102
Kalau bukan karena adiknya, Juna nggak yakin ia akan mengiyakan ajakan Prima untuk makan siang bersama di sebuah mal di bilangan Jakarta Selatan lewat WhatsApp tadi pagi. Walaupun pada kenyataannya ia tanpa sadar selalu menerima ajakan sang ayah.
Acaranya nggak begitu formal, maka hari ini ia memutuskan untuk nggak membawa kendaraan. Memilih untuk menggunakan transportasi umum karena kalau boleh jujur, ia mudah merasa jengkel ketika dirinya terjebak di kemacetan Jakarta.
Omong-omong, ada apa dengan perempuan yang akhir-akhir ini suka memangkas panjang surainya? Yang kebetulan terjadi pada kedua saudara kandung Juna, baik itu kakak maupun adiknya. Apa iya dua-duanya sedang dilanda sakit hati, maka sebab itu mereka memutuskan untuk memendekkan mahkotanya?
Terlihat adiknya beserta sang ayah yang berjalan mendekat ke arah Juna. Rambut sang adik yang terlihat jauh lebih pendek dari kali terakhir Juna menemuinya tampak bergoyang-goyang seiring ia berlangkah kecil.
Gemas, sebuah senyuman kecil seketika tercetak jelas pada wajah Juna. Adiknya itu tetap terlihat menggemaskan, meski usianya kini telah menginjak angka 17.
“Kok potong rambut?” tembak Juna begitu adiknya datang. “Habis diputusin pacar, ya?”
“Enak aja. Mana ada begitu.”
Sebuah kekehan kecil meluncur begitu saja dari belah bibir Juna. Telapak tangannya kemudian terangkat untuk mengusak puncak kepala adiknya yang bernama Wylsa itu.
“Ih, Aa'! Jangan diacak-acak nanti bubar catokannya.”
Sebuah omelan yang Juna rindukan kemerduannya. Suara Wylsa pada dasarnya sudah tinggi. Jika ditambah lagi dengan teriakan, maka akan terdengar semakin memekakan. Namun sebetulnya, justru itu yang Juna nanti-nantikan kehadirannya.
“Bubar, bubar, emangnya barisan upacara? Lagian kamu marah-marah terus. Cepet tua, lho, nanti.”
“A' Ajun.” Prima baru sempat buka suara menyapa Juna lembut, meski tahu anak tengahnya itu nggak akan membalasnya dengan lembut juga.
“Ayo masuk.” Juna enggan membalas sapaan sang ayah, lebih memilih untuk beranjak ke dalam restoran. Membuat Wylsa yang berdiri di samping sang ayah bergumam pelan, “I'm sorry, Papi.”
“For what, my little Princess?“
“A' Ajun... for acting like so.“
Prima tersenyum lembut, mengusap puncak kepala si bungsu. “Gapapa, Dek. Yuk masuk. Aa' udah dapat tempat, tuh, di dalam.”
Wylsa menatap Juna dengan tajam. Tersirat rasa kesal yang begitu mendalam pada hitam maniknya. Kedua sudut bibirnya yang mungil tertarik ke bawah, mengekspresikan rasa kecewa di dalam hatinya.
Sementara yang sedang ditatap hanya membolak-balikan buku menu. Berusaha menghiraukan sang adik yang kian dalam menatap dirinya, meski pada akhirnya ia pun gagal.
“Kenapa Aa' diliatin terus?”
“Aa', nih,” ujar Wylsa yang kemudian sedikit berjeda. “Jangan begitu terus dong sama Papi. Masa kamu mau diajak baikan malah ngehindar? Aku nggak yakin Aa' umurnya lebih tua dari aku kalo diajak damai aja masih nolak-nolak terus kayak anak kecil.”
“Adek, ayo.” Sang ayah angkat bicara, menenangkan si bungsu yang tampak nggak lagi dapat menahan amarahnya. “Katanya lapar? Ini coba, dilihat-lihat dulu Adek mau pesan yang mana.”
Terdengar dengusan kecil dari seberang Juna, tempat di mana sang adik terduduk. Ia jadi merasa bersalah karena sikapnya hari ini dapat terbaca jelas oleh Wylsa. Bukan maksud Juna ingin membuat suasana berkumpul jadi kurang enak, namun dirinya memang masih belum bisa bersikap santai di depan sang ayah.
Makanan datang nggak lama kemudian. Tiga mangkuk mi kuah khas Jepang itu langsung disantap oleh masing-masing pemesan. Juna merasa nggak selera dengan makan siang hari ini, tapi mau nggak mau ia harus tetap menghabiskannya.
Tampak beberapa kali sosok ayahnya itu menyuapi Wylsa dengan kondimen-kondimen lain yang tersaji di atas meja. Sesekali Wylsa tergelak karena Prima memasukkan potongan makanan yang terlalu besar ke dalam mulutnya.
Pikiran Juna melayang. Dirinya kembali terbawa pada kejadian di awal tahun 2021.
Hari itu hari Yesha, kakaknya, akhirnya pindah ke unit apartemen yang berjarak lebih dekat dengan kantor barunya. Prima, Anjani, dan juga adiknya, Wylsa, ikut membantu Yesha untuk merapikan barang-barang yang masih tersimpan di dalam kardus-kardus pindahan.
Saat Juna hendak merapikan kasur sang kakak, Prima datang memberi pendapat, “Teteh kamu nggak suka kalau kasurnya langsung ngehadap jendela. Dulu dia selalu bilang, matanya kesilauan kalau baru bangun. Bantu Papi geser kasurnya, ya, A'? Biar nanti teteh enak tidurnya.”
Juna nggak langsung bergerak membantu sang ayah, melainkan hanya berdiam diri di tempat. Memikirkan bagaimana sosok kepala rumah tangga itu sejatinya merupakan sosok ayah yang penuh perhatian walaupun semuanya tersirat. Hanya saja beliau gagal menjadi sosok suami yang baik bagi mantan istrinya.
“A' Ajun, ayo bantuin papi.”
“A' Ajun?”
“Aa'?”
“Eh... iya.” Juna tersentak, pikirannya kembali ke masa sekarang. “Iya, kenapa?” Ditatapnya Prima beserta Wylsa yang kini tengah menatapnya kebingungan.
“Kamu, kok, diem aja dari tadi, A'?” tanya sang ayah, “lagi ada yang ganggu pikiran?”
Kepala Juna bergeleng pelan, menyanggah dugaan sang ayah. “Nggak, kok. Cuma... ada, deh, pikiran sekelebat aja tadi.”
“Oke, kalau gitu.” Prima berangguk-angguk, enggan bertanya lebih jauh tentang alasan mengapa jagoan kecilnya yang kini sudah nggak begitu kecil tampak melamun saja sedari tadi. “Omong-omong, kuliah Aa' gimana? Lancar?”
“Lancar.”
“Pacar....” Kalimat sang ayah sedikit terjeda. “Sudah ada?”
Juna berdengus pelan. “Belom.”
“Papi kira sudah ada. Soal tempo hari Papi sempat makan malam sama teteh, sama pacarnya juga. Sekarang, Papi jadi kepikiran... kalau Aa' sudah punya atau belum.”
“Dek Wylsa, tuh, tanyain.” Juna menunjuk Wylsa dengan dagunya, mengalihkan objek pembicaraan kepada adiknya itu.
“Lah, kok aku?”
“Pasti udah punya, nih, dia. Nggak mungkin tiga tahun SMA nggak deket sama siapa-siapa.”
“Kalo yang naksir, mah, banyak. Tapi, akunya juga pilih-pilih kaliii....” Rambut sebahunya dikibas pelan, kemudian pipinya memerah karena malu. Wylsa baru saja berakting seolah dirinyalah perempuan yang paling diincar oleh seluruh penghuni sekolah, baik itu oleh murid laki-laki maupun perempuan.
“Banyak gaya kamu,” ledek Juna sembari mencubit pelan pipi halus sang adik. “Tapi, nanti kalo ada yang mau macarin kamu harus Aa' seleksi dulu, ya.”
“Nggak mau, nanti dicecer terus. Aa' 'kan ngeselin.”
“Emang itu tujuannya.”
Papi hanya bisa bergeleng-geleng melihat interaksi dua kakak-adik yang nggak pernah akur itu. Sangat berbeda dengan si sulung yang selalu berusaha mengalah demi menghindari pertikaian, namun bisa tetap terlihat tegas.
“Aa', soal anaknya Om Saka....”
“Oh, ya. Turns out that he's my friend.“
Kerutan pada dahi Prima tampak semakin tercetak jelas tatkala kedua alisnya menyatu kebingungan. “I'm sorry?“
“Waktu itu Papi bilang dia seumuran Aa' 'kan? Terus sama-sama kuliah teknik,” ujar Juna. “Nah, anak temennya Papi yang arsitek itu temennya Aa'. Aska namanya. Askara Mahavira. Coba aja Papi tanya Om Saka.”
“Wah... baru tadi Papi mau bilang kalau anaknya satu kampus sama Aa'. Ternyata kamunya sudah tahu duluan.”
“Wow....” Wylsa bergumam pelan. “Sempit banget, ya, dunia.”
“Kampus Aa' emang isinya itu-itu aja, Dek. Apalagi kalo kamu SMA-nya di Jakarta. Paling ketemunya sama temen-temen lama kamu atau nggak temennya temen kamu.”
“Is it just friend, or...?” Papi mencoba melanjutkan topik awal yang ingin beliau bawa karena dirinya memang sempat bergurau ingin saling menjodohkan anak laki-lakinya dengan anak semata wayang sang arsitek.
“Ch.” Juna berdecak. “Kenapa nanyanya begitu?”
“Papi bukannya sudah bilang? Papi mau iseng saling ngenalin kalian berdua.”
“Kalo A' bilang lebih dari temen, gimana?”
Sempat ada hening yang mengisi ruang di antara Juna, sang ayah, dan juga Wylsa. Beberapa detik kemudian, Prima meluncurkan tawa kecilnya.
“What a nice coincidence, then.“
“Ih, enaklah kalo begitu?” Wylsa ikut-ikutan menimbrung. “'Kan jadi nggak usah capek-capek ngenalin keluarga satu sama lain. Udah terjamin juga background masing-masing gimana.”
“She's right.” Papi mengusak pelan surai si bungsu. “Are you two dating or-“
“Nah, we're not.” Juna memotong perkataan ayahnya. “But I guess... I'm trying to know him better. Aa' juga nggak tau dianya mau sama Aa' atau enggak.”
“Jangan minder. Anak Papi sama mami semuanya baik, ganteng, dan cantik-cantik. So, if you need any help, you know where to reach Papi at.“
Dua lelaki di meja bernomor 3 itu saling bertukar pandang. Senyuman tulus terpatri pada pria yang berumur lebih tua, sementara yang satunya lagi hanya mengedip-ngedipkan matanya, masih belum tau harus memberikan respon seperti apa. Dan tanpa keduanya sadari, satu-satunya perempuan di meja itu menyunggingkan senyumnya.
Perlahan tapi pasti, dinginnya es kutub seorang Arjuna Prima Putra melebur. Dan Wylsa beserta seluruh anggota keluarga yang lain sudah sangat nggak sabar diri menantikan hari di mana es-es tersebut mencair seutuhnya.
Gapapa kalo papi sama mami nggak bisa balik, tapi seenggaknya suasana kumpul yang hangat kayak dulu bisa, batin si bungsu perempuan.