338

Seolah memang hanya tercipta untuknya, hal pertama yang Aska dapat lihat ketika maniknya menangkap figur Juna nggak lain dan nggak bukan adalah senyumnya yang khas, senyum seorang Arjuna yang selalu tampak melekat pada durjanya yang menawan.

Baju putih yang membingkai tubuh Juna dengan sempurna menjadi daya tarik tersendiri bagi pemuda kelahiran Agustus di hadapannya. Ditelannya liur demi bisa mengusir rasa gugup ketika Aska melihat Juna berpakaian sederhana, namun tetap semenarik itu.

“Hai, ayo masuk. BTW, ternyata papi tiba-tiba pergi jadi gue sendirian sekarang.” Juna dengan suara berat khas bangun tidurnya, tersenyum sembari meminta Aska untuk masuk ke dalam rumah sang ayah.

Rumahnya tampak lengang, mungkin karena satu penghuninya sedang nggak berada di mari. Aska dapat melihat ciri khas gagasan seni ciptaan sang ayah. Tata ruangnya terlihat khas sekali, pun elemen-elemen lain yang tampak familier bagi Aska. Juna memandu jalannya di depan, menyugar rambutnya ke arah belakang sembari menarik kursi ruang makan untuk Aska duduki.

“Sini duduk dulu.”

“Mau makan sekarang?”

“Hm... emang lu beneran mau masakin gue?”

Tas kain yang Aska jinjing kini diangkat oleh sang empunya. “Nih, gue beneran bawa.”

“Oke, sini.” Juna mengambil alih tas kain tersebut. “Hari ini gue jadi asisten lu.”

Terkekeh, Aska mencubit gemas pipi Juna. “Ya udah, ayo.”

Kendati baru pertama menginjakkan kaki ke dalam dapur pemuda April itu, Aska memang sudah tampak mahir dalam urusan masak memasak. Dikeluarkannya peralatan masak yang sekiranya akan ia butuhkan, kemudian Aska memulai dengan meminta Juna untuk membantunya mencuci serta memotong-motong sayuran yang akan ia sulap menjadi sebuah hidangan lezat nan hangat.

Pergerakan tangan Juna dalam memotong sayuran memang bisa dikatakan lamban dan nggak seluwes dirinya, namun Aska tetap senang memperhatikan bagaimana alis Juna bertaut tanda dirinya sedang berkonsentrasi dalam pekerjaannya. Sesekali, Aska membantu menyelipkan helaian rambut Juna yang mulai memanjang menutupi matanya.

“Udah gondrong lagi aja, Jun.”

“Iya, nih.” Juna berbalas dengan fokusnya yang masih belum hilang dari wortel di hadapannya. “Potong lagi aja kali, ya?”

“Yah, nanti gue ngusak-ngusaknya nggak enak.”

Kegiatannya terhenti, Juna bertoleh ke samping kiri. “Emang ada bedanya ngusak-ngusak rambut gondrong sama rambut pendek? Coba contohin dong, gue mau tau.”

Aska terkekeh geli, diikuti dengan tawa Juna yang kemudian menyusul. Ia tahu persis kalau laki-laki di hadapannya itu hanya ingin dirinya mengusak rambut hitamnya yang tebal itu.

“Udah mulai berani ya lu?” Aska berujar dengan sisa kekehannya, namun kemudian dirinya tetap melakukan apa yang Juna minta. “Nih. Enak aja gitu kalo nyisir rambut gondrong.”

Jari-jari Aska bergerak pelan menyusuri puncak kepala Juna hingga ke tengkuknya, kemudian diakhiri dengan tepukan kecil pada puncaknya lagi. Membuat pipi Juna menjadi pegal sebab senyum yang terus-terusan mengembang.

“Eh, mau tau cerita gue semalem nggak?”

“Cerita apa, Jun?”

“Nih, semalem, tuh, gue minum karena udah diajakin Hanan, tapi gue emang nggak pernah izin ke mami soal begitu-begituan karena rada canggung aja. Padahal sebenernya mami bolehin gue minum, asal nggak berlebihan dan nggak macem-macem kalo lagi di tempat.”

“Hm... terus, terus?” Aska mendengarkannya dengan seksama, sesekali jemarinya kembali merapikan helai rambut Juna yang berjatuhan.

“Terus ya udah, deh. Gue pergi-pergi aja, tapi tau-tau mami nungguin gue pulang sampe jam tiga pagi. Gue udah bilang 'kan, kayak... ya udah mami tidur aja nggak usah nungguin Aa'. Tapi, akhirnya gue malah dimarahin terus disuruh nginep di rumah papi aja karena mami takut gue kenapa-kenapa di jalan. Padahal posisinya gue udah OTW ke Bogor karena janji nganterin Yale balik. Jadi akhirnya gue beneran bolak-balik Jakarta–Bogor–Jakarta gara-gara mami nggak mau bukain gue pintu. Posisinya gue fully sadar, cuma mami aja yang nggak percayaan.”

“Ahahah, kasian banget, siiih, jadi harus bolak-balik,” ledek Aska sembari mengusak surai Juna. “Tapi, gapapa. Omongan orang tua nggak boleh dilawan daripada kualat.”

“Iya, sih. Untung papi masih bangun, kalo nggak gue nggak tau, deh, mau nginep di mana.”

“Makanya izin dari awal dong, A’.”

“Ya...” Juna menjeda kalimatnya. “Bingung izinnya.”

“Terus udah gitu nggak izin sama gue juga lagi.”

Kedua ujung bibir Juna tertarik ke bawah, wajahnya memelas meminta maaf. “Maaf... 'kan tadi udah dibilangin bingung....”

“Hahaha, enggak, enggak. Gue nggak masalahin minumnya, sih, tapi semalem gue nyariin lu. Jadi lain kali bilang aja kalo lagi di luar jadi gue nggak nyariin. Untung Hanan nge-story. Dan oh! Untung ada Find My juga.” Aska mengusap tengkuk Juna penuh pengertian. “Eh, udah kepotong semua. Makasih, ya, A’ Ajun udah dibantuin motong-motong. Gih udah duduk aja, biar gue yang lanjutin.”

“Hehehe, sama-sama. Oh, sama pottery-nya udah gue ambil tau.”

“Oh, ya? Mana coba liat.”

Juna berlarian pelan keluar dapur untuk membawakan Aska hasil karya keduanya tempo waktu yang lalu yang kini sudah kering sempurna dan bisa dijadikan pajangan maupun digunakan sesuai fungsinya.

“Papi semalem nanyain belinya di mana, hahaha. Padahal ini lu yang buat.”

“Loh?” Kening Aska berkerut tanda kebingungan. “Papi tau lu ngerokok?”

“Loh lu nggak tau? Gue sama papi kalo lagi makan habis golf pasti udahnya ngerokok bareng tau, hahaha.”

“Ya ampun....” Aska hanya dapat bergeleng-geleng. Pemuda tersebut memang benar turunan ayahnya.

Sarapan Juna pagi itu dimulai dengan sedikit terlambat, namun nggak apa sebab Aska lah yang memasakan hidangan di hadapannya. Dengan ditemani Aska beserta layar laptopnya yang menampilkan pekerjaan creative slides-nya, Juna menyuap potong demi potong sayuran di dalam sup masuk ke dalam mulutnya.

“Gue kira dulu lu matil pas SMA.” Juna berceletuk ketika netranya menangkap deretan pengalaman kepanitiaan yang tertera di atas CV Aska.

“Enak aja. Sembarangan kalo ngomong.”

“Hahaha.” Juna terkekeh pelan, berhenti menyuap makanannya untuk sesaat. “Lu bukannya mageran? Lu ‘kan oknum yang pindah dari PS ke Sency naik Gocar.”

“Sembarangaaan.” Aska gemas hingga dirinya nggak tahan buat nggak mencubit paha Juna yang sedang duduk bersila itu.

“Aaak, ampun, Aska. Iya enggak, enggak, lu nggak matil, kok.”

Hidangan di atas mangkuknya telah tandas, kini Juna hanya menyenderkan dagunya di atas pangkal bahu Aska sembari menonton laki-laki tersebut mengerjakan tugas rekrutmennya.

“Aska.”

“Iya, Jun?”

“Aska.” Jemari Juna kini bermain-main dengan benang yang menjuntai pada ripped jeans yang melekat sempurna pada kaki jenjang Aska.

“Apa?”

“Askaaa....”

“Apa, Ganteeeng?”

Juna tergelak mendengar sapaan yang Aska beri untuknya. Ia tersipu malu sampai harus menutupi wajahnya menggunakan telapak tangannya yang besar itu.

“Apa manggil-manggil?” ulang Aska.

“Gapapa, bosen aja,” balas Juna dengan cengiran khasnya.

“Iya, sebentar, yaaa? Yang anteng, dong. Habis CV-nya selesai gue udahan dulu, deh.”

“Nggak, sih, gapapa. Lanjutin aja dulu tugasnya, hehe.” Juna berbalas sembari menempelkan pipinya lagi. Jemarinya ikut bermain dengan gelang yang Aska gunakan.

“Tapi, mau tau nggak?”

“Mau tau apa, tuh?”

“Hm... nggak penting, sih. Tapi, kayaknya gue beneran udah bisa buat baikan sama papi gue, deh.”

Ruang makan tersebut langsung tampak sunyi. Pergerakan jemari Aska di atas laptop pun ikut terhenti.

“Gue lupa gue udah pernah bilang ke lu atau belum. Tapi, dulu gue emang nggak akur 'kan sama papi? Eh, tunggu. Nggak, sih, papi mah baik-baik aja sama gue, cuma guenya aja yang jutek mulu. Tapi sekarang, gue udah mulai bisa buat ngobrol santai sama papi. Nadanya juga udah biasa aja, gue udah nggak seketus dulu lagi. Gue baru sadar habis ngobrol sebentar bareng papi semalem. Gue udah bisa ketawa lepas terus papi juga ngusap kepala gue. Gue jadi kayak... oh, wow, ternyata nggak ada gunanya gue dendam kemaren.”

And... how do you feel about that?

It feels... nice? Great? Indescribable, sih. Tapi, beneran nggak ada gunanya gue nyimpen dendam ke papi. Sekarang pas gue udah mutusin buat damai, ternyata rasanya lega banget. Jadi, nggak ada yang ngeganjel lagi di hati gue.”

Senyum Aska mengembang perlahan, hatinya menghangat mendengar ungkapan hati Juna. “See? Emang kadang nyimpen dendam yang nggak diperluin itu cuma bikin capek diri sendiri.”

Yeah, you're right.

“Dan gue harap lu juga udah mulai bisa buat maafin diri lu sendiri soal kesalahan lu sama mantan lu. So that you'll start to love someone freely and without any burdens.

Aska menghentikan kegiatannya untuk sementara. Kepalanya bertoleh ke samping, ke arah Juna menyenderkan kepalanya. Tangan kirinya yang bebas ia pakai untuk menangkup sebelah pipi Juna, mengusapnya pelan dengan penuh perhatian.

Jarak keduanya kini terlampau dekat. Bahkan rasa-rasanya, Aska dapat melihat detil iris Juna yang kecokelatan dari jarak yang sedekat ini. Sinar matahari dari jendela besar di dekat ruang makan membuat manik Juna nampak beribu-ribu kali lebih menawan dari biasanya.

Juna ingin sekali memberi bibir mungil yang kemerahan itu sebuah kecupan singkat, tanda sayang sekaligus terima kasihnya. Namun, Juna akan menyimpannya untuk kemudian hari. Hari yang jauh lebih spesial, hari di mana Aska tampak amat pantas untuk dihujani banyak cinta, meskipun laki-laki tersebut memang berhak untuk dicintai di tiap-tiap harinya.

Sebagai gantinya, Juna hanya membalas mengusap pipi kanan Aska, melakukannya persis sebagaimana Aska mengusap pipinya beberapa detik yang lalu.

Kembali pada pekerjaannya, Aska berujar, “Nanti kalo mau makan sama papi, jangan lupa diangetin lagi, ya, supnya.”

“Oke, Cantik.”

“Apa?”

“Kenapa?”

“Lu bilang apa tadi barusan?”

“Bilang apa?”

Aska gagal untuk kembali fokus pada layar laptopnya. Laki-laki itu dibuat frutrasi akibat gagal mendengar jelas sapaan yang Juna coba beri pada dirinya.

“Ihhh....”

“Apaaa? Gue ngomong apa emangnya?” sahut Juna nggak berdosa.

“Ya udah, nggak jadi.”

“Ahahahah. Iya, Cantik... nanti sebelum makan diangetin lagi supnya.”

Pipi Aska merona bak buah delima. Kendati memiliki keberanian lebih dalam berungkap manis, dirinya tetap bisa tersipu tatkala pemuda yang ia sayangi menyapanya dengan panggilan yang nggak kalah lucu.

Terkadang, Aska berharap dirinya dapat dipertemukan oleh Juna di waktu yang lebih cepat sebab dirinya nggak pernah menerima sayang yang semasif ini (selain dari sang ayah). Tumbuh dengan figur ayah yang penuh cinta (meski nggak pernah terungkap dengan kata) membuat Aska turut tumbuh menjadi pribadi yang gemar mengungkapkan rasa cintanya. Dan baru kali ini, ada satu laki-laki yang berhasil menyalurkan rasa cinta yang semasif dan setulus ini kepadanya.

Tapi nggak apa, mungkin memang ini skenario yang terbaik. Biar kedua anak Adam itu memulai kisahnya sedikit lebih lama. Mulai belajar cinta dari awal sampai akhirnya mengerti cara paling baik untuk menyampaikannya. Nggak perlu tergesa-gesa, bukan? Toh, nggak ada satu hal besar yang sedang mereka kejar.