255
Minggu ini berlalu dengan begitu cepat atau seenggaknya bagi Juna dan Aska. Mungkin, masing-masing mereka begitu menunggu-nunggu datangnya hari Sabtu agar dapat menghabiskan waktu bersama sampai-sampai nggak terasa, kegiatan di minggu ini pun usai dan kini waktu bagi keduanya untuk beristirahat sejenak.
Aska tersenyum tatkala maniknya menangkap kedatangan mobil sedan berwarna putih yang ia telah ketahui pemiliknya dari plat nomor yang terpampang. Kaca jendelanya turun, menampakkan lelaki di balik kemudi. Senyumnya kian mengembang seiring jemarinya meraih handle pintu mobil untuk ia buka.
Semerbak wewangian yang memenuhi ruang selalu terasa sama. Harum citrus yang menyegarkan dengan bercampur sedikit teak wood, membuat siapa-siapa saja yang menghirupnya seperti tengah berada pada musim semi. Wangi ini menenangkan, Aska selalu menyukainya.
“Jalan sekarang?”
“Yuk.”
Juna tersenyum, menurunkan rem tangan untuk melajukan kendaraan sedan tersebut. Membawanya melintasi keramaian kota di hari Sabtu malam ini.
Gemerlap lampu yang terpancar dari gedung-gedung pencakar langit tampak begitu cantik, pun sama halnya dengan lelaki yang kini sedang terduduk manis di samping dirinya. Sepertinya, sepulangnya Juna malam ini, pipinya akan terasa pegal sebab ulah senyumnya yang nggak pernah luntur dari wajah tampannya.
Sebelum menyantap makan malam, keduanya sempat bertandang ke barbershop terdekat. Memang sudah niat Juna dari jauh-jauh hari untuk memangkas surainya yang kian memanjang di hari Sabtu ini. Dan Aska pun telah bersedia untuk menemaninya.
“Gimana?” tanya Juna begitu keduanya sampai di mobil dan ia mulai memanaskan mesinnya. “Nggak aneh 'kan?”
Aska bergeleng, lantas menyunggingkan senyumnya. “Looks perfectly fine. Jadi seger liatnya.”
“Nice, hahahah.” Juna ikut tersenyum hingga kedua matanya melengkung membentuk bulan sabit terbalik. “Jadi makan taichan 'kan?”
“Jadiii.”
“Oke, deh.” Juna mengangguk-anggukan kepalanya, fokusnya kembali pada jalan di hadapannya. “Tapi, lu pilih dulu mau tempat A atau tempat B.”
Kepalanya menoleh sekilat cahaya, kedua alis Aska kini tampak bertaut. “Bedanya apa?”
“Ya... pilih aja dulu. Nanti juga lu tau.”
“Ya udah A aja.”
“Siaaap.”
Juna membelokkan kemudi, menepikan kendaraannya pada bahu jalan. Hingga seorang juru parkir menghampiri mobilnya, baru ia akhirnya dapat memarkirkan sedan pemberian sang ayah pada salah satu gerai minimarket yang berjarak beberapa meter dari gedung STC Senayan.
Keduanya sama-sama keluar dari dalam mobil. Juna tersenyum mengajak Aska berjalan beriringan untuk dapat sampai pada warung tempat mereka berdua akan mengisi perut.
Sate Taichan Bang Oshin.
Warung sate ini ramai dan sepertinya akan selalu ramai. Puluhan muda-mudi lainnya tampak turut ingin menyantap makanan di tempat yang sama dengan tempat pilihan Juna dan Aska.
Juna mengambil alih jalanan di bagian kanan, melindungi Aska dari kemungkinan desakan orang lain. Begitu keduanya sampai di area depan, Juna tampak mengulurkan lengannya untuk bisa digandeng oleh Aska.
Sedikit ragu untuk menerima, namun pada akhirnya Aska memilih untuk menggaet lengan kiri Juna. Sementara Juna mengomando arah jalan di depan, mengucapkan kata 'permisi' berulang kali untuk bisa masuk mencari tempat duduk.
Selalu seperti ini. Pemuda kelahiran April tersebut selalu berusaha mencari cara untuk melindungi lelaki dambaannya itu. Membuat Aska jadi merasa nyaman selama ia berada di dekat pemuda itu.
Juna memesankan makanan untuk keduanya. Dan ketika dirinya tengah memperhatikan keadaan sekitar, perhatiannya jatuh pada seorang laki-laki entah siapa yang terus-terusan menatap Aska yang sedang terduduk sendirian menunggu dirinya kembali ke tempat. Dahinya mengernyit, menerka-nerka alasan di balik laki-laki tersebut yang tampak nggak melepaskan pandangannya pada Aska.
“Hey,” sapa Juna begitu ia kembali.
Aska pun mendongakkan kepala, mengalihkan pandangan dari ponsel pada genggamannya. “Udah dipesen?”
“Udah.” Juna mengangguk. “Tapi, lu....”
“Kenapa?”
“Nggak, deh.” Kepala Juna bergeleng, mengusir pikiran yang sempat mengganggunya. “Nggak jadi.”
“Oke.”
Makanan yang Juna pesan sampai. Dua porsi sate berikut karbohidratnya. Mata Aska berbinar menatap makanan di hadapannya. Seperti sudah lama sekali sejak dirinya terakhir kali menyantap sate ayam berbumbu asin pedas ini.
“Gimana enak nggak?” Juna bertanya setelah Aska menyuap makanannya, meminta pendapat yang ia tunggu-tunggu.
“Hm... enak-enak aja, sih.”
“Wah, berarti kalo gitu lu harus nyoba yang tempat B, sih.”
“Hah?” Dahi Aska berkerut. “Emang kenapa kalo di tempat B?”
“Kalo di sini aja lu bilang enak, berarti nanti di tempat B lu bakal bilang enak banget.” Juna mengunyah makanannya sebelum lanjut berbicara. “Dagingnya nggak setebel di sini, tapi lebih juicy. Kalo di sini rasanya rada dry gitu 'kan?”
“Hahahah.” Aska tergelak. “Tau-tauan aja lu istilah juicy.“
“Kalo urusan makan doang gue tau,” balas Juna enteng, “beda cerita kalo urusan masak.”
“Hafal, ya, lu sama tempat-tempat makan di Jakarta? Padahal 'kan aslinya Bogor.”
“Semua Jabodetabek gue hafal.”
“Halaaah.” Aska berkata dengan nada yang meledek.
“Lho? Beneraaan.”
“Terus tadi kenapa nggak langsung ke tempat B aja?”
”'Kan lu yang milih tempat A?”
Aska menghela napasnya pelan. “Ya kalo lu udah tau lebih enak di tempat B kenapa nggak langsung ke sana aja, Junaaa?”
“Ya udah, lu mau ke tempat B?”
“Mau dong. 'Kan katanya lebih enak.”
Juna menyunggingkan senyumnya usil. “Oke gampang. Besok-besok kalo lu mau taichan, gue bawa ke tempat B.”
“Yeee, ini mah emang akal-akalan lu aja biar bisa jalan terus sama gue.”
Tanpa merasa berdosa, Juna tergelak. Melempar kepalanya ke arah belakang, tertawa hingga menitikkan setitik air mata. Tertangkap basah ingin kembali mengajak Aska untuk makan bersama.
Keduanya sangat menikmati waktu ketika sedang berdua. Bahkan rasa-rasanya, Aska nggak peduli dirinya mau dibawa ke mana asalkan orang yang menemaninya itu nggak lain dan nggak bukan adalah Juna.
Makanan di atas piring mereka berdua telah tandas. Aska menyukai makanan di tempat yang ditawarkan oleh Juna. Ketika Juna hendak membayar, Aska buru-buru melarangnya. Setelah keduanya melalui perdebatan panjang, Juna baru akhirnya bersedia untuk dibayari makan malam. Asal sepulang keduanya dari tempat ini, Aska bersedia untuk dibelikan segelas kopi dingin, melengkapi sesi makan malam hari ini.
Juna mengekor ketika Aska beranjak untuk membayar total pesanan keduanya. Dan tiba-tiba, laki-laki yang sempat ia pertanyakan tadi menghampiri keduanya. Sepertinya benar dugaan Juna, sosok lelaki itu memang tampak mengenal Aska.
“Aska?”
Yang dipanggil menolehkan kepalanya ke sumber suara. Matanya membulat kaget sampai-sampai seluruh pergerakannya terhenti.
“Kak Deehan?”
Lelaki yang kini Juna ketahui namanya tersenyum pelan, seperti bersyukur dengan fakta bahwa Aska masih mengenalinya.
“Apa kabar, Ska?”
Aska bertukar pandang dengan Juna, sementara Juna hanya bisa tersenyum kikuk nggak tahu harus merespon apa.
“B-baik, Kak. Kak Deehan sendiri...?”
“Never been better than before.“
Jawaban singkat tersebut harusnya bisa meremukkan bagian dari hati Aska karena lelaki tersebut tampak baik-baik saja setelah pergi meninggalkannya. Namun ternyata, ia justru nggak merasakan apa-apa. Nggak ada sedikit pun sesak yang ia rasakan di dalam rongga dadanya.
“Oh....” Aska tersenyum. “Baguslah, Kak.”
“I was wondering dari tadi... bener nggak, ya, yang gue liat itu Aska? Eh, waktu gue liat dari deket ternyata beneran Aska.”
“Emang Kak Deehan ngapain di sini?” tanya Aska berbasa-basi.
“Makan aja, sama bungkusin buat Fio.”
Ah, Fiona.
Nama yang terdengar familier. Dan tentu saja familier sebab Deehan telah beribu-ribu kali menceritakan Aska tentang cinta pertamanya itu.
“Oh... Kak Fio gimana kabarnya, Kak?”
“She's good.“
“Ah, oke.” Aska tersenyum sembari mengusap tengkuknya. “Bagus, deh, kalo gitu.”
“Ini yang waktu itu ada di story lu, Ska?”
Entah ide dari mana, tiba-tiba saja Deehan menembakkan pertanyaan tersebut. Membuat Juna terdiam mematung, nggak tahu harus menjawab apa.
Sementara itu di sampingnya, Aska justru dapat menjawab pertanyaan Deehan dengan begitu berani. “Iya, Kak.”
“Oh, bagus, bagus. Langgeng-langgeng, deh, ya.” Deehan menepuk bahu Juna singkat. “Kalo gitu, gue duluan, Ska.”
“Iya, Kak. Hati-hati.”
Dengan itu, Deehan pergi meninggalkan Juna dan Aska. Setelahnya, nggak ada percakapan yang tercipta di antara mereka berdua sampai deru mesin mobil Juna terdengar pada rungu masing-masing manusia di dalam mobil tersebut.
“Lu nggak mau tau yang tadi itu siapa?” Dengan berani, Aska mulai membuka percakapan, nggak mau terus-terusan berdiam diri dengan Juna.
“Mau, tapi kalo lu nggak mau cerita duluan, ya... gue nggak akan maksa juga.”
“Mantan.”
Juna terdiam untuk sesaat, berusaha memproses jawaban yang diberikan oleh Aska.
“Tapi, nggak bisa gue sebut mantan karena kita nggak pernah pacaran.” Aska menjawab dengan pandangan yang masih mengarah ke depan. “Long story short, kita deket banget sampe orang-orang ngira kita pacaran. Tapi, dia nggak pernah mau ngebawa hubungan kita ke mana-mana dan ujung-ujungnya dia malah balikan sama mantannya, his first love. Jadi, yah... mungkin dia waktu itu cuma butuh gue karena dia butuh orang buat diajak ngobrol? Tapi, bodohnya gue malah baper sama dia.”
“You okay?“
Dahi Aska mengernyit, kepalanya menoleh. “I'm sorry?“
“Lu gapapa?”
Manik keduanya saling bersitatap untuk beberapa saat. Deru mesin mobil terdengar kencang mengalahkan sunyi yang tercipta pada atmosfer ruangan.
“Gue....”
Jemari Juna terangkat, hendak menyingkap poni yang hampir menutupi pandangan Aska. Ketika sang empunya nggak menunjukkan tanda-tanda penolakan, lantas ia lancarkan aksinya tersebut.
“You good?” tanya Juna sekali lagi. “Must've been hard to see his face again after a while, am I right?“
“Nope.” Aska bergeleng yakin. “Suprisingly, it's not. Gue cuma kaget aja bisa tiba-tiba ketemu, tapi habis itu nggak ada perasaan apa-apa lagi.”
“Alright. Glad to hear that.” Juna menyimpulkan senyumannya. “So things are going fine? Udah bisa damai sama semuanya?”
“Kayaknya udah karena gue juga nggak tau kenapa bisa biasa aja sekarang. Padahal sebelum ini gue kira gue nggak bakalan bisa natap matanya lagi, tapi liat 'kan tadi?” tanya Aska, meminta validasi dari lelaki di hadapannya. “Gue nggak kenapa-kenapa pas diajak ngobrol. Yah... mungkin canggung dikit, tapi gue nggak ngerasa sedih atau gimana-gimana gitu.”
“You happy?“
“Sama kayak jawaban dia, never been better than before.“
Keduanya terkekeh. Aska merasa senang sebab ia sudah nggak dihantui rasa-rasa kurang mengenakan terkait kakak kelasnya dulu ketika ia masih mengemban pendidikan sekolah menengah atas.
“Gue ikut seneng kalo lu seneng.” Juna menepuk pelan puncak kepala Aska, memberikan efek gelenyar menggelikan di dalam perut Aska.
Bukan hal yang mudah untuk dilalui bagi Aska ketika ia menerima fakta kalau seniornya itu nggak benar-benar menyukainya. Dibanding dengan pribadinya, Deehan justru lebih menyukai kehadiran Aska. Kehadiran tersebut dianggap dapat menemani hari-harinya yang sepi tatkala kekasihnya memutuskan untuk pergi dari hidupnya. Dan ternyata, semuanya terasa sia-sia ketika Aska mendengar kabar kalau Deehan kembali menjalin hubungan dengan kekasih lamanya.
Sedih pastinya. Aska sempat menghabiskan berbulan-bulan lamanya untuk bertanya pada dirinya sendiri tentang apa yang kurang sampai-sampai ia nggak bisa membuat laki-laki itu jatuh hati padanya. Juga menerima pertanyaan dari teman-temannya tentang kelanjutan hubungan mereka berdua, padahal dirinya sendiri nggak kunjung menemukan alasan dibalik Deehan yang datang dan pergi sesuka hatinya.
Namun, pada akhirnya Aska tahu kalau kehidupannya nggak berjalan mundur. Cepat atau lambat, ia harus belajar berdamai dengan keadaan dan tetap berjalan maju. Pada hari inilah dirinya kemudian paham jika ia sudah nggak lagi merasakan pilu ketika pandangannya jatuh pada sosok masa lalunya.
Senyuman tulusnya terpancar, Aska menatap sosok di samping dirinya yang tengah fokus mengemudi. Keduanya sempat menjumpai Yesha, kakak kandung Juna, di apartemen tempat wanita berusia 22 tahun itu tinggal. Hendak memberikan makanan yang Juna sempat pesan kala mereka berdua menyantap makan malamnya.
“Eh? Aska, ya?” Sang kakak langsung bertanya begitu mobil sedan Juna sampai di depan lobi dan pemuda tersebut menurunkan kaca jendela. “Haiii, ya ampun akhirnya ketemu juga kita. Kenalin, aku tetehnya Juna.”
Aska sempat berpikir sejenak, merasa bingung dengan fakta bahwa kakak kandung Juna telah mengetahui namanya. “O-oh, iya. Halo, Kak,” balasnya dengan ramah.
Secara tiba-tiba, sosok laki-laki dengan perawakan yang gagah ikut menghampiri Juna dan Aska dengan merangkul pinggang kakak kandung Juna. “Eh, Juna. Nggak sendirian, nih?”
“Kak Aldo.” Juna menyapa pria yang kini Aska ketahui namanya itu. “Iya, habis makan bareng, Kak.”
“Oh... iya, iya. Siapa namanya?”
“Ih! Kamu lupa?” Yesha menepuk pelan dada pria tersebut. “Ini yang waktu itu aku ceritain.”
Baik itu Juna maupun Aska, keduanya sama-sama terbelalak. Astaga, apa yang baru saja kakak Juna katakan?
“Aku lupa namanya. Ya udah, kenalan dulu, deh.” Pria bernama Aldo itu menjulurkan lengannya. “Aldo. Pacar tetehnya Juna.”
Aska tersenyum kikuk, membalas jabatan tangan dari Aldo. “H-halo, Kak Aldo.”
“Santai aja, Aska. Pacar aku nggak gigit, kok.”
“Ya udah, Teh, ini sate lu.”
Dengan mata yang berbinar-binar, Yesha menerima pemberian adik tengahnya itu. “Oke, makasih Aa’. Hati-hati pulangnya.”
“Lho, nggak mampir dulu, Jun?” tanya Aldo.
“Wah, kapan-kapan, deh, Kak. Udah jam segini soalnya.”
Jawaban Juna dibalas dengan anggukan singkat dari Aldo, sebelum akhirnya Juna kembali bersiap-siap menurunkan rem tangan, mengendarakan mobilnya pulang ke Depok.
“Duluan, ya, Teh, Kak.”
“Aska pamit dulu, Kak Yesha, Kak Aldo.”
Yesha tersenyum selebar-lebarnya, melambaikan tangannya tanda berpamitan. “Iya, Aska. Nanti kita double date, ya, kapan-kapan!”
“Aduuuh, jalan sekarang, deh, Aa'.” Juna menurunkan rem tangannya dengan terburu-buru. “Duluan, ya.”
Keduanya sempat kembali berdiam diri, enggan membuka mulut untuk bersuara. Merasa canggung setelah ujaran double date yang dilontarkan oleh sang kakak.
Bahkan sampai ketika mobil sedan Juna berhenti tepat di depan pagar indekos tempat Aska tinggal, Juna masih dapat merasakan suasana mobil yang begitu canggung.
“Ah, oke, canggung banget.” Juna akhirnya memberanikan diri untuk berbicara. “Sorry, Aska. Teteh suka begitu kalo ngomong, ceplas-ceplos aja.”
“Um....” Aska mengulum bibirnya. “Iya, gapapa. Agak bingung aja sedikit kenapa Kak Yesha bisa langsung tau nama gue.”
“Soal itu... gue emang pernah cerita beberapa kali ke teteh. Maaf, ya, kalo bikin lu jadi nggak nyaman.”
“Ya udah, gapapa. Wajarlah kakak adek saling nyeritain kehidupan masing-masing.” Aska berusaha mengerti, melepas sabuk pengaman yang melekat untuk bersiap-siap turun.
“Ini kopinya jangan lupa dibawa, Aska.”
“Oh, iya. Thanks, Jun, buat hari ini. Gue turun, ya?”
Sebelum Aska benar-benar turun, Juna terlebih dahulu meraih pergelangan tangannya. “Satu lagi.”
“Iya?” Pemuda itu menoleh, menunggu sebuah kalimat keluar dari belah bibir Juna.
Jemari yang semula melingkar pada pergelangan tangan Aska, kini terangkat untuk mengusap pipi kemerahan Aska dengan ibu jarinya. Menatap manik Aska yang berbinar-binar di tengah gemerlap kota.
“Ehm... this might sounds cheesy. But know that you're worth to be loved,” ujar Juna dengan jeda yang cukup panjang. “Mungkin, kakak yang tadi kesannya cuma ngejadiin lu pelampiasan, tapi lu sebenernya jauh dari sekadar kata itu. Lu selalu pantes buat dapet cinta yang berlimpah ruah, lu nggak cuma sekadar tempat buat didatengin sementara waktu. Semoga lu udah beneran bisa berdamai sama semuanya, ya?”
Aska tertegun, ludahnya ia paksa telan hingga menimbulkan rasa nyeri pada kerongkongannya.
“Nggak ada yang mau liat lu sedih, so please be happy. In case you haven't heard this from someone else, happiness looks good on you. Truly. Dan semoga, gue nggak bakal pernah ngecewain lu, ya, Aska. Makasih udah sama-sama mau nyoba ngejalanin semuanya bareng gue.”
Sebuah usapan lembut kembali dapat Aska rasakan pada pipinya yang kemerah-merahan. Dan kini Aska sepenuhnya paham,
Dirinya memang telah jatuh sedalam-dalamnya.