Ketika Aska mendapat kabar dari Juna bahwa ia sebentar lagi akan sampai di depan rumahnya, ia nggak mengira kalau lelaki itu akan sampai dengan mengendarai Jeep Wrangler Rubicon hitam legam, sebuah mobil yang bisa dikatakan cukup jarang dikendarai oleh kebanyakan teman sebayanya.
Kepalanya sedikit melongok ke luar jendela kamar, matanya membulat kaget melihat penampakan mobil besar itu telah sampai di depan rumahnya. Tatkala sebuah notifikasi masuk ke ponselnya, Aska bergegas turun ke bawah, mengunci seluruh jendela dan pintu untuk menemui Juna di depan.
“Jun.”
Yang disapa menegakkan bahunya, tersenyum singkat ketika yang ditunggu-tunggu olehnya keluar dari balik pagar.
“Hai, Aska.”
“Ngapain nunggu di luar?” tanya Aska sembari ia mengunci gembok pada pagar rumahnya.
“Lho, gue nggak pamit dulu sama orang tua lu?”
“Nggak usah. Bokap gue lagi nggak di rumah.”
Baru saja Juna ingin bertanya, bagaimana dengan ibu atau mungkin ayahnya yang satu lagi? Namun sayangnya, Aska sudah lebih dulu mengajaknya meninggalkan rumah. Padahal, ini juga bisa menjadi kesempatannya untuk bertemu dengan Om Saka lagi, sekaligus memberi tahu Aska bahwa kedua orang tuanya itu sebenarnya merupakan teman baik.
“Yuk, Jun?”
“O-oke, ayo.”
Juna berjalan mendahului Aska, membukakan pintu penumpang untuk tambatan hatinya itu masuk ke dalam mobil.
“Bisa nggak naiknya? Hati-hati.”
“Bisalah. Tinggi kita sama, ya. Lu jangan ngeremehin.”
“Hahahah.” Juna terkekeh. “Oke, deh, kalo gitu.” Kemudian, ditutupnya pintu penumpang di hadapannya sebelum ia kembali duduk di belakang kemudi.
Lagi-lagi, Juna tersenyum begitu dia menyenderkan punggungnya pada jok mobil. Kepalanya menoleh ke arah kursi penumpang, tempat di mana Aska terduduk.
“Kenapa kok liatin gue?”
”You smell good today,” puji Juna singkat. ”Oh and it suits you well. The... uhm, what do we call it? Cardigan?”
Juna nggak setiap saat bisa berkata manis, namun ketika ia sedang bersama orang terkasih, entah mengapa lidahnya bisa begitu saja berucap demikian, berucap kata-kata yang bisa membuat lawan bicaranya tersanjung.
“Ih, gue keliatan banget, ya, siap-siapnya?”
“Maksudnya?” tanya Juna sembari menurunkan rem tangan, bersiap meninggalkan area perumahan Aska.
“Kecium banget tadi parfum gue?”
“Ya... iya?”
“Aduh, nyegrak banget, Jun?”
”But it smells nice, though. Kenapa lu kedengerannya worry banget, Aska?”
Aska mendecak sebal. “Ya, berarti gue keliatan banget siap-siap mau ketemu lu. Padahal lu cuma pake yang simpel-simpel.”
”So you’re implying that I don’t look decent?” tanya Juna, ”I don’t look good today?”
”You look as good as ever. No need to dress up, everybody knows lu sekeren apa keliatannya.”
Juna berusaha sekuat tenaga menahan senyumannya. ”You’re so....”
“Apa?” tanya Aska, menolehkan arah pandangnya ke Juna. “Gue orangnya jujur, Jun. Lu emang ganteng, kok.”
”Would you stop thaaat?” Juna sudah nggak kuasa menahan tawanya. “Aduh, deg-degan. Kalo gue baper gimana, Aska?”
“Bukannya udah?” Aska kembali mengalihkan pandangannya ke luar jendela kiri. “‘Kan kemaren lu bilang lu lagi PDKT.”
“Dibahas lagi masa....”
“Hahaha!” Aska memutar kepalanya 180 derajat, kembali menoleh ke arah Juna. “Iya, iya, bercanda. Nggak dibahas lagi, deh.”
Juna hanya menanggapi Aska dengan senyum kecilnya. Di satu sisi, ia sebenarnya malu. Benar-benar malu karena ia dengan bodohnya mengatakan dengan jelas kepada sang tambatan hati kalau ia memang sedang menjalankan misi PDKT-nya. Namun di sisi lain, ia sedikit lega karena Aska nggak begitu menghiraukan kenyataan itu. Bahkan sampai detik ini, Aska masih bersikap seperti sebelum-sebelumnya. Nggak ada yang berubah dari diri lelaki tersebut walaupun ia kini sudah sepenuhnya paham apa intensi Juna terhadap dirinya.
Toko kukis yang keduanya sambangi berbeda dengan toko yang tadi Juna kunjungi dengan adik perempuannya. Toko kali ini terlihat lebih homey. Lantai kayu, aroma kayumanis yang menyegrak indera penciuman, serta lampu-lampu temaram yang bergantungan membuat ambience ruangan terlihat lebih nyaman untuk ditempati.
Juna dan Aska memilih tempat duduk di tepian jendela, menjauhi ramainya pengunjung yang sedang memesan makanan di meja kasir.
“Enak banget tempatnya. Lu nemu di mana?”
“Sebenernya gue udah tau lama ini tempat. Dulu pernah diajakin adek gue ke sini. Cuma, tadi dia mintanya ke tempat lain karena di sini yang lebih terkenal kopinya, bukan cookies-nya.” Juna meletakkan tasnya di atas meja, nggak sengaja mengeluarkan kotak rokok dari dalam sana.
“You smoke?” tembak Aska langsung, namun Juna tampak nggak begitu panik menanggapi pertanyaannya.
”I would say... occasionally?” jawabnya sembari kembali memasukkan kotak rokok tersebut ke dalam tasnya. “Kalo lagi sama temen-temen, apalagi kalo lagi minum, gue suka ngerokok sebatang dua batang.”
Aska hanya menganggukan kepalanya pelan, sepenuhnya mengerti dengan pernyataan Juna barusan
“Does that make you uncomfortable?” tanya Juna.
“Terus, kalo gue bilang iya?”
“Hm... kalo begitu, sih, yang pasti gue nggak bakal ngerokok di depan lu karena gue udah tau lu nggak nyaman.”
“Tapi, kalo sama temen-temen lu?”
“Yah....” Juna mengusap tengkuknya pelan. “Gue... nggak naif juga, sih. Gue suka aja kalo minum sambil ngerokok. Sorry.”
“Lah? Ahahahah.” Aska terkekeh pelan sembari memandang ke luar jendela, ke arah jalanan ibukota. “Why are you sorry? Justru gue lega denger lu jujur, daripada lu sok-sok nutupin biar keliatan kayak cowok alim. Gue nggak ada masalah, sih. Toh, lu juga udah gede, udah tau buruknya rokok, tuh, gimana.”
Pernyataan Aska barusan sedikit banyak membuat Juna lega. Lagi-lagi Juna merasa kalau ia memang nggak salah pilih. Aska selalu tampak tenang menanggapi segala hal tentang dirinya.
“Right.”
“Gue appreciate lu karena udah jujur. Baguslah lu nggak pick me, nggak sok-sok beda dari cowok lain. Padahal, tadi gue udah berburuk sangka aja gara-gara lu bawa Rubicon.”
“Hahahah!” Juna tergelak mendengar tanggapan Aska mengenai mobil yang ia kendarai.
“Stereotipe Rubicon kenapa gini banget, ya?”
“Nggak tau, gue setiap ada cowok bawa mobil aneh-aneh selalu nethink bawaannya. Feeling gue selalu bilang itu cowok pasti pick me. Syukur, deh, kalo lu enggak.”
Juna lagi-lagi tergelak mendengar jawaban Aska. Kepalanya sampai terlempar ke belakang, kedua matanya menyipit sebab senyum yang tercetak jelas pada wajahnya.
“Gue straighforward banget, ya, Jun?”
“Gapapa, gue seneng lu kayak begini. Jadi ‘kan jelas gitu lu, tuh, maunya apa.”
“Iya, tapi kadang nyebelin nggak, sih?”
“Gue yakin, kok, lu tetep tau batasan bisanya nyeplos sampe mana aja,” jawab Juna, “dan gue sejauh ini nggak ngerasa lu nyebelin, sih. Paling deg-degan sedikit ada.”
“Bagus, emang lu harus kuat. Soalnya yang dulu-dulu baru beberapa kali ketemu sama gue udah keburu jiper duluan ngedenger gue yang terlalu to the point.”
“Yang dulu-dulu?” tanya Juna sembari memajukan tubuhnya. “Maksudnya?”
“Yah, jadi....”
Bibir Aska nggak henti-hentinya berucap, menceritakan bagaimana senior dan teman seangkatannya pernah mencoba memenangkan hatinya. Terselip tawa Juna di antara rentetan kalimat tersebut, matanya nggak pernah lepas memandang pemuda di hadapannya itu. Tampak antusias mendengarkan kisah PDKT lucu yang ditawarkan oleh Aska.
Beberapa di antaranya ada yang menyerah bahkan hanya sampai di hari kelima, beberapa yang lain sempat bertahan hingga beberapa waktu sebelum Aska mendiamkan pesan mereka selama berhari-hari. Simpelnya, belum ada yang berhasil memikat hati pemuda Agustus itu.
“Tapi, kalo sama gue....” Juna mengangkat cangkir kopinya, menyeruput substansi pekat di dalamnya. “Lu bales-bales aja, tuh.”
“Iya, soalnya nggak tau kenapa lu asik, baik, nggak maksa juga. Mungkin karena ditambah sama faktor muka kali, ya? Lu ganteng juga soalnya.”
“Uhuk!”
“Eh, kenapa, Jun?” Aska terlihat langsung memajukan badannya, memeriksa apakah lawan bicaranya itu baik-baik saja. “Keselek?”
“Nggak, gapapa, kok.” Ditaruhnya kembali cangkir kopi pada genggamannya di atas meja kayu kafe tersebut.
“Lu bilang kayak gitu lancar banget. What if I fall hard, Aska?”
Nggak tersirat nada ragu di dalamnya, Aska menanggapi pertanyaan Juna dengan, “Then fall hard for me.”
Sebisa mungkin, Juna mengatur deru napasnya. Detak jantungnya terasa berantakan, sungguh terdengar nggak beraturan ketika Aska seolah-olah memberinya izin untuk menaruh perasaan pada lelaki Agustus tersebut.
Keduanya menghabisi malam dengan bercengkrama lebih lanjut. Baik itu perihal akademis maupun kegiatan di luar itu. Masing-masing dari mereka diam-diam merasa bersyukur dengan fakta bahwa percakapan malam ini sungguh nggak terasa canggung sama sekali.
Hingga linear pada jam dinding kafe menunjukkan angka sembilan, keduanya memutuskan untuk pulang meninggalkan kafe tersebut.
“Gimana kopinya? Enak nggak?” tanya Juna sembari meraih tasnya yang tergeletak di atas meja.
“Enak, enak.”
“Nice.” Pemuda April itu tersenyum puas melihat reaksi dari sang pemuda Agustus. “Lu pernah bilang lu suka kopi, so I brought you here. I’m so glad kalo lu beneran suka kopinya.”
Aska mengulum senyumnya, tersanjung dengan fakta bahwa Pemuda Mesin itu berusaha mengingat-ingat apa yang dirinya sukai.
“Thanks, Jun,” ujar Aska, “BTW, keluarga lu mau dibawain apa? Cookies?”
“Eh, nggak usahlah.”
“Nggak enak, dong, kalo lu pulang tangan kosong?”
“‘Kan tadi adek gue udah bawa pulang cookies.”
Helaan napas pelan terdengar dari sisi Aska. “Beda cerita. ‘Kan ini lu lagi jalan sama gue, masa pulangnya nggak bawa apa-apa. Gue beliin kopi, deh, ya?”
“Adek gue nggak suka kopi. Bokap juga kurang suka kopi dari toko-toko begini.”
“Nyokap? Atau... bokap lu lagi mungkin?”
“Bokap nyokap gue udah pisah rumah, Aska.”
Aska tercengang, nggak mengira kalau jawaban itu akan keluar dari mulut Juna. “Maaf... gue nggak bermaksud.”
“Gapapa, udah lama juga.”
“Ya udah, but still, gue nggak enak kalo nggak bawain lu sesuatu. Gue beliin adek lu matcha, ya? Suka ‘kan?”
“Suka, sih, kalo itu.”
“Alright, iced matcha latte it is.”
Aska beranjak ke meja kasir, memesankan minuman matcha untuk Juna bawa pulang ke rumah. Lelaki itu tampak sangat tulus, selalu ingin memberikan yang terbaik bagi orang-orang di sekitarnya. Juna dapat menebak hal itu.
Nggak lama, Aska kembali dengan sebuah paperbag pada tangan kanannya. Kemudian Juna mengajaknya pergi ke luar, ke tempat mobilnya terparkir.
“Sebenernya tadi gue mau nanya ini, Jun.”
“Nanya apa, tuh?” tanya Juna, tangannya meraih sabuk pengaman untuk ia pakai.
“Ini sebelumnya maaf kalo sensitif. Tadi gue sempet bingung lu bilang lu mau drop adek lu ke rumah dulu. Terus gue mikir, ini Juna nge-drop adeknya ke Bogor? Berarti jauh juga bolak-baliknya. Tapi, berarti lu nggak nge-drop di Bogor ‘kan? Lu nge-drop dia di rumah bokap lu, gitu?”
“Iya, bener.” Juna menginjak pedal gas perlahan, meninggalkan area toko. “Nggak sensitif, kok. Jadi intinya bokap nyokap gue cerai. Bokap gue pindah ke rumah barunya di Jakarta, nah nyokap gue stay di rumah lama yang di Bogor. Hak asuh semuanya ada di nyokap gue, tapi adek gue sering diajak main ke rumah bokap. Rumah bokap gue ini di daerah Antasari.”
“Oh....” Aska mengangguk-anggukan kepalanya mengerti.
“TMI banget, ya? Tapi, ya udah biar kejawab jelas pertanyaan lu.”
“Is it hard?”
Juna menelan ludahnya kasar.
“Is it hard harus bolak-balik nemuin orang tua lu yang udah pisah?”
Juna termenung.
“Sorry, I’m being insensitive.”
“Not really...?” Juna menjawab pertanyaan Aska sekenanya, sembari fokus pandangnya masih ke arah jalanan. “Itungannya jarang banget gue ke rumah bokap. Jadi, yah... dibilang susah, sih, kayaknya nggak juga karena gue pulangnya cuma ke nyokap aja.”
Aska enggan menilik lebih dalam tentang bagaimana keadaan keluarga Juna saat ini. Ia bahkan sepertinya menyesal telah membawa topik ini naik ke permukaan.
“I’ve never been in your shoes, but hey.” Telapak Aska beralih untuk mengusap tengkuk Juna singkat. ”Hope you’re doing fine. Maaf kalo gue kepo banget tadi.”
“I am.” Juna tersenyum untuk membalas Aska. “Thank you, Aska. Dan gapapa, talking about it doesn’t rip my heart out again. I’ve learned it too that it’s probably better for their well-beings.”
“Yah, kecuali....” Juna sempat ingin melanjutkan kalimatnya.
“Kecuali?”
“Nggak, deh, nggak jadi.”
Topik untuk lain waktu. Juna nggak ingin membuat atmosfer malam ini terasa jadi jauh lebih sendu.
Lantas, Aska tersenyum kecil. Jawaban yang Juna tawarkan terdengar begitu bijak, meskipun kenyataannya ia belum bisa berdamai dengan egonya terhadap sang ayah, suatu hal yang ingin Juna jujur katakan padanya beberapa saat yang lalu.
“Anak baiiik,” ucapnya sembari sekali lagi mengusap tengkuk lelaki itu.
“Hahahah, anak baik nggak, tuh.”
Semakin bulat tekad Juna untuk memenangkan hati seorang Askara Mahavira. Belum pernah ia merasa sehidup ini sebelumnya. Ia nggak pernah menyangka kalau pada akhirnya ia akan berhasil menemukan kehangatan dalam diri seorang laki-laki bernama Aska. Kata-kata sederhana yang Aska berikan kepadanya entah kenapa dapat terasa begitu menenangkan.
Ternyata semenyenangkan ini rasanya, membuat Juna bertanya-tanya mengapa ia nggak dipertemukan dengan Aska lebih cepat dari sebelum saat ini.