243
Aska menggigit kukunya resah, nggak tahu harus berbuat apa untuk bisa menyelamatkan dirinya dari kemungkinan cecaran dosen pengampunya lantaran ia terlihat nggak menggunakan sepatu formal untuk mengikuti kelas. Ia memilih untuk berjalan ke sana ke mari di koridor gedung, menunggu Juna seperti apa yang sudah diperintahkan laki-laki itu.
Hingga pemandangan Juna yang sedang berlari kecil muncul dari balik dinding yang mengarah ke tangga, berusaha sampai di depan ruang kelas Aska secepat mungkin. Pemuda tersebut tiba dengan napas yang sedikit tersengal-sengal, bulir keringat sebiji jagung tampak mengalir melalui pelipisnya.
“Nih, pake sepatu gue aja.”
Juna sedikit merunduk, melepaskan kedua sepatu yang membalut telapak kakinya. Sepatu Vans hitam yang biasa dipakai oleh kebanyakan mahasiswa.
“H-hah?”
“Ini dipake.” Juna berjongkok, kepalanya mendongak menatap Aska di atas. “Nggak boleh 'kan masuk kelas pake sepatu sendal?”
“Terus lu....”
“Angkat kakinya.”
Aska ikut merunduk. “Juna, ih, jangan.”
“Ayo, Aska, udah mau jam delapan.”
“Terus lu gimana?” tanya Aska khawatir. “Masa pake sendal gue?”
“Gapapa 'kan buat sementara,” jawab Juna dengan nada yang berlawanan dengan Aska. Terdengar begitu tenang agar kepanikan yang melanda Aska nggak bertambah. “Ayo angkat kakinya, gue pakein sepatunya.”
“Y-ya udah, gue sendiri aja yang pake.”
“I'll do it for you, 'kay?“
Dengan mengulum bibirnya gugup, Aska mengangkat kaki kanannya. Membiarkan Juna melepas alas kakinya yang terbuka untuk memasangkannya sepatu bertali. Kemudian Juna mengikat talinya dengan tepat, nggak terlalu kencang dan juga nggak terlalu longgar. Beralih pada kaki yang satunya lagi, Juna juga memasangkan sepatu miliknya dengan sempurna. Nampaknya ukuran kaki mereka berdua sama, Aska merasa nyaman-nyaman saja menggunakan ukuran sepatu Juna.
“Done- aw!”
Puncak kepala Juna menghantam keras dagu bagian bawah Aska karena ia bergerak begitu cepat sampai-sampai Aska nggak sempat menghindar sebab ia sedari tadi merunduk untuk memerhatikan Juna yang tengah mengikatkan tali sepatu untuknya.
“Junaaa... maaf....” Spontan, Aska mengusap-usap puncak kepala Juna, berusaha mengusir rasa sakit yang kemungkinan menjalar di kulit kepala lelaki tersebut. “Aduh, aduh... sakit banget, ya?”
Manik keduanya bersitatap, saling memandang satu sama lain dalam sekejap. Lantas, sebuah tawa kecil lolos begitu saja dari mulut mereka berdua. Menyadari sikap satu sama lain yang terlalu klise. Telapak Aska masih bertengger mengusap lembut kulit kepala Juna sebelum akhirnya terlepas karena rasa malu.
“M-masih sakit?” Aska bertanya dengan gugup.
“Ng-nggak, kok, hehe.” Juna turut menjawab nggak kalah gugup. “Itu dagu lu... gapapa? Lidahnya nggak kegigit 'kan?”
“Enggak. Lagian, gimana bisa lidah gue kegigit?”
“Yah....” Juna mengusap-usap tengkuknya. “Siapa tau lu tadi lagi nganga terus waktu kejedot, gigi-gigi lu jadi nggak sengaja ngegigit lidah lu.”
“Enggak, sih, Jun.”
“Um... ya udah kalo gitu. Masuk gih.” Juna menunjuk pintu kayu kelas menggunakan dagu tajamnya. “Udah jam delapan, tuh.”
“O-oh, iya.” Aska terlupa kalau sehabis ini ia masih harus menjalankan perkuliahan. Dan ia justru masih berdiri di sini, berbincang dengan pemuda di hadapannya. “Oke, gue masuk.”
“Iya, jangan lupa diperhatiin dosennya.”
“Selain dosen, siapa lagi yang harus gue perhatiin?”
Pertanyaan Aska berhasil membuat keduanya lagi-lagi tertawa, teringat dengan pesan mereka berdua beberapa saat yang lalu ketika Juna ikut meminta Aska untuk diperhatikan.
“Udah, masuk dulu sana.”
“Ih, jawab dulu. Kemaren katanya siapa lagi yang harus gue perhatiin?”
“Hahahah....” Juna tertawa malu, nggak sanggup menjawab pertanyaan dari lelaki impiannya.
“Jawaaab.”
“Gue?” jawab Juna singkat. “Argh... malu banget, asliii.” Pemuda April itu memanglingan wajahnya, merasa malu akan jawabannya sendiri.
Sementara Aska hanya bisa tertawa, merasa puas setelah berhasil membuat Juna menjawab pertanyaannya. Ia begitu menyukai pencapaiannya ketika telah berhasil membuat Juna salah tingkah hingga semburat kemerahan menjalar mulai dari pipi hingga kedua telinganya.
“Ya udah, dadah. Gue masuk kelas dulu, ya, Ajun.” Aska melambaikan tangannya singkat dengan disertai senyuman manis pada wajahnya yang berseri-seri.
“I-iya, dadah....” Juna turut melambai-lambaikan tangannya sebelum berbalik badan untuk menyembunyikan wajahnya yang terlampau sumringah.
Gue dipanggil Ajun buat yang kedua kalinya.... Juna menahan senyum pada bibir tipisnya, berjalan meninggalkan koridor kelas Aska sembari menutup setengah wajahnya sebab takut disangka gila oleh mahasiswa yang berlalu lalang. Baginya, panggilan 'Ajun' hanya akan keluar dari belah bibir orang-orang terdekatnya. Maka ketika Aska memutuskan untuk menyapanya dengan sapaan 'Ajun', jantungnya berdetak nggak karuan, seperti bisa kapan saja mendesak keluar tulang rusuknya.
Sampai pada anak tangga pertama, Juna memutuskan untuk berputar balik. Kembali berjalan menuju koridor kelas Aska untuk sekadar mengintip kondisi kelas perkuliahan yang sedang dijalankan mahasiswa teknik industri itu. Senyumnya mengembang begitu ia dengan mudahnya menemukan sosok Aska di tengah-tengah mahasiswa lain.
Ah, jatuh cinta itu memang harusnya sederhana.
Sesederhana memandang senyuman manusia terkasih yang dapat membangunkan kupu-kupu untuk berterbangan di dalam perut.
Juna jadi merasa seperti remaja yang baru mengenal cinta. Ia ingat betul kali pertama jantungnya berdebar kencang saat sedang bersama laki-laki yang ia sayangi. Kala itu, dirinya masih duduk di bangku kelas 11.
Namun kali ini, Juna bertekad untuk nggak membiarkan Aska pergi seperti kali terakhir ia membiarkan kekasihnya pergi sebab ulahnya sendiri. Ia nggak lagi dapat membiarkan dirinya sendiri untuk menjadi pecundang seperti dirinya dua tahun yang lalu.