, hehe.” Juna berbalas sembari menempelkan pipinya lagi. Jemarinya ikut bermain dengan gelang yang Aska gunakan.

“Tapi, mau tau nggak?”

“Mau tau apa, tuh?”

“Hm... nggak penting, sih. Tapi, kayaknya gue beneran udah bisa buat baikan sama papi gue, deh.”

Ruang makan tersebut langsung tampak sunyi. Pergerakan jemari Aska di atas laptop pun ikut terhenti.

“Gue lupa gue udah pernah bilang ke lu atau belum. Tapi, dulu gue emang nggak akur 'kan sama papi? Eh, tunggu. Nggak, sih, papi mah baik-baik aja sama gue, cuma guenya aja yang jutek mulu. Tapi sekarang, gue udah mulai bisa buat ngobrol santai sama papi. Nadanya juga udah biasa aja, gue udah nggak seketus dulu lagi. Gue baru sadar habis ngobrol sebentar bareng papi semalem. Gue udah bisa ketawa lepas terus papi juga ngusap kepala gue. Gue jadi kayak... oh, wow, ternyata nggak ada gunanya gue dendam kemaren.”

And... how do you feel about that?

It feels... nice? Great? Indescribable, sih. Tapi, beneran nggak ada gunanya gue nyimpen dendam ke papi. Sekarang pas gue udah mutusin buat damai, ternyata rasanya lega banget. Jadi, nggak ada yang ngeganjel lagi di hati gue.”

Senyum Aska mengembang perlahan, hatinya menghangat mendengar ungkapan hati Juna. “See? Emang kadang nyimpen dendam yang nggak diperluin itu cuma bikin capek diri sendiri.”

Yeah, you're right.

“Dan gue harap lu juga udah mulai bisa buat maafin diri lu sendiri soal kesalahan lu sama mantan lu. So that you'll start to love someone freely and without any burdens.

Aska menghentikan kegiatannya untuk sementara. Kepalanya bertoleh ke samping, ke arah Juna menyenderkan kepalanya. Tangan kirinya yang bebas ia pakai untuk menangkup sebelah pipi Juna, mengusapnya pelan dengan penuh perhatian.

Jarak keduanya kini terlampau dekat. Bahkan rasa-rasanya, Aska dapat melihat detil iris Juna yang kecokelatan dari jarak yang sedekat ini. Sinar matahari dari jendela besar di dekat ruang makan membuat manik Juna nampak beribu-ribu kali lebih menawan dari biasanya.

Juna ingin sekali memberi bibir mungil yang kemerahan itu sebuah kecupan singkat, tanda sayang sekaligus terima kasihnya. Namun, Juna akan menyimpannya untuk kemudian hari. Hari yang jauh lebih spesial, hari di mana Aska tampak amat pantas untuk dihujani banyak cinta, meskipun laki-laki tersebut memang berhak untuk dicintai di tiap-tiap harinya.

Sebagai gantinya, Juna hanya membalas mengusap pipi kanan Aska, melakukannya persis sebagaimana Aska mengusap pipinya beberapa detik yang lalu.

Kembali pada pekerjaannya, Aska berujar, “Nanti kalo mau makan sama papi, jangan lupa diangetin lagi, ya, supnya.”

“Oke, Cantik.”

“Apa?”

“Kenapa?”

“Lu bilang apa tadi barusan?”

“Bilang apa?”

Aska gagal untuk kembali fokus pada layar laptopnya. Laki-laki itu dibuat frutrasi akibat gagal mendengar jelas sapaan yang Juna coba beri pada dirinya.

“Ihhh....”

“Apaaa? Gue ngomong apa emangnya?” sahut Juna nggak berdosa.

“Ya udah, nggak jadi.”

“Ahahahah. Iya, Cantik... nanti sebelum makan diangetin lagi supnya.”

Pipi Aska merona bak buah delima. Kendati memiliki keberanian lebih dalam berungkap manis, dirinya tetap bisa tersipu tatkala pemuda yang ia sayangi menyapanya dengan panggilan yang nggak kalah lucu.

Terkadang, Aska berharap dirinya dapat dipertemukan oleh Juna di waktu yang lebih cepat sebab dirinya nggak pernah menerima sayang yang semasif ini (selain dari sang ayah). Tumbuh dengan figur ayah yang penuh cinta (meski nggak pernah terungkap dengan kata) membuat Aska turut tumbuh menjadi pribadi yang gemar mengungkapkan rasa cintanya. Dan baru kali ini, ada satu laki-laki yang berhasil menyalurkan rasa cinta yang semasif dan setulus ini kepadanya.

Tapi nggak apa, mungkin memang ini skenario yang terbaik. Biar kedua anak Adam itu memulai kisahnya sedikit lebih lama. Mulai belajar cinta dari awal sampai akhirnya mengerti cara paling baik untuk menyampaikannya. Nggak perlu tergesa-gesa, bukan? Toh, nggak ada satu hal besar yang sedang mereka kejar.

Seolah memang hanya tercipta untuknya, hal pertama yang Aska dapat lihat ketika maniknya menangkap figur Juna nggak lain dan nggak bukan adalah senyumnya yang khas, senyum seorang Arjuna yang selalu tampak melekat pada durjanya yang menawan.

Baju putih yang membingkai tubuh Juna dengan sempurna menjadi daya tarik tersendiri bagi pemuda kelahiran Agustus di hadapannya. Ditelannya liur demi bisa mengusir rasa gugup ketika Aska melihat Juna berpakaian sederhana, namun tetap semenarik itu.

“Hai, ayo masuk. BTW, ternyata papi tiba-tiba pergi jadi gue sendirian sekarang.” Juna dengan suara berat khas bangun tidurnya, tersenyum sembari meminta Aska untuk masuk ke dalam rumah sang ayah.

Rumahnya tampak lengang, mungkin karena satu penghuninya sedang nggak berada di mari. Aska dapat melihat ciri khas gagasan seni ciptaan sang ayah. Tata ruangnya terlihat khas sekali, pun elemen-elemen lain yang tampak familier bagi Aska. Juna memandu jalannya di depan, menyugar rambutnya ke arah belakang sembari menarik kursi ruang makan untuk Aska duduki.

“Sini duduk dulu.”

“Mau makan sekarang?”

“Hm... emang lu beneran mau masakin gue?”

Tas kain yang Aska jinjing kini diangkat oleh sang empunya. “Nih, gue beneran bawa.”

“Oke, sini.” Juna mengambil alih tas kain tersebut. “Hari ini gue jadi asisten lu.”

Terkekeh, Aska mencubit gemas pipi Juna. “Ya udah, ayo.”

Kendati baru pertama menginjakkan kaki ke dalam dapur pemuda April itu, Aska memang sudah tampak mahir dalam urusan masak memasak. Dikeluarkannya peralatan masak yang sekiranya akan ia butuhkan, kemudian Aska memulai dengan meminta Juna untuk membantunya mencuci serta memotong-motong sayuran yang akan ia sulap menjadi sebuah hidangan lezat nan hangat.

Pergerakan tangan Juna dalam memotong sayuran memang bisa dikatakan lamban dan nggak seluwes dirinya, namun Aska tetap senang memperhatikan bagaimana alis Juna bertaut tanda dirinya sedang berkonsentrasi dalam pekerjaannya. Sesekali, Aska membantu menyelipkan helaian rambut Juna yang mulai memanjang menutupi matanya.

“Udah gondrong lagi aja, Jun.”

“Iya, nih.” Juna berbalas dengan fokusnya yang masih belum hilang dari wortel di hadapannya. “Potong lagi aja kali, ya?”

“Yah, nanti gue ngusak-ngusaknya nggak enak.”

Kegiatannya terhenti, Juna bertoleh ke samping kiri. “Emang ada bedanya ngusak-ngusak rambut gondrong sama rambut pendek? Coba contohin dong, gue mau tau.”

Aska terkekeh geli, diikuti dengan tawa Juna yang kemudian menyusul. Ia tahu persis kalau laki-laki di hadapannya itu hanya ingin dirinya mengusak rambut hitamnya yang tebal itu.

“Udah mulai berani ya lu?” Aska berujar dengan sisa kekehannya, namun kemudian dirinya tetap melakukan apa yang Juna minta. “Nih. Enak aja gitu kalo nyisir rambut gondrong.”

Jari-jari Aska bergerak pelan menyusuri puncak kepala Juna hingga ke tengkuknya, kemudian diakhiri dengan tepukan kecil pada puncaknya lagi. Membuat pipi Juna menjadi pegal sebab senyum yang terus-terusan mengembang.

“Eh, mau tau cerita gue semalem nggak?”

“Cerita apa, Jun?”

“Nih, semalem, tuh, gue minum karena udah diajakin Hanan, tapi gue emang nggak pernah izin ke mami soal begitu-begituan karena rada canggung aja. Padahal sebenernya mami bolehin gue minum, asal nggak berlebihan dan nggak macem-macem kalo lagi di tempat.”

“Hm... terus, terus?” Aska mendengarkannya dengan seksama, sesekali jemarinya kembali merapikan helai rambut Juna yang berjatuhan.

“Terus ya udah, deh. Gue pergi-pergi aja, tapi tau-tau mami nungguin gue pulang sampe jam tiga pagi. Gue udah bilang 'kan, kayak... ya udah mami tidur aja nggak usah nungguin Aa'. Tapi, akhirnya gue malah dimarahin terus disuruh nginep di rumah papi aja karena mami takut gue kenapa-kenapa di jalan. Padahal posisinya gue udah OTW ke Bogor karena janji nganterin Yale balik. Jadi akhirnya gue beneran bolak-balik Jakarta–Bogor–Jakarta gara-gara mami nggak mau bukain gue pintu. Posisinya gue fully sadar, cuma mami aja yang nggak percayaan.”

“Ahahah, kasian banget, siiih, jadi harus bolak-balik,” ledek Aska sembari mengusak surai Juna. “Tapi, gapapa. Omongan orang tua nggak boleh dilawan daripada kualat.”

“Iya, sih. Untung papi masih bangun, kalo nggak gue nggak tau, deh, mau nginep di mana.”

“Makanya izin dari awal dong, A’.”

“Ya...” Juna menjeda kalimatnya. “Bingung izinnya.”

“Terus udah gitu nggak izin sama gue juga lagi.”

Kedua ujung bibir Juna tertarik ke bawah, wajahnya memelas meminta maaf. “Maaf... 'kan tadi udah dibilangin bingung....”

“Hahaha, enggak, enggak. Gue nggak masalahin minumnya, sih, tapi semalem gue nyariin lu. Jadi lain kali bilang aja kalo lagi di luar jadi gue nggak nyariin. Untung Hanan nge-story. Dan oh! Untung ada Find My juga.” Aska mengusap tengkuk Juna penuh pengertian. “Eh, udah kepotong semua. Makasih, ya, A’ Ajun udah dibantuin motong-motong. Gih udah duduk aja, biar gue yang lanjutin.”

“Hehehe, sama-sama. Oh, sama pottery-nya udah gue ambil tau.”

“Oh, ya? Mana coba liat.”

Juna berlarian pelan keluar dapur untuk membawakan Aska hasil karya keduanya tempo waktu yang lalu yang kini sudah kering sempurna dan bisa dijadikan pajangan maupun digunakan sesuai fungsinya.

“Papi semalem nanyain belinya di mana, hahaha. Padahal ini lu yang buat.”

“Loh?” Kening Aska berkerut tanda kebingungan. “Papi tau lu ngerokok?”

“Loh lu nggak tau? Gue sama papi kalo lagi makan habis golf pasti udahnya ngerokok bareng tau, hahaha.”

“Ya ampun....” Aska hanya dapat bergeleng-geleng. Pemuda tersebut memang benar turunan ayahnya.

Sarapan Juna pagi itu dimulai dengan sedikit terlambat, namun nggak apa sebab Aska lah yang memasakan hidangan di hadapannya. Dengan ditemani Aska beserta layar laptopnya yang menampilkan pekerjaan creative slides-nya, Juna menyuap potong demi potong sayuran di dalam sup masuk ke dalam mulutnya.

“Gue kira dulu lu matil pas SMA.” Juna berceletuk ketika netranya menangkap deretan pengalaman kepanitiaan yang tertera di atas CV Aska.

“Enak aja. Sembarangan kalo ngomong.”

“Hahaha.” Juna terkekeh pelan, berhenti menyuap makanannya untuk sesaat. “Lu bukannya mageran? Lu ‘kan oknum yang pindah dari PS ke Sency naik Gocar.”

“Sembarangaaan.” Aska gemas hingga dirinya nggak tahan buat nggak mencubit paha Juna yang sedang duduk bersila itu.

“Aaak, ampun, Aska. Iya enggak, enggak, lu nggak matil, kok.”

Hidangan di atas mangkuknya telah tandas, kini Juna hanya menyenderkan dagunya di atas pangkal bahu Aska sembari menonton laki-laki tersebut mengerjakan tugas rekrutmennya.

“Aska.”

“Iya, Jun?”

“Aska.” Jemari Juna kini bermain-main dengan benang yang menjuntai pada ripped jeans yang melekat sempurna pada kaki jenjang Aska.

“Apa?”

“Askaaa....”

“Apa, Ganteeeng?”

Juna tergelak mendengar sapaan yang Aska beri untuknya. Ia tersipu malu sampai harus menutupi wajahnya menggunakan telapak tangannya yang besar itu.

“Apa manggil-manggil?” ulang Aska.

“Gapapa, bosen aja,” balas Juna dengan cengiran khasnya.

“Iya, sebentar, yaaa? Yang anteng, dong. Habis CV-nya selesai gue udahan dulu, deh.”

“Nggak, sih, gapapa. Lanjutin aja dulu tugasnya, hehe.” Juna berbalas sembari menempelkan pipinya lagi. Jemarinya ikut bermain dengan gelang yang Aska gunakan.

“Tapi, mau tau nggak?”

“Mau tau apa, tuh?”

“Hm... nggak penting, sih. Tapi, kayaknya gue beneran udah bisa buat baikan sama papi gue, deh.”

Ruang makan tersebut langsung tampak sunyi. Pergerakan jemari Aska di atas laptop pun ikut terhenti.

“Gue lupa gue udah pernah bilang ke lu atau belum. Tapi, dulu gue emang nggak akur 'kan sama papi? Eh, tunggu. Nggak, sih, papi mah baik-baik aja sama gue, cuma guenya aja yang jutek mulu. Tapi sekarang, gue udah mulai bisa buat ngobrol santai sama papi. Nadanya juga udah biasa aja, gue udah nggak seketus dulu lagi. Gue baru sadar habis ngobrol sebentar bareng papi semalem. Gue udah bisa ketawa lepas terus papi juga ngusap kepala gue. Gue jadi kayak... oh, wow, ternyata nggak ada gunanya gue dendam kemaren.”

And... how do you feel about that?

It feels... nice? Great? Indescribable, sih. Tapi, beneran nggak ada gunanya gue nyimpen dendam ke papi. Sekarang pas gue udah mutusin buat damai, ternyata rasanya lega banget. Jadi, nggak ada yang ngeganjel lagi di hati gue.”

Senyum Aska mengembang perlahan, hatinya menghangat mendengar ungkapan hati Juna. “See? Emang kadang nyimpen dendam yang nggak diperluin itu cuma bikin capek diri sendiri.”

Yeah, you're right.

“Dan gue harap lu juga udah mulai bisa buat maafin diri lu sendiri soal kesalahan lu sama mantan lu. So that you'll start to love someone freely and without any burdens.

Aska menghentikan kegiatannya untuk sementara. Kepalanya bertoleh ke samping, ke arah Juna menyenderkan kepalanya. Tangan kirinya yang bebas ia pakai untuk menangkup sebelah pipi Juna, mengusapnya pelan dengan penuh perhatian.

Jarak keduanya kini terlampau dekat. Bahkan rasa-rasanya, Aska dapat melihat detil iris Juna yang kecokelatan dari jarak yang sedekat ini. Sinar matahari dari jendela besar di dekat ruang makan membuat manik Juna nampak beribu-ribu kali lebih menawan dari biasanya.

Juna ingin sekali memberi bibir mungil yang kemerahan itu sebuah kecupan singkat, tanda sayang sekaligus terima kasihnya. Namun, Juna akan menyimpannya untuk kemudian hari. Hari yang jauh lebih spesial, hari di mana Aska tampak amat pantas untuk dihujani banyak cinta, meskipun laki-laki tersebut memang berhak untuk dicintai di tiap-tiap harinya.

Sebagai gantinya, Juna hanya membalas mengusap pipi kanan Aska, melakukannya persis sebagaimana Aska mengusap pipinya beberapa detik yang lalu.

Kembali pada pekerjaannya, Aska berujar, “Nanti kalo mau makan sama papi, jangan lupa diangetin lagi, ya, supnya.”

“Oke, Cantik.”

“Apa?”

“Kenapa?”

“Lu bilang apa tadi barusan?”

“Bilang apa?”

Aska gagal untuk kembali fokus pada layar laptopnya. Laki-laki itu dibuat frutrasi akibat gagal mendengar jelas sapaan yang Juna coba beri pada dirinya.

“Ihhh....”

“Apaaa? Gue ngomong apa emangnya?” sahut Juna nggak berdosa.

“Ya udah, nggak jadi.”

“Ahahahah. Iya, Cantik... nanti sebelum makan diangetin lagi supnya.”

Pipi Aska merona bak buah delima. Kendati memiliki keberanian lebih dalam berungkap manis, dirinya tetap bisa tersipu tatkala pemuda yang ia sayangi menyapanya dengan panggilan yang nggak kalah lucu.

Terkadang, Aska berharap dirinya dapat dipertemukan oleh Juna di waktu yang lebih cepat sebab dirinya nggak pernah menerima sayang yang semasif ini (selain dari sang ayah). Tumbuh dengan figur ayah yang penuh cinta (meski nggak pernah terungkap dengan kata) membuat Aska turut tumbuh menjadi pribadi yang gemar mengungkapkan rasa cintanya. Dan baru kali ini, ada satu laki-laki yang berhasil menyalurkan rasa cinta yang semasif dan setulus ini kepadanya.

Tapi nggak apa, mungkin memang ini skenario yang terbaik. Biar kedua anak Adam itu memulai kisahnya sedikit lebih lama. Mulai belajar cinta dari awal sampai akhirnya mengerti cara paling baik untuk menyampaikannya. Nggak perlu tergesa-gesa, bukan? Toh, nggak ada satu hal besar yang sedang mereka kejar.

CW // mention of infidelity


Kembali ke realita, Juna pulang ke rumah dengan diserbu puluhan chat dari teman-teman seangkatannya mengenai rekrutmen keorganisasian di semester yang akan datang. Hanya dengan melihat chat tersebut kepala Juna sudah dibuat pusing, maka seenggaknya ia akan berusaha menikmati waktu liburnya sebelum tugas-tugas rekrutmen menyerang.

Konteks menikmati waktu liburan tersebut termasuk menemani Aska ke tempat pembuatan tembikar, tempat yang Juna rekomendasikan pada Aska tempo waktu lalu. Jadi hari ini di sinilah mereka berdua, duduk berhadap-hadapan dengan tanah liat padat di hadapan masing-masing. Juna sibuk membentuk bunga, sementara Aska mencoba membuat asbak rokok berbentuk hati.

Tempat pembuatan tembikar ini berlokasi di Setiabudi, Jakarta Selatan. Dan ajaibnya Juna sudah mengetahui keberadaan tempat ini sejak beberapa waktu yang lalu.

Kendati bertempat tinggal di kota yang berbeda, Juna tetap hampir hafal akan seluruh seluk beluk ibu kota. Aska hanya tinggal menyebut tempat seperti apa yang ingin ia kunjungi dan Juna akan selalu mengerti harus membawanya ke mana.

This place is so pretty.” Juna berujar dengan fokusnya yang masih tertuju pada tanah liat yang sedang ia bentuk dengan jemari-jemarinya.

Memang benar. Tempat ini dipenuhi dengan karya-karya seni yang memukau. Bahkan, orang-orang yang terbilang awam soal seni akan tetap memandang dan mengagumi tiap-tiap karya yang ditempatkan pada hampir setiap sisi ruangan.

Right.” Aska berangguk, memberikan respon setuju. “Tau aja sih, Jun, tempat-tempat begini. Keren, deh, lu.”

Juna memberikan senyum termanisnya ketika Aska berkata demikian, kemudian memperluas topik pembicaraan ke ranah pribadinya.

My mom would like it here. Kapan-kapan gue ajak mami ke sini kali, ya?”

“Coba aja.” Aska tersenyum, hatinya menghangat ketika Juna teringat akan sosok sang ibu sewaktu maniknya menangkap hal-hal yang indah. “Mami lu emang suka beginian?”

She's a person with a high sense of art. Mami lebih suka seni daripada ilmu eksak,” jawab Juna dengan penuh percaya diri, seolah memang dirinyalah yang paling mengerti sosok ibundanya. “Nge-design gaun wedding, main piano, ngelukis, ngedekor kue ulang tahun... mami suka semua yang ada seninya.”

“Oh, wow... pantes waktu gue ketemu di Bali kemaren mami lu kayak... fashionable, cantik, anggun. Pokoknya gitu, deh.”

Right?” Juna sempat mendongakkan kepala, melempar tatapnya sekilas pada Aska sebelum kembali fokus pada tanah liatnya. “And my dad always got no time for that.

Untuk ucapan itu, Aska termenung. Ia belum sepenuhnya mengerti akan pesan tersirat yang Juna coba curahkan.

She loves everything about art. She teaches art to the three of her children, even though none of them ended up liking it. Cuma adek gue yang punya bakat nyanyi, terus sisanya... yah, nggak ada yang suka, sih.” Juna terkekeh, mengingat bagaimana dulu sang ibu gemar mendaftarkannya ke banyak tempat les yang berbau seni.

Well... she loves it, really. Mami masih suka dateng ke art exhibiton kenalannya, mami masih suka nonton choir, and stuffs. But my dad always got no time for that.” Juna menelan ludahnya. Mengingat-ingat masa lalunya memang sudah nggak menyesakkan dadanya, namun ia masih sedikit suka merasa kecewa. “Think we should always make time for our loved ones, but my dad is a work-oriented person, a hardworking person, jadi papi selalu nggak punya waktu buat mami yang family-oriented person. Nggak tau juga, sih, papi beneran nggak punya waktu atau emang dasarnya nggak mau nyempetin aja.”

Aska masih nggak tahu harus merespon Juna dengan tanggapan seperti apa sebab dirinya nggak pernah melalui hal berat itu. Ayahnya merupakan pekerja keras, namun anak sematawayangnya itu tetap selalu menjadi prioritas.

“Papi kerjanya selalu bolak-balik ke Kalimantan atau Aceh. Sejarang itu gue liat papi di rumah. One time, gue curiga sama papi karena waktu itu papi udah janji mau pulang dari seminggu yang lalu, tapi nggak tau kenapa di-extend-extend terus, padahal mami udah nunggu papi pulang biar bisa quality time sekeluarga. Habis itu, gue emang tau account media sosialnya and this one flirty woman keeps on appearing in his reply section. Gue cerita ke teteh dan teteh malah marah ke gue karena gue curiga nggak berdasar sama orang tua sendiri. Tapi menurut gue, rasa curiga gue tetep valid walaupun nggak berdasar. Gue nggak nyalahin perempuan itu, gue lebih ke nyalahin papi karena nggak seharusnya papi kegoda. Gue coba nyari tau... dan ternyata teteh justru nemu buktinya duluan. Yah... singkat cerita, gue sama teteh udah ngobrol sama papi dan papi ngaku salah. Gue sama teteh mutusin buat nggak cerita soal ini ke mami sama adek dengan alasan gue sama teteh nggak mau ngerusak hubungan orang tua kita sendiri. Tapi ternyata, mami sendiri udah capek dan akhirnya ngajuin buat cerai. Gue nggak tau alasan pastinya, tapi kata mami ini semua udah nggak ada gunanya lagi, mami capek nunggu hal-hal yang nggak pasti.”

Suatu alinea yang panjang dan Aska hanya dapat membungkam mulutnya di sepanjang rentetan kata yang Juna coba susun sedemikian rupa hingga mudah dicerna. Juna really went through a lot.

“Susaaah banget buat maafin papi dan berdamai sama diri sendiri. It affected me too, walaupun gue bukan pelakunya. Selama proses perceraian itu, people said that I slowly turned into my dad, jadi orang yang nggak punya waktu buat partner-nya. I refused to tell my ex about what happened in my life. In short, I left him hanging, sekeras apa pun mantan gue nyoba buat nge-reach out gue, gue terlalu sibuk buat simply stay sane walaupun gue sedih, kecewa, dan marah banget sama semuanya. Padahal nggak seharusnya gue begitu. Dia udah baik mau ngeluangin waktunya buat merhatiin gue di tengah-tengah kesibukannya dan nggak seharusnya isi kepala gue, gue tanggung semuanya sendirian. I still feel sorry for him, I-

Menyadari dirinya terlalu terbawa suasana, Juna menghentikan kalimat. Napasnya tercekat, rahangnya mengeras. Otaknya arus pendek, menatap Aska dengan pandangan yang nggak bisa diartikan. Juna berantakan dan genggaman Aska yang tiba-tiba terasa amat hangat hingga bisa mengembalikan kendali pada lobus otaknya.

Go on, ceritain aja apa yang mau lu ceritain.”

Oh God... I'm sorry....

Nooo, don't be sorry. Lu 'kan cuma cerita.” Aska bergeleng nggak setuju.

But I'm ruining the whole mood.

Nah, you're not.” Lagi-lagi Aska bergeleng, menyanggah argumen Juna. “So... you still feel sorry for your ex?

Untuk sepersekian detik, Juna terdiam membeku. Kemudian otaknya memerintahkan tulang belakang kepalanya untuk berangguk, memberi respon setuju pada pertanyaan yang dilontarkan oleh Aska.

Well, okay....” Aska ikut berangguk-angguk. “Masih ada lagi yang mau diceritain?”

“Intinya itu.” Juna berujar. “Itu masalah yang ada di diri gue. Orang-orang dulu bilang gue sebrengsek itu karena udah nyia-nyiain mantan gue. Padahal mantan gue banyak yang ngincer dan dia lebih milih buat suka sama gue. Dan, ya... gue setuju sama apa yang orang-orang itu bilang.”

But is he happy now? Lu tau nggak kabar dia sekarang?”

I haven't talk to him since the day I broke up with him, well I didn't even give him a proper closure. Tapi, dari yang gue liat di story-nya, dia udah punya cowok. Cowok yang waktu itu nemenin dia belanja, yang waktu itu kita juga belanja daging steak. Dan dari yang gue tau, sih, cowoknya yang sekarang baik banget sama dia. Tapi, ya itu... gue nggak tau dia udah ikhlas maafin gue atau belom.”

Memulai kalimatnya, Aska sempat menghirup oksigen sebanyak mungkin untuk memenuhi ruang pada paru-parunya. “Okay... a little TMI; I, too, still haven't got my closure yet with Kak Deehan. Kak Deehan yang waktu itu lu ketemu juga sama orangnya.” Aska sedang mencoba mengambil dirinya sebagai contoh. “He broke my heart into pieces, but then here I am, in the arms of a right person.

In the arms of a right person, sahutnya. Seseorang itu nggak lain dan nggak bukan ialah Juna, Arjuna Prima Putra yang akhir-akhir ini kerap memberikan warna lebih di dalam kehidupan Aska.

Lantas Aska tersenyum, mengusap punggung tangan Juna dengan ibu jarinya. “Yah... kita belom punya hubungan yang lebih dari temen, sih. But I fully trust you. I'm being happy with my current 'partner' and I forgave Kak Deehan already, walaupun dia nggak pernah bilang maaf secara langsung karena... yah, buat apa gue nyimpen dendam when I'm currently in my happiest state? Cuma nyapek-nyapekin diri sendiri doang kalo gue terus-terusan nggak ikhlas sama perlakuan Kak Deehan. Guess we weren't meant for each other and it's okay.

Penuh perhatian, Aska mengusap pipi Juna dengan ibu jarinya yang bersih. Merapikan rambut pemuda tersebut yang menutupi alisnya. “Take it as an example. Gue berharapnya mantan lu bakal berlaku kayak begitu juga. You said that he's already in the right hands right now, so what's more to ask? Emang udah waktunya buat damai sama diri lu sendiri, sama semuanya juga. Let the past be in the past. Nanti... kalo emang ada kesempatan, coba minta maaf ke mantan lu. Minta maafnya harus dari hati, biar nanti lu nggak ngerasa ada yang ngeganjel lagi, oke?”

Kalimat Aska diakhiri dengan tepukan lembut pada puncak kepala Juna, sedang lelaki itu kehabisan kata. Pemuda di hadapannya terlalu baik untuk bisa menjadi nyata. Juna sangat ingin tahu surga bagian mana yang kekurangan malaikat sebab satu malaikatnya telah diturunkan ke bumi tepat di depan bola matanya.

“Oh! Dan gue nggak tau sesibuk apa papi lu aslinya, tapi beneran enggak. Lu yang sekarang, gue nggak ngeliat lu sebagai orang yang selalu nggak punya waktu. Justru kebalikannya, sesibuk apa pun lu, lu selalu berusaha nyempetin waktu buat ketemu gue, even when I didn't ask you to, lu selalu ada buat gue. Jadi enggak, lu sama sekali nggak kayak papi di cerita lu barusan.” Aska menegaskan argumennya, berkata bahwa sifat Juna yang sekarang tampak sama sekali nggak mirip dengan sifat sang ayah yang ada pada ceritanya.

Lagi dan lagi, Juna memberi peringatan kepada dirinya sendiri bahwa ia akan menjadi orang pertama yang membenci dirinya kalau-kalau ia gagal untuk memberi cinta yang Aska pantas untuk terima.

Hari itu ditutup dengan Juna yang akhirnya membawa Aska ke tempat makan sate taichan di lokasi yang berbeda dari sebelumnya. Tempat sate taichan yang lebih bisa memanjakan lidah Juna.

Tempat ini akan selalu ramai dikunjungi oleh muda-mudi ibu kota, baik itu di hari kerja maupun akhir pekan. Nggak heran kalau tiba-tiba keduanya bertemu dengan sosok yang mereka kenal, seperti....

“Aska?”

Sontak, yang namanya dipanggil menoleh ke sumber suara. Matanya membulat menangkap sosok laki-laki yang barusan memanggilnya.

Bab-

“Kakak!”

Belum sempat laki-laki itu melengkapi kalimatnya, Aska sudah buru-buru menegurnya. Matanya melirik ke sana ke mari, memberi sinyal pada laki-laki tersebut bahwa keduanya sedang berada di ruang publik.

“A-ah... maaf lupa. Aska ngapain di sini?”

“Ih, ya mau makanlah? Ngapain juga Aska ke sini kalo nggak mau makan.”

“Ahahah.” Pemuda tersebut tertawa renyah, ibu jari dan telunjuknya mencubit gemas pipi Aska yang kemerahan sebab dinginnya suhu udara. “Right. Enjoy your dinner, then. And oh... halo, Juna.”

Sama kagetnya dengan Aska, Juna ikut membulatkan matanya sewaktu ia melihat keberadaan kakak tingkat satu jurusannya yang bernama Mikha itu.

“Nggak di FT, nggak di luar, sering ketemu juga, ya, kita?” Mikha menepuk pangkal bahu Juna, sedang laki-laki itu hanya bisa tersenyum kikuk.

“I-iya, Bang.”

“Ya udah, gue cabut duluan sama temen-temen gue.” Mikha tersenyum ramah. “And young man, where's your jacket? Dingin lho malem ini. Sendirinya udah tau gampang bersin-bersin, kok, ya, nggak dipake jaketnya.”

Tangan Mikha otomatis bergerak untuk melepas jaket yang melekat pada tubuhnya untuk disampirkan pada pundak Aska. Harumnya yang semerbak sampai bisa Juna cium melalui hidung bangirnya.

Drive safe, you two. Kakak duluan.”

Dengan begitu saja, Mikha berjalan melalui keduanya. Aska bahkan belum sempat membalas sapanya dan Juna juga masih tampak kebingungan.

“Lu... kenal sama Bang Mikha?”

“Kenal,” jawab Aska jujur. “Senior lu di mesin 'kan?”

“Yang itu iya. Tapi, kalo lu... kenalnya dari man-”

“Misi.” Kalimat Juna dipotong oleh penjual sate di sampingnya. “Tadi jadinya pesen apa aja, ya?”

Aska tersenyum, maju selangkah untuk menyebutkan pesanannya. “Oh, iya. Saya jadinya pesen....”

Juna hanya bisa menahan rasa penasarannya. Dan juga sedikit rasa cemburu lantaran seniornya itu dengan akrabnya berbincang dengan Aska dan nggak lupa turut meminjamkannya jaket. Juna jadi merasa bersalah sebab dirinya nggak memikirkan dinginnya angin malam yang dapat menusuk permukaan kulit Aska yang nggak tertutup fabrik baju.

Memilih untuk menyimpan rasa penasarannya, pada akhirnya Juna hanya bertindak seperti sedia kala. Mengajak Aska untuk duduk pada meja yang kosong untuk dapat menikmati santapan malam mereka.

“Eh, iya. Gue lebih suka taichan di sini masa,” ujar Aska usai menyuap potongan daging ayam berbumbu asin gurih itu ke dalam mulutnya.

Juna jadi tersenyum, melupakan rasa penasarannya untuk sesaat. Dirinya senang sebab lidahnya memiliki frekuensi selera yang sama dengan pemuda di hadapannya.

“Iya 'kan? Emang lebih enak aja gitu. Cuma... yah, selera juga, sih. Tapi, kalo gue emang lebih suka yang di sini.”

“Bener tau kata lu. Yang di samping STC dagingnya lebih dry gitu.”

“Oke, lain kali kalo lu BM taichan kita ke sini aja, ya? Ke Sambas.” Juna tersenyum, lengannya terangkat untuk mengusap saus yang tersisa pada tepi bibir Aska. Dan jangan lupakan ketika tadi minuman datang, Juna juga terlebih dahulu membukakan tutup botol air mineral Aska sebelum membuka tutup botolnya sendiri. Gestur-gestur kecil yang membuat Aska jatuh berkali-kali hanya untuk seorang Juna.

“Tapi, rame juga, ya? Terus kayaknya bakal bisa ketemu orang yang kita kenal gitu di sini, soalnya sumpah... yang dateng kayak model orang-orang di kampus kita. Liat aja Kak Mikha tadi.”

“Hahaha. Setuju, sih, gue.”

Sisa daging ayam di atas piring keduanya dihabiskan dengan penuh canda ringan. Celetuk Aska nggak ada habisnya beserta tawa Juna akan selalu hadir untuk melengkapinya. Keduanya memang sudah tampak seperti pasang kekasih yang sedang dimabuk asmara.

Ketika Juna hendak menenggak air mineralnya, tiba seorang anak kecil dengan wadah berisi bunga mawar di dalamnya. Juna jadi mengurungkan niatnya dan kembali menutup botol air mineralnya.

“Bunganya, Kak....”

Aska baru ingin mengeluarkan dompetnya, berniat ingin memberi anak tersebut uang tanpa mengambil bunganya. Namun ternyata, Juna sudah lebih dulu bertanya kepada anak kecil penjual bunga itu.

“Berapa, Dek, satunya?”

“Lima belas ribu aja, Kak.”

“Oke, sisa berapa emang bunganya?”

Anak kecil tersebut terlihat menundukkan kepalanya, menghitung tangkai-tangkai bunga yang tersisa pada wadahnya. “Sisa lima, Kak.”

“Oh... tapi 'kan itu ada yang warna merah sama pink, ya?”

“Iya, Kak.”

“Ya udah.” Juna tersenyum. “Aku mau beli, tapi kamu pilihin warna yang paling cocok buat kakak yang itu.” Jari telunjuk Juna mengarah ke Aska, membuat yang ditunjuk tersipu, semburat kemerahan seketika menjalar pada permukaan pipinya yang kini sudah tampak lebih berisi dari kemarin-kemarin. Hasil ulah Juna yang senang mengajaknya kuliner di mana-mana.

“Ehm... warna merah aja, Kak, kayaknya?”

“Hahaha, oke. Aku ambil semua yang warna merah, ya? Kasih ke kakaknya aja langsung.”

Malu-malu, Aska menerima bunga pemberian sang adik penjual, sementara Juna mengeluarkan lembaran uang dari dalam dompetnya. Tampak Juna mengeluarkan sejumlah uang lebih dari yang seharusnya dan bahkan cukup untuk membeli keseluruhan bunga yang tersisa.

“Kembaliannya berarti....”

“Nggak usah. Buat kamu aja kembaliannya,” jawab Juna ringan, membuat adik penjual tersebut tampak nggak percaya, namun setelah Juna meyakinkan, sang adik akhirnya mengucapkan kata terima kasih sebelum pergi meninggalkan meja mereka berdua.

Aska jadi memandang Juna dengan penuh haru; memandangnya bergantian dengan tiga tangkai mawar merah pada genggaman tangannya.

“Jun... dapet ide dari mana, sih, ih....”

“Buat Aska, hehehe.”

Juna nggak baru saja memberinya buket bunga paling mewah dan indah. Bahkan, ketiga mawar merah tersebut tampak nggak sesegar bunga yang baru saja dipetik. Tapi tentu, nilainya akan jauh lebih berharga sebab Juna membelinya juga karena ia ingin meringankan beban adik yang tadi.

Aska jadi semakin yakin bahwa sejatinya Juna adalah sekumpulan bait lirik lagu romansa yang kemudian diciptakan dalam hadir sebuah laki-laki yang baik; yang bisa membuatnya merasa seperti orang yang paling dicintai dan dihargai kehadirannya.

Bukan lagi suatu masalah bagi Aska untuk menjalani kehidupan kampusnya yang nggak begitu ia minati sebab kini Juna telah hadir di sela-sela kesehariannya, membuat hidupnya jadi jauh lebih menyenangkan untuk dijalani; membuat dirinya makin bersemangat untuk bangun di pagi hari sebab ia tahu Juna akan menyambutnya dengan senyum paling manis yang pernah ia lihat di seantero dunia.

Sungguh, ini bukan kali pertama Juna memandang Aska dengan selekat ini. Namun, sore ini laki-laki kelahiran Agustus itu memang tampak jauh lebih manis dari biasanya, sampai-sampai fokus Juna tampak nggak pernah hilang dari semenjak Aska keluar lift untuk berjalan menghampirinya.

Atau... memang Junanya saja yang sudah dimabuk cinta. Dan Aska akan selalu tampak seperti manusia paling indah yang pernah Tuhan ciptakan untuk diturunkan ke dunia.

Padahal, siang tadi keduanya sudah sempat bertemu di depan resepsionis, sama-sama ingin melakukan check in untuk menginap di hotel yang sama. Aska bahkan sempat berbincang dengan Anjani dan Wylsa untuk beberapa saat, pun sama halnya dengan Juna dan Saka. Nggak disangka-sangka, ternyata keduanya memiliki destinasi berlibur yang sama untuk merayakan libur tahun baru.

Menghabiskan sorenya di Bali bersama Juna, Aska memilih untuk mengenakan pakaian yang sederhana saja. Kaos putih polos yang dipadukan dengan luaran kemeja biru langit beserta sandal berwarna cokelat muda yang menyelimuti punggung kakinya.

“Yuk.”

Juna tersenyum, menyodorkan lengan kanannya untuk digaet Aska. Dan seolah ia memang terbiasa untuk melakukannya, lengan Aska otomatis terlingkar pada lengan kanan Juna.

Butuh waktu sekitar 20 menit untuk keduanya dapat sampai di area Pantai Kuta. Namun, karena ini Juna dan Aska, yang mana dua-duanya memang sedang dimabuk asmara, maka sepanjang apa pun jalan yang harus mereka tempuh untuk dapat sampai, nggak ada dari Juna dan Aska yang akan merasa keberatan.

Butir demi butir pasir bergerak menyelinap di antara jemari kaki. Deburan ombak yang berbuih dengan sopannya menabrak telapak. Terpaan angin pantai pun turut menyapa permukaan kulit, namun dinginnya nggak sampai menusuk tulang sebab panas matahari juga masih dapat mereka rasakan di pukul lima ini.

Lengan Aska yang semula melingkar kini terjatuh agar jemarinya dapat bertaut dengan jemari milik Juna. Nggak ada obrolan yang tercipta di antara keduanya sementara mereka berjalan menyusuri tepian pantai.

Pulau Dewata memang akan selalu tampak cantik. Pun sama halnya dengan lelaki yang kini sedang berjalan beriringan dengan Juna.

Everytime we meet, I wanna say that you get prettier each day, but now I know that you don’t actually get prettier.

Aska mengernyit, menatap pemuda yang sudah memandangnya bahkan sejak pertama keduanya bertemu di sore hari ini. “Jadi... gue nggak tambah cantik setiap harinya gitu?”

“Lu udah cantik dan bakal selalu cantik setiap harinya,” lanjut Juna, menyelipkan surai Aska yang tertiup angin ke belakang daun telinga. “But there’s this aura of yours, that reflects your beauty everytime you feel like you’re the happiest person on earth.

Kini, senyum yang Juna coba pancarkan terlihat begitu tulus. “So be happy. Even if one night you feel like your day doesn’t go like how you’ve wanted it to go, I hope you’ll wake up feeling better than before. Chin up, smile on, be happy, and be in love, so that your aura will reflect it again.

Bohong kalau Juna bilang ia nggak pintar bermain kata-kata sebab kini nyatanya Aska sangat amat terenyuh hanya dengan mendengar pernyataan Juna yang barusan itu.

“Makanya, jangan ke mana-mana,” balas Aska dengan jemari yang senantiasa bertaut dengan milik Juna.

“Kenapa emang kalo gue ke mana-mana?”

“Nanti gue nggak jadi the happiest person on earth lagi.”

“Hahahah.” Juna terkekeh. “Makasih, ya, udah secara nggak langsung bilang kalo gue bikin lu jadi the happiest person on earth. Tapi, ya... jangan ngegantungin kebahagiaan lu di gue, Aska. Lu harus bahagia, dengan dan tanpa siapa-siapa di hidup lu.”

Perkataan Juna ada benarnya dan Aska memilih untuk nggak menanggapinya. Ia justru tertunduk, memperhatikan bagaimana langkahnya dan langkah Juna yang tampak senantiasa melangkah beriringan.

Hingga keduanya sampai di suatu titik, tempat terbaik untuk melihat sang surya yang perlahan-lahan mencumbu perbatasan laut dan langit. Sinar matahari senja menabrak hidung Juna yang bangir, membuat lelaki tersebut tampak seperti Tuhan menghabiskan waktu yang cukup lama hanya untuk menciptakannya.

“Tapi, Jun.”

“Iya, Aska?” Juna menghentikan lamgkahnya, membelakangi permukaan laut yang deburannya mulai tenang, menghadap pujaan hatinya yang kini turut memandang maniknya lekat-lekat.

You also have to know, that one day you’ll find someone who will accept you for who you are. Even if you messed up lots of things in the past, even if you were the ‘bad’ one in your last relationship, as long as you’re willing to change into a better you, someone will accept all of your fragments, your flaws, your lack of things. In the end, they’ll always love you for who you are.

Juna sepenuhnya paham kalau Aska tengah mencoba membuatnya untuk siap melangkah lebih jauh bersamanya, untuk Juna nggak mengulangi kesalahan yang sama.

Dan pemuda tersebut nggak tahu harus seberapa banyak ia bersyukur sebab telah dipertemukan dengan manusia setulus laki-laki di hadapannya.

Sebelah lengan Juna terangkat, ibu jarinya ia letakkan pada permukaan pipi Aska yang kemudian dia usap lembut.

Manik Aska akan selalu tampak teduh untuk Juna. Pun senyumnya yang akan selalu terlukis sempurna untuk hadirnya.

“Makasih, ya, udah mau nyoba jalanin semuanya sama gue.”

Dan Aska pun merasakan hal yang sama. “And thank you for willing to find me walaupun gue di awal kayak susah banget buat di-reach.”

Let’s work things out together, shall we?

Aska mengulas senyumannya, menautkan jemarinya dengan jemari milik Juna dan melanjutkan perjalanannya di tepi pantai.

People said that you have to be in love with someone that doesn’t make you think love is hard, and they agreed.

Song recommendation: click here


Di antara kegiatan lain yang mungkin dilakukan oleh Aska pada rentang libur semester ganjil, berkendara dengan Juna menuju suatu kota di Jawa Barat berada pada daftar terakhir yang Aska pikir dapat ia lakukan.

Tapi nyatanya, di sinilah Aska. Terduduk manis di samping kursi kemudi, mengeluarkan celetuk-celetuk ringan demi mengisi kekosongan sembari kendaraan sedan berwarna putih itu melaju di atas jalan tol menuju kota Bandung.

Destinasi pertama bagi keduanya adalah toko roti yang terletak di suatu jalan yang bernama Gempol Wetan. Mungkin karena sebab itu pula, toko roti ini akhirnya dinamakan sebagai toko Roti Gempol.

Memasuki bangunan yang lebih terlihat seperti rumah ini terasa seperti kembali ke era 60-an, meskipun nggak ada dari Juna dan Aska yang pernah merasakan bagaimana rasanya hidup di era tersebut, terduduk dengan sepiring roti panggang hangat yang aromanya menyeruak hingga ke sudut-sudut ruangan.

Juna mengambil tempat duduk di sisi kanan agar Aska dapat duduk di sisi kiri. Tubuhnya yang bidang digunakan untuk menutupi sinar matahari yang kemungkinan dapat masuk menyilaukan mata. Sebelum duduk pun Juna sempat memesankan keduanya santapan pagi. Dua piring roti panggang khas Bandung beserta susu murni yang dapat melengkapinya.

Aska tersenyum melihat Juna yang bersedia melakukan semua hal itu untuknya. Tentu, kalau dipikirkan lagi dirinya pasti bisa melakukan semuanya sendiri, namun akhir-akhir ini Juna memang gemar memanjakannya dan ternyata, Aska dapat menikmatinya.

Nggak selamanya dimanjakan itu merupakan hal yang buruk, walaupun Aska awalnya sempat berpikir demikian. Dulu, dirinya sering sekali menolak bantuan yang datang dari orang lain, takut jika nantinya orang tersebut akan merasa terepotkan. Di samping itu, Aska juga nggak ingin berhutang budi kepada mereka. Hingga lelaki bernama Juna datang ke dalam hidupnya dan Aska akhirnya mengerti bahwa mungkin seperti itulah cara seseorang dapat menunjukkan rasa cintanya.

“Enak nggak?” tanya Juna usai melihat Aska menyuapkan sepotong roti asin ke dalam mulutnya. Menunggu kata ‘enak’ meluncur keluar dari belah bibir laki-laki tersebut.

“Enak!” Suara Aska sedikit meninggi, bersemangat dalam mengeluarkan pernyataannya. “Empuk rotinya.”

Yes. Hehehe bagus, deh, kalo gitu.” Juna terkekeh, menampilkan senyum yang akhir-akhir ini sering buat Aska mabuk kepayang.

“Kok lu tau, sih, tempat makan enak kayak gini di Bandung?”

Diletakannya garpu yang baru ia gunakan untuk menyuap sepotong roti sebelum dirinya menjawab pertanyaan Aska. “’Kan gue udah bilang gue orang sunda. Rumah aki, tuh, ada di daerah Antapani. Jadi, dulu gue sering pulang ke sini, diajakin mami muter-muter sampe gue hafal.”

“Oh, iya, bener juga.” Aska baru teringat kalau pemuda di hadapannya itu memiliki darah campuran sunda dan batak. “Pantes tadi lu nggak pake Google Maps bisa hafal. Keren, keren. Kalo gue, sih, kayaknya bakalan udah lupa.”

Spontan, dirinya membuang wajahnya ke samping, malu menatap Aska yang baru memberinya pujian. Pemuda yang bernama Juna itu memang mudah tersipu ketika sedang diberi pujian, bahkan dengan sesederhana apa pun pujian yang dilontarkan.

“Biasa aja.” Juna mengatupkan kedua bibirnya, menahan senyum yang kemungkinan akan tergurat lebar-lebar. “Tapi, makasih.”

Melihat Juna, Aska jadi tertawa sendiri. Respons Juna yang selalu menyenangkan dan nggak pernah setengah-setengah selalu membuat Aska yakin untuk tetap tinggal bersama laki-laki itu.

Sembari menunggu organ-organ pencernaannya dapat memproses roti panggang yang telah selesai disantap, Juna mengajak Aska untuk hanya mengelilingi Kota Kembang ini. Sudah lama Juna nggak mengunjungi kota tempat sang ibu dilahirkan, sedang Aska lupa kapan terakhir kali ia menghirup sejuknya udara Bandung. Maka Aska sama sekali nggak merasa keberatan jika harinya yang menuju siang itu hanya digunakan untuk berkeliling.

“Bandung kayak sejuk banget, ya, Jun.” Aska berucap dengan pasang maniknya yang nggak lepas dari pemandangan di luar.

“Sejuk kalo lu mainnya ke sini. Coba kalo gue bawa lu ke Bojongsoang.”

Mengernyit, Aska mengalihkan pandangannya dari luar jendela. “Emang kenapa kalo di Bojongsoang?”

“Nggak jauh bedalah dari Depok.” Juna terkekeh. “Nggak akan berani lidah lu bilang sejuk.”

“Hahaha! Masa, sih?”

“Seriuuus. Makanya udah, kita mainnya di sini-sini aja.”

“Oke.” Aska berangguk, melempar senyum pada manusia di balik kemudi. “Ngikut aa' Bandungnya aja udah.”

Sebuah tawa lolos begitu saja dari belah bibirnya. Juna sudah sering disapa dengan panggilan aa', tapi kalau sapaan tersebut keluar dari mulut Aska, Juna nggak bisa untuk nggak tersipu malu.

Jarum arlojinya telah mengarah ke angka 12, maka Juna memutuskan untuk mengarahkan kendaraannya ke toko dimsum favoritnya, mengajak Aska untuk mengisi perut. Hanya dengan membayangkan gurihnya udang yang menjadi isian menu hakau dapat membuat mulutnya berliur. Ia jadi nggak sabar untuk segera menunjukkan betapa lezatnya dimsum masakan toko Dimsum Sembilan Ayam.

Keduanya terduduk pada bangku yang saling berhadap-hadapan. Berbincang mengenai ini dan itu sembari menunggu pesanan datang.

Beberapa klakat yang di dalamnya terdapat potongan-potongan dimsum akhirnya mendarat menghiasi meja di antara mereka berdua. Aska melihatnya dengan berbinar-binar, nggak sabar untuk mencicipi dimsum di toko yang baru pernah ia kunjungi sekarang.

Tangan Juna otomatis meraih peralatan makan di sampingnya. Membukakan plastik yang membungkusi sumpit kayu sekali pakai tersebut untuk Aska pakai makan. Lagi-lagi, Aska tersenyum melihat aksi pemuda itu, menggumamkan frasa terima kasih karena telah membantunya, yang kemudian dibalas dengan senyum tulus pada wajah Juna.

Menu pertama yang Aska cicipi adalah hakau udang, salah satu jenis dimsum favoritnya. Isian hakaunya yang gendut, gurih, manis, dan empuk berhasil memanjakan lidah Aska. Membuat kedua pipinya terangkat sebab senyum yang seketika terulas.

“Enak?”

“Enaaak,” jawab Aska puas. Belum ada tempat makan pilihan Juna yang berhasil mengecewakannya.

“Asik, seneng gue dengernya.” Juna pun turut menyumpit sepotong hakau pada klakat di hadapannya. “Selamat makan, Aska.”

“Met makan juga, Ajun. Makasih, ya, udah dibawa ke sini. Nggak kalah enak sama Wingheng.”

Tiap-tiap manusia di restoran ini akan sadar kalau pemuda yang tubuhnya terbalut jaket hitam itu pasti sedang merasa sayang-sayangnya kepada pemuda lain di hadapannya. Lihat saja kedua ujung bibirnya yang kian tertarik ke atas hanya dengan memandang sang pujaan hati menyantap makanan hasil rekomendasinya.

Seperti janjinya tempo hari yang lalu, Juna turut membawa Aska pada suatu tempat di bilangan Kosambi. Puluhan flash menyala-nyala menyilaukan mata, membiarkan sebuah kamera DSLR hitam mengabadikan momen keduanya ketika tengah berada di Bumi Pasundan.

Nggak ada yang tahu kalau-kalau Juna dan Aska ke depannya nggak bisa kembali ke mari berdua, maka seenggaknya selembar foto yang tercetak nggak berapa lama kemudian dapat menjadi sesuatu yang dapat dikenang tatkala realita dunia perkuliahan telah memanggil mereka pulang.

Sore hari di Bandung sejatinya nggak terlihat jauh berbeda dengan sore hari di ibu kota. Namun yang sedikit membedakan, Juna ada di tempat ini dengan lelaki yang ia impi-impikan. Maka tentu senja ini akan selalu menjadi senja terindah di dalam hidupnya, mengalahkan senja-senja menawan yang pernah ia saksikan dari bibir pantai.

“Lu tahun baruan mau ke mana, Jun?” Aska bertanya dengan maniknya yang sibuk menelisik hasil cetakan fotonya bersama Juna. “Udah ada plan?”

“Rahasiaaa.”

“Dih?” Alis Aska bertaut, kepalanya menoleh ke kursi kemudi secepat kilat.

“Hahaha, liat aja. Nanti lu juga tau.”

“Ya udah, gue juga rahasia.”

“Oke, siap.”

“Jangan nyama-nyamain destinasi kita berdua.”

Juna terkekeh dengan telapaknya yang masih setia menggenggam erat kemudi mobil. “Iya, iyaaa.”

Destinasi keempat bagi Juna dan Aska terletak di bilangan Ciumbuleuit. Puluhan muda-mudi tampak memenuhi area Warung Sate Bu Ngantuk. Nggak heran, selain harganya yang cukup terjangkau bagi kantong pelajar maupun mahasiswa, gurih koya yang bertaburan di atas sate asin khas warung itu memang bisa dibilang memuaskan lidah.

Sedannya telah terparkir sempurna pada bahu jalan, lantas Juna mematikan mesin mobilnya dan melangkah ke luar. Membukakan pintu bagi Aska untuk dapat keluar juga. Aska pun tersenyum dan menyambut lengan yang Juna tawarkan untuk ia gaet. Sekali lagi, Juna menuntunnya membelah keramaian seperti kali terakhir Juna mengajaknya untuk makan di warung pinggir jalan.

Keduanya nggak sedang menyantap menu mewah pada restoran bintang lima yang terdapat di lantai teratas gedung tertinggi ibu kota, tetapi kebahagiaan ini terasa jauh lebih mahal dari santapan tersebut atau bahkan, jauh lebih nggak terkira harganya.

Askanya, ah belum. Juna masih belum dapat mengklaim lelaki tersebut sebagai laki-laki miliknya. Tapi, melihat Aska yang tampak begitu bahagia ketika tengah berada di dekatnya, Juna jadi semakin membulatkan tekad untuk nggak membiarkan dirinya berbuat kesalahan yang fatal lagi. Ia sungguh, sungguh ingin melihat senyum manis Aska untuk seribu tahun ke depan.

“Enak banget....” Aska mengunyah daging ayam yang berbumbu asin gurih tersebut dengan semangat. “Boleh nambah nggak? Tapi, cuma kayak lima tusuk gitu.”

“Pesen sepuluh lagi aja,” jawab Juna, “nanti kalo nggak habis, gue yang habisin.”

“Beneran nggak?”

“Beneeer, daripada nanti mau nambah lagi. Gue pesenin sepuluh sekalian, ya?”

Yeay, oke.” Aska tersenyum lucu, membuat Juna nggak kuasa untuk membelai bagian belakang kepala Aska sebelum akhirnya berdiri untuk memesankan mereka sepuluh tusuk sate lagi.

Juna menyimpulkan senyum melihat Aska dengan senangnya menyuapkan potong demi potong daging ayam ke dalam mulut. Dan oh, jaket yang semula terbalut pada tubuhnya kini telah berpindah menyelimuti punggung Aska. Juna membetulkan letak jaket pada ujung bahu Aska yang sedikit lagi tampak akan jatuh, membuat Aska ikut tersenyum melihat perlakuannya.

“Jun, kalo gue habisin sepuluh-sepuluhnya gapapa nggak?”

“Ya udah, gapapa.”

“Ih, kok lu nggak kesel, sih? Padahal tadi gue mau pesennya lima aja. Eh, ternyata bener kata lu, mending langsung pesen sepuluh.”

“Lah?” Juna terkekeh. “Ngapain gue harus kesel, Askaaa? Gih, dihabisin. Kalo mau nambah, nambah lagi aja, ya?” Ibu jari serta telunjuknya ia gunakan untuk mencubit gemas pipi kanan Aska.

“A’, punten.”

Tiba seorang perempuan entah siapa menghampiri Juna. Seorang diri dengan ponsel pintar pada genggamannya.

“Eh, iya, kenapa?”

Punten banget ini, A’. Tiasa nyungken poto bareng nggak, yah, sama Aa’-nya?”

Dahi Juna mengerut, tanda kebingungan dengan permintaan perempuan di hadapannya. “Buat apa, ya, kalo boleh tau?”

Mendengar Juna yang membalasnya dengan bahasa Indonesia, perempuan itu jadi ikut menggunakan bahasa Indonesia juga. “Inian, A’. Tadi habis kena dare sama temen.”

Terkekeh, Juna melemparkan tanya kepada Aska yang tampaknya nggak mengerti maksud perempuan tersebut. “Gimana, Aska?”

“Gimana apanya?”

“Ini tetehnya boleh nggak foto sama gue? Katanya dapet dare dari temen-temennya.”

“Eh, pacarnya, ya, A’?” Perempuan tadi langsung merasa nggak enak begitu Juna meminta izin.

“Oh, bukan kok Teh. Foto aja nggak apa-apa.”

“Bener?” tanya Juna.

“Ya....” Aska menjeda kalimatnya kebingungan. “Apanya yang harus kenapa-kenapa?”

Jadilah perempuan tersebut benar-benar mengajak Juna untuk berswafoto. Yang kemudian dibalas Juna dengan senyuman tipis tatkala perempuan itu menyampaikan rasa terima kasihnya.

Hatur nuhun pisan, A’, hampura buat Aa’-nya juga, jadi ganggu pacarnya.”

“Bukan, Teh.” Aska menggelengkan kepalanya. “Nggak apa-apa, kok, nggak per-“

Juna tersenyum memotong kalimat Aska. “Doain, Teh, supaya hayang jadi kabogohan urang.”

“Wah, amin, A’,” balas perempuan itu.

“Gue nggak ngerti, ih.” Aska melempar tatapan tajamnya. “Doain apa itu tadi?”

“Rahasiaaa.”

“Juna, ih, lu doain gue yang aneh-aneh, ya?”

Tergelak, kedua kelopak mata Juna menyipit hingga nggak terlihat lagi putih pada maniknya. “Nggak, dong. Lagian, tuh, gue akhirnya ngomong sunda. Penasaran ‘kan waktu itu gue bisa atau enggak ngomong sunda?”

“Ya udah, sekalian translate-in.”

“Nggak mauuu.” Juna mencibir. “Biar rahasia.”

“Nyebelin banget Juna.”

Malam itu, keduanya tampak seperti pasang remaja yang benar-benar sedang dimabuk cinta. Mulai dari mentari muncul dari ufuk timur hingga kini telah menyinari bumi di bagian yang lain, Juna dan Aska masih setia menghabiskan waktu berdua. Meskipun rundown yang telah disusun bersama nggak sepenuhnya terlaksana dengan sempurna, seenggaknya Juna berhasil membawa Aska ke tempat-tempat yang ia rekomendasikan.

Perjalanan Juna dan Aska ke kota ini ditutup dengan membeli es kopi susu di salah satu gerai kopi terkenal di Jalan Braga, Toko Kopi Djawa. Sebelum sedan putih berplat B 1380 APP tersebut kembali melaju di atas jalan tol menuju ibu kota.

Juna bukan tipe manusia yang gemar meromantisasikan segala hal, tapi sungguh, berada di satu kendaraan yang sama dengan Aska sembari mendengarkan alunan lagu yang senantiasa memenuhi indera pendengaran terasa seperti hal paling romantis yang pernah ia lakukan di seumur hidupnya. Sesederhana ini dan Juna sudah merasa seperti manusia paling bahagia di dunia.

Ragu-ragu, Juna coba lancarkan aksi untuk menggenggam telapak Aska. Mulai dari telapak tangan kirinya yang ia pindahkan ke atas persneling, yang kemudian membuat jantungnya berdebar dua kali lebih cepat dari biasanya. Memikirkan cara paling efektif untuk meminta Aska menggenggam telapaknya.

Lantas, pemuda itu menelan ludahnya kasar dan bedeham untuk menghilangkan rasa gugupnya. Aska menoleh, memeriksa apakah Juna baik-baik saja.

“Kenapa, Jun?”

Pertanyaan tersebut Juna biarkan menggantung di udara. Masih memikirkan bagaimana caranya untuk membuat jemari keduanya bertaut.

Tapi, persetan dengan semua ini, Juna nggak ingin kehilangan kesempatan untuk menggenggam telapak Aska malam ini.

“Aska.”

“Iya, Juna?”

Can we hold hands?” Juna bertanya dengan fokusnya yang masih tertuju pada ruas jalan tol, baru kemudian memberanikan diri untuk menoleh ke samping kiri.

“Ah, sorry, gapapa kalo-“

Berbanding terbalik dengan dugaan Juna, Aska justru kini dengan beraninya menggenggam telapak kiri Juna yang berada di atas persneling. Jemari-jemarinya bertaut. Rasanya seperti tangan Aska memang diciptakan untuk menggenggamnya erat-erat.

Merasa lega, kini bahu Juna nggak lagi menegang seperti saat sebelumnya. Tubuhnya justru melemas seperti sedang diterbangkan ke atas langit. Aska menggenggam telapak Juna dengan menggunakan kedua telapaknya, membuat Juna merasakan kehangatan yang nggak pernah ia rasakan sebelumnya, kehangatan yang belum tentu ia bisa temukan pada hadirnya manusia lain.

Seharusnya, seperti inilah rasanya jatuh cinta. Nggak ada rasa ragu atau waswas sebab cinta pada hakikatnya justru buat tiap-tiap manusia merasa nyaman untuk berada di dekat manusia lain yang mereka cintai.

Melangkah-langkah kecil untuk bisa masuk ke dalam hati manusia yang kita cintai memang seharusnya terasa menyenangkan dan bukan menyakitkan.

Dua kosong.

Pertandingan mini soccer pagi ini dimenangkan oleh Departemen Teknik Mesin. Juna sempat melempar senyum bangganya ke arah Aska sebelum ia pergi menghampiri teman-teman teknik mesinnya. Aska pun bingung harus berbuat apa. Di satu sisi, ia sedikit kecewa lantaran departemennya nggak berhasil memenangkan pertandingan pagi ini, namun di sisi lain dirinya nggak kuasa melihat betapa manisnya senyum yang Juna tujukan padanya.

Usai membersihkan diri, Juna bergegas ke tempat mobilnya terparkir di luar, tempat ia menyuruh Aska untuk menunggunya. Dan di sanalah Aska, berdiri menunggunya sembari melambaikan tangan begitu yang ditunggu-ditunggu kehadirannya pun datang.

Dengan senyum yang kian mengembang, Juna berjalan cepat menuju mobilnya. Mengeluarkan kunci dan membukakan pintu untuk laki-laki pujaan hatinya itu. Terlihat klise dan klasik, namun Aska merasa senang ketika Juna melakukan hal itu untuknya.

“Halo,” sapa Juna sewaktu ia sudah berada di dalam mobilnya. Menyalakan mesin dan menunggu hingga sebuah indikator pada speedometer-nya meredup. “Gimana, gimana? Keren 'kan tadi gue?”

Aska mengangkat sebelah lengannya, menyingkirkan helaian rambut Juna yang masih terasa sedikit lembab pada pelipisnya. “Keren. Selalu keren. Tapi, gue sedih DTI kalah.”

“Ahahah.” Juna terkekeh menanggapi Aska, sedikit salah tingkah sebab perlakuan manisnya. “Um... ya udah, lu gapapa 'kan sekarang?”

“Ya gapapa. Mau gimana lagi juga?”

“Iya, sih.” Kepala Juna berangguk sebagai tanda setuju akan pernyataan Aska. “Jalan sekarang, nih?”

“Lu mau gue masakin apa?”

“Eh, beneran mau?”

“Yaaa....” Aska menarik sabuk pengaman di sampingnya untuk ia kenakan. “'Kan gue udah janji. Masa sekarang nggak gue tepatin?”

“Hm, kalo gue mau steak gapapa nggak?”

“Gapapa. Gue arahin ke tempat biasa gue beli daging steak, ya, kalo gitu?” usul Aska, “di Indoguna, daerah Petogogan.”

“Boleeeh....” Juna menyimpulkan senyumnya. Menurunkan rem tangan untuk melajukan mobilnya meninggalkan area permainan mini soccer.

Hanya terdengar gurauan dan tawa sederhana yang diiringi dengan alunan musik sembari kendaraan sedan tersebut melintasi keramaian ibu kota. Juna dan Aska, nggak ada lagi dari keduanya yang merasa canggung ketika harus ditempatkan di ruangan yang sama. Sambil sesekali menyeletukkan canda, waktu terus bergulir hingga nggak terasa keduanya pun sampai di tempat tujuan.

Aska mengambil keranjang belanja yang disediakan oleh pihak toko. Namun nggak sampai satu detik kemudian, Juna tersenyum mengambil alih keranjang tersebut. Tanpa berbasa-basi, Juna lantas mengajak Aska untuk mengelilingi toko. Nggak memberi waktu untuk Aska dapat memprotes perlakuannya. Lagipula, Aska juga sudah mulai terbiasa menikmati perlakuan-perlakuan manis Juna seperti yang satu ini.

“Sendiri 200 gram cukup nggak, Jun?” tanya Aska sembari fokusnya tetap tertuju pada deretan potongan daging sapi di hadapannya. “Nanti makannya bareng sayur sama potato wedges.

“Yang 300 aja, gue laper,” tanggap Juna sembari terkekeh. “Hehehe.”

“Oke, oke.”

Aska meraih dua potong daging sapi, namun begitu teringat akan sang ayah di rumah, ia kembali meraih satu potong daging sapi lagi. “Eh, sama papa, deh, satu. Kita makan di rumah gue gapapa 'kan?”

“Gapapa.”

“Ada papa gue tau. Lu beneran gapapa?”

Dengan bangganya, Juna justru memiringkan senyumnya. “Gapapa, Aska.”

“Papa gue galak.”

“Iya....” Juna terkekeh hingga kedua matanya menlengkung. “Gapapa banget, Aska.”

“Ya udah, oke.”

Seluruh bahan yang dibutuhkan untuk membuat steak telah Aska masukkan ke dalam keranjang belanja, termasuk beberapa bumbu dapur yang dirasa ia perlukan.

Juna mengedarkan pandangannya usai memberi kartu debitnya pada pihak kasir yang telah selesai menotalkan belanjaan keduanya siang ini. Meskipun pada awalnya, ia harus berdebat dengan Aska yang juga menyodorkan kartu debitnya.

Ada satu figur yang berhasil memenangkan perhatian Juna. Seketika, tubuhnya terbujur kaku. Rahangnya mengeras, Juna nggak tahu harus berbuat apa ketika orang yang ia perhatikan lamat-lamat itu membalas tatapan matanya. Lantas, ia pun memutar tubuhnya, kembali menatap Aska yang berada di sampingnya.

“Pinnya, Kak.”

“O-oh, iya, Mba.”

Terburu-buru, Juna hampir saja salah menekan deretan angka yang terpampang di atas mesin EDC. Sebelum akhirnya mengucapkan terima kasih dan membawa kantong belanja keduanya menuju tempat mobilnya terpakir.

Di sepanjang perjalanan menuju rumah Aska, Juna nggak banyak berbicara. Kebanyakan hanya menanggapi Aska dengan seadanya kemudian kembali menatap jalanan di luar.

Hingga pada waktu mobilnya terhenti tepat di depan pagar rumah Aska yang masih Juna ingat persis bagaimana bentuknya, ia masih banyak banyak terdiam. Aska pun turun dari dalam mobil untuk memencet bel, namun nggak beberapa lama kemudian sang ayah sudah muncul untuk membuka pagar rumah.

“Lho, rapi amat, Pa?” tanya Aska dengan dahi yang mengernyit keheranan.

“Iya, Papa mau lunch sebentar sama klien Papa,” jawab Saka, ayah Aska, dengan singkat dan jelas.

“Yah, baru mau Aska buatin steak.

Melihat ayah Aska yang sedang mendorong pagar itu, Juna memutuskan untuk melepas sabuk pengaman yang melekat pada tubuhnya untuk turun menyapa pria pada pertengahan 50-nya itu.

“Om Saka,” sapa Juna dengan senyuman sopan yang terpatri di atas wajahnya. “Siang, Om.”

“Eh, Juna?” Saka tersentak begitu menemukan kehadiran Juna di samping anak laki-laki satu-satunya. “Oh, kamu yang antar Aska ke mari? Pantas, Om nggak ngenalin mobilnya. Om kira Aska pulang sendiri.”

“Hehe, iya, Om. Tadi sekalian pulang mini soccer terus rencananya mau dimasakin Aska di sini,” jawab Juna dengan santainya. “Nggak apa-apa 'kan, ya, Om?”

“Nggak apa-apa sekali, Juna.” Saka mengusap tengkuk kepala Aska. “Anak Om ini jago sekali kalau disuruh masak memasak.”

“Bener, Om. Juna setuju.”

“Ya sudah, selamat makan enak. Om tinggal nggak apa, ya?” Saka menepuk pelan pundak Juna. “Sudah ada janji soalnya.”

“Siap, Om. Gapapa, kok. Om juga hati-hati di perjalanan, ya, Om.”

Aska hanya bisa mengernyitkan dahinya kebingungan. Mengapa ayahnya dan laki-laki di sampingnya ini bisa terdengar begitu akrab? Mungkinkah ada informasi mengenai keduanya yang telah Aska lewatkan sampai-sampai ia nggak tahu soal kedekatan orang tuanya dan lelaki yang sedang dekat dengannya itu.

Explain?” Aska menyenderkan tubuhnya pada kulkas sembari menunggu Juna mengeluarkan seluruh bahan masakan dari dalam kantong belanja.

Long story short, dulu papi gue kliennya Om Saka. Rumah di Antasari itu yang desain papa lu, Aska.” Juna memutar tubuhnya, menatap Aska yang punya banyak tanda tanya di atas kepalanya. “Sebulan yang lalu, papi ngajak gue main golf. Nah, di waktu itu, gue pertama kalinya ketemu sama Om Saka. Ya udah, kita kenalan. Terus kemaren-kemaren ini yang gue bilang gue mau golf dan lu siangnya mau jalan sama papa lu, itu paginya pas gue golf gue ketemu lagi sama Om Saka. Jadi... ya, begitu cerita gue bisa kenal sama papa lu.”

“Demi....”

“Serius. Lu percaya nggak kalo gue bilang gue udah punya nomor WA papa lu? Hahaha.”

Nggak menyangka, Aska hanya bisa bergeleng-geleng. “Bisa-bisanya gue nggak tau soal ini.”

“Tapi, keren ‘kan? Ternyata gue bisa seterhubung ini sama lu,” ujar Juna dengan cengiran khasnya.

Demi mempersingkat waktu, Aska nggak menanggapi ujaran Juna dan justru meraih cast iron pan pada salah satu rak di dapurnya. Menaruhnya di atas kompor, kemudian mulai membuka plastik yang membungkus daging sapi pilihannya.

Seperti kali sebelumnya, Juna membantu Aska mengupas beberapa butir bawang putih untuk dipakai basting nantinya. Lagi-lagi, Aska memuji Juna akan hal sederhana yang telah Juna lakukan untuk meringankan pekerjannya. Dan lagi-lagi juga, Juna kembali dibuat tersenyum senang karenanya.

Aska selalu berhasil membuat Juna tersipu dengan pujian yang sebetulnya sederhana. Memang pada dasarnya, laki-laki April itu senang sekali ketika ia mendapat pujian akan kehebatannya. Apalagi, jika orang yang memujinya adalah orang yang sama dengan laki-laki dambaan hatinya.

“Pinter banget, padahal baru sekali diajarin.” Begitu ucap Aska yang kemudian membuat pipi Juna merona malu.

Juna tampak nggak banyak merenung seperti tadi di perjalanan. Tapi, Aska masih saja pensaran dengan alasan dibalik Juna yang tiba-tiba berubah jadi sedikit pendiam. Mungkin, Aska akan menanyakan hal tersebut ketika keduanya sudah duduk di kursi masing-masing dengan sebuah hidangan makan siang ala Aska.

Memberanikan diri, Aska mulai bertanya pada Juna tatkala keduanya tengah menyantap daging steak buatan Aska.

“Jun, tadi kenapa kok pas pulang dari Indoguna lu kayak diem doang gitu?” tembak Aska pada intinya yang kemudian membuat Juna berhenti mengunyah makanan di dalam pipinya.

“Um....” Juna sempat bergumam, memikirkan jawaban yang tepat. Berusaha mencari jawaban yang nggak akan membuat suasana menjadi buruk, namun dirinya nggak kunjung menemukannya. Hingga pada akhirnya ia terpaksa jujur. “I... met my ex.

Tersirat nada ragu di dalamnya, ragu-ragu akan haruskah ia berkata jujur atau sebaiknya enggak. “Bingung juga, ya? Why do we keep bumping into each other's ex, sih? Hahah.” Juna tertawa canggung.

“Oh, ya?” Aska tampak tertarik akan topik tersebut. “Yang mana? Gue nggak liat, ya?”

“Dia ada di kasir sebelah. Gue sadarnya waktu lagi nengok.” Juna bercerita apa adanya, nggak ada lagi yang bisa ia tutup-tutupi. “He was with his boyfriend... kayaknya? Gue nggak tau juga, sih, tapi kemungkinan besar iya. Cowoknya itu adek kelas gue juga.”

“Oh....” Aska mengangguk-anggukan kepalanya. “So you're one year older than your ex?

Yup.” Juna melemaskan bahunya yang sedari tadi terlihat tegang. “We ended things on bad terms. It was... well, I would say that I'm the one who was at fault.

“Oke....” Aska mencoba menahan dirinya untuk bertanya jauh lebih dalam sebab ia tahu Juna mungkin nggak menyukai topik ini. “Oke, oke, gapapa. Nggak usah dibahas lagi, ya?” Ia tersenyum, berusaha mencairkan suasana.

“Tapi, lu mau tau nggak?”

As what you've said before, gue nggak bakal maksa lu buat cerita. Kalo lu mau cerita, ya, silakan, gue bakal dengerin. Tapi, kalo lu nggak mau cerita, ya, nggak masalah juga.”

Lelaki April di hadapannya termenung, terlihat menimbang-nimbang haruskah ia membeberkan semua yang terjadi pada masa lalunya atau justru lebih baik diam. Dan akhirnya, pilihannya jatuh pada,

I'm sorry....” Ia memilih diam.

Don't be.” Aska menyunggingkan senyumnya, mengusap punggung tangan Juna yang tergeletak begitu saja di atas meja makan.

“Lu gapapa sekarang?” lanjut Aska. “Maksud gue, kalo gue 'kan udah bilang gue sekarang nggak ngerasa kenapa-kenapa. Nah, kalo lu sendiri gimana, Jun?”

“Awalnya, gue kira gue udah nggak bakal kenapa-kenapa kalo gue ketemu dia lagi, tapi tadi ternyata gue masih ngerasa kayak ada yang ganjel,” jawab Juna dengan raut kebingungan yang terpatri pada wajahnya. “We haven't had our closure yet, waktu itu gue cuma mutusin dia dan ya udah, sisanya dia tau masalah gue dengan menerka-nerka. Kita berdua juga udah nggak pernah ngobrol lagi habis itu.”

Bibirnya terkatup rapat-rapat, Aska merasa seperti berada di posisi mantan lelaki di hadapannya. Rasanya memang kurang mengenakan jika suatu hubungan tiba-tiba diputuskan sepihak saja. Maka dari itu, Aska nggak ingin berkomentar lebih lanjut mengenai hubungan Juna di masa lalu.

“Um... habis ini main di ruang baca aja mau nggak?” usul Aska, berusaha mengalihkan topik pembicaraan. “Sebenernya nggak buat baca doang, sih. Tapi, biasanya papa kalo butuh baca-baca dan nyari referensi, ya... di situ. Kalo gue... yah, paling cuma gue pake buat nonton, soalnya ada home theater-nya juga di sana.”

Juna menyimpulkan senyumnya, berusaha nggak mengacaukan suasana hari ini. “Boleh....”

“Enak nggak itu masakan gue?”

“Enak.” Ibu jari Juna mengusap punggung tangan Aska yang kebetulan masih setia bertengger di atasnya. “Bener kata Om Saka. Masakan lu selalu enak.”

Sebisa mungkin, Juna berusaha menghilangkan pikiran-pikiran kurang mengenakan yang menempel pada lobus otaknya. Nggak ingin membuat acara sederhana hari ini menjadi kacau karena ulahnya.

Ruang baca yang dimaksud oleh Aska sebenarnya nggak bisa dikatakan sebagai ruang baca juga. Ruangan ini terlihat bisa dipakai untuk kegiatan apa saja, mungkin kita bisa menyebutnya sebagai ruang serbaguna.

Juna mengambil tempat duduk di atas sofa, sementara Aska sempat mengambil laptopnya di lantai bawah sebelum menyusul Juna di lantai atas. Juna mengedarkan pandangannya ke sudut-sudut ruangan. Ayah aska itu sepertinya memiliki selera yang tinggi dalam hal mendesain bangunan. Rumah yang hanya ditinggali oleh Saka, Aska, beserta beberapa ART yang sesekali datang itu memiliki seni di setiap sisi ruangan, membuat siapa-siapa saja yang masuk menginjakkan kaki merasa nyaman untuk tinggal di dalam sini.

“Nih, mending....” Aska menyalakan laptopnya sembari terduduk di atas karpet bulu-bulu yang menutupi sebagian lantai kayu ruangan. “Kita belajar buat UAS Kalkulus aja. Kalku kita sama-sama Rabu 'kan ujiannya?”

Akhirnya, Juna memilih untuk ikut duduk di atas lantai, menyenderkan tubuhnya pada sofa di belakangnya. “Boleh, boleh. Mau belajar yang mana emang?”

“Ini lho, Jun. Gue masih kurang ngerti yang bagian integral tak tentu.” Aska menunjuk layar laptopnya yang menampilkan slide materi Kalkulus.

“Bagian mananya yang lu nggak ngerti?”

“Gue, tuh, bingung soal yang x e x e ini, coba lu liat. Bisa-bisanya soal Matematika sekarang cuma ada huruf, nggak ada angkanya sama sekali. Apa yang mau gue itung siaaal?”

Juna tergelak mendengar keluh kesah lelaki di sampingnya itu, yang nggak pernah gagal menimbulkan senyum dan bahkan tawa pada hari-harinya. “Hahahah! Tenang, tenang, jangan dibikin pusing. Kalo gue, sih, ya... kalo nemu soal kayak begini, biasanya gue misalin dulu. Jadi, u-nya itu....”

Perjalanan siang menuju sore hari itu dihabiskan keduanya untuk mempelajari mata kuliah yang akan diujikan pada hari Rabu besok. Juna memang sosok yang mudah paham akan materi baru dan beruntungnya nggak juga mudah lupa. Soal-soal yang telah ia pelajari pada pertemuan-pertemuan sebelumnya nggak akan dengan mudahnya hilang dari ingatan laki-laki tersebut.

Hingga linear pada arloji yang melingkar pada pergelangan tangan Juna dan Aska menunjukkan angka empat, keduanya pun memutuskan untuk beristirahat sejenak. Aska menyingkirkan laptop di hadapannya sembari mengistirahatkan kepalanya ke belakang, sementara Juna menyelonjorkan kakinya sembari menaruh beban kepalanya di atas pundak Aska.

Tentu hal tersebut membuat jantung Aska seolah melewatkan satu degub yang berharga, namun kemudian aliran darah di bawah permukaan kulitnya terasa berdesir begitu cepat. Ia nggak berusaha menyingkirkan kepala Juna yang kini dengan nyamannya beristirahat di atas pundaknya, maka Juna sendiri pun terlihat nggak ingin mengubah posisinya sebab nggak ada penolakan yang diajukan oleh laki-laki Agustus di sampingnya.

Keduanya terdiam untuk rentang waktu yang cukup lama. Hingga Aska mencoba untuk menepuk paha Juna yang menempel pada pahanya.

“Jun?”

Nggak ada jawaban.

“Juna?”

Baik, sepertinya lelaki yang bernama Juna itu telah memasuki alam mimpinya. Aska hanya bisa menelan ludahnya, merasa kikuk akan posisi keduanya sekarang ini. Bagaimana jika nanti ayahnya pulang dan menemukan mereka berdua yang sedang berada di posisi seperti ini?

Ah, persetan dengan hal itu. Sepertinya Juna memang butuh waktu untuk beristirahat sejenak. Maka, Aska pun membiarkan Juna tertidur di atas pundaknya, sementara dirinya hanya termenung memperhatikan detak jarum pada arlojinya.

Impulsif, Aska memutuskan untuk mengangkat sebelah lengannya. Membawa telapaknya yang hangat untuk menangkup pipi kiri Juna yang dingin terkena terpaan udara AC. Ibu jarinya bergerak perlahan, mengelus pipi tirus laki-laki tersebut.

Tertegun, Aska berusaha mengatakan, “Gapapa, Jun. People make mistakes and we haven't been taught on how to love someone properly even once in our life. Learn from it, semoga... mantan lu sekarang udah jauh lebih baik kondisinya, kayak gimana sekarang gue udah jauh lebih baik waktu akhirnya gue ketemu sama orang kayak lu.”

Sekuat tenaga Juna menahan dirinya untuk meneteskan air mata selagi kedua kelopak matanya terpejam.

Dirinya belum tertidur pulas dan ucapan Aska meninggalkan pesan yang bermakna pada lubuk hatinya yang paling dalam.

Juna bersumpah akan memukul dirinya kencang-kencang jika ia dengan bodohnya mengulangi kesalahan yang sama pada lelaki yang kehadirannya telah memberikan warna yang lebih pada kehidupannya.

Minggu ini berlalu dengan begitu cepat atau seenggaknya bagi Juna dan Aska. Mungkin, masing-masing mereka begitu menunggu-nunggu datangnya hari Sabtu agar dapat menghabiskan waktu bersama sampai-sampai nggak terasa, kegiatan di minggu ini pun usai dan kini waktu bagi keduanya untuk beristirahat sejenak.

Aska tersenyum tatkala maniknya menangkap kedatangan mobil sedan berwarna putih yang ia telah ketahui pemiliknya dari plat nomor yang terpampang. Kaca jendelanya turun, menampakkan lelaki di balik kemudi. Senyumnya kian mengembang seiring jemarinya meraih handle pintu mobil untuk ia buka.

Semerbak wewangian yang memenuhi ruang selalu terasa sama. Harum citrus yang menyegarkan dengan bercampur sedikit teak wood, membuat siapa-siapa saja yang menghirupnya seperti tengah berada pada musim semi. Wangi ini menenangkan, Aska selalu menyukainya.

“Jalan sekarang?”

“Yuk.”

Juna tersenyum, menurunkan rem tangan untuk melajukan kendaraan sedan tersebut. Membawanya melintasi keramaian kota di hari Sabtu malam ini.

Gemerlap lampu yang terpancar dari gedung-gedung pencakar langit tampak begitu cantik, pun sama halnya dengan lelaki yang kini sedang terduduk manis di samping dirinya. Sepertinya, sepulangnya Juna malam ini, pipinya akan terasa pegal sebab ulah senyumnya yang nggak pernah luntur dari wajah tampannya.

Sebelum menyantap makan malam, keduanya sempat bertandang ke barbershop terdekat. Memang sudah niat Juna dari jauh-jauh hari untuk memangkas surainya yang kian memanjang di hari Sabtu ini. Dan Aska pun telah bersedia untuk menemaninya.

“Gimana?” tanya Juna begitu keduanya sampai di mobil dan ia mulai memanaskan mesinnya. “Nggak aneh 'kan?”

Aska bergeleng, lantas menyunggingkan senyumnya. “Looks perfectly fine. Jadi seger liatnya.”

Nice, hahahah.” Juna ikut tersenyum hingga kedua matanya melengkung membentuk bulan sabit terbalik. “Jadi makan taichan 'kan?”

“Jadiii.”

“Oke, deh.” Juna mengangguk-anggukan kepalanya, fokusnya kembali pada jalan di hadapannya. “Tapi, lu pilih dulu mau tempat A atau tempat B.”

Kepalanya menoleh sekilat cahaya, kedua alis Aska kini tampak bertaut. “Bedanya apa?”

“Ya... pilih aja dulu. Nanti juga lu tau.”

“Ya udah A aja.”

“Siaaap.”

Juna membelokkan kemudi, menepikan kendaraannya pada bahu jalan. Hingga seorang juru parkir menghampiri mobilnya, baru ia akhirnya dapat memarkirkan sedan pemberian sang ayah pada salah satu gerai minimarket yang berjarak beberapa meter dari gedung STC Senayan.

Keduanya sama-sama keluar dari dalam mobil. Juna tersenyum mengajak Aska berjalan beriringan untuk dapat sampai pada warung tempat mereka berdua akan mengisi perut.

Sate Taichan Bang Oshin.

Warung sate ini ramai dan sepertinya akan selalu ramai. Puluhan muda-mudi lainnya tampak turut ingin menyantap makanan di tempat yang sama dengan tempat pilihan Juna dan Aska.

Juna mengambil alih jalanan di bagian kanan, melindungi Aska dari kemungkinan desakan orang lain. Begitu keduanya sampai di area depan, Juna tampak mengulurkan lengannya untuk bisa digandeng oleh Aska.

Sedikit ragu untuk menerima, namun pada akhirnya Aska memilih untuk menggaet lengan kiri Juna. Sementara Juna mengomando arah jalan di depan, mengucapkan kata 'permisi' berulang kali untuk bisa masuk mencari tempat duduk.

Selalu seperti ini. Pemuda kelahiran April tersebut selalu berusaha mencari cara untuk melindungi lelaki dambaannya itu. Membuat Aska jadi merasa nyaman selama ia berada di dekat pemuda itu.

Juna memesankan makanan untuk keduanya. Dan ketika dirinya tengah memperhatikan keadaan sekitar, perhatiannya jatuh pada seorang laki-laki entah siapa yang terus-terusan menatap Aska yang sedang terduduk sendirian menunggu dirinya kembali ke tempat. Dahinya mengernyit, menerka-nerka alasan di balik laki-laki tersebut yang tampak nggak melepaskan pandangannya pada Aska.

Hey,” sapa Juna begitu ia kembali.

Aska pun mendongakkan kepala, mengalihkan pandangan dari ponsel pada genggamannya. “Udah dipesen?”

“Udah.” Juna mengangguk. “Tapi, lu....”

“Kenapa?”

“Nggak, deh.” Kepala Juna bergeleng, mengusir pikiran yang sempat mengganggunya. “Nggak jadi.”

“Oke.”

Makanan yang Juna pesan sampai. Dua porsi sate berikut karbohidratnya. Mata Aska berbinar menatap makanan di hadapannya. Seperti sudah lama sekali sejak dirinya terakhir kali menyantap sate ayam berbumbu asin pedas ini.

“Gimana enak nggak?” Juna bertanya setelah Aska menyuap makanannya, meminta pendapat yang ia tunggu-tunggu.

“Hm... enak-enak aja, sih.”

“Wah, berarti kalo gitu lu harus nyoba yang tempat B, sih.”

“Hah?” Dahi Aska berkerut. “Emang kenapa kalo di tempat B?”

“Kalo di sini aja lu bilang enak, berarti nanti di tempat B lu bakal bilang enak banget.” Juna mengunyah makanannya sebelum lanjut berbicara. “Dagingnya nggak setebel di sini, tapi lebih juicy. Kalo di sini rasanya rada dry gitu 'kan?”

“Hahahah.” Aska tergelak. “Tau-tauan aja lu istilah juicy.

“Kalo urusan makan doang gue tau,” balas Juna enteng, “beda cerita kalo urusan masak.”

“Hafal, ya, lu sama tempat-tempat makan di Jakarta? Padahal 'kan aslinya Bogor.”

“Semua Jabodetabek gue hafal.”

“Halaaah.” Aska berkata dengan nada yang meledek.

“Lho? Beneraaan.”

“Terus tadi kenapa nggak langsung ke tempat B aja?”

”'Kan lu yang milih tempat A?”

Aska menghela napasnya pelan. “Ya kalo lu udah tau lebih enak di tempat B kenapa nggak langsung ke sana aja, Junaaa?”

“Ya udah, lu mau ke tempat B?”

“Mau dong. 'Kan katanya lebih enak.”

Juna menyunggingkan senyumnya usil. “Oke gampang. Besok-besok kalo lu mau taichan, gue bawa ke tempat B.”

“Yeee, ini mah emang akal-akalan lu aja biar bisa jalan terus sama gue.”

Tanpa merasa berdosa, Juna tergelak. Melempar kepalanya ke arah belakang, tertawa hingga menitikkan setitik air mata. Tertangkap basah ingin kembali mengajak Aska untuk makan bersama.

Keduanya sangat menikmati waktu ketika sedang berdua. Bahkan rasa-rasanya, Aska nggak peduli dirinya mau dibawa ke mana asalkan orang yang menemaninya itu nggak lain dan nggak bukan adalah Juna.

Makanan di atas piring mereka berdua telah tandas. Aska menyukai makanan di tempat yang ditawarkan oleh Juna. Ketika Juna hendak membayar, Aska buru-buru melarangnya. Setelah keduanya melalui perdebatan panjang, Juna baru akhirnya bersedia untuk dibayari makan malam. Asal sepulang keduanya dari tempat ini, Aska bersedia untuk dibelikan segelas kopi dingin, melengkapi sesi makan malam hari ini.

Juna mengekor ketika Aska beranjak untuk membayar total pesanan keduanya. Dan tiba-tiba, laki-laki yang sempat ia pertanyakan tadi menghampiri keduanya. Sepertinya benar dugaan Juna, sosok lelaki itu memang tampak mengenal Aska.

“Aska?”

Yang dipanggil menolehkan kepalanya ke sumber suara. Matanya membulat kaget sampai-sampai seluruh pergerakannya terhenti.

“Kak Deehan?”

Lelaki yang kini Juna ketahui namanya tersenyum pelan, seperti bersyukur dengan fakta bahwa Aska masih mengenalinya.

“Apa kabar, Ska?”

Aska bertukar pandang dengan Juna, sementara Juna hanya bisa tersenyum kikuk nggak tahu harus merespon apa.

“B-baik, Kak. Kak Deehan sendiri...?”

Never been better than before.

Jawaban singkat tersebut harusnya bisa meremukkan bagian dari hati Aska karena lelaki tersebut tampak baik-baik saja setelah pergi meninggalkannya. Namun ternyata, ia justru nggak merasakan apa-apa. Nggak ada sedikit pun sesak yang ia rasakan di dalam rongga dadanya.

“Oh....” Aska tersenyum. “Baguslah, Kak.”

I was wondering dari tadi... bener nggak, ya, yang gue liat itu Aska? Eh, waktu gue liat dari deket ternyata beneran Aska.”

“Emang Kak Deehan ngapain di sini?” tanya Aska berbasa-basi.

“Makan aja, sama bungkusin buat Fio.”

Ah, Fiona.

Nama yang terdengar familier. Dan tentu saja familier sebab Deehan telah beribu-ribu kali menceritakan Aska tentang cinta pertamanya itu.

“Oh... Kak Fio gimana kabarnya, Kak?”

She's good.

“Ah, oke.” Aska tersenyum sembari mengusap tengkuknya. “Bagus, deh, kalo gitu.”

“Ini yang waktu itu ada di story lu, Ska?”

Entah ide dari mana, tiba-tiba saja Deehan menembakkan pertanyaan tersebut. Membuat Juna terdiam mematung, nggak tahu harus menjawab apa.

Sementara itu di sampingnya, Aska justru dapat menjawab pertanyaan Deehan dengan begitu berani. “Iya, Kak.”

“Oh, bagus, bagus. Langgeng-langgeng, deh, ya.” Deehan menepuk bahu Juna singkat. “Kalo gitu, gue duluan, Ska.”

“Iya, Kak. Hati-hati.”

Dengan itu, Deehan pergi meninggalkan Juna dan Aska. Setelahnya, nggak ada percakapan yang tercipta di antara mereka berdua sampai deru mesin mobil Juna terdengar pada rungu masing-masing manusia di dalam mobil tersebut.

“Lu nggak mau tau yang tadi itu siapa?” Dengan berani, Aska mulai membuka percakapan, nggak mau terus-terusan berdiam diri dengan Juna.

“Mau, tapi kalo lu nggak mau cerita duluan, ya... gue nggak akan maksa juga.”

“Mantan.”

Juna terdiam untuk sesaat, berusaha memproses jawaban yang diberikan oleh Aska.

“Tapi, nggak bisa gue sebut mantan karena kita nggak pernah pacaran.” Aska menjawab dengan pandangan yang masih mengarah ke depan. “Long story short, kita deket banget sampe orang-orang ngira kita pacaran. Tapi, dia nggak pernah mau ngebawa hubungan kita ke mana-mana dan ujung-ujungnya dia malah balikan sama mantannya, his first love. Jadi, yah... mungkin dia waktu itu cuma butuh gue karena dia butuh orang buat diajak ngobrol? Tapi, bodohnya gue malah baper sama dia.”

You okay?

Dahi Aska mengernyit, kepalanya menoleh. “I'm sorry?

“Lu gapapa?”

Manik keduanya saling bersitatap untuk beberapa saat. Deru mesin mobil terdengar kencang mengalahkan sunyi yang tercipta pada atmosfer ruangan.

“Gue....”

Jemari Juna terangkat, hendak menyingkap poni yang hampir menutupi pandangan Aska. Ketika sang empunya nggak menunjukkan tanda-tanda penolakan, lantas ia lancarkan aksinya tersebut.

You good?” tanya Juna sekali lagi. “Must've been hard to see his face again after a while, am I right?

Nope.” Aska bergeleng yakin. “Suprisingly, it's not. Gue cuma kaget aja bisa tiba-tiba ketemu, tapi habis itu nggak ada perasaan apa-apa lagi.”

Alright. Glad to hear that.” Juna menyimpulkan senyumannya. “So things are going fine? Udah bisa damai sama semuanya?”

“Kayaknya udah karena gue juga nggak tau kenapa bisa biasa aja sekarang. Padahal sebelum ini gue kira gue nggak bakalan bisa natap matanya lagi, tapi liat 'kan tadi?” tanya Aska, meminta validasi dari lelaki di hadapannya. “Gue nggak kenapa-kenapa pas diajak ngobrol. Yah... mungkin canggung dikit, tapi gue nggak ngerasa sedih atau gimana-gimana gitu.”

You happy?

“Sama kayak jawaban dia, never been better than before.

Keduanya terkekeh. Aska merasa senang sebab ia sudah nggak dihantui rasa-rasa kurang mengenakan terkait kakak kelasnya dulu ketika ia masih mengemban pendidikan sekolah menengah atas.

“Gue ikut seneng kalo lu seneng.” Juna menepuk pelan puncak kepala Aska, memberikan efek gelenyar menggelikan di dalam perut Aska.

Bukan hal yang mudah untuk dilalui bagi Aska ketika ia menerima fakta kalau seniornya itu nggak benar-benar menyukainya. Dibanding dengan pribadinya, Deehan justru lebih menyukai kehadiran Aska. Kehadiran tersebut dianggap dapat menemani hari-harinya yang sepi tatkala kekasihnya memutuskan untuk pergi dari hidupnya. Dan ternyata, semuanya terasa sia-sia ketika Aska mendengar kabar kalau Deehan kembali menjalin hubungan dengan kekasih lamanya.

Sedih pastinya. Aska sempat menghabiskan berbulan-bulan lamanya untuk bertanya pada dirinya sendiri tentang apa yang kurang sampai-sampai ia nggak bisa membuat laki-laki itu jatuh hati padanya. Juga menerima pertanyaan dari teman-temannya tentang kelanjutan hubungan mereka berdua, padahal dirinya sendiri nggak kunjung menemukan alasan dibalik Deehan yang datang dan pergi sesuka hatinya.

Namun, pada akhirnya Aska tahu kalau kehidupannya nggak berjalan mundur. Cepat atau lambat, ia harus belajar berdamai dengan keadaan dan tetap berjalan maju. Pada hari inilah dirinya kemudian paham jika ia sudah nggak lagi merasakan pilu ketika pandangannya jatuh pada sosok masa lalunya.

Senyuman tulusnya terpancar, Aska menatap sosok di samping dirinya yang tengah fokus mengemudi. Keduanya sempat menjumpai Yesha, kakak kandung Juna, di apartemen tempat wanita berusia 22 tahun itu tinggal. Hendak memberikan makanan yang Juna sempat pesan kala mereka berdua menyantap makan malamnya.

“Eh? Aska, ya?” Sang kakak langsung bertanya begitu mobil sedan Juna sampai di depan lobi dan pemuda tersebut menurunkan kaca jendela. “Haiii, ya ampun akhirnya ketemu juga kita. Kenalin, aku tetehnya Juna.”

Aska sempat berpikir sejenak, merasa bingung dengan fakta bahwa kakak kandung Juna telah mengetahui namanya. “O-oh, iya. Halo, Kak,” balasnya dengan ramah.

Secara tiba-tiba, sosok laki-laki dengan perawakan yang gagah ikut menghampiri Juna dan Aska dengan merangkul pinggang kakak kandung Juna. “Eh, Juna. Nggak sendirian, nih?”

“Kak Aldo.” Juna menyapa pria yang kini Aska ketahui namanya itu. “Iya, habis makan bareng, Kak.”

“Oh... iya, iya. Siapa namanya?”

“Ih! Kamu lupa?” Yesha menepuk pelan dada pria tersebut. “Ini yang waktu itu aku ceritain.”

Baik itu Juna maupun Aska, keduanya sama-sama terbelalak. Astaga, apa yang baru saja kakak Juna katakan?

“Aku lupa namanya. Ya udah, kenalan dulu, deh.” Pria bernama Aldo itu menjulurkan lengannya. “Aldo. Pacar tetehnya Juna.”

Aska tersenyum kikuk, membalas jabatan tangan dari Aldo. “H-halo, Kak Aldo.”

“Santai aja, Aska. Pacar aku nggak gigit, kok.”

“Ya udah, Teh, ini sate lu.”

Dengan mata yang berbinar-binar, Yesha menerima pemberian adik tengahnya itu. “Oke, makasih Aa’. Hati-hati pulangnya.”

“Lho, nggak mampir dulu, Jun?” tanya Aldo.

“Wah, kapan-kapan, deh, Kak. Udah jam segini soalnya.”

Jawaban Juna dibalas dengan anggukan singkat dari Aldo, sebelum akhirnya Juna kembali bersiap-siap menurunkan rem tangan, mengendarakan mobilnya pulang ke Depok.

“Duluan, ya, Teh, Kak.”

“Aska pamit dulu, Kak Yesha, Kak Aldo.”

Yesha tersenyum selebar-lebarnya, melambaikan tangannya tanda berpamitan. “Iya, Aska. Nanti kita double date, ya, kapan-kapan!”

“Aduuuh, jalan sekarang, deh, Aa'.” Juna menurunkan rem tangannya dengan terburu-buru. “Duluan, ya.”

Keduanya sempat kembali berdiam diri, enggan membuka mulut untuk bersuara. Merasa canggung setelah ujaran double date yang dilontarkan oleh sang kakak.

Bahkan sampai ketika mobil sedan Juna berhenti tepat di depan pagar indekos tempat Aska tinggal, Juna masih dapat merasakan suasana mobil yang begitu canggung.

“Ah, oke, canggung banget.” Juna akhirnya memberanikan diri untuk berbicara. “Sorry, Aska. Teteh suka begitu kalo ngomong, ceplas-ceplos aja.”

“Um....” Aska mengulum bibirnya. “Iya, gapapa. Agak bingung aja sedikit kenapa Kak Yesha bisa langsung tau nama gue.”

“Soal itu... gue emang pernah cerita beberapa kali ke teteh. Maaf, ya, kalo bikin lu jadi nggak nyaman.”

“Ya udah, gapapa. Wajarlah kakak adek saling nyeritain kehidupan masing-masing.” Aska berusaha mengerti, melepas sabuk pengaman yang melekat untuk bersiap-siap turun.

“Ini kopinya jangan lupa dibawa, Aska.”

“Oh, iya. Thanks, Jun, buat hari ini. Gue turun, ya?”

Sebelum Aska benar-benar turun, Juna terlebih dahulu meraih pergelangan tangannya. “Satu lagi.”

“Iya?” Pemuda itu menoleh, menunggu sebuah kalimat keluar dari belah bibir Juna.

Jemari yang semula melingkar pada pergelangan tangan Aska, kini terangkat untuk mengusap pipi kemerahan Aska dengan ibu jarinya. Menatap manik Aska yang berbinar-binar di tengah gemerlap kota.

“Ehm... this might sounds cheesy. But know that you're worth to be loved,” ujar Juna dengan jeda yang cukup panjang. “Mungkin, kakak yang tadi kesannya cuma ngejadiin lu pelampiasan, tapi lu sebenernya jauh dari sekadar kata itu. Lu selalu pantes buat dapet cinta yang berlimpah ruah, lu nggak cuma sekadar tempat buat didatengin sementara waktu. Semoga lu udah beneran bisa berdamai sama semuanya, ya?”

Aska tertegun, ludahnya ia paksa telan hingga menimbulkan rasa nyeri pada kerongkongannya.

“Nggak ada yang mau liat lu sedih, so please be happy. In case you haven't heard this from someone else, happiness looks good on you. Truly. Dan semoga, gue nggak bakal pernah ngecewain lu, ya, Aska. Makasih udah sama-sama mau nyoba ngejalanin semuanya bareng gue.”

Sebuah usapan lembut kembali dapat Aska rasakan pada pipinya yang kemerah-merahan. Dan kini Aska sepenuhnya paham,

Dirinya memang telah jatuh sedalam-dalamnya.

“Hai, hehehe.”

Juna dengan senyuman khasnya, beserta kedua mata manisnya yang turut tersenyum ketika kedua ujung bibirnya tertarik ke atas. Tiba-tiba sampai di depan pagar sembari menenteng tas kain berisikan peralatan menggambar.

“Dia beneran ke sini dong....”

“Ya bener, 'kan lu udah ngebolehin. Kecuali lu nggak ngebolehin, ya gue tetep tiduran di kasur kosan.”

“Ya udah, masuk.”

Keduanya melangkah masuk ketika Aska telah memastikan kalau kunci pagarnya telah terpasang dengan sempurna. Gedung indekos ini terbagi menjadi beberapa lantai dan Aska mengajak Juna untuk naik ke lantai dua, tempat kamarnya berada. Di lantai itu juga terdapat area untuk berduduk-duduk santai, dapat digunakan penghuni untuk bercengkerama.

Juna meletakkan tasnya di atas meja kemudian duduk pada salah satu kursi yang tersedia. Sinar matahari sore yang masuk melalui jendela menerpa kulit wajahnya, membuat Aska yang memandangnya menjadi tersenyum untuk sekilas. Lelaki itu tampak sama hangatnya dengan mentari sore.

“Buku gambar apa, sih?”

“Ini lho....” Juna mengeluarkannya dengan penuh semangat, sebuah buku mewarnai bersampul biru beserta krayon dengan 24 warna yang berbeda-beda.

“Lu punya krayon di kosan?”

“Enggak, ini tadi beli di fotokopian. Yang deket warteg itu, tau nggak?”

Aska menatapnya dengan sedikit nggak percaya. “No way... lu nggak baru aja beli krayon cuma buat ngewarnain bareng gue....”

I did, hehe.” Cengiran Juna terpampang nyata, tangannya sibuk membuka krayon di hadapannya. Halaman buku mewarnai itu ia bolak-balik, memilih gambar mana yang ia akan warnai hari ini.

“Machu Picchu...” Juna menyebutkan nama halaman yang terpampang. “Wah, kayaknya menantang, nih, ngewarnain yang ini. Mau ah coba. Nanti lu coba lanjutin, ya?”

Jemarinya meraba deretan krayon, memilah-milah warna apa yang akan cocok untuk mewarnai objek di hadapannya. Pilihannya jatuh pada warna abu-abu muda. Ibu jari beserta telunjuknya bekerja sama untuk mewarnai bagian terbesar pada halaman tersebut.

Aska hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya, kemudian mulai menopang dagunya di atas meja untuk memperhatikan lelaki di hadapannya itu. Tawanya lolos begitu saja ketika ia memikirkan betapa kekanak-kanakannya perangai asli lelaki tersebut. Namun sepertinya, Juna terlampau fokus mengerjakan pekerjaannya hingga ia nggak sadar kalau Aska baru saja menertawakannya.

Tanpa Aska sadari, ia menyunggingkan senyum yang begitu tulus pada wajahnya. Bahwa sepertinya, ia memang sudah mulai menaruh perasaan pada lelaki yang baru ia kenal di dunia perkuliahannya.

Sama sekali nggak menyangka kalau pada akhirnya Aska dapat membuka hati lagi pada manusia baru di hidupnya sebab ia pikir, ia sudah nggak ingin lagi dipatahkan hatinya oleh manusia lain lantaran kali terakhir ia merasakan hal itu, dirinya merasa seperti dunia baru saja berhenti berjalan. Hingga waktu perlahan menyembuhkan lukanya dan ia dapat kembali mencintai dirinya sendiri, mulai memahami kalau lelaki di masa lalunya memang bukan diciptakan untuk dirinya.

Pikirannya kembali ke masa kini ketika ia tiba-tiba merasa aneh dengan halaman yang sedang diwarnai oleh Juna.

“Ih, Juna. Kok lu pake warna abu-abu, sih? Machu Picchu bukannya ijo-ijo gitu, ya?”

Juna mendongakkan kepalanya. “Masa?”

“Iya, sumpah. Ini, tuh, kayak... pegunungan? Bukit? Ya, pokoknya itu, deh.”

Pemuda April itu tampak nggak percaya dengan omongan laki-laki di hadapannya. Dirogohnya kantong sweatpants yang tengah ia kenakan untuk mengeluarkan ponselnya. Mengetik nama 'Machu Picchu' pada kolom pencarian.

“Lah, iya... hahaha!” Juna menertawakan kebodohan dirinya sendiri. Menatap bukit pada halaman buku mewarnainya yang telah sepenuhnya ia warnai dengan warna abu-abu. “Bodoh, dah.”

Aska ikut terkekeh, menggeleng-gelengkan kepalanya. “Ya udah, nggak usah dilanjut. Mungkin lu emang nggak bakat.” Ditariknya buku mewarnai bersampul biru itu dari hadapan Juna, membuat pemuda itu jadi menatap kedua matanya.

“Jun,” panggil Aska.

“Kenapa, Aska?” jawab Juna dengan mengayun nadanya di akhir kalimat.

Aska tersenyum mendengar jawaban Juna dari sapaannya. Ia sendiri sadar kalau Juna selalu memanggilnya dengan lengkap, nggak pernah memenggal suku kata yang membentuk namanya itu. Suatu hal sederhana yang Aska anggap lucu.

“Makasih, ya, udah bantuin gue tadi pagi. Tapi harusnya lain kali, jangan sampe jadi ngorbanin diri lu sendiri.”

Juna tersenyum sekilas. “Sama-sama, tapi itu emang gue yang mau kok.”

“Iya, tapi 'kan jadi lu yang dihukum gara-gara pake sendal ke kelas. Itu juga masih untung lu nggak diusir. Kalo beneran diusir 'kan gue jadi nggak enak, Jun.”

“Tapi faktanya 'kan gue nggak diusir?” Juna masih berusaha menjelaskan. “Gue cuma disuruh jawab-jawabin soal kok. Gapapa lagi, gue malah jadi paham banget sama materi yang tadi dijelasin dosennya.”

“Ya udah, makasih....” Aska menghela napasnya pasrah.

Sementara, Juna kini tersenyum sempurna. “Iya, Aska, sama-sama. Gue, tuh... um... gimana, ya, bilangnya?” Ia menggaruk-garuk kulit kepalanya kebingungan.

“Bilang apa?”

“Gue nggak ngerasa jago ngerangkai kata, tapi yah... intinya lu harus tau kalo gue emang seneng ngelakuin apa-apa buat lu karena lu tau? Lu udah ngasih balesan yang lebih-lebih dari semua effort yang udah pernah gue kasih. Lu selalu bisa ngebuat gue tenang dari kata-kata lu, dari kehadiran lu. This is the least that I can do, kalo lu nggak sadar lu bahkan udah ngelakuin lebih dari apa yang udah gue lakuin. It's like....” Juna menelah ludahnya gugup. “You give me a sense of warmth that I doubt I could get it from anybody else. And I'm thankful for that.

Okay, I get it.” Aska mengelus puncak kepala Juna. “Gue ngerti, kok. What do you mean lu nggak jago ngerangkai kata? You're so good at expressing how you're feeling towards someone. Gue bilang apa 'kan? Makanya lu, tuh, harus nyoba biar terbuka dan mau cerita ke orang lain tentang apa yang lagi lu rasain, termasuk ke gue. I also wanna know your story. Bagus, tuh, kemaren lu mulai jujur kalo mood lu sempet turun.”

“Haha, dibahas lagi....” Juna terkekeh.

“Lho, bener?” Aska menegapkan tubuhnya. “Gue suka kalo gue tau lu lagi ngapain, lu lagi kenapa. Jadi, nggak cuma gue doang yang diperhatiin di antara kita berdua. Gue nggak mau ngebuat semuanya jadi cuma tentang gue, walaupun kita berdua tahu semua ini dimulai dari diri lu, tapi gue nggak mau egois.”

So it should be equal, between you and me?

Yeah, 'cause that's how a relationship works.

And that's when Juna knows that has found the perfect person for him and he promises that he'll try to become the best version of himself so that he can also be the perfect person for Aska.