320

CW // mention of infidelity


Kembali ke realita, Juna pulang ke rumah dengan diserbu puluhan chat dari teman-teman seangkatannya mengenai rekrutmen keorganisasian di semester yang akan datang. Hanya dengan melihat chat tersebut kepala Juna sudah dibuat pusing, maka seenggaknya ia akan berusaha menikmati waktu liburnya sebelum tugas-tugas rekrutmen menyerang.

Konteks menikmati waktu liburan tersebut termasuk menemani Aska ke tempat pembuatan tembikar, tempat yang Juna rekomendasikan pada Aska tempo waktu lalu. Jadi hari ini di sinilah mereka berdua, duduk berhadap-hadapan dengan tanah liat padat di hadapan masing-masing. Juna sibuk membentuk bunga, sementara Aska mencoba membuat asbak rokok berbentuk hati.

Tempat pembuatan tembikar ini berlokasi di Setiabudi, Jakarta Selatan. Dan ajaibnya Juna sudah mengetahui keberadaan tempat ini sejak beberapa waktu yang lalu.

Kendati bertempat tinggal di kota yang berbeda, Juna tetap hampir hafal akan seluruh seluk beluk ibu kota. Aska hanya tinggal menyebut tempat seperti apa yang ingin ia kunjungi dan Juna akan selalu mengerti harus membawanya ke mana.

This place is so pretty.” Juna berujar dengan fokusnya yang masih tertuju pada tanah liat yang sedang ia bentuk dengan jemari-jemarinya.

Memang benar. Tempat ini dipenuhi dengan karya-karya seni yang memukau. Bahkan, orang-orang yang terbilang awam soal seni akan tetap memandang dan mengagumi tiap-tiap karya yang ditempatkan pada hampir setiap sisi ruangan.

Right.” Aska berangguk, memberikan respon setuju. “Tau aja sih, Jun, tempat-tempat begini. Keren, deh, lu.”

Juna memberikan senyum termanisnya ketika Aska berkata demikian, kemudian memperluas topik pembicaraan ke ranah pribadinya.

My mom would like it here. Kapan-kapan gue ajak mami ke sini kali, ya?”

“Coba aja.” Aska tersenyum, hatinya menghangat ketika Juna teringat akan sosok sang ibu sewaktu maniknya menangkap hal-hal yang indah. “Mami lu emang suka beginian?”

She's a person with a high sense of art. Mami lebih suka seni daripada ilmu eksak,” jawab Juna dengan penuh percaya diri, seolah memang dirinyalah yang paling mengerti sosok ibundanya. “Nge-design gaun wedding, main piano, ngelukis, ngedekor kue ulang tahun... mami suka semua yang ada seninya.”

“Oh, wow... pantes waktu gue ketemu di Bali kemaren mami lu kayak... fashionable, cantik, anggun. Pokoknya gitu, deh.”

Right?” Juna sempat mendongakkan kepala, melempar tatapnya sekilas pada Aska sebelum kembali fokus pada tanah liatnya. “And my dad always got no time for that.

Untuk ucapan itu, Aska termenung. Ia belum sepenuhnya mengerti akan pesan tersirat yang Juna coba curahkan.

She loves everything about art. She teaches art to the three of her children, even though none of them ended up liking it. Cuma adek gue yang punya bakat nyanyi, terus sisanya... yah, nggak ada yang suka, sih.” Juna terkekeh, mengingat bagaimana dulu sang ibu gemar mendaftarkannya ke banyak tempat les yang berbau seni.

Well... she loves it, really. Mami masih suka dateng ke art exhibiton kenalannya, mami masih suka nonton choir, and stuffs. But my dad always got no time for that.” Juna menelan ludahnya. Mengingat-ingat masa lalunya memang sudah nggak menyesakkan dadanya, namun ia masih sedikit suka merasa kecewa. “Think we should always make time for our loved ones, but my dad is a work-oriented person, a hardworking person, jadi papi selalu nggak punya waktu buat mami yang family-oriented person. Nggak tau juga, sih, papi beneran nggak punya waktu atau emang dasarnya nggak mau nyempetin aja.”

Aska masih nggak tahu harus merespon Juna dengan tanggapan seperti apa sebab dirinya nggak pernah melalui hal berat itu. Ayahnya merupakan pekerja keras, namun anak sematawayangnya itu tetap selalu menjadi prioritas.

“Papi kerjanya selalu bolak-balik ke Kalimantan atau Aceh. Sejarang itu gue liat papi di rumah. One time, gue curiga sama papi karena waktu itu papi udah janji mau pulang dari seminggu yang lalu, tapi nggak tau kenapa di-extend-extend terus, padahal mami udah nunggu papi pulang biar bisa quality time sekeluarga. Habis itu, gue emang tau account media sosialnya and this one flirty woman keeps on appearing in his reply section. Gue cerita ke teteh dan teteh malah marah ke gue karena gue curiga nggak berdasar sama orang tua sendiri. Tapi menurut gue, rasa curiga gue tetep valid walaupun nggak berdasar. Gue nggak nyalahin perempuan itu, gue lebih ke nyalahin papi karena nggak seharusnya papi kegoda. Gue coba nyari tau... dan ternyata teteh justru nemu buktinya duluan. Yah... singkat cerita, gue sama teteh udah ngobrol sama papi dan papi ngaku salah. Gue sama teteh mutusin buat nggak cerita soal ini ke mami sama adek dengan alasan gue sama teteh nggak mau ngerusak hubungan orang tua kita sendiri. Tapi ternyata, mami sendiri udah capek dan akhirnya ngajuin buat cerai. Gue nggak tau alasan pastinya, tapi kata mami ini semua udah nggak ada gunanya lagi, mami capek nunggu hal-hal yang nggak pasti.”

Suatu alinea yang panjang dan Aska hanya dapat membungkam mulutnya di sepanjang rentetan kata yang Juna coba susun sedemikian rupa hingga mudah dicerna. Juna really went through a lot.

“Susaaah banget buat maafin papi dan berdamai sama diri sendiri. It affected me too, walaupun gue bukan pelakunya. Selama proses perceraian itu, people said that I slowly turned into my dad, jadi orang yang nggak punya waktu buat partner-nya. I refused to tell my ex about what happened in my life. In short, I left him hanging, sekeras apa pun mantan gue nyoba buat nge-reach out gue, gue terlalu sibuk buat simply stay sane walaupun gue sedih, kecewa, dan marah banget sama semuanya. Padahal nggak seharusnya gue begitu. Dia udah baik mau ngeluangin waktunya buat merhatiin gue di tengah-tengah kesibukannya dan nggak seharusnya isi kepala gue, gue tanggung semuanya sendirian. I still feel sorry for him, I-

Menyadari dirinya terlalu terbawa suasana, Juna menghentikan kalimat. Napasnya tercekat, rahangnya mengeras. Otaknya arus pendek, menatap Aska dengan pandangan yang nggak bisa diartikan. Juna berantakan dan genggaman Aska yang tiba-tiba terasa amat hangat hingga bisa mengembalikan kendali pada lobus otaknya.

Go on, ceritain aja apa yang mau lu ceritain.”

Oh God... I'm sorry....

Nooo, don't be sorry. Lu 'kan cuma cerita.” Aska bergeleng nggak setuju.

But I'm ruining the whole mood.

Nah, you're not.” Lagi-lagi Aska bergeleng, menyanggah argumen Juna. “So... you still feel sorry for your ex?

Untuk sepersekian detik, Juna terdiam membeku. Kemudian otaknya memerintahkan tulang belakang kepalanya untuk berangguk, memberi respon setuju pada pertanyaan yang dilontarkan oleh Aska.

Well, okay....” Aska ikut berangguk-angguk. “Masih ada lagi yang mau diceritain?”

“Intinya itu.” Juna berujar. “Itu masalah yang ada di diri gue. Orang-orang dulu bilang gue sebrengsek itu karena udah nyia-nyiain mantan gue. Padahal mantan gue banyak yang ngincer dan dia lebih milih buat suka sama gue. Dan, ya... gue setuju sama apa yang orang-orang itu bilang.”

But is he happy now? Lu tau nggak kabar dia sekarang?”

I haven't talk to him since the day I broke up with him, well I didn't even give him a proper closure. Tapi, dari yang gue liat di story-nya, dia udah punya cowok. Cowok yang waktu itu nemenin dia belanja, yang waktu itu kita juga belanja daging steak. Dan dari yang gue tau, sih, cowoknya yang sekarang baik banget sama dia. Tapi, ya itu... gue nggak tau dia udah ikhlas maafin gue atau belom.”

Memulai kalimatnya, Aska sempat menghirup oksigen sebanyak mungkin untuk memenuhi ruang pada paru-parunya. “Okay... a little TMI; I, too, still haven't got my closure yet with Kak Deehan. Kak Deehan yang waktu itu lu ketemu juga sama orangnya.” Aska sedang mencoba mengambil dirinya sebagai contoh. “He broke my heart into pieces, but then here I am, in the arms of a right person.

In the arms of a right person, sahutnya. Seseorang itu nggak lain dan nggak bukan ialah Juna, Arjuna Prima Putra yang akhir-akhir ini kerap memberikan warna lebih di dalam kehidupan Aska.

Lantas Aska tersenyum, mengusap punggung tangan Juna dengan ibu jarinya. “Yah... kita belom punya hubungan yang lebih dari temen, sih. But I fully trust you. I'm being happy with my current 'partner' and I forgave Kak Deehan already, walaupun dia nggak pernah bilang maaf secara langsung karena... yah, buat apa gue nyimpen dendam when I'm currently in my happiest state? Cuma nyapek-nyapekin diri sendiri doang kalo gue terus-terusan nggak ikhlas sama perlakuan Kak Deehan. Guess we weren't meant for each other and it's okay.

Penuh perhatian, Aska mengusap pipi Juna dengan ibu jarinya yang bersih. Merapikan rambut pemuda tersebut yang menutupi alisnya. “Take it as an example. Gue berharapnya mantan lu bakal berlaku kayak begitu juga. You said that he's already in the right hands right now, so what's more to ask? Emang udah waktunya buat damai sama diri lu sendiri, sama semuanya juga. Let the past be in the past. Nanti... kalo emang ada kesempatan, coba minta maaf ke mantan lu. Minta maafnya harus dari hati, biar nanti lu nggak ngerasa ada yang ngeganjel lagi, oke?”

Kalimat Aska diakhiri dengan tepukan lembut pada puncak kepala Juna, sedang lelaki itu kehabisan kata. Pemuda di hadapannya terlalu baik untuk bisa menjadi nyata. Juna sangat ingin tahu surga bagian mana yang kekurangan malaikat sebab satu malaikatnya telah diturunkan ke bumi tepat di depan bola matanya.

“Oh! Dan gue nggak tau sesibuk apa papi lu aslinya, tapi beneran enggak. Lu yang sekarang, gue nggak ngeliat lu sebagai orang yang selalu nggak punya waktu. Justru kebalikannya, sesibuk apa pun lu, lu selalu berusaha nyempetin waktu buat ketemu gue, even when I didn't ask you to, lu selalu ada buat gue. Jadi enggak, lu sama sekali nggak kayak papi di cerita lu barusan.” Aska menegaskan argumennya, berkata bahwa sifat Juna yang sekarang tampak sama sekali nggak mirip dengan sifat sang ayah yang ada pada ceritanya.

Lagi dan lagi, Juna memberi peringatan kepada dirinya sendiri bahwa ia akan menjadi orang pertama yang membenci dirinya kalau-kalau ia gagal untuk memberi cinta yang Aska pantas untuk terima.

Hari itu ditutup dengan Juna yang akhirnya membawa Aska ke tempat makan sate taichan di lokasi yang berbeda dari sebelumnya. Tempat sate taichan yang lebih bisa memanjakan lidah Juna.

Tempat ini akan selalu ramai dikunjungi oleh muda-mudi ibu kota, baik itu di hari kerja maupun akhir pekan. Nggak heran kalau tiba-tiba keduanya bertemu dengan sosok yang mereka kenal, seperti....

“Aska?”

Sontak, yang namanya dipanggil menoleh ke sumber suara. Matanya membulat menangkap sosok laki-laki yang barusan memanggilnya.

Bab-

“Kakak!”

Belum sempat laki-laki itu melengkapi kalimatnya, Aska sudah buru-buru menegurnya. Matanya melirik ke sana ke mari, memberi sinyal pada laki-laki tersebut bahwa keduanya sedang berada di ruang publik.

“A-ah... maaf lupa. Aska ngapain di sini?”

“Ih, ya mau makanlah? Ngapain juga Aska ke sini kalo nggak mau makan.”

“Ahahah.” Pemuda tersebut tertawa renyah, ibu jari dan telunjuknya mencubit gemas pipi Aska yang kemerahan sebab dinginnya suhu udara. “Right. Enjoy your dinner, then. And oh... halo, Juna.”

Sama kagetnya dengan Aska, Juna ikut membulatkan matanya sewaktu ia melihat keberadaan kakak tingkat satu jurusannya yang bernama Mikha itu.

“Nggak di FT, nggak di luar, sering ketemu juga, ya, kita?” Mikha menepuk pangkal bahu Juna, sedang laki-laki itu hanya bisa tersenyum kikuk.

“I-iya, Bang.”

“Ya udah, gue cabut duluan sama temen-temen gue.” Mikha tersenyum ramah. “And young man, where's your jacket? Dingin lho malem ini. Sendirinya udah tau gampang bersin-bersin, kok, ya, nggak dipake jaketnya.”

Tangan Mikha otomatis bergerak untuk melepas jaket yang melekat pada tubuhnya untuk disampirkan pada pundak Aska. Harumnya yang semerbak sampai bisa Juna cium melalui hidung bangirnya.

Drive safe, you two. Kakak duluan.”

Dengan begitu saja, Mikha berjalan melalui keduanya. Aska bahkan belum sempat membalas sapanya dan Juna juga masih tampak kebingungan.

“Lu... kenal sama Bang Mikha?”

“Kenal,” jawab Aska jujur. “Senior lu di mesin 'kan?”

“Yang itu iya. Tapi, kalo lu... kenalnya dari man-”

“Misi.” Kalimat Juna dipotong oleh penjual sate di sampingnya. “Tadi jadinya pesen apa aja, ya?”

Aska tersenyum, maju selangkah untuk menyebutkan pesanannya. “Oh, iya. Saya jadinya pesen....”

Juna hanya bisa menahan rasa penasarannya. Dan juga sedikit rasa cemburu lantaran seniornya itu dengan akrabnya berbincang dengan Aska dan nggak lupa turut meminjamkannya jaket. Juna jadi merasa bersalah sebab dirinya nggak memikirkan dinginnya angin malam yang dapat menusuk permukaan kulit Aska yang nggak tertutup fabrik baju.

Memilih untuk menyimpan rasa penasarannya, pada akhirnya Juna hanya bertindak seperti sedia kala. Mengajak Aska untuk duduk pada meja yang kosong untuk dapat menikmati santapan malam mereka.

“Eh, iya. Gue lebih suka taichan di sini masa,” ujar Aska usai menyuap potongan daging ayam berbumbu asin gurih itu ke dalam mulutnya.

Juna jadi tersenyum, melupakan rasa penasarannya untuk sesaat. Dirinya senang sebab lidahnya memiliki frekuensi selera yang sama dengan pemuda di hadapannya.

“Iya 'kan? Emang lebih enak aja gitu. Cuma... yah, selera juga, sih. Tapi, kalo gue emang lebih suka yang di sini.”

“Bener tau kata lu. Yang di samping STC dagingnya lebih dry gitu.”

“Oke, lain kali kalo lu BM taichan kita ke sini aja, ya? Ke Sambas.” Juna tersenyum, lengannya terangkat untuk mengusap saus yang tersisa pada tepi bibir Aska. Dan jangan lupakan ketika tadi minuman datang, Juna juga terlebih dahulu membukakan tutup botol air mineral Aska sebelum membuka tutup botolnya sendiri. Gestur-gestur kecil yang membuat Aska jatuh berkali-kali hanya untuk seorang Juna.

“Tapi, rame juga, ya? Terus kayaknya bakal bisa ketemu orang yang kita kenal gitu di sini, soalnya sumpah... yang dateng kayak model orang-orang di kampus kita. Liat aja Kak Mikha tadi.”

“Hahaha. Setuju, sih, gue.”

Sisa daging ayam di atas piring keduanya dihabiskan dengan penuh canda ringan. Celetuk Aska nggak ada habisnya beserta tawa Juna akan selalu hadir untuk melengkapinya. Keduanya memang sudah tampak seperti pasang kekasih yang sedang dimabuk asmara.

Ketika Juna hendak menenggak air mineralnya, tiba seorang anak kecil dengan wadah berisi bunga mawar di dalamnya. Juna jadi mengurungkan niatnya dan kembali menutup botol air mineralnya.

“Bunganya, Kak....”

Aska baru ingin mengeluarkan dompetnya, berniat ingin memberi anak tersebut uang tanpa mengambil bunganya. Namun ternyata, Juna sudah lebih dulu bertanya kepada anak kecil penjual bunga itu.

“Berapa, Dek, satunya?”

“Lima belas ribu aja, Kak.”

“Oke, sisa berapa emang bunganya?”

Anak kecil tersebut terlihat menundukkan kepalanya, menghitung tangkai-tangkai bunga yang tersisa pada wadahnya. “Sisa lima, Kak.”

“Oh... tapi 'kan itu ada yang warna merah sama pink, ya?”

“Iya, Kak.”

“Ya udah.” Juna tersenyum. “Aku mau beli, tapi kamu pilihin warna yang paling cocok buat kakak yang itu.” Jari telunjuk Juna mengarah ke Aska, membuat yang ditunjuk tersipu, semburat kemerahan seketika menjalar pada permukaan pipinya yang kini sudah tampak lebih berisi dari kemarin-kemarin. Hasil ulah Juna yang senang mengajaknya kuliner di mana-mana.

“Ehm... warna merah aja, Kak, kayaknya?”

“Hahaha, oke. Aku ambil semua yang warna merah, ya? Kasih ke kakaknya aja langsung.”

Malu-malu, Aska menerima bunga pemberian sang adik penjual, sementara Juna mengeluarkan lembaran uang dari dalam dompetnya. Tampak Juna mengeluarkan sejumlah uang lebih dari yang seharusnya dan bahkan cukup untuk membeli keseluruhan bunga yang tersisa.

“Kembaliannya berarti....”

“Nggak usah. Buat kamu aja kembaliannya,” jawab Juna ringan, membuat adik penjual tersebut tampak nggak percaya, namun setelah Juna meyakinkan, sang adik akhirnya mengucapkan kata terima kasih sebelum pergi meninggalkan meja mereka berdua.

Aska jadi memandang Juna dengan penuh haru; memandangnya bergantian dengan tiga tangkai mawar merah pada genggaman tangannya.

“Jun... dapet ide dari mana, sih, ih....”

“Buat Aska, hehehe.”

Juna nggak baru saja memberinya buket bunga paling mewah dan indah. Bahkan, ketiga mawar merah tersebut tampak nggak sesegar bunga yang baru saja dipetik. Tapi tentu, nilainya akan jauh lebih berharga sebab Juna membelinya juga karena ia ingin meringankan beban adik yang tadi.

Aska jadi semakin yakin bahwa sejatinya Juna adalah sekumpulan bait lirik lagu romansa yang kemudian diciptakan dalam hadir sebuah laki-laki yang baik; yang bisa membuatnya merasa seperti orang yang paling dicintai dan dihargai kehadirannya.

Bukan lagi suatu masalah bagi Aska untuk menjalani kehidupan kampusnya yang nggak begitu ia minati sebab kini Juna telah hadir di sela-sela kesehariannya, membuat hidupnya jadi jauh lebih menyenangkan untuk dijalani; membuat dirinya makin bersemangat untuk bangun di pagi hari sebab ia tahu Juna akan menyambutnya dengan senyum paling manis yang pernah ia lihat di seantero dunia.