hyucklavender

Aska menggigit kukunya resah, nggak tahu harus berbuat apa untuk bisa menyelamatkan dirinya dari kemungkinan cecaran dosen pengampunya lantaran ia terlihat nggak menggunakan sepatu formal untuk mengikuti kelas. Ia memilih untuk berjalan ke sana ke mari di koridor gedung, menunggu Juna seperti apa yang sudah diperintahkan laki-laki itu.

Hingga pemandangan Juna yang sedang berlari kecil muncul dari balik dinding yang mengarah ke tangga, berusaha sampai di depan ruang kelas Aska secepat mungkin. Pemuda tersebut tiba dengan napas yang sedikit tersengal-sengal, bulir keringat sebiji jagung tampak mengalir melalui pelipisnya.

“Nih, pake sepatu gue aja.”

Juna sedikit merunduk, melepaskan kedua sepatu yang membalut telapak kakinya. Sepatu Vans hitam yang biasa dipakai oleh kebanyakan mahasiswa.

“H-hah?”

“Ini dipake.” Juna berjongkok, kepalanya mendongak menatap Aska di atas. “Nggak boleh 'kan masuk kelas pake sepatu sendal?”

“Terus lu....”

“Angkat kakinya.”

Aska ikut merunduk. “Juna, ih, jangan.”

“Ayo, Aska, udah mau jam delapan.”

“Terus lu gimana?” tanya Aska khawatir. “Masa pake sendal gue?”

“Gapapa 'kan buat sementara,” jawab Juna dengan nada yang berlawanan dengan Aska. Terdengar begitu tenang agar kepanikan yang melanda Aska nggak bertambah. “Ayo angkat kakinya, gue pakein sepatunya.”

“Y-ya udah, gue sendiri aja yang pake.”

I'll do it for you, 'kay?

Dengan mengulum bibirnya gugup, Aska mengangkat kaki kanannya. Membiarkan Juna melepas alas kakinya yang terbuka untuk memasangkannya sepatu bertali. Kemudian Juna mengikat talinya dengan tepat, nggak terlalu kencang dan juga nggak terlalu longgar. Beralih pada kaki yang satunya lagi, Juna juga memasangkan sepatu miliknya dengan sempurna. Nampaknya ukuran kaki mereka berdua sama, Aska merasa nyaman-nyaman saja menggunakan ukuran sepatu Juna.

“Done- aw!”

Puncak kepala Juna menghantam keras dagu bagian bawah Aska karena ia bergerak begitu cepat sampai-sampai Aska nggak sempat menghindar sebab ia sedari tadi merunduk untuk memerhatikan Juna yang tengah mengikatkan tali sepatu untuknya.

“Junaaa... maaf....” Spontan, Aska mengusap-usap puncak kepala Juna, berusaha mengusir rasa sakit yang kemungkinan menjalar di kulit kepala lelaki tersebut. “Aduh, aduh... sakit banget, ya?”

Manik keduanya bersitatap, saling memandang satu sama lain dalam sekejap. Lantas, sebuah tawa kecil lolos begitu saja dari mulut mereka berdua. Menyadari sikap satu sama lain yang terlalu klise. Telapak Aska masih bertengger mengusap lembut kulit kepala Juna sebelum akhirnya terlepas karena rasa malu.

“M-masih sakit?” Aska bertanya dengan gugup.

“Ng-nggak, kok, hehe.” Juna turut menjawab nggak kalah gugup. “Itu dagu lu... gapapa? Lidahnya nggak kegigit 'kan?”

“Enggak. Lagian, gimana bisa lidah gue kegigit?”

“Yah....” Juna mengusap-usap tengkuknya. “Siapa tau lu tadi lagi nganga terus waktu kejedot, gigi-gigi lu jadi nggak sengaja ngegigit lidah lu.”

“Enggak, sih, Jun.”

“Um... ya udah kalo gitu. Masuk gih.” Juna menunjuk pintu kayu kelas menggunakan dagu tajamnya. “Udah jam delapan, tuh.”

“O-oh, iya.” Aska terlupa kalau sehabis ini ia masih harus menjalankan perkuliahan. Dan ia justru masih berdiri di sini, berbincang dengan pemuda di hadapannya. “Oke, gue masuk.”

“Iya, jangan lupa diperhatiin dosennya.”

“Selain dosen, siapa lagi yang harus gue perhatiin?”

Pertanyaan Aska berhasil membuat keduanya lagi-lagi tertawa, teringat dengan pesan mereka berdua beberapa saat yang lalu ketika Juna ikut meminta Aska untuk diperhatikan.

“Udah, masuk dulu sana.”

“Ih, jawab dulu. Kemaren katanya siapa lagi yang harus gue perhatiin?”

“Hahahah....” Juna tertawa malu, nggak sanggup menjawab pertanyaan dari lelaki impiannya.

“Jawaaab.”

“Gue?” jawab Juna singkat. “Argh... malu banget, asliii.” Pemuda April itu memanglingan wajahnya, merasa malu akan jawabannya sendiri.

Sementara Aska hanya bisa tertawa, merasa puas setelah berhasil membuat Juna menjawab pertanyaannya. Ia begitu menyukai pencapaiannya ketika telah berhasil membuat Juna salah tingkah hingga semburat kemerahan menjalar mulai dari pipi hingga kedua telinganya.

“Ya udah, dadah. Gue masuk kelas dulu, ya, Ajun.” Aska melambaikan tangannya singkat dengan disertai senyuman manis pada wajahnya yang berseri-seri.

“I-iya, dadah....” Juna turut melambai-lambaikan tangannya sebelum berbalik badan untuk menyembunyikan wajahnya yang terlampau sumringah.

Gue dipanggil Ajun buat yang kedua kalinya.... Juna menahan senyum pada bibir tipisnya, berjalan meninggalkan koridor kelas Aska sembari menutup setengah wajahnya sebab takut disangka gila oleh mahasiswa yang berlalu lalang. Baginya, panggilan 'Ajun' hanya akan keluar dari belah bibir orang-orang terdekatnya. Maka ketika Aska memutuskan untuk menyapanya dengan sapaan 'Ajun', jantungnya berdetak nggak karuan, seperti bisa kapan saja mendesak keluar tulang rusuknya.

Sampai pada anak tangga pertama, Juna memutuskan untuk berputar balik. Kembali berjalan menuju koridor kelas Aska untuk sekadar mengintip kondisi kelas perkuliahan yang sedang dijalankan mahasiswa teknik industri itu. Senyumnya mengembang begitu ia dengan mudahnya menemukan sosok Aska di tengah-tengah mahasiswa lain.

Ah, jatuh cinta itu memang harusnya sederhana.

Sesederhana memandang senyuman manusia terkasih yang dapat membangunkan kupu-kupu untuk berterbangan di dalam perut.

Juna jadi merasa seperti remaja yang baru mengenal cinta. Ia ingat betul kali pertama jantungnya berdebar kencang saat sedang bersama laki-laki yang ia sayangi. Kala itu, dirinya masih duduk di bangku kelas 11.

Namun kali ini, Juna bertekad untuk nggak membiarkan Aska pergi seperti kali terakhir ia membiarkan kekasihnya pergi sebab ulahnya sendiri. Ia nggak lagi dapat membiarkan dirinya sendiri untuk menjadi pecundang seperti dirinya dua tahun yang lalu.

Prima Putra namanya, seorang figur ayah bagi Arjuna Prima Putra. Dapat ditebak dengan mudah dari nama belakang Juna, pria pada pertengahan 50-annya itu memang merupakan seorang ayah kandung dari pemuda berumur 18 tahun tersebut.

Perawakannya terlihat persis. Tingginya sama-sama semampai. Kulitnya cerah, fitur-fitur pada wajahnya tegas. Dengan bahu seluas samudera dan paras tampan di atas rata-rata, keduanya menjadi idaman bagi manusia-manusia di sekitarnya. Mungkin letak perbedaannya hanya pada tahi lalat manis di bawah mata kanan Juna, satu-satunya fitur yang diwariskan oleh sang ibu.

Genap dua tahun sejak pemuda tersebut membangun tembok tinggi di sekelilingnya agar sang ayah nggak bisa mencoba masuk ke dalam hidupnya. Kesalahan satu malam yang Prima perbuat masih nggak bisa Juna maafkan sebab telah membuat hati Anjani hancur berkeping-keping sampai harus menitikkan air mata di setiap malam beliau memejamkan mata.

Bahkan hingga detik ini pun, Juna lebih memilih untuk mengemudi dalam diam. Hanya terdengar sayup-sayup suara radio yang keluar melalui speaker mobil. Sang ayah pun tampak sedang menimbang-nimbang, haruskah ia mulai berbicara sekarang atau nanti saja ketika telah sampai di bandar udara.

“A' Ajun.”

Ternyata Prima memilih untuk angkat bicara sedari sekarang, menghindari situasi canggung yang menyesakkan atmosfer malam itu.

“Ya?”

“Gimana kabar kul-”

“Ini tadi terminal berapa, deh, Pi?”

Prima menghela napasnya, tampak bersabar diri ketika sang anak tengah terlihat enggan berbasa-basi dengannya.

“Tiga, A'.”

Juna sedikit membelokkan kemudi, mengikuti arahan dari plang hijau di depannya untuk berpindah lajur agar dapat sampai di terminal tiga Bandara Soekarno-Hatta.

Sampai di parkiran, Prima terlebih dahulu ingin mengeluarkan kopernya dari dalam bagasi, namun Juna segera meminta beliau untuk menyingkir. Biar pemuda tersebut yang membawakan koper sang ayah sampai area check in.

“Juna aja.”

Anaknya lebih dulu berjalan di depan, meninggalkan Prima yang masih menatap lamat-lamat punggungnya. Merasa waktu telah berlalu begitu cepat, nggak terasa anak laki-laki satu-satunya itu telah tumbuh menjadi pria dewasa yang tengah menjalankan pendidikan sarjananya. Rasanya baru kemarin sore beliau mengajaknya bermain sepeda mengelilingi komplek.

Sembari menunggu pengumuman, Prima memilih untuk menunggu di kursi tunggu. Meminta Juna untuk membeli segelas kopi demi membunuh waktu. Walaupun Juna sempat kebingungan karena sang ayah nggak biasanya membeli kopi dengan asal memilih dan kini beliau justru menyuruh Juna untuk membeli kopi dari kedai apa saja dengan memberinya sejumlah uang yang sebenarnya cukup untuk membelikan sepuluh orang lain di sini masing-masing segelas kopi dingin.

“Nih, Pi,” ujar Juna dengan segelas kopi dan sisa uang di tangan kanannya, masih berdiri enggan mengambil tempat di samping sang ayah.

“Duduk dulu.” Prima menepuk-nepuk tempat kosong di sampingnya, memperbanyak stok kesabaran lantaran sang anak tengah masih terlihat begitu dingin kepadanya.

Mau nggak mau, Juna pun terduduk di samping Prima. Sama-sama larut dalam diamnya masing-masing sebelum sang ayah akhirnya berbicara sembari menyerahkan kunci mobil.

“Mobilnya dibawa pulang, ya, A'.”

“Oke.”

“Ke Depok.”

Juna menoleh singkat ke arah sang ayah. “Ke Antasari kali maksudnya?”

“Enggak, Nak,” jawab Prima dengan sabar. “Itu mobil Aa'... dibawa aja ke kos. Biar gampang kalau mau ke mana-mana.”

“Juna udah ada motor. Ada ojek online, KRL.” Juna menjawab sang ayah dengan ketegasannya yang selalu hadir ketika ia sedang bersama beliau. “Udah cukup semua.”

“Kalau mau jalan-jalan sama Aska, memangnya motor A' cukup?”

Sontak, Juna menolehkan kepalanya cepat. Mengernyit kebingungan sebab Prima tiba-tiba membawa Aska dalam obrolan keduanya.

“Papi tau Aska dari-” Juna menghenikan kalimatnya, tiba-tiba teringat kalau ia pernah bercerita dengan sang ayah perihal lelaki itu. “Oh, ya. Juna lupa.”

“Dipakai mobilnya kalau mau pergi sama dia. Masa anak Papi mau malam mingguan, pacaran, tapi naik kendaraan umum? 'Kan pasti kalian berdua butuh privasi.”

“Aska bukan pacar Juna,” jawab Juna singkat. “Belum, maksudnya. Ya-” Ia menggaruk kulit kepalanya yang nggak gatal itu.

“Gitu, deh, pokoknya.”

Prima terkekeh mendengar pernyataan yang terlontar. Jatuh cinta memang hal yang amat menyenangkan ketika dilakukan di masa muda. Ia sendiri pun telah melalui masa-masa naif itu. Suatu hal yang dapat membuat diri sendiri menjadi salah tingkah hanya dengan mendengar namanya disebut.

Soon to be. Papi aminkan.” Prima tersenyum tulus, memandang sang anak tengah. “Ya sudah, pokoknya Papi cuma mau bilang, Aska itu anak teman baiknya Papi, kalau bisa Juna kasih apa yang buat dia nyaman.”

Pengumuman bahwa pesawat Prima akan segera lepas landas sesaat lagi terpaksa menghentikan Prima untuk berbicara lebih lanjut. Berdiri dari duduknya untuk bersiap-siap pergi.

“Sudah dipanggil. Papi jalan sekarang, ya, A'.”

“Mobilnya Juna taro di rumah Antasari aja, ya?”

“Arjuna....” Sang ayah memanggil Juna dengan nama lengkapnya. “Mau sampai kapan?”

Keduanya bersitatap untuk sementara waktu. Dalam hatinya, Prima berharap agar perlahan-lahan Juna bisa mulai mengerti keadaan sekarang. Bahwa seluruh kehidupan berjalan maju dan keduanya nggak lagi tinggal di masa lalu.

“Papi pergi dulu. Nanti pulangnya Papi bawain makanan dari Kalimantan buat mami, teteh, Aa', dan adek.”

Prima menepuk bahu Juna sebanyak dua kali sembari tersenyum tulus sebelum beliau melangkah pergi, meninggalkan Juna seorang sendiri.

Lantas, Juna menoleh ke arah lain, menemukan kopi pesanan sang ayah yang masih berada di tempatnya, belum sempat diminum barang seteguk.

“Kopinya, Pi!” Juna sedikit berteriak, berlari untuk menyusul sang ayah.

Prima pun menghentikan langkahnya, memutarbalikkan badan.

“Buat Aa' aja. Biar nggak ngantuk di jalan pulang.”

“Uangnya....”

“Kalau yang itu buat beli bensin mobilnya Aa'.”

Lagi-lagi, beliau tersenyum sebelum kembali berjalan meninggalkan Juna. Hendak pergi ke Kalimantan untuk dinasnya.

Juna menghabiskan hampir lima belas menit untuk berdiam diri di dalam mobilnya yang kini terasa hampa tanpa kehadiran sang ayah. Deru mesin mobil menemani keheningannya di parkiran bandar udara.

Rahangnya mengeras, berusaha menahan bulir air mata yang mulai menggenang pada pelupuk mata. Juna lantas melempar kepalanya ke arah belakang. Mulai berpikir kalau mungkin memang dirinyalah satu-satunya anggota keluarga yang masih hidup di masa lalu sebab keluarganya yang lain tampak seperti sudah sepenuhnya mengikhlaskan apa yang telah terjadi.

Malam ini, Juna mengemudi pulang dengan perasaan yang sedikit membingungkan. Bahkan langit Jakarta malam itu tampak seperti mendukung kebimbangannya sebab pada detik ini butir-butir air hujan terlihat dapat langsung turun menghujam kaca jendela mobilnya dengan keras, namun pada detik berikutnya, ternyata ia masih dapat melihat bulan purnama yang cahayanya tampak benderang tanpa malu-malu ditutupi oleh gumpalan awan.

Aska berdiri sendiri di depan pagar dengan sekantong tas kain yang penuh diisi dengan berbagai bahan masakan. Rela berjalan sedikit jauh untuk mengunjungi Juna di hari Minggu sore. Pasalnya lelaki tersebut mengaku bahwa ia kelewat waktu makan di siang tadi, maka Aska pun memutuskan untuk membuatkan Juna masakan sederhana untuk disantap.

Muncullah Juna dengan berbalut hoodie abu-abu beserta celana hitam selutut, tampak persis seperti kebanyakan mahasiswa yang sedang berdiam di indekosnya masing-masing.

“Waduh, banyak banget bawaannya,” ujar Juna sambil tanpa berbasa-basi mengambil tas yang Aska jinjing dan Aska pun kali ini tanpa ragu menyerahkannya karena ia kini justru merasa senang kalau Juna bersedia membantunya melakukan sesuatu.

“Deja vu nggak, Jun?” tanya Aska sembari mengekor di belakang Juna, melangkahkan kaki menuju area dapur.

“Deja vu kenapa, tuh?”

“Dulu pertama kali kita ngobrol lagi 'kan juga gara-gara lu bantuin gue bawain barang-barang gue nyampe kelas.”

Juna terkekeh, “Oh, astaga. Bener juga. Inget aja, sih, Aska.” Ia berujar sembari menolehkan kepalanya ke belakang, menatap singkat Aska yang sedang mengekorinya.

“Oke, mau masak apa, Aska?” tanya Juna usai ia meletakkan tas kain tersebut di atas pantry dapur, kemudian beralih mengeluarkan alat-alat masak yang sudah disediakan pihak penyewa.

“Tunggu, punya grill pan nggak?”

“Hm....” Juna tampak berpikir, mengeluarkan satu teflon bundar yang ia sendiri bahkan nggak paham apakah benda tersebut benar grill pan atau bukan.

“Ini... grill pan bukan?”

“Hahaha.” Aska terkekeh memandang Juna yang terlihat clueless. “Bukan, Juna. Ini bukan grill pan, but well... this would do. Gapapa, makasih, ya.”

Juna tersipu mendengar perkataan lembut Aska. Sederhana, tapi ucapan terima kasihnya membuat ia harus menahan kedua ujung bibirnya agar nggak melengkung tersenyum ke atas.

“Gue mau masak salmon steak. Suka 'kan?”

Sedikit kaget, Juna mengernyitkan dahinya. “Serius lu beli salmon?”

“Iya,” ujar Aska santai, tangannya cekatan mengeluarkan bahan masakan dari dalam tas dan menyusunnya dengan rapi guna mempermudah dirinya dalam proses memasak nanti. “Kenapa kaget gitu?”

“Lu beli berapa banyak? Bukannya lumayan, ya?”

“Gapapa, perbaikan gizi,” jawab Aska enteng. “Bosen 'kan makan nasi telor mulu? Nih, sekali-sekali makannya salmon. Oh iya, Hanan sama Yale ada juga 'kan?”

“Ada....”

“Ya udah, nanti sekalian ajak mereka aja. Gue beli tiga potong, kok.”

Kegiatan masak memasak sore ini dimulai. Usai mencuci tangannya, Aska dengan cekatan membumbui potongan-potongan salmon di hadapannya, memanaskan teflon, kemudian mulai memanggang daging ikan kesukaannya itu.

“Gue bisa bantu apa?” Juna jadi merasa nggak berguna karena Aska tampak bisa menyelesaikan semuanya.

Aska berujar sembari tetap fokus pada teflon di depannya. “Udah, diem aja tungguin gue selesai masak.”

“Gue 'kan juga jago masak tau. Sini, gue mau ikutan.”

“Masa?” Aska menukikkan sebelah alisnya nggak percaya, meremehi kemampuan memasak Juna sebab pemuda itu bahkan nggak tahu seperti apa wujud grill pan.

“Seriusaaan.”

“Ya udah, bantu kupasin bawang putihnya.”

“Ah, gampang itu.”

Juna mulai meraih pisau di sampingnya, mengeluarkan sebutir bawang putih dari dalam plastik. Kedua alisnya tampak bertaut, bibirnya sedikit maju sebagai tanda bahwa ia sedang fokus pada pekerjaannya. Aska sesekali menoleh, tertawa pelan sebab Juna tampak nggak selesai-selesai dengan satu butir bawang putihnya.

“Hahaha, mana katanya jago?”

“Sumpah, sedikit lagi kekupas.”

Aska mengecilkan nyala api pada kompornya, sedikit bergeser untuk membantu pekerjaan Juna.

“Nih, biar lu gampang ngupasnya....” Aska meraih pisau pada genggaman Juna, mengambil sebutir bawang putih lain dari dalam plastik sebagai contoh. “Lu geprek dulu bawangnya kayak begini.”

Telapak Aska berada tepat di atas bawang putih dan pisau, mengeluarkan sedikit tenaga untuk menghancurkan bawang tersebut. “Nah, kalo udah kegeprek, nanti lu jadi lebih gampang ngupas kulitnya. Tinggal dilepas aja. Cepet 'kan?”

“Lah, gampang banget. Coba, coba, gue juga mau.”

“Nih.”

Juna mempraktekkan cara menghancurkan bawang putih persis seperti apa yang Aska lakukan tadi. Namun sepertinya, ia terlalu banyak mengeluarkan tenaga hingga bawang pada talenannya terlihat hampir hancur sempurna.

“Ya ampun, nggak usah pake tenaga dalem juga ngegepreknya.”

“Hahah!” Juna tertawa. “Maaf, maaf. Nggak sengaja. Tapi iya masa? Keren banget, jadi lebih gampang kekupas.”

Aska tersenyum melihat tingkah laku Juna yang lucu, bak anak kecil yang baru saja mendapat lolipop dari sang ibu. “Good job, Ajuuun.” Telapaknya mengudara, mengusak pelan surai tebal pemuda April itu.

Tanpa sadar, perlakuan Aska itu membuat Juna tersenyum salah tingkah. Lelaki itu bahkan harus membuang mukanya agar nggak terlihat kalau sebenarnya ia sedang berseri-seri.

“Jun, lanjut dulu ngupasin bawang putihnya. Mau gue pake.”

“O-oh, iya.”

Aska menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum pelan. Sekuat apa pun Juna berusaha menyembunyikan senyumnya, Aska masih dapat melihat wajah lelaki itu melalui ekor matanya. Ia jelas menyukainya ketika Juna berlaku demikian, tampak seperti seseorang yang benar-benar sedang jatuh cinta. Sedikit banyak ia paham kalau seorang Arjuna itu selalu tampak paling bahagia jika sedang dipuji.

Kegiatan keduanya berlanjut dengan Juna yang terus memperhatikan cara Aska memasak, hingga ilmunya tentang dunia masak memasak bertambah. Harus Juna akui bahwa kemampuan memasak Aska memang jauh berada di atas rata-rata. Meskipun kegiatan ini nggak punya label khusus untuk harus dimiliki perempuan atau laki-laki, tapi bagi ukuran laki-laki, Aska memang terlampau lihai dalam urusan ini.

“Mana temen-temen lu?” Aska bertanya dengan dua piring salmon steak pada tangannya, hendak menyusun meja makan yang berdekatan dengan area dapur. “Sini, suruh makan bareng.”

Kalau boleh jujur, Juna nggak ingin mengundang kedua temannya pada acara makan sore ini sebab ia tahu persis kalau teman-temannya yang usil itu pasti akan meledeknya habis-habisan di depan lelaki impiannya itu. Tapi mau nggak mau, Juna kini sudah berada di depan pintu kamar Hanan dan juga Yale karena Aska sudah memerintahkannya. Mengetuk satu persatu pintu tersebut untuk mengundang penghuninya ke luar.

“Widih, ada acara apaan, nih, tiba-tiba gue dimasakin salmon?” Hanan yang keluar dari kamarnya dengan pakaian yang nggak jauh beda dari Juna segera mengambil tempat duduk tepat di samping Yale.

“Sebenernya lu nggak diajak, sih. Cuma kasian aja udah lama gizi lu buruk gara-gara kebanyakan makan di pinggir jalan,” ledek Yale sembari meraih sendoknya.

“Lu bego yang nggak diajak.” Hanan juga turut meraih alat makannya. “BTW, hai, Ska. Udah lama nggak ketemu.”

“Iya, udah lama banget. Saking lamanya gue baru inget terakhir kita ketemu, tuh, Jumat kemaren,” balas Aska dengan sedikit nada kesal di dalamnya.

“Kalem. Tapi serius, lu kenapa nggak ada angin nggak ada hujan tiba-tiba baik banget masakin gue, Juna, sama Yale?”

“Gue sebenernya mau masakin Juna doang, sih, tapi bener kata Yale, gue jadi kasian ngeliat gizi lu buruk. Jadi, gue masakin aja sekalian.”

Hanan berangguk-angguk, bersiap bangkit dari tempat duduknya. “Oh, gitu. Ya udah, cukup tau aja gue. Gih, dah, pacaran aja lu berdua.”

“Nggak usah ngambek. Udah duduk, jangan rewel.” Juna menarik pergelangan tangan Hanan dengan sedikit tenaga, membuat Hanan kembali terduduk di atas kursinya.

“Ampun, Bang,” ujar Hanan, “tapi, nggak usah sok cool begitu bisa kali. Nggak usah jaim, dah, depan Aska.”

“Nggak, kok.” Aska menggelengkan kepalanya, membuka bungkus camilan untuk ia makan karena dirinya sudah sempat makan siang sebelum bertandang ke mari. “Kalo lagi sama gue doang dia gampang salting. Ini biar nggak diledekin aja sama lu, Nan.”

“Dih? Terus kenapa di depan gua sama Yale sok cool bener, dah?”

“Biasa.” Yale ikut buka suara setelah menyuap salmonnya. “Emang aslinya nggak mau keliatan lemah depan orang-orang.”

Juna dan Yale, keduanya sama-sama bertatap-tatapan untuk sesaat. Saling tahu kalau kalimat Yale barusan punya makna yang lebih dalam dari itu.

“Eh, ngomong-ngomong.” Hanan yang menyadarinya lantas berusaha mencairkan suasana tegang yang baru saja tercipta. “DTI udah kelar juga 'kan, ya, Eksplorasinya?”

Keempatnya kini melanjutkan sesi makan sore sembari bercerita akan kegiatan di masing-masing departemen. Hingga pada saat makanan di atas piring masing-masing telah tandas, Juna berinisiatif untuk membersihkan tumpukan piring tersebut untuk dicuci di wastafel, sembari menguping pembicaraan Aska, Hanan, dan Yale. Takut-takut kalau kedua teman sialannya itu diam-diam menjelek-jelekkan namanya di depan Aska.

“Nggak usah nguping lu!” teriak Hanan, kemudian kembali pada percakapannya dengan Aska dan Yale. Lantas, Juna hanya bisa bergeleng-geleng, bersabar diri karena harus berteman dengan sosok seperti Hanan.

Usai mencuci piring beserta alat masak lainnya, Hanan mengajak Yale untuk meninggalkan Juna dan Aska. Memberi keduanya ruang untuk berbicara. Sepenuhnya mengerti bahwa Aska nggak mungkin datang jauh ke mari hanya untuk membuatkan Juna masakan.

“Mau lanjut ngobrol di sini, atau...?” Juna bertanya dengan dengan kikuk.

“Gue nggak boleh, ya, masuk ke kamar lu?” tanya Aska, “jangan mikir aneh-aneh. Cuma panas aja kalo ngobrolnya di luar, apalagi bekas masak tadi.”

“Gue... gapapa, sih. Tapi, lu... emang gapapa berduaan sama gue di kamar?”

“Emangnya kenapa?”

Juna menghela napasnya. “Seharusnya emang nggak kenapa-kenapa. But people nowadays kadang ada aja yang nggak bisa mikir, ngejadiin kesempatan kalo lagi berduaan di kamar kosan buat jadi kegiatan yang lebih, padahal pasangannya belom tentu ngasih consent. I mean, at least I hope not with me though. But better safe than sorry, lain kali jangan gampang ngasih izin ke orang, ya, Aska?”

Dengan senyum tulusnya, Juna menepuk-nepuk puncak kepala Aska dengan pelan. Memberinya perhatian agar lebih berhati-hati lagi ke depannya. “Masih mau ke kamar gue? Kalo emang masih gapapa, nanti gue duduk di kursi.”

Aska melengkungkan bibirnya ke bawah, kedua matanya kini membulat. “Kalo masih gapapa nggak? Nggak bakal aneh-aneh sumpah. Mau ngadem doang....”

Juna jelas nggak bisa menahan kegemasannya terhadap ekspresi Aska yang terlihat memelas, jadi ia akhirnya beranjak untuk membukakan Aska pintu kamarnya.

Untuk ukuran kamar laki-laki, kamar Juna ini bisa dibilang cukup rapi. Baju-bajunya digantung dengan baik pada pintu kayu kamarnya, selimut serta bantalnya juga disusun dengan apik, serta tumpukan buku di atas meja belajarnya juga tampak ditata sesuai ukuran. Membuat siapa-siapa saja yang masuk ke dalam sini merasa nyaman. Dan jangan lupakan fakta bahwa kamar ini harumnya menenangkan. Sepertinya Juna memilih wewangian yang tepat untuk digantung pada AC kamarnya.

“Sini.” Juna menepuk-nepuk tepian ranjangnya. “Lu duduk di kasur, gue duduk di kursi.”

Alih-alih menuruti perkataan Juna, Aska justru mengikuti pergerak Juna yang sedang duduk membelakanginya. Terlihat tengah merapikan laptop beserta kabel-kabel di atasnya.

Sewaktu Juna berbalik dan menemukan Aska yang berdiri di hadapannya dan bukan duduk di tepian ranjang seperti apa yang telah ia pinta, pemuda tersebut sedikit tersentak hingga roda kursinya bergerak mundur.

“Kag-”

Puk, puk....

Telapak tangan Aska bertengger pada puncak kepala Juna. Menepuk-nepuknya pelan, kemudian diakhiri dengan usapan halus pada bahu kokoh lelaki tersebut. Sebelum pada akhirnya ia pun terduduk di tepian ranjang.

“Gapapa, lho, Jun buat nggak selalu keliatan kuat di depan orang-orang. Kadang, gue juga masih suka ngeluh ke temen atau bahkan bokap gue kalo gue lagi demot atau gagal sama sesuatu.”

Jemari Aska memainkan ujung selimut yang sedikit menjuntai ke bawah, kembali melanjutkan kalimatnya. “Easier said than done, I know. Tapi, gue mau lu tau itu.”

Hanya ada suara embusan angin dari AC kamar yang dinginnya menerpa permukaan kulit kedua anak Adam tersebut. Nggak ada yang berminat untuk mengeluarkan barang sepatah dua patah kata seusai Aska menjeda kalimatnya.

“Kemaren-kemaren ini, gue liat lu selalu tampil full energy di depan gue. Selalu nyapa gue, ngecek keadaan gue, dan bahkan nyempetin waktu buat beliin gue kopi,” ujar Aska, kini pandangannya berpindah pada objek yang sedang terduduk di atas kursi. “Padahal aslinya lu lagi hectic parah. Gue baru sadar lu jadi PJ di proyek angkatan lu, ditambah sama Eksplorasi DTM yang pulangnya selalu pagi-pagi banget. Dan lu nggak pernah bilang kalo lu aslinya sesibuk itu, padahal gue bisa-bisa aja ngertiin lu. I'm not going anywhere.

Juna memberanikan diri untuk mengangkat kepalanya, menemukan kedua maniknya dengan manik milik Aska yang selalu tampak teduh baginya. Pemuda itu tampak tersenyum tulus, benar-benar serius akan pernyataan yang sempat ia nyatakan barusan.

Gugup, Juna menelan ludahnya kasar.

“Lain kali bilang aja, ya, lu lagi sibuk ngapain, hati lu lagi ngerasa apa, biar gue bisa tau. Gue pasti bakal selalu nyoba ngertiin keadaan lu, kok, Jun.”

Sebenarnya, hal baik apa yang telah Juna lakukan pada kehidupan sebelumnya? Hingga ia bisa dipertemukan dengan manusia yang kebaikannya bak malaikat di surga dan dengan kasih yang begitu tulus. Tekadnya membulat, ia akan berusaha untuk nggak menyia-nyiakan kehadirannya. Ia berjanji nggak akan membiarkan yang kali ini pergi atau yang lebih parah lagi, dirinya sendiri yang pergi terlebih dahulu, seperti pengalamannya di masa lalu.

Belum cukup seminggu ke belakang ini Juna telah ditempa beberapa kesibukan, nyatanya hari Sabtu ini menjadi puncak dari hari-hari lain. Ia nggak menyangka jika kesalahan yang ia perbuat sebagai penanggung jawab bidang perlengkapan pada acara angkatannya terlampau begitu fatal hingga ia harus menerima cecaran dari beberapa kakak tingkatnya yang sudah jauh lebih ahli di bidang ini.

Juna mengusap wajahnya kasar, kedua matanya terpejam berusaha menenangkan pikirannya yang berkecamuk.

Nggak bisa, batinnya. Juna butuh sesuatu untuk membasuh kekecewaannya. Kaki jenjangnya pun lantas melangkah masuk ke toilet guna membasuh wajahnya dengan air mengalir.

Helaan napas berat terdengar memenuhi ruangan sempit itu. Juna ingin sekali meluapkan amarahnya yang sesaat lagi akan tumpah sebab telah melebihi batas wajarnya. Ia telah dipercaya oleh banyak orang untuk mengemban amanat ini, lantas mengapa ia masih nggak bisa mempertanggungjawabkan hal tersebut di hadapan orang-orang?

Untuk beberapa saat, Juna terdiam. Kemudian kedua tungkainya memutuskan untuk melangkah ke luar, hendak pulang ke tempat ia tinggal untuk mengistirahatkan tubuh serta pikirannya.

“Jun....”

There he is standing alone, waiting for him to come outside.

Aska telah berdiri di tempatnya untuk beberapa saat, menunggu lelaki yang tengah tampak berantakan itu untuk dapat dia sambangi. Dirinya telah melalui perdebatan hebat dengan sel-sel pada otaknya. Haruskah ia biarkan Juna sendiri? Atau justru seperti sekarang, dengan keberanian penuh Aska coba hampiri lelaki itu.

“Eh, Aska?” Juna sempat malfungsi sesaat, kemudian buru-buru mengeringkan bulir-bulir air yang mengalir pada pelipis wajahnya dengan lengan kemeja flanel yang ia kenakan. “Kok ke sini?” tanya Juna, “ada perlu sesuatu?”

You ok- ah, tunggu. Of course you're not okay.” Aska berujar dengan tatapan yang sendu.

Sementara Juna langsung tertawa seadanya, berusaha tampil baik di depan lelaki impiannya itu. “Enggak, gue gapap-”

Can I walk you home?

Juna mengedip-ngedipkan kedua matanya kebingungan. Nggak tahu harus merespon Aska dengan jawaban seperti apa.

“Udah jam segini,” ujar Juna pada akhirnya. “Kosan gue juga jauh.”

“Iya, tau,” balas Aska tenang, “can I still walk you home?

Juna termenung.

Please?” Aska mencoba untuk memohon. “I wanna be there for you too.

Lelaki April itu ingin menolaknya, namun kepalanya justru memerintahkan saraf pada tulang di belakang kepalanya untuk berangguk.

“Mau?”

Pertahanannya runtuh.

“Mau....”

Lantas, Aska melangkah maju, menghampiri lelaki yang telah berusaha mengisi hari-harinya. Dan kali ini, tiba gilirannya untuk mencoba menemani Juna di hari beratnya. Aska nggak ingin hanya dirinya yang diuntungkan di sini.

Want some hugs?” tawar Aska dengan keberanian penuh. Walaupun dirinya takut, takut kalau Juna akan menganggapnya berlebihan sebab keduanya baru saja kenal dekat dalam beberapa minggu ke belakang.

“Kita masih di FT-”

Want some hugs?” ulang Aska dengan sedikit penekanan di dalamnya, berusaha bertanya tanpa nada ragu yang tersirat.

Persetan dengan orang-orang yang kemungkinan masih bisa melihat keduanya berpelukan di area fakultas meskipun tampaknya sudah nggak ada seorang pun yang tersisa di sekitar mereka. Juna sedang ingin sekali dipeluk.

“Mau....” Juna berkata dengan lemah. “Mau juga.”

Aska menelusupkan kedua lengannya di celah antara lengan dan tubuh Juna, membawanya ke sebuah pelukan hangat. Telapak tangannya nggak berhenti mengusap punggung seluas samudera milik lelaki dalam rengkuhannya itu.

“Gapapa. Ada gue di sini.”

Sebulir air mata jatuh melesat di atas pipi halus milik Juna. Alih-alih berteriak atau melempar barang, dirinya justru akan menangis ketika tengah berada di puncak amarahnya.

Juna masih merasa kecewa akan dirinya sendiri. Ia nggak terbiasa gagal, maka ketika pada akhirnya ia harus melewati kegagalan, dirinya akan merasa kelewat sedih, kecewa akan kinerja diri sendiri. Padahal dalam hidup, nggak selamanya kita harus berhasil, bukan?

“Makasih....” Juna berujar dengan suaranya yang teredam pada perpotongan leher Aska.

It's okay, Big Baby.

Terenyuh, Juna kembali meneteskan air matanya. Sanggupkah ia untuk membalas semua yang telah Aska kerahkan padanya pagi buta ini agar dapat membuatnya jauh lebih tenang?

Aska hanya dapat berlanjut merengkuh Juna, sepenuhnya mengerti alasan di balik pria itu yang seharian ini menghilang nggak ada kabar. Nggak sampai hati melihat Juna yang senantiasa terlihat ceria dan full energy di hadapannya meskipun tengah melalui banyak hal berat di minggu ini.

Dan sementara itu, jauh di balik pilar sana terdapat seorang lelaki yang tengah memperhatikan keduanya. Mulutnya ternganga, sedikit nggak percaya dengan apa yang baru saja ia saksikan.

Oh... so my baby is finally seeing someone new, batinnya dengan senyum yang sedikit tersungging sebelum meninggalkan Juna dan Aska, memberi keduanya ruang untuk menghabiskan waktu bersama sebelum Aska mengantar Juna pulang.

Notifikasi yang kian bermunculan pada layar ponselnya membuat kedua pipi Juna pegal sebab senyum yang ia coba tahan. Kedua telapak tangannya ia masukkan ke dalam kantong jaket hitamnya. Bersender pada dinding tempat ia duduk menunggu acara Eksplorasi IMTI yang nggak kunjung selesai.

Belum. Juna sejatinya belum memejamkan kedua matanya ketika Aska telah menyuruhnya untuk meninggalkan Aska agar dapat menggunakan waktu istirahatnya. Alih-alih merebahkan tubuhnya di atas kasur untuk segera pergi ke alam mimpi, ia justru meraih jaket yang tergantung pada pintu kamar indekosnya kemudian bergegas menuju gedung fakultasnya.

Acara ini biasanya diselenggarakan selama empat sampai lima hari, berbeda-beda tergantung kebijakan departemen yang terdapat pada fakultas ini. Dimulai pada sekitar jam tujuh malam dan biasanya tetap berlangsung hingga sang surya muncul di ufuk timur. Lagi-lagi berbeda, bergantung pada kebijakan tiap-tiap departemen.

Untuk kasus departemen Aska, sepertinya acara tersebut akan usai sesaat lagi. Juna lantas segera bangkit dari duduknya ketika anak-anak departemen tersebut telah berhamburan pergi meninggalkan tempat acara.

Juna terus menunggu, hingga kedua maniknya menangkap keberadaan lelaki dambaannya, yang tetap terlihat manis walau kantuk jelas telah menyerang durjanya. Aska tengah berjalan seorang diri, sepertinya belum sadar akan kehadiran Juna beberapa meter di hadapannya.

“Hai.”

Aska terlonjak, tubuhnya sedikit tersentak mundur akibat sapaan yang baru saja ditujukan untuk dirinya.

“Lah, Juna?” Dengan kesadarannya yang tersisa setengah, Aska membulatkan kedua matanya lebar-lebar. “Lu bukannya udah gue suruh tidur?”

“Sendirian?” tanya Juna, “temen-temen lu yang lain mana? Kok nggak bareng?” Bukannya membalas, ia justru melontarkan pertanyaan lain.

“Jawab gue dulu. Lu bukannya udah tidur?” Aska tampak enggan mengalah. “Keganggu, ya, sama suara notification chat gue?”

“Oke, oke.” Juna mengalah. “Habis lu suruh tidur, sebenernya gue nggak langsung tidur, sih. Soalnya tanggung aja udah jam segini.” Sembari berkata, Juna melepaskan jaket yang tadinya melekat pada tubuh bidangnya.

“Sini tasnya,” pinta Juna, namun Aska langsung menahan totebag yang tersampir pada bahu kanannya agar benda tersebut nggak berpindah tempat.

“Terus kalo tanggung kenapa? Tidur aja harusnya, 'kan lu nanti kelas, Jun.”

Juna memilih untuk menghiraukan ujaran lelaki di hadapannya itu. “Sini tasnya. Pake dulu jaket gue.”

“Kalo gue pake jaket lu, lu pake apa, Juna?”

Keduanya sama-sama keras kepala. Perdebatan ini tampak akan berlangsung hingga satu jam lamanya jika nggak ada dari keduanya yang rela mengalah.

“Gue udah pake dari tadi, Aska,” jawab Juna nggak kalah ngeyel. “Lagian Depok dingin, nanti lu sakit.”

“Gue lebih percaya Billie Eilish aslinya orang Nganjuk daripada cuaca Depok tiba-tiba berubah jadi dingin.”

“Hahahahah.” Juna tertawa renyah, namun pergerakan tangannya tetap nggak berubah, tetap ingin menyampirkan jaket hitamnya pada tubuh Aska yang terlihat sudah kelelahan itu. “Udah ayo dipake jaketnya. Sini dulu tasnya.”

Aska menelan ludahnya gugup. Mungkinkah ini saat baginya untuk mencoba seseorang melakukan sesuatu padanya untuk membantu meringankan bebannya? Untuk sekali-sekali, nggak ada salahnya, bukan?

“Yuk?” Juna tersenyum, menunggu Aska menyerahkan tasnya untuk Juna dapat menyampirkan jaket miliknya. Hingga pada akhirnya Aska luluh, ia melepaskan totebag yang ia bawa pada bahu kanannya.

Nice.

Juna menerima tas yang disodorkan oleh pemiliknya itu, kemudian menyampirkan jaket kebesarannya pada tubuh Aska. Nggak terbalut dengan sempurna, namun cukup tebal untuk memberi Aska sedikit kehangatan.

“Sini balikin tasnya,” ujar Aska sembari membetulkan letak jaket pada tubuhnya.

“Gue aja yang bawa,” balas Juna, matanya menatap Aska singkat, kemudian beralih ke arah jalan setapak di depan, bersiap-siap untuk meninggalkan area fakultas.

“Nggak mau. Sini gue aja, gue bisa bawa sendiri.”

“Iya, gue tau lu bisa bawa sendiri. Semua orang juga bisa ngebawa tasnya sendiri.” Juna berkata selembut mungkin. “Tapi, kali ini gue coba bantu bawa aja, ya? Gapapa 'kan?”

Aska termenung untuk sesaat.

“Gapapa 'kan?” ulang Juna, “yuk jalan. Gue temenin balik sampe depan kosan.”

Juna berjalan terlebih dahulu, meninggalkan Aska yang masih termenung hingga akhirnya ia turut melangkahkan kakinya untuk mengejar lelaki di depannya.

“Gimana Eksplor day one-nya?” tanya Juna, mencoba mengalihkan topik pembicaraan.

“Ya... gitu, deh. Capek, terus ngantuk banget.”

“Gue belom pernah ngerasain, sih. Tapi, kalo kata kating gue, emang awalnya bikin ngantuk, but you'll soon get used to it.

Yeah... people said so. Semoga mulai besok-besok udah nggak begitu berasa ngantuknya.”

Juna tersenyum menanggapi lelaki yang ikut berjalan di sampingnya itu.

Kini, berganti Aska yang menanyakan tempat Juna tinggal. “Kosan lu emang di mananya, deh, Jun?”

“Keluar gerbang, belok kiri.

“Hah?” Aska sedikit terlonjak kaget. “Lu ngekos di Kukel?”

“Enggak, belom sampe Kukel juga. Masih daerah-daerah sini, kok.”

“Jauh banget. Kosan gue cuma tinggal lurus,” ujar Aska, “terus lu pulang gimana?”

“Tenang, Kutek masih agak rame. Gue bisalah jalan sendiri.”

“Serius?”

“Serius,” jawab Juna enteng. “Gue udah pernah, kok, jalan balik sendiri subuh-subuh.”

“Baru maba udah disuruh romusha.

“Hahahah!” Juna tertawa sedikit kencang. “Nggak boleh begitu, Aska.”

“Semoga cepet-cepet kelar, deh, masa-masa kuliah ini.”

“Lho, malah kalo udah selesai kuliah, tanggung jawab kita bakalan jadi lebih gede nggak, sih?”

“Ah, sial.” Aska menepuk jidatnya. “Bener juga lu.”

Keduanya tertawa pelan, sama-sama menyusuri jalan menuju tempat Aska tinggal selama menjalankan masa-masa perkuliahannya. Jam pada layar ponsel menunjukkan pukul lima pagi, namun langit di atas sana masih berwarna gelap. Keduanya berjalan dengan penerangan remang-remang di sekelilingnya, sesekali tertawa akan kata-kata yang keluar dari belah bibir masing-masing. Sungguh nggak terasa, keduanya tiba-tiba sampai di depan pagar indekos Aska.

“Di sini kosan gue.”

“Oh....” Juna mengangguk-anggukan kepalanya. “Di sini... pantes sering makan di tempat biasa.”

“Iya, deket soalnya,” jawab Aska sembari melepaskan jaket yang tersampir asal pada tubuhnya.

“Ya udah, istirahat, ya, Aska.” Juna tersenyum, menerima pemberian jaket dari Aska, kemudian ikut menyerahkan totebag yang tersampir pada bahu kirinya. “Jangan sampe telat masuk kelas.”

“Iya, lu juga,” balas Aska, “lain kali kalo disuruh tidur, ya tidur. Jangan tiba-tiba kelayapan di FT.”

“Siap, Bos.” Juna terkekeh. “Gue balik dulu, ya?”

“Hati-hati. Makasih udah ditemenin balik.”

“Oke, dadah, Aska.” Juna melambai-lambaikan telapak tangannya. “Eh, kok, dadah? Sok akrab banget gue.”

“Hahaha!” Aska tertawa. “Iya, dadah, Ajun. Selamat tidur, semoga nyenyak sampe bangun.”

Pipinya panas, semburat kemerahan muncul begitu saja pada kedua pipi Juna yang berkulit susu itu. Lidahnya kelu, sel-sel pada otaknya nggak bisa menghasilkan respon yang tepat atas ucapan dari lelaki dambaannya itu.

“Kok merah pipinya?” ledek Aska, yang sebetulnya paham betul bahwa Juna sedang salah tingkah sebab ulah perkataannya.

“Uh... gotta go. Dah, Aska.”

Dengan begitu saja, Juna tersenyum singkat kemudian berlari kecil meninggalkan Aska seorang diri. Hingga pada saat tubuh lelaki April itu menghilang di persimpangan, Aska meloloskan tawanya. Telapak tangannya menelusup masuk, membuka kunci pagar indekosnya.

Ketika ia telah kembali mengunci gembok pagarnya, Aska sempat menyenderkan tubuhnya di balik pagar. Kedua matanya terpejam, bibirnya nggak berhenti menyunggingkan senyum lebarnya.

Why am I smiling like an idiot? batin Aska dengan perasaan senang yang meledak-ledak pada benaknya. Falling in love is indeed a silly thing.

Terbelalak, Aska membuka kedua matanya lebar-lebar.

Oh wait, did I fall already?

Aska nggak paham mengapa dirinya lebih memilih untuk mencari Juna kala ia sedang sendiri dibanding menghubungi temannya yang lain yang sudah lebih akrab dengan dirinya.

Entah kenapa, pemuda tersebut memberikan kesan yang baik bagi diri Aska. Nggak tampak niat buruk barang seujung jari pun yang tersirat dari dalam diri Juna. Hal tersebut membuat Aska nyaman berada dalam satu ruang yang sama dengan lelaki itu, bahkan jika di dalam ruangan tersebut ada tersisa mereka berdua.

Walaupun Aska telah mempersiapkan kemungkinan terburuk, entah musibah apa itu yang membuat Juna mungkin nggak jadi mendatanginya di toko dimsum ini. Tapi nggak peduli selama apa pun itu, nyatanya Juna tetap datang.

There he is.

Pria yang Aska tunggu-tunggu kehadirannya.

Juna datang dengan napas yang terdengar sedikit menderu-deru. Ia nggak baru saja berkendara dengan kecepatan maksimum untuk menuju ke mari, bukan?

“Kok ngos-ngosan?”

“Iya... sorry. Lama, ya, nunggunya?”

“Minum dulu. Kok malah mikirin gue, sih?” Aska menyodorkan segelas air mineral dingin yang telah ia pesan.

“Ah....” Juna mengusap ujung bibirnya setelah menenggak substansi di dalam gelas tersebut. “Iya, tadi gue dari stasiun naik ojek online ke sini. Terus ternyata ada tabrakan yang bikin macet, akhirnya gue turun aja terus lari ke sini. Lu udah nunggu dari setengah enam soalnya.”

Dilihatnya arloji yang ia pakai pada pergelangan tangan kirinya. “Sekarang udah hampir setengah tujuh. “Sorry, Aska.”

“Tau gitu nggak usah gapapa lho, Jun.” Bahu Aska menurun, nggak sampai hati mendengar Juna yang jadi kerepotan sebab dirinya itu. “Kalo makan waktu banget, lain kali lagi aja kita makannya.”

I'll always make time for you.” Juna mengusap peluh yang menghiasi pelipisnya. “Or at least, I'll always try.

Sungguh, seorang Arjuna Prima Putra bukanlah pemuda dengan mulut yang mudah meluncurkan kalimat semanis madu. Namun, Aska selalu berkali-kali tertangkap terdiam diri, berusaha mencerna kalimat Juna yang kedengarannya sangat berarti. Belum pernah ada satu pun laki-laki yang berhasil meluluhkan hati Aska sedikit demi sedikit setelah ia susah payah menyembuhkannya dari luka yang terdahulu.

You don't have to....

“Tapi, gue mau.”

Keduanya saling bertukar tatap. Sebelum Juna akhirnya mencairkan suasana agar nggak terlalu sendu.

“BTW, gue udah boleh makan belom? Laper banget bolak-balik Jakarta-Depok, apalagi nyampe Jakarta Utara.”

Disodorkannya sepiring siomai babi ke depan meja Juna, sebelum dirinya turut menyumpit hakau udang di hadapannya. “Tuh, siapa yang kemaren bilang, B aja, kok, nggak jauh.

“Gue nggak bilang jauh, tapi bikin laper iya. Nggak masalah, kok, kalo gue harus bolak-balik.” Juna menyuap siomai pemberian Aska ke dalam mulutnya.

“Lu kenapa niat banget, Jun?”

Juna mengunyah siomainya terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan yang Aska lontarkan. “Emang gue harus bersikap kayak gimana lagi kalo mau deketin orang? Bener 'kan emang kayak begini cara mainnya?”

Aska belajar satu hal malam ini.

If they want, then they would. They'll always make an effort if they want it.

“Tapi, terus kalo udah dapet, lu bakal ngurangin pace lu atau justru lu kencengin?”

Lidah Juna terasa kelu mendengar pertanyaan lanjut dari diri Aska. Ia menjilat bibirnya singkat, mulutnya sedikit ternganga. Otaknya bekerja keras, memikiran jawaban yang tepat bagi pertanyaan itu.

“Soalnya kadang ada aja orang yang udah dapet, terus udah gitu. Udah ilang rasa penasarannya, eh habis itu effort-nya ikut ilang juga.”

“Um....”

“Gapapa, lupain aja.” Aska tersenyum getir. “Come to think of it, I think it's weird to have that as our 'first' conversation. Well, not really the 'first' one, but well... we're still on our first stage, aren't we?

Y-yeah....

“Oke, udah lupain aja. Sorry, sorry.

Aska jadi merasa nggak enak hati telah membawa topik yang kurang mengenakkan untuk dibahas ketika sedang bersama pemuda di hadapannya itu. Terkadang, ia membenci bagian dari dirinya yang ini, yang suka berkata terlalu apa adanya. Hal ini bisa saja membuat lawan bicaranya menjadi nggak nyaman untuk menghabiskan waktu bersamanya.

“Udah pernah makan di Wingheng, Jun?” tanya Aska dengan usahanya mengalihkan topik pembicaraan.

“Udah, tapi gue personally lebih suka tempat dimsum lain. Ya, walaupun kalo di Jakarta emang Wingheng yang paling enak.”

“Oh, iya?” tanya Aska antusias. “Di mana emang yang lebih enak.”

“Ada tempat dimsum di Bandung. Dimsum Sembilan Ayam. Menurut gue itu enak banget, lebih-lebih dari Wingheng. Nggak ada menu babinya, sih, tapi tetep enak.”

“Yah, sayang banget adanya di Bandung. Masa gue harus jauh-jauh ke Bandung cuma buat makan dimsum.”

“Hahahah.” Juna terkekeh. “Ayo, sama gue ke Bandung.”

“Sekarang banget?”

“Ehm....” Juna mengusap tengkuknya kikuk. Bisa-bisanya dia mengajak Aska bepergian ke luar kota bahkan hanya di hari kesekiannya dekat dengan laki-laki tersebut. “Yah... maksud gue, nanti-nanti kalo ternyata kita masih deket. Ayo, jalan-jalan ke Bandung. Still too early for now, but yeah....

Gantian, sekarang Aska yang terkekeh pelan. “Kapan, tuh, kira-kira?”

“Libur semester ganjil? Genap?” tebak Juna, “I don't know, we'll see.

“Menurut lu kita sampe bulan segitu makin deket atau malah udah jauh lagi?”

“Nggak pernah ada bayangan gue mau jauh-jauhan sama lu, Aska. Ya, kalo gue maunya makin deket dong.” Juna menjawabnya dengan jelas, kemudian kembali menenggak air minumnya. “Tinggal dari lu, kira-kira mau apa nggak lanjut sama gue.”

“Oke, oke.”

“Jadi gimana. Mau nggak, Aska?” goda Juna.

”'Kan gue bilang liat besok-besok.”

“Tapi, buat sekarang....” Juna meletakkan sumpitnya di atas piring kecil di hadapannya. Kedua punggung tangannya ia pakai untuk menyangga dagunya dan kini kedua matanya sedang lekat-lekat menatap lelaki dambaannya. “Kalo gue chat atau ajak jalan lu udah ngasih lampu ijo 'kan buat gue?”

Aska tersipu, memanglingkan wajahnya ke arah samping agar nggak harus bertatap-tatapan dengan pria di hadapannya itu.

Keduanya pun tergelak. Aska menutup sebagian wajahnya dengan telapak tangan kanannya.

“Bisa-bisanya lu nanya gitu langsung ke gue, mana segala ngeliat ke arah gue lagi.”

“Aduh, hahahah....” Juna tertawa renyah, turut menutup wajahnya yang kini kemerahan. “Sebenernya gue juga deg-degan, sih, nanyanya.”

“Iya, tuh, telinga lu sampe merah begitu,” tunjuk Aska.

“Yah, emang nggak bisa diajak kerja sama, nih, telinga gue.” Juna mengusap-usap telinganya yang kini menghangat itu.

Jatuh cinta nggak pernah terasa semenyenangkan ini sebelumnya.

Ketika Aska mendapat kabar dari Juna bahwa ia sebentar lagi akan sampai di depan rumahnya, ia nggak mengira kalau lelaki itu akan sampai dengan mengendarai Jeep Wrangler Rubicon hitam legam, sebuah mobil yang bisa dikatakan cukup jarang dikendarai oleh kebanyakan teman sebayanya.

Kepalanya sedikit melongok ke luar jendela kamar, matanya membulat kaget melihat penampakan mobil besar itu telah sampai di depan rumahnya. Tatkala sebuah notifikasi masuk ke ponselnya, Aska bergegas turun ke bawah, mengunci seluruh jendela dan pintu untuk menemui Juna di depan.

“Jun.”

Yang disapa menegakkan bahunya, tersenyum singkat ketika yang ditunggu-tunggu olehnya keluar dari balik pagar.

“Hai, Aska.”

“Ngapain nunggu di luar?” tanya Aska sembari ia mengunci gembok pada pagar rumahnya.

“Lho, gue nggak pamit dulu sama orang tua lu?”

“Nggak usah. Bokap gue lagi nggak di rumah.”

Baru saja Juna ingin bertanya, bagaimana dengan ibu atau mungkin ayahnya yang satu lagi? Namun sayangnya, Aska sudah lebih dulu mengajaknya meninggalkan rumah. Padahal, ini juga bisa menjadi kesempatannya untuk bertemu dengan Om Saka lagi, sekaligus memberi tahu Aska bahwa kedua orang tuanya itu sebenarnya merupakan teman baik.

“Yuk, Jun?”

“O-oke, ayo.”

Juna berjalan mendahului Aska, membukakan pintu penumpang untuk tambatan hatinya itu masuk ke dalam mobil.

“Bisa nggak naiknya? Hati-hati.”

“Bisalah. Tinggi kita sama, ya. Lu jangan ngeremehin.”

“Hahahah.” Juna terkekeh. “Oke, deh, kalo gitu.” Kemudian, ditutupnya pintu penumpang di hadapannya sebelum ia kembali duduk di belakang kemudi.

Lagi-lagi, Juna tersenyum begitu dia menyenderkan punggungnya pada jok mobil. Kepalanya menoleh ke arah kursi penumpang, tempat di mana Aska terduduk.

“Kenapa kok liatin gue?”

”You smell good today,” puji Juna singkat. ”Oh and it suits you well. The... uhm, what do we call it? Cardigan?

Juna nggak setiap saat bisa berkata manis, namun ketika ia sedang bersama orang terkasih, entah mengapa lidahnya bisa begitu saja berucap demikian, berucap kata-kata yang bisa membuat lawan bicaranya tersanjung.

“Ih, gue keliatan banget, ya, siap-siapnya?”

“Maksudnya?” tanya Juna sembari menurunkan rem tangan, bersiap meninggalkan area perumahan Aska.

“Kecium banget tadi parfum gue?”

“Ya... iya?”

“Aduh, nyegrak banget, Jun?”

”But it smells nice, though. Kenapa lu kedengerannya worry banget, Aska?”

Aska mendecak sebal. “Ya, berarti gue keliatan banget siap-siap mau ketemu lu. Padahal lu cuma pake yang simpel-simpel.”

”So you’re implying that I don’t look decent?” tanya Juna, ”I don’t look good today?

”You look as good as ever. No need to dress up, everybody knows lu sekeren apa keliatannya.”

Juna berusaha sekuat tenaga menahan senyumannya. ”You’re so....”

“Apa?” tanya Aska, menolehkan arah pandangnya ke Juna. “Gue orangnya jujur, Jun. Lu emang ganteng, kok.”

”Would you stop thaaat?” Juna sudah nggak kuasa menahan tawanya. “Aduh, deg-degan. Kalo gue baper gimana, Aska?”

“Bukannya udah?” Aska kembali mengalihkan pandangannya ke luar jendela kiri. “‘Kan kemaren lu bilang lu lagi PDKT.”

“Dibahas lagi masa....”

“Hahaha!” Aska memutar kepalanya 180 derajat, kembali menoleh ke arah Juna. “Iya, iya, bercanda. Nggak dibahas lagi, deh.”

Juna hanya menanggapi Aska dengan senyum kecilnya. Di satu sisi, ia sebenarnya malu. Benar-benar malu karena ia dengan bodohnya mengatakan dengan jelas kepada sang tambatan hati kalau ia memang sedang menjalankan misi PDKT-nya. Namun di sisi lain, ia sedikit lega karena Aska nggak begitu menghiraukan kenyataan itu. Bahkan sampai detik ini, Aska masih bersikap seperti sebelum-sebelumnya. Nggak ada yang berubah dari diri lelaki tersebut walaupun ia kini sudah sepenuhnya paham apa intensi Juna terhadap dirinya.

Toko kukis yang keduanya sambangi berbeda dengan toko yang tadi Juna kunjungi dengan adik perempuannya. Toko kali ini terlihat lebih homey. Lantai kayu, aroma kayumanis yang menyegrak indera penciuman, serta lampu-lampu temaram yang bergantungan membuat ambience ruangan terlihat lebih nyaman untuk ditempati.

Juna dan Aska memilih tempat duduk di tepian jendela, menjauhi ramainya pengunjung yang sedang memesan makanan di meja kasir.

“Enak banget tempatnya. Lu nemu di mana?”

“Sebenernya gue udah tau lama ini tempat. Dulu pernah diajakin adek gue ke sini. Cuma, tadi dia mintanya ke tempat lain karena di sini yang lebih terkenal kopinya, bukan cookies-nya.” Juna meletakkan tasnya di atas meja, nggak sengaja mengeluarkan kotak rokok dari dalam sana.

You smoke?” tembak Aska langsung, namun Juna tampak nggak begitu panik menanggapi pertanyaannya.

”I would say... occasionally?” jawabnya sembari kembali memasukkan kotak rokok tersebut ke dalam tasnya. “Kalo lagi sama temen-temen, apalagi kalo lagi minum, gue suka ngerokok sebatang dua batang.”

Aska hanya menganggukan kepalanya pelan, sepenuhnya mengerti dengan pernyataan Juna barusan

Does that make you uncomfortable?” tanya Juna.

“Terus, kalo gue bilang iya?”

“Hm... kalo begitu, sih, yang pasti gue nggak bakal ngerokok di depan lu karena gue udah tau lu nggak nyaman.”

“Tapi, kalo sama temen-temen lu?”

“Yah....” Juna mengusap tengkuknya pelan. “Gue... nggak naif juga, sih. Gue suka aja kalo minum sambil ngerokok. Sorry.

“Lah? Ahahahah.” Aska terkekeh pelan sembari memandang ke luar jendela, ke arah jalanan ibukota. “Why are you sorry? Justru gue lega denger lu jujur, daripada lu sok-sok nutupin biar keliatan kayak cowok alim. Gue nggak ada masalah, sih. Toh, lu juga udah gede, udah tau buruknya rokok, tuh, gimana.”

Pernyataan Aska barusan sedikit banyak membuat Juna lega. Lagi-lagi Juna merasa kalau ia memang nggak salah pilih. Aska selalu tampak tenang menanggapi segala hal tentang dirinya.

Right.

“Gue appreciate lu karena udah jujur. Baguslah lu nggak pick me, nggak sok-sok beda dari cowok lain. Padahal, tadi gue udah berburuk sangka aja gara-gara lu bawa Rubicon.”

“Hahahah!” Juna tergelak mendengar tanggapan Aska mengenai mobil yang ia kendarai.

“Stereotipe Rubicon kenapa gini banget, ya?”

“Nggak tau, gue setiap ada cowok bawa mobil aneh-aneh selalu nethink bawaannya. Feeling gue selalu bilang itu cowok pasti pick me. Syukur, deh, kalo lu enggak.”

Juna lagi-lagi tergelak mendengar jawaban Aska. Kepalanya sampai terlempar ke belakang, kedua matanya menyipit sebab senyum yang tercetak jelas pada wajahnya.

“Gue straighforward banget, ya, Jun?”

“Gapapa, gue seneng lu kayak begini. Jadi ‘kan jelas gitu lu, tuh, maunya apa.”

“Iya, tapi kadang nyebelin nggak, sih?”

“Gue yakin, kok, lu tetep tau batasan bisanya nyeplos sampe mana aja,” jawab Juna, “dan gue sejauh ini nggak ngerasa lu nyebelin, sih. Paling deg-degan sedikit ada.”

“Bagus, emang lu harus kuat. Soalnya yang dulu-dulu baru beberapa kali ketemu sama gue udah keburu jiper duluan ngedenger gue yang terlalu to the point.”

“Yang dulu-dulu?” tanya Juna sembari memajukan tubuhnya. “Maksudnya?”

“Yah, jadi....”

Bibir Aska nggak henti-hentinya berucap, menceritakan bagaimana senior dan teman seangkatannya pernah mencoba memenangkan hatinya. Terselip tawa Juna di antara rentetan kalimat tersebut, matanya nggak pernah lepas memandang pemuda di hadapannya itu. Tampak antusias mendengarkan kisah PDKT lucu yang ditawarkan oleh Aska.

Beberapa di antaranya ada yang menyerah bahkan hanya sampai di hari kelima, beberapa yang lain sempat bertahan hingga beberapa waktu sebelum Aska mendiamkan pesan mereka selama berhari-hari. Simpelnya, belum ada yang berhasil memikat hati pemuda Agustus itu.

“Tapi, kalo sama gue....” Juna mengangkat cangkir kopinya, menyeruput substansi pekat di dalamnya. “Lu bales-bales aja, tuh.”

“Iya, soalnya nggak tau kenapa lu asik, baik, nggak maksa juga. Mungkin karena ditambah sama faktor muka kali, ya? Lu ganteng juga soalnya.”

“Uhuk!”

“Eh, kenapa, Jun?” Aska terlihat langsung memajukan badannya, memeriksa apakah lawan bicaranya itu baik-baik saja. “Keselek?”

“Nggak, gapapa, kok.” Ditaruhnya kembali cangkir kopi pada genggamannya di atas meja kayu kafe tersebut.

“Lu bilang kayak gitu lancar banget. What if I fall hard, Aska?”

Nggak tersirat nada ragu di dalamnya, Aska menanggapi pertanyaan Juna dengan, “Then fall hard for me.

Sebisa mungkin, Juna mengatur deru napasnya. Detak jantungnya terasa berantakan, sungguh terdengar nggak beraturan ketika Aska seolah-olah memberinya izin untuk menaruh perasaan pada lelaki Agustus tersebut.

Keduanya menghabisi malam dengan bercengkrama lebih lanjut. Baik itu perihal akademis maupun kegiatan di luar itu. Masing-masing dari mereka diam-diam merasa bersyukur dengan fakta bahwa percakapan malam ini sungguh nggak terasa canggung sama sekali.

Hingga linear pada jam dinding kafe menunjukkan angka sembilan, keduanya memutuskan untuk pulang meninggalkan kafe tersebut.

“Gimana kopinya? Enak nggak?” tanya Juna sembari meraih tasnya yang tergeletak di atas meja.

“Enak, enak.”

Nice.” Pemuda April itu tersenyum puas melihat reaksi dari sang pemuda Agustus. “Lu pernah bilang lu suka kopi, so I brought you here. I’m so glad kalo lu beneran suka kopinya.”

Aska mengulum senyumnya, tersanjung dengan fakta bahwa Pemuda Mesin itu berusaha mengingat-ingat apa yang dirinya sukai.

Thanks, Jun,” ujar Aska, “BTW, keluarga lu mau dibawain apa? Cookies?”

“Eh, nggak usahlah.”

“Nggak enak, dong, kalo lu pulang tangan kosong?”

“‘Kan tadi adek gue udah bawa pulang cookies.”

Helaan napas pelan terdengar dari sisi Aska. “Beda cerita. ‘Kan ini lu lagi jalan sama gue, masa pulangnya nggak bawa apa-apa. Gue beliin kopi, deh, ya?”

“Adek gue nggak suka kopi. Bokap juga kurang suka kopi dari toko-toko begini.”

“Nyokap? Atau... bokap lu lagi mungkin?”

“Bokap nyokap gue udah pisah rumah, Aska.”

Aska tercengang, nggak mengira kalau jawaban itu akan keluar dari mulut Juna. “Maaf... gue nggak bermaksud.”

“Gapapa, udah lama juga.”

“Ya udah, but still, gue nggak enak kalo nggak bawain lu sesuatu. Gue beliin adek lu matcha, ya? Suka ‘kan?”

“Suka, sih, kalo itu.”

Alright, iced matcha latte it is.

Aska beranjak ke meja kasir, memesankan minuman matcha untuk Juna bawa pulang ke rumah. Lelaki itu tampak sangat tulus, selalu ingin memberikan yang terbaik bagi orang-orang di sekitarnya. Juna dapat menebak hal itu.

Nggak lama, Aska kembali dengan sebuah paperbag pada tangan kanannya. Kemudian Juna mengajaknya pergi ke luar, ke tempat mobilnya terparkir.

“Sebenernya tadi gue mau nanya ini, Jun.”

“Nanya apa, tuh?” tanya Juna, tangannya meraih sabuk pengaman untuk ia pakai.

“Ini sebelumnya maaf kalo sensitif. Tadi gue sempet bingung lu bilang lu mau drop adek lu ke rumah dulu. Terus gue mikir, ini Juna nge-drop adeknya ke Bogor? Berarti jauh juga bolak-baliknya. Tapi, berarti lu nggak nge-drop di Bogor ‘kan? Lu nge-drop dia di rumah bokap lu, gitu?”

“Iya, bener.” Juna menginjak pedal gas perlahan, meninggalkan area toko. “Nggak sensitif, kok. Jadi intinya bokap nyokap gue cerai. Bokap gue pindah ke rumah barunya di Jakarta, nah nyokap gue stay di rumah lama yang di Bogor. Hak asuh semuanya ada di nyokap gue, tapi adek gue sering diajak main ke rumah bokap. Rumah bokap gue ini di daerah Antasari.”

“Oh....” Aska mengangguk-anggukan kepalanya mengerti.

“TMI banget, ya? Tapi, ya udah biar kejawab jelas pertanyaan lu.”

Is it hard?

Juna menelan ludahnya kasar.

Is it hard harus bolak-balik nemuin orang tua lu yang udah pisah?”

Juna termenung.

Sorry, I’m being insensitive.

Not really...?” Juna menjawab pertanyaan Aska sekenanya, sembari fokus pandangnya masih ke arah jalanan. “Itungannya jarang banget gue ke rumah bokap. Jadi, yah... dibilang susah, sih, kayaknya nggak juga karena gue pulangnya cuma ke nyokap aja.”

Aska enggan menilik lebih dalam tentang bagaimana keadaan keluarga Juna saat ini. Ia bahkan sepertinya menyesal telah membawa topik ini naik ke permukaan.

I’ve never been in your shoes, but hey.” Telapak Aska beralih untuk mengusap tengkuk Juna singkat. ”Hope you’re doing fine. Maaf kalo gue kepo banget tadi.”

I am.” Juna tersenyum untuk membalas Aska. “Thank you, Aska. Dan gapapa, talking about it doesn’t rip my heart out again. I’ve learned it too that it’s probably better for their well-beings.”

“Yah, kecuali....” Juna sempat ingin melanjutkan kalimatnya.

“Kecuali?”

“Nggak, deh, nggak jadi.”

Topik untuk lain waktu. Juna nggak ingin membuat atmosfer malam ini terasa jadi jauh lebih sendu.

Lantas, Aska tersenyum kecil. Jawaban yang Juna tawarkan terdengar begitu bijak, meskipun kenyataannya ia belum bisa berdamai dengan egonya terhadap sang ayah, suatu hal yang ingin Juna jujur katakan padanya beberapa saat yang lalu.

“Anak baiiik,” ucapnya sembari sekali lagi mengusap tengkuk lelaki itu.

“Hahahah, anak baik nggak, tuh.”

Semakin bulat tekad Juna untuk memenangkan hati seorang Askara Mahavira. Belum pernah ia merasa sehidup ini sebelumnya. Ia nggak pernah menyangka kalau pada akhirnya ia akan berhasil menemukan kehangatan dalam diri seorang laki-laki bernama Aska. Kata-kata sederhana yang Aska berikan kepadanya entah kenapa dapat terasa begitu menenangkan.

Ternyata semenyenangkan ini rasanya, membuat Juna bertanya-tanya mengapa ia nggak dipertemukan dengan Aska lebih cepat dari sebelum saat ini.

“Ini gapapa lu yang bawa? Nggak mau tukeran sama gue?”

“Enggak.”

Satu jawaban singkat yang terlontar dari belah bibir Aska cukup untuk membuat Juna sedikit tercengang. Meskipun Juna telah mengetahui persis bahwa lelaki yang kini tengah menjemputnya memang seorang pribadi yang tegas, jujur, dan enggan berbasa-basi, namun tetap saja Juna lagi-lagi dibuat kaget dengan setiap jawaban dari pertanyaannya.

“Nggak enak dong masa lu yang nyetir? Harusnya gue nggak, sih?”

“Apanya yang nggak enak? Dan kenapa harus lu? Aturan dari mana coba.”

“Ya... nggak enak aja 'kan gue yang nawarin lu main ke luar. Masa iya gue yang ngajak, tapi terus lu yang nyetir.”

“Gue nggak ngerasa ada masalah kalo semisal gue yang nyetir terus lu diem aja di samping gue.”

Aight, aight.” Juna mengulas senyumnya singkat, lantas membuka pintu kursi penumpang dan masuk ke dalam mobil kepunyaan Aska. Sepertinya mereka berdua akan menghabiskan malam di depan Gerbang 10 Gelora Bung Karno jika Juna tetap bersikukuh untuk mengambil alih kemudi sebab Aska juga bukan pribadi yang gampang tergoyahkan argumennya.

Just, let me know kalo lu capek terus mau tukeran nyetir.”

“Harusnya lu nggak, sih, yang capek? 'Kan lu yang habis lari.”

“Oke, iya.”

“Kok gitu, sih, ngejawab guenya? Masih nggak suka kalo gue yang nyetir?”

Juna menolehkan kepalanya cepat ke samping kanan. “Hah? Enggak, Aska. Nggak gitu maksud nada bicara gue-”

“Hahahah, chill. Gue bercanda. Maaf galak banget tadi,” balas Aska sembari menurunkan rem tangan sebelum akhirnya menginjak pedal gas untuk meninggalkan area gerbang stadion. “Jangan tegang-tegang banget kalo gue lagi kayak begitu. Aslinya gue nggak segalak itu, sumpah.”

“Oke....”

At least nggak segalak temen gue, si Riga,” lanjut Aska, “lu nggak ada riwayat penyakit jantung 'kan, Jun?”

“Kenapa emang?”

“Takut lu tiba-tiba jantungan kalo gue galakin.”

“Ahahaha, masa sampe segitunya. Gue biasa aja, kok.”

Jawaban dari Juna barusan berhasil menyatukan kedua alis tebal Aska. Dahinya kini ikut mengerut, tampak nggak percaya dengan pernyataan Juna. “Masa?”

“Serius. Gue nggak takut sama yang galak-galak.”

“Oh, kuat ya lu berarti.”

“Harus. Apalagi kalo sama lu.”

“Kenapa emang kalo sama gue?”

“Harus bisa kuat kalo sama lu. Biar ke depannya bisa jalan terus.”

“Jalan as in beneran jalan berdua ke luar atau jalan yang lain?”

Sempat ada jeda sejenak sebelum Juna membalas perkataan Aska. Yang pada akhirnya dijawab dengan, “We'll figure things out one by one.

Sementara Aska memilih untuk nggak melanjutkan topik ini. Dia nggak sepolos itu. Aska tentu menyadari ke mana Juna ingin membawa hubungan keduanya pergi. Nggak sekali atau dia kali Aska telah melalui fase ini, apalagi ketika dirinya baru menginjak dunia perkuliahan. Nggak jarang teman seangkatan atau bahkan kakak tingkatnya mencoba peraduan, mencoba meluluhkan hatinya yang telah dibentengi sebegitu tegarnya agar nggak lagi mudah untuk dihancurkan begitu saja.

Sudah ada beberapa laki-laki yang Aska tolak kehadirannya di dalam hidupnya yang sudah terlanjur nyaman sendiri itu. Ia juga nggak mengingat-ingat berapa banyak jumlahnya, tapi yang pasti ada. Nggak pernah terlintas di pikirannya untuk menjalin hubungan serius dengan orang baru di lingkungan perkuliahannya. Semua itu disebabkan karena keinginannya yang enggan kembali tersakiti oleh seseorang yang lain.

Namun entah kenapa, yang satu ini berbeda. Mungkin karena Juna yang nggak terlalu terkesan ingin merebut hati Aska dengan secepat kilat. Lelaki itu selalu tampak tenang, nggak ada tawaran yang datang dari dirinya dengan terlalu terburu-buru. Aska juga nggak terus menerus menerima pesan dari Juna yang kemungkinan besar dapat membuatnya risih.

Alon-alon asal kelakon kalau kata orang jawa. Hal-hal tersebut kemudian berhasil menarik perhatian seorang Aska.

Seperti sekarang ini, Juna nggak memaksa Aska untuk pergi ke luar. Ia hanya menawari seadanya, yang kemudian Aska terima dengan impulsif, dengan tanpa alasan. Padahal barusan tadi, ia baru saja berkata kepada temannya bahwa ia sedang ingin sendiri.

“Ini mau ke mana, Jun?”

“Mau makan yang berat atau yang ringan?”

“Terserah.”

Juna sudah mengetahui jurus untuk menghadapi situasi seperti ini. “Makan taichan, mau?”

“Nggak, ah.”

“Gultik?”

“Nggak mau. Gue nggak mau yang begitu-begitu.”

“Ya udah es krim, mau?”

“Mau.”

“Oke, berarti tadi jawabannya yang ringan-ringan,” balas Juna, “ini ambil kanan terus di pertigaan belok. Ke Cold Moo aja kita.”

Perjalanan dari daerah Senayan ke Dharmawangsa nggak terasa begitu canggung karena Juna tampak nggak pernah kehabisan topik obrolan. Dan Aska pun tampak nggak merasa kelelahan karena harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terlontar itu.

Juna juga nggak tahu kenapa. Padahal tadi sembari menunggu Aska datang menjemputnya, pikirannya amat sangat berkecamuk. Berpikir kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi ketika ia tengah jalan berdua dengan tambatan hatinya itu. Takut jika nanti Aska merasa nggak nyaman. Tapi sepertinya, pemikiran Juna mengenai hal tersebut terpatahkan begitu saja begitu ia dapat melihat senyum atau tawa yang selalu menghiasi wajah Aska tiap kali ia membuka mulutnya untuk berbicara.

Melihat sosok Aska yang mudah untuk diajak berbincang lantas membuat Juna nggak lagi menyesali keputusannya untuk mencoba mendekati temannya yang berasal dari teknik industri itu. Walaupun Juna harus mulai membiasakan diri untuk selalu dikagetkan dengan perkataan Aska yang beberapa kali terdengar menohok, namun pada akhirnya semua tampak memuaskan. Ketika Juna mulai bertemu dengan bagian diri Aska yang sangat menyenangkan, ia jadi nggak lagi memikirkan ketakutannya sewaktu pertama memulai pembicaraan dengan Aska melalui platform iMessage.

“Rame. Gue aja yang naik ke atas, gimana? Lu tunggu di sini.”

“Gapapa emang?”

“Ya, gapapa,” balas Juna sembari merogoh tas kecilnya untuk mengambil dompet. “Lu udah pernah ke sini belom?”

“Belom.”

“Ya udah, biasanya makan es krim yang rasa apa? Cokelat, kacang, strober-”

“Nggak, nggak. Pokoknya gue nggak mau stroberi,” sanggah Aska tegas. Dirinya amat membenci buah beri jenis yang itu.

“Cokelat, mau?”

“Bosen nggak, sih?”

“Kalo yang rasa-rasa cookies gitu, mau?”

“Nah, boleh.”

“Oke, tunggu. Gue pesenin dulu.”

Dengan begitu, Juna membuka pintu dari kursi penumpang untuk masuk ke dalam kedai es krim dua lantai itu. Dari kursinya, Aska dapat melihat Juna yang langsung naik ke lantai dua. Setelah Aska pelajari, sepertinya tempat di lantai satu itu hanya melayani pembelian kopi dan cookies, maka dari itu Juna langsung membawa dirinya ke atas.

Aska memutuskan untuk keluar dari mobil, masuk ke dalam kedai di depannya untuk menyegarkan diri dengan ambience toko yang tetap tampak nyaman meski dikerubungi keramaian. Diletakannya tas beserta ponsel milik Juna yang nggak mau ia tinggalkan di dalam mobil pada meja tempat duduk. Dirinya kemudian tergerak untuk meraih ponsel tersebut, walaupun perasaan segan mencegahnya untuk melakukan hal tersebut. Namun beberapa saat kemudian, ia kembali berpikir, mungkin nggak ada salahnya kalau ia jahil sedikit.

Ponsel milik Juna itu lantas Aska gunakan untuk mengambil sebuah swafoto sebelum kembali ia gelatakkan di atas meja. Ia tolehkan kepalanya ke luar jendela, berpikir kalau aksinya barusan dapat membuat Juna merasa terganggu dengan sikap Aska yang terlalu menginvasi barang pribadinya.

Nggak apa, pikir Aska. Lebih baik Juna menjadi pihak pertama yang pergi meninggalkannya karena merasa risih, dibanding ia harus menjadi pihak pertama yang jatuh terlalu dalam. Sebab Aska rasa ia nggak punya kekuatan yang cukup besar untuk menahan rasa sukanya pada Pemuda Mesin itu karena oh, sungguh....

Lihat bagaimana gagahnya pemuda itu ketika kini berjalan ke tempat Aska mendudukan diri. Dengan rambut yang sedikit basah sebab ulah keringat hasil olahraganya, disertai dengan bibir tipisnya yang senantiasa mencetak senyuman termanis di muka bumi. Aska yakin sudah banyak mahasiswa di kampusnya yang terpikat dengan sosok pemuda yang kini telah berhenti di hadapannya. Dengan ketampanannya yang di atas rata-rata, mustahil jika nggak ada seorang pun yang pernah hati padanya.

“Kok turun, Aska?” tanya Juna. Kedua cup es krim yang ia bawa kini telah ia letakkan di atas meja. “Katanya nggak mau kalo rame-rame? Ini tempatnya lagi rame, lho.”

Bagaimana bisa Aska menahan rasa kagumnya akan sosok Juna jika pemuda itu bahkan mengingat-ingat detil kecil dari dirinya.

Oke, mungkin hal ini tampak biasa saja karena setiap laki-laki yang sedang berusaha menaklukan sang tambata hati akan selalu bersikap seperti demikian. Namun ketahuilah, ini semua perihal Aska, pemuda paling hopeless romantic seantero Jakarta. Hal ini menjadi alasan mengapa ia selalu menolak untuk dekat dengan seseorang yang baru, takut jika ia akan dengan mudahnya jatuh hati, sementara pihak lawan sendiri sebenarnya masih belum pasti.

“Aska, kok bengong?”

“Eh-“ Aska menggelengkan kepalanya kencang, berusah mengembalikan kesadarannya. “Iya... tadi gue liat-liat kayaknya enakan makan di dalem.”

“Tapi, gapapa kalo rame begini?”

“Gapapa.”

Aight.” Juna menarik satu bangku yang menghadap ke arah Aska. “Bilang aja, ya, kalo nggak nyaman. Nanti balik lagi aja ke mobil.”

“Oke, makasih, ya.”

“Makasih karena apa, Aska?”

“Karena....” Aska tampak berpikir sejenak. “Udah ngeprioritasin kenyamanan gue?”

“Ahahah, astaga gue cuma begitu doang pake di-makasih-in segala.” Juna terkekeh pelan mendengar jawaban dari Aska. “Gue nggak ngapa-ngapain padahal. ‘Kan lu sendiri tadi yang bilang kalo nggak mau rame-rame. It’s the bare minimum, I guess?

Yeah, but still.

Alright. My pleasure, Aska.” Juna tersenyum singkat sebelum kembali menyuap es krim ke dalam mulutnya. “Lagian, isn’t that just what I’m supposed to do?

Dahi Aska mengerut. “Maksudnya?”

You know... PDKT things. Gue harus bersikap-“

Wait, you did not just....

Mata Juna membulat sempurna, nggak sengaja bertatap-tatapan dengan lawan bicaranya di seberang sana. Sempat ada jeda beberapa detik sebelum ia menutup mulutnya, nggak percaya dengan apa yang baru saja ia lontarkan dari belah bibirnya.

Pffft.

Stupid ass.” Juna menepuk bibirnya pelan, membuat Aska nggak kuasa terbahak-bahak di hadapannya.

“Ahahah! Why are you so clumsy, sih?” Aska sampai harus menyeka air matanya saking lucunya kejadian tadi.

Oh Tuhan, tolong katakan Juna nggak baru saja terang-terangan berkata pada Aska bahwa ia memang benar sedang menjalankan aksi PDKT-nya.

Sementara Juna masih berusaha keras menghilangkan rasa malunya dengan terus-terusan menunduk, Aska justru berkata, “It’s okay. Gue pura-pura nggak denger aja, deh. Udah sini, jangan nunduk terus.”

Juna mengangkat wajahnya perlahan ketika Aska menepuk lengannya pelan. Masih tersirat rasa malu pada raut wajahnya, namun nggak apa, Aska kini mencoba bersikap seolah-olah Juna nggak baru saja membocorkan suatu rahasia besar kepadanya.

Aska tersenyum singkat melihat Juna yang kini nggak lagi menundukkan kepalanya. “Cute.

Deg.

Jantung Juna terasa jatuh ke dasar rongga perutnya. Baru saja selesai dengan rasa malunya tadi, kini ia sudah dibuat tersipu dengan pujiang singkat yang baru saja Aska lontarkan barusan.

Aska nggak paham mengapa dirinya lebih memilih untuk mencari Juna kala ia sedang sendiri dibanding menghubungi temannya yang lain yang sudah lebih akrab dengan dirinya.

Entah kenapa, pemuda tersebut memberikan kesan yang baik bagi diri Aska. Nggak tampak niat buruk barang seujung jari pun yang tersirat dari dalam diri Juna. Hal tersebut membuat Aska nyaman berada dalam satu ruang yang sama dengan lelaki itu, bahkan jika di dalam ruangan tersebut ada tersisa mereka berdua.

Walaupun Aska telah mempersiapkan kemungkinan terburuk, entah musibah apa itu yang membuat Juna mungkin nggak jadi mendatanginya di toko dimsum ini. Tapi nggak peduli selama apa pun itu, nyatanya Juna tetap datang.

There he is.

Pria yang Aska tunggu-tunggu kehadirannya.

Juna datang dengan napas yang terdengar sedikit menderu-deru. Ia nggak baru saja berkendara dengan kecepatan maksimum untuk menuju ke mari, bukan?

“Kok ngos-ngosan?”

“Iya... sorry. Lama, ya, nunggunya?”

“Minum dulu. Kok malah mikirin gue, sih?” Aska menyodorkan segelas air mineral dingin yang telah ia pesan.

“Ah....” Juna mengusap ujung bibirnya setelah menenggak substansi di dalam gelas tersebut. “Iya, tadi gue dari stasiun naik ojek online ke sini. Terus ternyata ada tabrakan yang bikin macet, akhirnya gue turun aja terus lari ke sini. Lu udah nunggu dari setengah enam soalnya.”

Dilihatnya arloji yang ia pakai pada pergelangan tangan kirinya. “Sekarang udah hampir setengah tujuh. Sorry, Aska.”

“Tau gitu nggak usah gapapa lho, Jun.” Bahu Aska menurun, nggak sampai hati mendengar Juna yang jadi kerepotan sebab dirinya itu. “Kalo makan waktu banget, lain kali lagi aja kita makannya.”

I'll always make time for you.” Juna mengusap peluh yang menghiasi pelipisnya. “Or at least, I'll always try.

Sungguh, seorang Arjuna Prima Putra bukanlah pemuda dengan mulut yang mudah meluncurkan kalimat semanis madu. Namun, Aska selalu berkali-kali tertangkap terdiam diri, berusaha mencerna kalimat Juna yang kedengarannya sangat berarti. Belum pernah ada satu pun laki-laki yang berhasil meluluhkan hati Aska sedikit demi sedikit setelah ia susah payah menyembuhkannya dari luka yang terdahulu.

You don't have too....

“Tapi, gue mau.”

Keduanya saling bertukar tatap. Sebelum Juna akhirnya mencairkan suasana agar nggak terlalu sendu.

“BTW, gue udah boleh makan belom? Laper banget bolak-balik Jakarta-Depok, apalagi nyampe Jakarta Utara.”

Disodorkannya sepiring siomai babi ke depan meja Juna, sebelum dirinya turut menyumpit hakau udang di hadapannya. “Tuh, siapa yang kemaren bilang, B aja, kok, nggak jauh.

“Gue nggak bilang jauh, tapi bikin laper iya. Nggak masalah, kok, kalo gue harus bolak-balik.” Juna menyuap siomai pemberian Aska ke dalam mulutnya.

“Lu kenapa niat banget, Jun?”

Juna mengunyah siomainya terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan yang Aska lontarkan. “Emang gue harus bersikap kayak gimana lagi kalo mau deketin orang? Bener 'kan emang kayak begini cara mainnya?”

Aska belajar satu hal malam ini.

If they want, then they would. They'll always make an effort if they want it.

“Tapi, terus kalo udah dapet, lu bakal ngurangin pace lu atau justru lu kencengin?”

Lidah Juna terasa kelu mendengar pertanyaan lanjut dari diri Aska. Ia menjilat bibirnya singkat, mulutnya sedikit ternganga. Otaknya bekerja keras, memikiran jawaban yang tepat bagi pertanyaan itu.

“Soalnya kadang ada aja orang yang udah dapet, terus udah gitu. Udah ilang rasa penasarannya, eh habis itu effort-nya ikut ilang juga.”

“Um....”

“Gapapa, lupain aja.” Aska tersenyum getir. “Come to think of it, I think it's weird to have that as our 'first' conversation. Well, not really the 'first' one, but well... we're still on our first stage, aren't we?

Y-yeah....

“Oke, udah lupain aja. Sorry, sorry.

Aska jadi merasa nggak enak hati telah membawa topik yang kurang mengenakkan untuk dibahas ketika sedang bersama pemuda di hadapannya itu. Terkadang, ia membenci bagian dari dirinya yang ini, yang suka berkata terlalu apa adanya. Hal ini bisa saja membuat lawan bicaranya menjadi nggak nyaman untuk menghabiskan waktu bersamanya.

“Udah pernah makan di Wingheng, Jun?” tanya Aska dengan usahanya mengalihkan topik pembicaraan.

“Udah, tapi gue personally lebih suka tempat dimsum lain. Ya, walaupun kalo di Jakarta emang Wingheng yang paling enak.”

“Oh, iya?” tanya Aska antusias. “Di mana emang yang lebih enak.”

“Ada tempat dimsum di Bandung. Dimsum Sembilan Ayam. Menurut gue itu enak banget, lebih-lebih dari Wingheng. Nggak ada menu babinya, sih, tapi tetep enak.”

“Yah, sayang banget adanya di Bandung. Masa gue harus jauh-jauh ke Bandung cuma buat makan dimsum.”

“Hahahah.” Juna terkekeh. “Ayo, sama gue ke Bandung.”

“Sekarang banget?”

“Ehm....” Juna mengusap tengkuknya kikuk. Bisa-bisanya dia mengajak Aska bepergian ke luar kota bahkan hanya di hari kesekiannya dekat dengan laki-laki tersebut. “Yah... maksud gue, nanti-nanti kalo ternyata kita masih deket. Ayo, jalan-jalan ke Bandung. Still too early for now, but yeah....

Gantian, sekarang Aska yang terkekeh pelan. “Kapan, tuh, kira-kira?”

“Libur semester ganjil? Genap?” tebak Juna, “I don't know, we'll see.

“Menurut lu kita sampe bulan segitu makin deket atau malah udah jauh lagi?”

“Nggak pernah ada bayangan gue mau jauh-jauhan sama lu, Aska. Ya, kalo gue maunya makin deket dong.” Juna menjawabnya dengan jelas, kemudian kembali menenggak air minumnya. “Tinggal dari lu, kira-kira mau apa nggak lanjut sama gue.”

“Oke, oke.”

“Jadi gimana. Mau nggak, Aska?” goda Juna.

”'Kan gue bilang liat besok-besok.”

“Tapi, buat sekarang....” Juna meletakkan sumpitnya di atas piring kecil di hadapannya. Kedua punggung tangannya ia pakai untuk menyangga dagunya dan kini kedua matanya sedang lekat-lekat menatap lelaki dambaannya. “Kalo gue chat atau ajak jalan lu udah ngasih lampu ijo 'kan buat gue?”

Aska tersipu, memanglingkan wajahnya ke arah samping agar nggak harus bertatap-tatapan dengan pria di hadapannya itu.

Keduanya pun tergelak. Aska menutup sebagian wajahnya dengan telapak tangan kanannya.

“Bisa-bisanya lu nanya gitu langsung ke gue, mana segala ngeliat ke arah gue lagi.”

“Aduh, hahahah....” Juna tertawa renyah, turut menutup wajahnya yang kini kemerahan. “Sebenernya gue juga deg-degan, sih, nanyanya.”

“Iya, tuh, telinga lu sampe merah begitu,” tunjuk Aska.

“Yah, emang nggak bisa diajak kerja sama, nih, telinga gue.” Juna mengusap-usap telinganya yang kini menghangat itu.

Jatuh cinta nggak pernah terasa semenyenangkan ini sebelumnya.

Orang-orang di tepian jalan mungkin akan memandang Aska dengan sedikit kebingungan. Berpikir mengapa pemuda tersebut tampak terburu-buru berjalan ke arah gerbang kampus. Ia bahkan sampai harus berkata 'permisi' kepada beberapa orang yang ingin ia salip.

Kemudian, orang-orang tersebut mungkin bergumam di dalam hatinya, Ah, mungkin kelasnya sebentar lagi dimulai dan ia pergi terlambat, maka dari itu ia terlihat sangat terburu-buru.

Tapi nggak. Aska nggak sedang terburu-buru karena kelasnya sebentar lagi dimulai. Waktu pada layar ponselnya masih menunjukkan pukul 15.40. Ia jelas masih punya waktu luang sebelum harus mendaratkan bokongnya di atas bangku kelas.

Yang membuatnya kini tampak terburu-buru dan harus menyelinap di antara orang lain yang juga sedang berlalu lalang ialah Juna, teman sekelompok Masa Bimbingannya yang beberapa menit lalu ia titipkan segelas kopi dingin pada sebuah kedai kopi di fakultas sebelah.

Aska sudah mencoba untuk membujuk Juna agar mengiriminya nomor ponsel yang terdaftar pada akun Gopay milik temannya itu agar dapat ia kirimi sejumlah uang guna membayar kopi dingin titipannya. Namun, hasilnya nihil. Juna nggak kunjung memberi nomor ponselnya, membuat Aska kini harus bergegas ke kedai kopi di FEB akibat rasa nggak enak yang tiba-tiba muncul pada dirinya.

Kedai kopi yang terletak nggak begitu jauh dari gedung fakultasnya terlihat ramai akan pengunjung sore-sore begini. Tapi, Aska nggak juga dapat menemukan sosok yang ia cari-cari. Lantas, kepalanya berkata bahwa Juna kemungkinan besar sudah menunggunya di lobi Gedung K. Otaknya kemudian memberi sinyal pada kedua tungkainya untuk melangkah ke luar kedai menuju gedung pembelajaran tersebut.

Benar saja, begitu Aska sampai di lobi Gedung K, tampak seorang Juna sedang berdiri menunggunya dengan segelas kopi dingin beserta roti manis di tangan kirinya dan juga ponsel di tangan yang lain. Kedua telapak tangan besarnya tampak penuh, namun ibu jarinya tetap setia bergulir pada layar ponsel. Mungkin lelaki itu sedang berusaha membunuh waktu sembari menyelami dunia maya.

“Juna, aduh sorry banget.”

Tanpa aba-aba, Aska berhenti tepat di hadapan Juna dan langsung berujar demikian. Membuat Juna refleks mengalihkan pandangan dari layar ponsel.

“Eh, Aska. Udah sampe aja.”

“Kok lu nggak mau ngasih nomor HP lu, sih, Jun? 'Kan gue jadi nggak enak, main nitip-nitip aja nggak pake ngetransfer lu dulu.”

Juna terkekeh pelan, menampilkan matanya yang ikut tersenyum manis. Selalu seperti itu. Yang namanya Juna itu selalu menganggap remeh keadaan apa pun walaupun Aska sebenarnya sudah merasa nggak enak.

“Santai aja lagi,” ujarnya enteng. “Nih, kopi lu. Sama roti juga.”

Thanks banget.” Aska menerima pemberian Juna sembari tangan kirinya merogoh kantong celana guna mengeluarkan ponselnya dari dalam sana.

“Sini gue trans-”

“Lu emang suka minum kop-”

“Eh.”

“Eh.”

Ada jeda yang mengisi ruang di antara Juna dan Aska sebelum keduanya kemudian tertawa akibat ingin saling bicara. Juna yang mencoba berbasa-basi, sementara Aska yang langsung to the point.

“Lu dulu, deh.” Juna mengalah.

“Oke. Sini gue transferin dulu. Sebutin nomor HP lu.”

“Nggak usah asli. Ini tadi gue juga sekalian ngopi 'kan?”

“Lho? Nggak bisa gitu dong, Jun, 'kan yang minum gue? Ayo sini mana nomornya.”

“Ya udah, sekalian gantiin Marie Regal sama susu almond lu yang tempo hari.”

“Ya ampun.” Aska mendengus pelan, merasa sebal dengan Juna yang sedikit keras kepala. Ia jelas bukan tipe orang yang dapat menggampangkan sesuatu yang berhubungan dengan uang. “Gue punya banyak stok Marie Regal sama susu di kosan, nggak usah diganti juga gapapa kali.”

“Kalo gitu kopi lu nggak usah diganti juga gapapa kali.”

“Juna.”

Juna tersenyum, menjeda argumen yang kembali ingin Aska sampaikan. “Kelas lu sebentar lagi mulai nggak, sih?”

“Kok....” Aska mengernyit. “Lu tau?”

“Iya, kelas sore 'kan biasanya mulai jam empat.”

“Ya, tapi-”

Alright, berarti lu harus cepet-cepet ke kelas. Bentar lagi jam empat lho.”

“Nggak mau, gue belom ganti-”

'Cause I really gotta go, too.

Ujung bahu Aska diusap pelan oleh Juna. Pemuda itu kembali tersenyum, berusaha meyakinkan kalau Aska sungguh nggak perlu mengganti uang yang ia keluarkan untuk membeli kopi titipan teman sekelompoknya yang berasal dari teknik industri itu.

Hurry. Lu kayaknya tipe mahasiswa yang takut telat nggak, sih? Keliatan, tuh, tempo hari waktu gue bantuin, lu keliatan buru-buru sampe gue ngeliatnya takut sendiri. Takut bawaan lu malah jatoh ke lantai.”

“Tapi-”

Aska masih berusaha, namun Juna langsung memotongnya dan bersiap-siap untuk pergi dengan mengantongi ponselnya. “Duluan, Aska.”

Benar saja, Juna langsung beranjak ke luar lobi Gedung k, meninggalkan Aska yang masih terdiam membeku di tempatnya. Perkataan Juna tadi memang benar adanya. Ia ingin menggantikan pemberian Aska tempo waktu yang lalu. Untungnya hari ini Aska memintanya untuk membelikan segelas kopi dingin, jadi ia nggak perlu repot-repot berpikir hal apa yang bisa ia beli untuk menggantikan biskuit serta jus kotakan itu.

Namun, saat Juna sudah berada cukup jauh dari tempat tadi, tiba-tiba terlintas pada pikirannya bahwa mungkin dengan memberi Aska nomor ponselnya, maka ia bisa melanjutkan percakapan via telpon. Yang tentunya dapat melancarkan aksinya, aksi untuk merebut hati pemuda manis tersebut.

Lantas, tubuhnya berbalik 180 derajat. Kedua kaki Juna berlari kecil kembali pada lobi Gedung K. Hatinya terus-terusan merapalkan frasa, Semoga Aska belom cabut. Semoga Aska belom cabut.

Dewi Fortuna sepertinya berpihak pada dirinya sore ini sebab Juna masih dapat menangkap keberadaan Aska yang sedang menaiki anak tangga. Tubuhnya langsung begitu saja melesat menghampiri laki-laki itu.

Hey, but anyway.

Aska terlonjak kaget ketika bahunya dihinggapi sebuah telapak tangan yang besar. Kepalanya menoleh dengan cepat ke arah belakang, berusaha mencari tahu siapa gerangan yang tiba-tiba mengajaknya untuk bicara.

“Juna, lu....”

Juna masih berusaha mengatur napasnya yang sedikit tersengal akibat berlarian kecil kembali pada tempat ini.

“Lu ngapain ke sini lagi?”

I changed my mind.” Jawaban Juna membuat Aska mengernyitkan dahinya. “But instead of my phone number, can I just get yours?