284

Dua kosong.

Pertandingan mini soccer pagi ini dimenangkan oleh Departemen Teknik Mesin. Juna sempat melempar senyum bangganya ke arah Aska sebelum ia pergi menghampiri teman-teman teknik mesinnya. Aska pun bingung harus berbuat apa. Di satu sisi, ia sedikit kecewa lantaran departemennya nggak berhasil memenangkan pertandingan pagi ini, namun di sisi lain dirinya nggak kuasa melihat betapa manisnya senyum yang Juna tujukan padanya.

Usai membersihkan diri, Juna bergegas ke tempat mobilnya terparkir di luar, tempat ia menyuruh Aska untuk menunggunya. Dan di sanalah Aska, berdiri menunggunya sembari melambaikan tangan begitu yang ditunggu-ditunggu kehadirannya pun datang.

Dengan senyum yang kian mengembang, Juna berjalan cepat menuju mobilnya. Mengeluarkan kunci dan membukakan pintu untuk laki-laki pujaan hatinya itu. Terlihat klise dan klasik, namun Aska merasa senang ketika Juna melakukan hal itu untuknya.

“Halo,” sapa Juna sewaktu ia sudah berada di dalam mobilnya. Menyalakan mesin dan menunggu hingga sebuah indikator pada speedometer-nya meredup. “Gimana, gimana? Keren 'kan tadi gue?”

Aska mengangkat sebelah lengannya, menyingkirkan helaian rambut Juna yang masih terasa sedikit lembab pada pelipisnya. “Keren. Selalu keren. Tapi, gue sedih DTI kalah.”

“Ahahah.” Juna terkekeh menanggapi Aska, sedikit salah tingkah sebab perlakuan manisnya. “Um... ya udah, lu gapapa 'kan sekarang?”

“Ya gapapa. Mau gimana lagi juga?”

“Iya, sih.” Kepala Juna berangguk sebagai tanda setuju akan pernyataan Aska. “Jalan sekarang, nih?”

“Lu mau gue masakin apa?”

“Eh, beneran mau?”

“Yaaa....” Aska menarik sabuk pengaman di sampingnya untuk ia kenakan. “'Kan gue udah janji. Masa sekarang nggak gue tepatin?”

“Hm, kalo gue mau steak gapapa nggak?”

“Gapapa. Gue arahin ke tempat biasa gue beli daging steak, ya, kalo gitu?” usul Aska, “di Indoguna, daerah Petogogan.”

“Boleeeh....” Juna menyimpulkan senyumnya. Menurunkan rem tangan untuk melajukan mobilnya meninggalkan area permainan mini soccer.

Hanya terdengar gurauan dan tawa sederhana yang diiringi dengan alunan musik sembari kendaraan sedan tersebut melintasi keramaian ibu kota. Juna dan Aska, nggak ada lagi dari keduanya yang merasa canggung ketika harus ditempatkan di ruangan yang sama. Sambil sesekali menyeletukkan canda, waktu terus bergulir hingga nggak terasa keduanya pun sampai di tempat tujuan.

Aska mengambil keranjang belanja yang disediakan oleh pihak toko. Namun nggak sampai satu detik kemudian, Juna tersenyum mengambil alih keranjang tersebut. Tanpa berbasa-basi, Juna lantas mengajak Aska untuk mengelilingi toko. Nggak memberi waktu untuk Aska dapat memprotes perlakuannya. Lagipula, Aska juga sudah mulai terbiasa menikmati perlakuan-perlakuan manis Juna seperti yang satu ini.

“Sendiri 200 gram cukup nggak, Jun?” tanya Aska sembari fokusnya tetap tertuju pada deretan potongan daging sapi di hadapannya. “Nanti makannya bareng sayur sama potato wedges.

“Yang 300 aja, gue laper,” tanggap Juna sembari terkekeh. “Hehehe.”

“Oke, oke.”

Aska meraih dua potong daging sapi, namun begitu teringat akan sang ayah di rumah, ia kembali meraih satu potong daging sapi lagi. “Eh, sama papa, deh, satu. Kita makan di rumah gue gapapa 'kan?”

“Gapapa.”

“Ada papa gue tau. Lu beneran gapapa?”

Dengan bangganya, Juna justru memiringkan senyumnya. “Gapapa, Aska.”

“Papa gue galak.”

“Iya....” Juna terkekeh hingga kedua matanya menlengkung. “Gapapa banget, Aska.”

“Ya udah, oke.”

Seluruh bahan yang dibutuhkan untuk membuat steak telah Aska masukkan ke dalam keranjang belanja, termasuk beberapa bumbu dapur yang dirasa ia perlukan.

Juna mengedarkan pandangannya usai memberi kartu debitnya pada pihak kasir yang telah selesai menotalkan belanjaan keduanya siang ini. Meskipun pada awalnya, ia harus berdebat dengan Aska yang juga menyodorkan kartu debitnya.

Ada satu figur yang berhasil memenangkan perhatian Juna. Seketika, tubuhnya terbujur kaku. Rahangnya mengeras, Juna nggak tahu harus berbuat apa ketika orang yang ia perhatikan lamat-lamat itu membalas tatapan matanya. Lantas, ia pun memutar tubuhnya, kembali menatap Aska yang berada di sampingnya.

“Pinnya, Kak.”

“O-oh, iya, Mba.”

Terburu-buru, Juna hampir saja salah menekan deretan angka yang terpampang di atas mesin EDC. Sebelum akhirnya mengucapkan terima kasih dan membawa kantong belanja keduanya menuju tempat mobilnya terpakir.

Di sepanjang perjalanan menuju rumah Aska, Juna nggak banyak berbicara. Kebanyakan hanya menanggapi Aska dengan seadanya kemudian kembali menatap jalanan di luar.

Hingga pada waktu mobilnya terhenti tepat di depan pagar rumah Aska yang masih Juna ingat persis bagaimana bentuknya, ia masih banyak banyak terdiam. Aska pun turun dari dalam mobil untuk memencet bel, namun nggak beberapa lama kemudian sang ayah sudah muncul untuk membuka pagar rumah.

“Lho, rapi amat, Pa?” tanya Aska dengan dahi yang mengernyit keheranan.

“Iya, Papa mau lunch sebentar sama klien Papa,” jawab Saka, ayah Aska, dengan singkat dan jelas.

“Yah, baru mau Aska buatin steak.

Melihat ayah Aska yang sedang mendorong pagar itu, Juna memutuskan untuk melepas sabuk pengaman yang melekat pada tubuhnya untuk turun menyapa pria pada pertengahan 50-nya itu.

“Om Saka,” sapa Juna dengan senyuman sopan yang terpatri di atas wajahnya. “Siang, Om.”

“Eh, Juna?” Saka tersentak begitu menemukan kehadiran Juna di samping anak laki-laki satu-satunya. “Oh, kamu yang antar Aska ke mari? Pantas, Om nggak ngenalin mobilnya. Om kira Aska pulang sendiri.”

“Hehe, iya, Om. Tadi sekalian pulang mini soccer terus rencananya mau dimasakin Aska di sini,” jawab Juna dengan santainya. “Nggak apa-apa 'kan, ya, Om?”

“Nggak apa-apa sekali, Juna.” Saka mengusap tengkuk kepala Aska. “Anak Om ini jago sekali kalau disuruh masak memasak.”

“Bener, Om. Juna setuju.”

“Ya sudah, selamat makan enak. Om tinggal nggak apa, ya?” Saka menepuk pelan pundak Juna. “Sudah ada janji soalnya.”

“Siap, Om. Gapapa, kok. Om juga hati-hati di perjalanan, ya, Om.”

Aska hanya bisa mengernyitkan dahinya kebingungan. Mengapa ayahnya dan laki-laki di sampingnya ini bisa terdengar begitu akrab? Mungkinkah ada informasi mengenai keduanya yang telah Aska lewatkan sampai-sampai ia nggak tahu soal kedekatan orang tuanya dan lelaki yang sedang dekat dengannya itu.

Explain?” Aska menyenderkan tubuhnya pada kulkas sembari menunggu Juna mengeluarkan seluruh bahan masakan dari dalam kantong belanja.

Long story short, dulu papi gue kliennya Om Saka. Rumah di Antasari itu yang desain papa lu, Aska.” Juna memutar tubuhnya, menatap Aska yang punya banyak tanda tanya di atas kepalanya. “Sebulan yang lalu, papi ngajak gue main golf. Nah, di waktu itu, gue pertama kalinya ketemu sama Om Saka. Ya udah, kita kenalan. Terus kemaren-kemaren ini yang gue bilang gue mau golf dan lu siangnya mau jalan sama papa lu, itu paginya pas gue golf gue ketemu lagi sama Om Saka. Jadi... ya, begitu cerita gue bisa kenal sama papa lu.”

“Demi....”

“Serius. Lu percaya nggak kalo gue bilang gue udah punya nomor WA papa lu? Hahaha.”

Nggak menyangka, Aska hanya bisa bergeleng-geleng. “Bisa-bisanya gue nggak tau soal ini.”

“Tapi, keren ‘kan? Ternyata gue bisa seterhubung ini sama lu,” ujar Juna dengan cengiran khasnya.

Demi mempersingkat waktu, Aska nggak menanggapi ujaran Juna dan justru meraih cast iron pan pada salah satu rak di dapurnya. Menaruhnya di atas kompor, kemudian mulai membuka plastik yang membungkus daging sapi pilihannya.

Seperti kali sebelumnya, Juna membantu Aska mengupas beberapa butir bawang putih untuk dipakai basting nantinya. Lagi-lagi, Aska memuji Juna akan hal sederhana yang telah Juna lakukan untuk meringankan pekerjannya. Dan lagi-lagi juga, Juna kembali dibuat tersenyum senang karenanya.

Aska selalu berhasil membuat Juna tersipu dengan pujian yang sebetulnya sederhana. Memang pada dasarnya, laki-laki April itu senang sekali ketika ia mendapat pujian akan kehebatannya. Apalagi, jika orang yang memujinya adalah orang yang sama dengan laki-laki dambaan hatinya.

“Pinter banget, padahal baru sekali diajarin.” Begitu ucap Aska yang kemudian membuat pipi Juna merona malu.

Juna tampak nggak banyak merenung seperti tadi di perjalanan. Tapi, Aska masih saja pensaran dengan alasan dibalik Juna yang tiba-tiba berubah jadi sedikit pendiam. Mungkin, Aska akan menanyakan hal tersebut ketika keduanya sudah duduk di kursi masing-masing dengan sebuah hidangan makan siang ala Aska.

Memberanikan diri, Aska mulai bertanya pada Juna tatkala keduanya tengah menyantap daging steak buatan Aska.

“Jun, tadi kenapa kok pas pulang dari Indoguna lu kayak diem doang gitu?” tembak Aska pada intinya yang kemudian membuat Juna berhenti mengunyah makanan di dalam pipinya.

“Um....” Juna sempat bergumam, memikirkan jawaban yang tepat. Berusaha mencari jawaban yang nggak akan membuat suasana menjadi buruk, namun dirinya nggak kunjung menemukannya. Hingga pada akhirnya ia terpaksa jujur. “I... met my ex.

Tersirat nada ragu di dalamnya, ragu-ragu akan haruskah ia berkata jujur atau sebaiknya enggak. “Bingung juga, ya? Why do we keep bumping into each other's ex, sih? Hahah.” Juna tertawa canggung.

“Oh, ya?” Aska tampak tertarik akan topik tersebut. “Yang mana? Gue nggak liat, ya?”

“Dia ada di kasir sebelah. Gue sadarnya waktu lagi nengok.” Juna bercerita apa adanya, nggak ada lagi yang bisa ia tutup-tutupi. “He was with his boyfriend... kayaknya? Gue nggak tau juga, sih, tapi kemungkinan besar iya. Cowoknya itu adek kelas gue juga.”

“Oh....” Aska mengangguk-anggukan kepalanya. “So you're one year older than your ex?

Yup.” Juna melemaskan bahunya yang sedari tadi terlihat tegang. “We ended things on bad terms. It was... well, I would say that I'm the one who was at fault.

“Oke....” Aska mencoba menahan dirinya untuk bertanya jauh lebih dalam sebab ia tahu Juna mungkin nggak menyukai topik ini. “Oke, oke, gapapa. Nggak usah dibahas lagi, ya?” Ia tersenyum, berusaha mencairkan suasana.

“Tapi, lu mau tau nggak?”

As what you've said before, gue nggak bakal maksa lu buat cerita. Kalo lu mau cerita, ya, silakan, gue bakal dengerin. Tapi, kalo lu nggak mau cerita, ya, nggak masalah juga.”

Lelaki April di hadapannya termenung, terlihat menimbang-nimbang haruskah ia membeberkan semua yang terjadi pada masa lalunya atau justru lebih baik diam. Dan akhirnya, pilihannya jatuh pada,

I'm sorry....” Ia memilih diam.

Don't be.” Aska menyunggingkan senyumnya, mengusap punggung tangan Juna yang tergeletak begitu saja di atas meja makan.

“Lu gapapa sekarang?” lanjut Aska. “Maksud gue, kalo gue 'kan udah bilang gue sekarang nggak ngerasa kenapa-kenapa. Nah, kalo lu sendiri gimana, Jun?”

“Awalnya, gue kira gue udah nggak bakal kenapa-kenapa kalo gue ketemu dia lagi, tapi tadi ternyata gue masih ngerasa kayak ada yang ganjel,” jawab Juna dengan raut kebingungan yang terpatri pada wajahnya. “We haven't had our closure yet, waktu itu gue cuma mutusin dia dan ya udah, sisanya dia tau masalah gue dengan menerka-nerka. Kita berdua juga udah nggak pernah ngobrol lagi habis itu.”

Bibirnya terkatup rapat-rapat, Aska merasa seperti berada di posisi mantan lelaki di hadapannya. Rasanya memang kurang mengenakan jika suatu hubungan tiba-tiba diputuskan sepihak saja. Maka dari itu, Aska nggak ingin berkomentar lebih lanjut mengenai hubungan Juna di masa lalu.

“Um... habis ini main di ruang baca aja mau nggak?” usul Aska, berusaha mengalihkan topik pembicaraan. “Sebenernya nggak buat baca doang, sih. Tapi, biasanya papa kalo butuh baca-baca dan nyari referensi, ya... di situ. Kalo gue... yah, paling cuma gue pake buat nonton, soalnya ada home theater-nya juga di sana.”

Juna menyimpulkan senyumnya, berusaha nggak mengacaukan suasana hari ini. “Boleh....”

“Enak nggak itu masakan gue?”

“Enak.” Ibu jari Juna mengusap punggung tangan Aska yang kebetulan masih setia bertengger di atasnya. “Bener kata Om Saka. Masakan lu selalu enak.”

Sebisa mungkin, Juna berusaha menghilangkan pikiran-pikiran kurang mengenakan yang menempel pada lobus otaknya. Nggak ingin membuat acara sederhana hari ini menjadi kacau karena ulahnya.

Ruang baca yang dimaksud oleh Aska sebenarnya nggak bisa dikatakan sebagai ruang baca juga. Ruangan ini terlihat bisa dipakai untuk kegiatan apa saja, mungkin kita bisa menyebutnya sebagai ruang serbaguna.

Juna mengambil tempat duduk di atas sofa, sementara Aska sempat mengambil laptopnya di lantai bawah sebelum menyusul Juna di lantai atas. Juna mengedarkan pandangannya ke sudut-sudut ruangan. Ayah aska itu sepertinya memiliki selera yang tinggi dalam hal mendesain bangunan. Rumah yang hanya ditinggali oleh Saka, Aska, beserta beberapa ART yang sesekali datang itu memiliki seni di setiap sisi ruangan, membuat siapa-siapa saja yang masuk menginjakkan kaki merasa nyaman untuk tinggal di dalam sini.

“Nih, mending....” Aska menyalakan laptopnya sembari terduduk di atas karpet bulu-bulu yang menutupi sebagian lantai kayu ruangan. “Kita belajar buat UAS Kalkulus aja. Kalku kita sama-sama Rabu 'kan ujiannya?”

Akhirnya, Juna memilih untuk ikut duduk di atas lantai, menyenderkan tubuhnya pada sofa di belakangnya. “Boleh, boleh. Mau belajar yang mana emang?”

“Ini lho, Jun. Gue masih kurang ngerti yang bagian integral tak tentu.” Aska menunjuk layar laptopnya yang menampilkan slide materi Kalkulus.

“Bagian mananya yang lu nggak ngerti?”

“Gue, tuh, bingung soal yang x e x e ini, coba lu liat. Bisa-bisanya soal Matematika sekarang cuma ada huruf, nggak ada angkanya sama sekali. Apa yang mau gue itung siaaal?”

Juna tergelak mendengar keluh kesah lelaki di sampingnya itu, yang nggak pernah gagal menimbulkan senyum dan bahkan tawa pada hari-harinya. “Hahahah! Tenang, tenang, jangan dibikin pusing. Kalo gue, sih, ya... kalo nemu soal kayak begini, biasanya gue misalin dulu. Jadi, u-nya itu....”

Perjalanan siang menuju sore hari itu dihabiskan keduanya untuk mempelajari mata kuliah yang akan diujikan pada hari Rabu besok. Juna memang sosok yang mudah paham akan materi baru dan beruntungnya nggak juga mudah lupa. Soal-soal yang telah ia pelajari pada pertemuan-pertemuan sebelumnya nggak akan dengan mudahnya hilang dari ingatan laki-laki tersebut.

Hingga linear pada arloji yang melingkar pada pergelangan tangan Juna dan Aska menunjukkan angka empat, keduanya pun memutuskan untuk beristirahat sejenak. Aska menyingkirkan laptop di hadapannya sembari mengistirahatkan kepalanya ke belakang, sementara Juna menyelonjorkan kakinya sembari menaruh beban kepalanya di atas pundak Aska.

Tentu hal tersebut membuat jantung Aska seolah melewatkan satu degub yang berharga, namun kemudian aliran darah di bawah permukaan kulitnya terasa berdesir begitu cepat. Ia nggak berusaha menyingkirkan kepala Juna yang kini dengan nyamannya beristirahat di atas pundaknya, maka Juna sendiri pun terlihat nggak ingin mengubah posisinya sebab nggak ada penolakan yang diajukan oleh laki-laki Agustus di sampingnya.

Keduanya terdiam untuk rentang waktu yang cukup lama. Hingga Aska mencoba untuk menepuk paha Juna yang menempel pada pahanya.

“Jun?”

Nggak ada jawaban.

“Juna?”

Baik, sepertinya lelaki yang bernama Juna itu telah memasuki alam mimpinya. Aska hanya bisa menelan ludahnya, merasa kikuk akan posisi keduanya sekarang ini. Bagaimana jika nanti ayahnya pulang dan menemukan mereka berdua yang sedang berada di posisi seperti ini?

Ah, persetan dengan hal itu. Sepertinya Juna memang butuh waktu untuk beristirahat sejenak. Maka, Aska pun membiarkan Juna tertidur di atas pundaknya, sementara dirinya hanya termenung memperhatikan detak jarum pada arlojinya.

Impulsif, Aska memutuskan untuk mengangkat sebelah lengannya. Membawa telapaknya yang hangat untuk menangkup pipi kiri Juna yang dingin terkena terpaan udara AC. Ibu jarinya bergerak perlahan, mengelus pipi tirus laki-laki tersebut.

Tertegun, Aska berusaha mengatakan, “Gapapa, Jun. People make mistakes and we haven't been taught on how to love someone properly even once in our life. Learn from it, semoga... mantan lu sekarang udah jauh lebih baik kondisinya, kayak gimana sekarang gue udah jauh lebih baik waktu akhirnya gue ketemu sama orang kayak lu.”

Sekuat tenaga Juna menahan dirinya untuk meneteskan air mata selagi kedua kelopak matanya terpejam.

Dirinya belum tertidur pulas dan ucapan Aska meninggalkan pesan yang bermakna pada lubuk hatinya yang paling dalam.

Juna bersumpah akan memukul dirinya kencang-kencang jika ia dengan bodohnya mengulangi kesalahan yang sama pada lelaki yang kehadirannya telah memberikan warna yang lebih pada kehidupannya.