247
“Hai, hehehe.”
Juna dengan senyuman khasnya, beserta kedua mata manisnya yang turut tersenyum ketika kedua ujung bibirnya tertarik ke atas. Tiba-tiba sampai di depan pagar sembari menenteng tas kain berisikan peralatan menggambar.
“Dia beneran ke sini dong....”
“Ya bener, 'kan lu udah ngebolehin. Kecuali lu nggak ngebolehin, ya gue tetep tiduran di kasur kosan.”
“Ya udah, masuk.”
Keduanya melangkah masuk ketika Aska telah memastikan kalau kunci pagarnya telah terpasang dengan sempurna. Gedung indekos ini terbagi menjadi beberapa lantai dan Aska mengajak Juna untuk naik ke lantai dua, tempat kamarnya berada. Di lantai itu juga terdapat area untuk berduduk-duduk santai, dapat digunakan penghuni untuk bercengkerama.
Juna meletakkan tasnya di atas meja kemudian duduk pada salah satu kursi yang tersedia. Sinar matahari sore yang masuk melalui jendela menerpa kulit wajahnya, membuat Aska yang memandangnya menjadi tersenyum untuk sekilas. Lelaki itu tampak sama hangatnya dengan mentari sore.
“Buku gambar apa, sih?”
“Ini lho....” Juna mengeluarkannya dengan penuh semangat, sebuah buku mewarnai bersampul biru beserta krayon dengan 24 warna yang berbeda-beda.
“Lu punya krayon di kosan?”
“Enggak, ini tadi beli di fotokopian. Yang deket warteg itu, tau nggak?”
Aska menatapnya dengan sedikit nggak percaya. “No way... lu nggak baru aja beli krayon cuma buat ngewarnain bareng gue....”
“I did, hehe.” Cengiran Juna terpampang nyata, tangannya sibuk membuka krayon di hadapannya. Halaman buku mewarnai itu ia bolak-balik, memilih gambar mana yang ia akan warnai hari ini.
“Machu Picchu...” Juna menyebutkan nama halaman yang terpampang. “Wah, kayaknya menantang, nih, ngewarnain yang ini. Mau ah coba. Nanti lu coba lanjutin, ya?”
Jemarinya meraba deretan krayon, memilah-milah warna apa yang akan cocok untuk mewarnai objek di hadapannya. Pilihannya jatuh pada warna abu-abu muda. Ibu jari beserta telunjuknya bekerja sama untuk mewarnai bagian terbesar pada halaman tersebut.
Aska hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya, kemudian mulai menopang dagunya di atas meja untuk memperhatikan lelaki di hadapannya itu. Tawanya lolos begitu saja ketika ia memikirkan betapa kekanak-kanakannya perangai asli lelaki tersebut. Namun sepertinya, Juna terlampau fokus mengerjakan pekerjaannya hingga ia nggak sadar kalau Aska baru saja menertawakannya.
Tanpa Aska sadari, ia menyunggingkan senyum yang begitu tulus pada wajahnya. Bahwa sepertinya, ia memang sudah mulai menaruh perasaan pada lelaki yang baru ia kenal di dunia perkuliahannya.
Sama sekali nggak menyangka kalau pada akhirnya Aska dapat membuka hati lagi pada manusia baru di hidupnya sebab ia pikir, ia sudah nggak ingin lagi dipatahkan hatinya oleh manusia lain lantaran kali terakhir ia merasakan hal itu, dirinya merasa seperti dunia baru saja berhenti berjalan. Hingga waktu perlahan menyembuhkan lukanya dan ia dapat kembali mencintai dirinya sendiri, mulai memahami kalau lelaki di masa lalunya memang bukan diciptakan untuk dirinya.
Pikirannya kembali ke masa kini ketika ia tiba-tiba merasa aneh dengan halaman yang sedang diwarnai oleh Juna.
“Ih, Juna. Kok lu pake warna abu-abu, sih? Machu Picchu bukannya ijo-ijo gitu, ya?”
Juna mendongakkan kepalanya. “Masa?”
“Iya, sumpah. Ini, tuh, kayak... pegunungan? Bukit? Ya, pokoknya itu, deh.”
Pemuda April itu tampak nggak percaya dengan omongan laki-laki di hadapannya. Dirogohnya kantong sweatpants yang tengah ia kenakan untuk mengeluarkan ponselnya. Mengetik nama 'Machu Picchu' pada kolom pencarian.
“Lah, iya... hahaha!” Juna menertawakan kebodohan dirinya sendiri. Menatap bukit pada halaman buku mewarnainya yang telah sepenuhnya ia warnai dengan warna abu-abu. “Bodoh, dah.”
Aska ikut terkekeh, menggeleng-gelengkan kepalanya. “Ya udah, nggak usah dilanjut. Mungkin lu emang nggak bakat.” Ditariknya buku mewarnai bersampul biru itu dari hadapan Juna, membuat pemuda itu jadi menatap kedua matanya.
“Jun,” panggil Aska.
“Kenapa, Aska?” jawab Juna dengan mengayun nadanya di akhir kalimat.
Aska tersenyum mendengar jawaban Juna dari sapaannya. Ia sendiri sadar kalau Juna selalu memanggilnya dengan lengkap, nggak pernah memenggal suku kata yang membentuk namanya itu. Suatu hal sederhana yang Aska anggap lucu.
“Makasih, ya, udah bantuin gue tadi pagi. Tapi harusnya lain kali, jangan sampe jadi ngorbanin diri lu sendiri.”
Juna tersenyum sekilas. “Sama-sama, tapi itu emang gue yang mau kok.”
“Iya, tapi 'kan jadi lu yang dihukum gara-gara pake sendal ke kelas. Itu juga masih untung lu nggak diusir. Kalo beneran diusir 'kan gue jadi nggak enak, Jun.”
“Tapi faktanya 'kan gue nggak diusir?” Juna masih berusaha menjelaskan. “Gue cuma disuruh jawab-jawabin soal kok. Gapapa lagi, gue malah jadi paham banget sama materi yang tadi dijelasin dosennya.”
“Ya udah, makasih....” Aska menghela napasnya pasrah.
Sementara, Juna kini tersenyum sempurna. “Iya, Aska, sama-sama. Gue, tuh... um... gimana, ya, bilangnya?” Ia menggaruk-garuk kulit kepalanya kebingungan.
“Bilang apa?”
“Gue nggak ngerasa jago ngerangkai kata, tapi yah... intinya lu harus tau kalo gue emang seneng ngelakuin apa-apa buat lu karena lu tau? Lu udah ngasih balesan yang lebih-lebih dari semua effort yang udah pernah gue kasih. Lu selalu bisa ngebuat gue tenang dari kata-kata lu, dari kehadiran lu. This is the least that I can do, kalo lu nggak sadar lu bahkan udah ngelakuin lebih dari apa yang udah gue lakuin. It's like....” Juna menelah ludahnya gugup. “You give me a sense of warmth that I doubt I could get it from anybody else. And I'm thankful for that.“
“Okay, I get it.” Aska mengelus puncak kepala Juna. “Gue ngerti, kok. What do you mean lu nggak jago ngerangkai kata? You're so good at expressing how you're feeling towards someone. Gue bilang apa 'kan? Makanya lu, tuh, harus nyoba biar terbuka dan mau cerita ke orang lain tentang apa yang lagi lu rasain, termasuk ke gue. I also wanna know your story. Bagus, tuh, kemaren lu mulai jujur kalo mood lu sempet turun.”
“Haha, dibahas lagi....” Juna terkekeh.
“Lho, bener?” Aska menegapkan tubuhnya. “Gue suka kalo gue tau lu lagi ngapain, lu lagi kenapa. Jadi, nggak cuma gue doang yang diperhatiin di antara kita berdua. Gue nggak mau ngebuat semuanya jadi cuma tentang gue, walaupun kita berdua tahu semua ini dimulai dari diri lu, tapi gue nggak mau egois.”
“So it should be equal, between you and me?“
“Yeah, 'cause that's how a relationship works.“
And that's when Juna knows that has found the perfect person for him and he promises that he'll try to become the best version of himself so that he can also be the perfect person for Aska.