hyucklavender

Kalau bukan karena adiknya, Juna nggak yakin ia akan mengiyakan ajakan Prima untuk makan siang bersama di sebuah mal di bilangan Jakarta Selatan lewat WhatsApp tadi pagi. Walaupun pada kenyataannya ia tanpa sadar selalu menerima ajakan sang ayah.

Acaranya nggak begitu formal, maka hari ini ia memutuskan untuk nggak membawa kendaraan. Memilih untuk menggunakan transportasi umum karena kalau boleh jujur, ia mudah merasa jengkel ketika dirinya terjebak di kemacetan Jakarta.

Omong-omong, ada apa dengan perempuan yang akhir-akhir ini suka memangkas panjang surainya? Yang kebetulan terjadi pada kedua saudara kandung Juna, baik itu kakak maupun adiknya. Apa iya dua-duanya sedang dilanda sakit hati, maka sebab itu mereka memutuskan untuk memendekkan mahkotanya?

Terlihat adiknya beserta sang ayah yang berjalan mendekat ke arah Juna. Rambut sang adik yang terlihat jauh lebih pendek dari kali terakhir Juna menemuinya tampak bergoyang-goyang seiring ia berlangkah kecil.

Gemas, sebuah senyuman kecil seketika tercetak jelas pada wajah Juna. Adiknya itu tetap terlihat menggemaskan, meski usianya kini telah menginjak angka 17.

“Kok potong rambut?” tembak Juna begitu adiknya datang. “Habis diputusin pacar, ya?”

“Enak aja. Mana ada begitu.”

Sebuah kekehan kecil meluncur begitu saja dari belah bibir Juna. Telapak tangannya kemudian terangkat untuk mengusak puncak kepala adiknya yang bernama Wylsa itu.

“Ih, Aa'! Jangan diacak-acak nanti bubar catokannya.”

Sebuah omelan yang Juna rindukan kemerduannya. Suara Wylsa pada dasarnya sudah tinggi. Jika ditambah lagi dengan teriakan, maka akan terdengar semakin memekakan. Namun sebetulnya, justru itu yang Juna nanti-nantikan kehadirannya.

“Bubar, bubar, emangnya barisan upacara? Lagian kamu marah-marah terus. Cepet tua, lho, nanti.”

“A' Ajun.” Prima baru sempat buka suara menyapa Juna lembut, meski tahu anak tengahnya itu nggak akan membalasnya dengan lembut juga.

“Ayo masuk.” Juna enggan membalas sapaan sang ayah, lebih memilih untuk beranjak ke dalam restoran. Membuat Wylsa yang berdiri di samping sang ayah bergumam pelan, “I'm sorry, Papi.”

For what, my little Princess?

“A' Ajun... for acting like so.

Prima tersenyum lembut, mengusap puncak kepala si bungsu. “Gapapa, Dek. Yuk masuk. Aa' udah dapat tempat, tuh, di dalam.”

Wylsa menatap Juna dengan tajam. Tersirat rasa kesal yang begitu mendalam pada hitam maniknya. Kedua sudut bibirnya yang mungil tertarik ke bawah, mengekspresikan rasa kecewa di dalam hatinya.

Sementara yang sedang ditatap hanya membolak-balikan buku menu. Berusaha menghiraukan sang adik yang kian dalam menatap dirinya, meski pada akhirnya ia pun gagal.

“Kenapa Aa' diliatin terus?”

“Aa', nih,” ujar Wylsa yang kemudian sedikit berjeda. “Jangan begitu terus dong sama Papi. Masa kamu mau diajak baikan malah ngehindar? Aku nggak yakin Aa' umurnya lebih tua dari aku kalo diajak damai aja masih nolak-nolak terus kayak anak kecil.”

“Adek, ayo.” Sang ayah angkat bicara, menenangkan si bungsu yang tampak nggak lagi dapat menahan amarahnya. “Katanya lapar? Ini coba, dilihat-lihat dulu Adek mau pesan yang mana.”

Terdengar dengusan kecil dari seberang Juna, tempat di mana sang adik terduduk. Ia jadi merasa bersalah karena sikapnya hari ini dapat terbaca jelas oleh Wylsa. Bukan maksud Juna ingin membuat suasana berkumpul jadi kurang enak, namun dirinya memang masih belum bisa bersikap santai di depan sang ayah.

Makanan datang nggak lama kemudian. Tiga mangkuk mi kuah khas Jepang itu langsung disantap oleh masing-masing pemesan. Juna merasa nggak selera dengan makan siang hari ini, tapi mau nggak mau ia harus tetap menghabiskannya.

Tampak beberapa kali sosok ayahnya itu menyuapi Wylsa dengan kondimen-kondimen lain yang tersaji di atas meja. Sesekali Wylsa tergelak karena Prima memasukkan potongan makanan yang terlalu besar ke dalam mulutnya.

Pikiran Juna melayang. Dirinya kembali terbawa pada kejadian di awal tahun 2021.

Hari itu hari Yesha, kakaknya, akhirnya pindah ke unit apartemen yang berjarak lebih dekat dengan kantor barunya. Prima, Anjani, dan juga adiknya, Wylsa, ikut membantu Yesha untuk merapikan barang-barang yang masih tersimpan di dalam kardus-kardus pindahan.

Saat Juna hendak merapikan kasur sang kakak, Prima datang memberi pendapat, “Teteh kamu nggak suka kalau kasurnya langsung ngehadap jendela. Dulu dia selalu bilang, matanya kesilauan kalau baru bangun. Bantu Papi geser kasurnya, ya, A'? Biar nanti teteh enak tidurnya.”

Juna nggak langsung bergerak membantu sang ayah, melainkan hanya berdiam diri di tempat. Memikirkan bagaimana sosok kepala rumah tangga itu sejatinya merupakan sosok ayah yang penuh perhatian walaupun semuanya tersirat. Hanya saja beliau gagal menjadi sosok suami yang baik bagi mantan istrinya.

“A' Ajun, ayo bantuin papi.”

“A' Ajun?”

“Aa'?”

“Eh... iya.” Juna tersentak, pikirannya kembali ke masa sekarang. “Iya, kenapa?” Ditatapnya Prima beserta Wylsa yang kini tengah menatapnya kebingungan.

“Kamu, kok, diem aja dari tadi, A'?” tanya sang ayah, “lagi ada yang ganggu pikiran?”

Kepala Juna bergeleng pelan, menyanggah dugaan sang ayah. “Nggak, kok. Cuma... ada, deh, pikiran sekelebat aja tadi.”

“Oke, kalau gitu.” Prima berangguk-angguk, enggan bertanya lebih jauh tentang alasan mengapa jagoan kecilnya yang kini sudah nggak begitu kecil tampak melamun saja sedari tadi. “Omong-omong, kuliah Aa' gimana? Lancar?”

“Lancar.”

“Pacar....” Kalimat sang ayah sedikit terjeda. “Sudah ada?”

Juna berdengus pelan. “Belom.”

“Papi kira sudah ada. Soal tempo hari Papi sempat makan malam sama teteh, sama pacarnya juga. Sekarang, Papi jadi kepikiran... kalau Aa' sudah punya atau belum.”

“Dek Wylsa, tuh, tanyain.” Juna menunjuk Wylsa dengan dagunya, mengalihkan objek pembicaraan kepada adiknya itu.

“Lah, kok aku?”

“Pasti udah punya, nih, dia. Nggak mungkin tiga tahun SMA nggak deket sama siapa-siapa.”

“Kalo yang naksir, mah, banyak. Tapi, akunya juga pilih-pilih kaliii....” Rambut sebahunya dikibas pelan, kemudian pipinya memerah karena malu. Wylsa baru saja berakting seolah dirinyalah perempuan yang paling diincar oleh seluruh penghuni sekolah, baik itu oleh murid laki-laki maupun perempuan.

“Banyak gaya kamu,” ledek Juna sembari mencubit pelan pipi halus sang adik. “Tapi, nanti kalo ada yang mau macarin kamu harus Aa' seleksi dulu, ya.”

“Nggak mau, nanti dicecer terus. Aa' 'kan ngeselin.”

“Emang itu tujuannya.”

Papi hanya bisa bergeleng-geleng melihat interaksi dua kakak-adik yang nggak pernah akur itu. Sangat berbeda dengan si sulung yang selalu berusaha mengalah demi menghindari pertikaian, namun bisa tetap terlihat tegas.

“Aa', soal anaknya Om Saka....”

“Oh, ya. Turns out that he's my friend.

Kerutan pada dahi Prima tampak semakin tercetak jelas tatkala kedua alisnya menyatu kebingungan. “I'm sorry?

“Waktu itu Papi bilang dia seumuran Aa' 'kan? Terus sama-sama kuliah teknik,” ujar Juna. “Nah, anak temennya Papi yang arsitek itu temennya Aa'. Aska namanya. Askara Mahavira. Coba aja Papi tanya Om Saka.”

“Wah... baru tadi Papi mau bilang kalau anaknya satu kampus sama Aa'. Ternyata kamunya sudah tahu duluan.”

“Wow....” Wylsa bergumam pelan. “Sempit banget, ya, dunia.”

“Kampus Aa' emang isinya itu-itu aja, Dek. Apalagi kalo kamu SMA-nya di Jakarta. Paling ketemunya sama temen-temen lama kamu atau nggak temennya temen kamu.”

Is it just friend, or...?” Papi mencoba melanjutkan topik awal yang ingin beliau bawa karena dirinya memang sempat bergurau ingin saling menjodohkan anak laki-lakinya dengan anak semata wayang sang arsitek.

“Ch.” Juna berdecak. “Kenapa nanyanya begitu?”

“Papi bukannya sudah bilang? Papi mau iseng saling ngenalin kalian berdua.”

“Kalo A' bilang lebih dari temen, gimana?”

Sempat ada hening yang mengisi ruang di antara Juna, sang ayah, dan juga Wylsa. Beberapa detik kemudian, Prima meluncurkan tawa kecilnya.

What a nice coincidence, then.

“Ih, enaklah kalo begitu?” Wylsa ikut-ikutan menimbrung. “'Kan jadi nggak usah capek-capek ngenalin keluarga satu sama lain. Udah terjamin juga background masing-masing gimana.”

She's right.” Papi mengusak pelan surai si bungsu. “Are you two dating or-

Nah, we're not.” Juna memotong perkataan ayahnya. “But I guess... I'm trying to know him better. Aa' juga nggak tau dianya mau sama Aa' atau enggak.”

“Jangan minder. Anak Papi sama mami semuanya baik, ganteng, dan cantik-cantik. So, if you need any help, you know where to reach Papi at.

Dua lelaki di meja bernomor 3 itu saling bertukar pandang. Senyuman tulus terpatri pada pria yang berumur lebih tua, sementara yang satunya lagi hanya mengedip-ngedipkan matanya, masih belum tau harus memberikan respon seperti apa. Dan tanpa keduanya sadari, satu-satunya perempuan di meja itu menyunggingkan senyumnya.

Perlahan tapi pasti, dinginnya es kutub seorang Arjuna Prima Putra melebur. Dan Wylsa beserta seluruh anggota keluarga yang lain sudah sangat nggak sabar diri menantikan hari di mana es-es tersebut mencair seutuhnya.

Gapapa kalo papi sama mami nggak bisa balik, tapi seenggaknya suasana kumpul yang hangat kayak dulu bisa, batin si bungsu perempuan.

Helaan napas berat terdengar mengalahkan sunyinya kamar indekos Juna yang terletak di lantai dua. Jam dinding yang bunyi linearnya terus berdetak seakan menyuruhnya untuk segera bergegas, takut-takut akan terlambat.

Layar ponselnya terkunci tatkala ia bangkit dari tepian ranjang. Juna sempat menghampiri meja belajar terlebih dahulu, menimbang-nimbang arloji mana yang akan ia pakai. Pilihannya kemudian jatuh pada arloji pemberian sang ayah di ulang tahunnya yang ke-16.

Satu-satunya hal yang menurut Juna masih bisa ia lakukan untuk menghargai kehadiran sang ayah ialah mengenakan arloji tersebut walaupun pada kenyataannya secara nggak sadar, ia hampir nggak pernah menolak permintaan Prima. Sebab menurutnya, sudah nggak lagi tersisa setitik pun rasa peduli dalam diri Juna terhadap pria itu.

Seperti hari-hari sebelumnya, hari ini cuaca di luar terlihat cerah walaupun nggak secerah suasana hati pemuda yang sedang menuruni tangga itu. Seharusnya, siang ini ia dapat mengunjungi bioskop sebab malam sebelumnya ia telah memesan sebuah tiket hanya untuk menumpang tidur. Yang kemudian dilanjut dengan kegiatan rapat mingguan untuk proyek acara di angkatannya.

Pemuda kelahiran April itu memang sedikit unik. Ketika ia merasa sulit terlelap, memesan sebuah bangku untuk menonton di bioskop merupakan opsi terbaiknya. Udara dingin teater bioskop dianggap dapat memeluknya dengan sempurna hingga matanya dapat seketika terpejam dan kemudian terlelap.

Juna memasukkan kunci motornya ke dalam lubang di atas tangki. Motor retro gagah yang hanya memiliki satu tempat duduk itu ia panaskan terlebih dahulu sebelum dibawa melintasi jalanan kota Depok.

“Akhirnya itu motor dipake juga, nggak cuma dipanasin doang tiap pagi. Mau ke mana lu emang?”

Itu suara Bang Wira, penjaga indekos yang tengah ditinggali oleh Juna serta beberapa penghuni lain.

“Mau ketemu orang tua, Bang.” Juna membalasnya sembari merapatkan resleting jaket hitamnya.

“Oh, ya udah. Hati-hati lu.”

“Yo, makasih, Bang.”

Usai dirasa cukup, Juna mengencangkan pengait pada helmnya. Dibawanya motor itu melesat di jalanan yang telah ramai akan pengguna.

Perjalanan dari tempatnya tinggal menuju padang golf yang dituju memakan cukup banyak waktu. Namun, syukurlah Juna tetap dapat sampai dengan tepat waktu. Setelah menuruni motor dan melepas helm, ia juga melepas jaket yang melekat pada tubuh bidangnya. Beranjak masuk ke dalam, ke tempat sang ayah kemungkinan besar sudah menunggu kedatangan sang anak tengah.

Juna sempat menelan ludahnya kasar sebab kembali terlintas pada otaknya pikiran-pikiran mengenai ia yang nggak bisa menjadi dirinya sendiri kala ia berada di sekitar teman-teman sang ayah. Bagaimana ia harus terlihat seperti pemuda yang sempurna tanpa lecet sedikit pun. Memberikan kesan bahwa pria bernama Prima itu telah sukses membesarkannya menjadi lelaki yang sempurna. Padahal di sebagian hidup Juna, kehadiran pria itu justru tampak acapkali absen dari kegiatan-kegiatannya.

“Aa'.”

Juna kembali tertegun. Sudah dua bulan terakhir sang ayah nggak mengajaknya pergi bertemu. Ia kira ia sudah nggak lagi harus terlibat dengan pria tersebut, namun nyatanya pagi ini ia kembali berdiri berhadap-hadapan dengan Prima.

“Pi,” sapa Juna sekenanya.

Seperti kali sebelumnya, Juna diajak berbincang oleh sang ayah dengan teman-teman sebayanya yang turut hadir pada kegiatan berolahraga pagi ini. Beberapa tampak turut membawa putranya. Juna juga sudah merasa familier dengan wajah-wajah yang ada. Tapi sepertinya, ada wajah baru yang belum pernah ia jumpai sebelumnya.

Lantas, Prima mengelus pelan pundak Juna, menuntunnya menemui wajah baru tersebut.

“Pak Saka, ini anak saya yang tengah, yang pernah saya ceritakan tempo hari,” ujar sang ayah ramah, “Aa', ini arsitek rumah yang di Jakarta. Baru sempet papi kenalin sekarang.”

Juna bukan seorang anak kecil yang mudah merajuk nggak tahu tempat. Sebesar apa pun rasa dendamnya dengan sang ayah, ia nggak akan mengacaukan acara yang telah disusun rapi oleh pria itu.

“Halo, Om Saka.” Juna sedikit membungkukkan badannya. “Arjuna.”

“Atau Juna, biar lebih singkat,” sambung papinya mewakili.

“Oh, halo, Juna. Wah, namanya kayak chef yang terkenal itu, ya,” canda Om Saka yang lantas membuat Juna tertawa sopan. Lelucon yang telah masuk ke dalam rungu Juna sebanyak jutaan kali.

“Hahaha, betul, Om.”

“Ganteng kayak papinya. Mirip-mirip, nggak beda jauh.”

Juga pernyataan yang telah Juna terima sebanyak jutaan kali. Orang-orang memang kerap berkata wajah tampannya itu cetakan asli dari sang ayah.

Pepatah mengatakan, buah jatuh tak jauh dari pohonnya.

Juna tersenyum singkat. Pepatah itu terdengar sedikit terlalu serius lantaran bukan hanya penampilan yang sang ayah wariskan, namun caranya memperlakukan kekasihnya dahulu juga sepertinya tampak ikut diwariskan oleh pria itu.

“Aa', om ini juga punya anak yang seumuran kamu. Sama-sama kuliah teknik juga.”

“Oh, iya, Om?”

“Iya, betul itu Juna,” jawab Om Saka, “anak Om laki-laki. Kalau Juna mau minta kontaknya... mungkin aja Juna tertarik 'kan? Nanti bisa Om kasih. Mana tau jodoh.”

Papi dan Om Saka tergelak, sementara Juna pun mau nggak mau ikut terkekeh seadanya.

Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Juna sama sekali nggak merasa tertarik akan topik apa pun yang dibicarakan hari ini. Dirinya hanya ikut tertawa, mengangguk-anggukan kepala, atau menggumamkan kalimat 'oh, ya?' di sepanjang acara. Nggak lupa senyuman ramah yang selalu terpatri pada wajahnya sebab ia nggak ingin teman-teman sang ayah menganggap anak dari seorang Prima Putra terlihat angkuh dan sulit untuk diajak bicara.

Juna masih punya hati, meski nggak seberapa besar. Ia nggak ingin menghancurkan imej sang ayah di mata orang lain. Cukup keluarganya saja yang menganggap pria itu telah gagal membina kehidupan berkeluarga. Jangan sampai beliau juga dianggap gagal dalam menjalankan pekerjaannya.

Pagi ini cerah atau bahkan bisa dibilang kelewat cerah. Juna yakin siang nanti matahari Depok akan terasa jauh lebih panas dari biasanya.

Orang-orang di sekelilingnya tampak sedang sibuk dengan urusan masing-masing. Pedagang makanan yang sedang melayani pelanggan, mahasiswa yang sedang buru-buru berjalan menuju gerbang fakultas, juga beberapa kendaraan yang melintas membelah keramaian.

Juna sedikit meregangkan badannya usai melakukan skipping dan push up di halaman indekos yang telah sepi oleh kendaraan yang biasanya terparkir. Hari ini, ia memilih untuk melakukan olahraga di sini, nggak seperti hari-hari biasa di mana ia biasanya keluar untuk berlari.

Namun, seperti hari-hari lainnya, hari ini pun Juna harus kembali mencari sarapan sendirian lantaran kedua temannya enggan ikut keluar menemaninya.

Nggak ada pilihan lain yang tepat bagi Juna pagi ini selain warkop tempat ia biasa menyantap nasi telur sebagai sarapan pagi. Lantas, langsung saja Juna bergegas setelah membersihkan dirinya yang bermandikan keringat usai berolahraga.

Baru saja Juna memasuki ruangan warkop yang sebetulnya nggak terlalu luas itu, dirinya sudah dibuat sedikit terlonjak. Ia nggak menyangka kalau hari ini juga, untuk yang keempat kalinya di minggu ini, ia kembali nggak disengaja bertemu dengan Aska.

“Lah, Juna, Ska.”

Saking fokusnya Juna terhadap Aska, ia bahkan nggak menyadari kehadiran temannya, Riga, di samping Aska.

“Juna? Sini, sini, kosong, nih, bangkunya.”

Aska yang akhirnya sadar akan kedatangan Juna, menepuk bangku kayu kosong yang tepat berada di serong posisi duduknya sekarang. Juna pun tersenyum, menempati bangku yang ditunjuk oleh Aska.

“Sarapan di sini lagi?”

“Iya, di sini doang yang nasi telornya enak.”

Aska terkekeh pelan mendengar jawaban Juna yang kelewat jujur. “Setuju, sih, gue.”

Atau mungkin tempat ini memang mengingatkan Juna akan pertemuannya dengan Aska untuk yang kedua kalinya? Yang juga tanpa disengaja.

“Lu mau nasi telor juga, Jun?”

“Eh, iya.”

“Ya udah.” Aska melambaikan tangannya pada sang penjual yang sedang sibuk mengaduk gelas berisikan kopi hangat. “A’, nasi telornya nambah satu. Jadi tiga, ya.”

“Oke, siap.” Penjual warkop tersebut mengacungkan satu jempolnya.

“Wah, dipesenin. Thanks banget, Aska.”

“Oke, santai.”

Di sampingnya, Riga diam-diam cekikikan melihat interaksi temannya dengan sosok laki-laki yang terus menerus bertubrukan dengan satu sama lain di minggu ini.

“Kenapa lu? Ketawa-ketawa aja.”

“Gapapa, lu berdua lucu.”

Aska tersentak, mengerutkan dahinya keheranan. “Lucu apanya?”

“Nggak, nggak.”

“BTW....” Juna kembali memulai percakapan, membuat dua sejoli yang sedang bercakap itu menoleh ke arahnya. “Kita beneran ketemu mulu, ya, akhir-akhir ini? Cuma Kamis kemaren aja kita nggak ketemu.”

“Ketemu, kok.”

Bingung, Juna memiringkan kepalanya sambil kedua alisnya turut bertaut. “Hah, masa iya?”

“Lu....” Aska menjeda kata-katanya. “Bukannya kemaren mampir di notification Instagram gue?”

“Maksudnya?”

“Iya, bener, kok, lu mampir. Lu nge-like post-an gue yang guenya jongkok. Iya nggak, sih?”

Kaget, Juna membelalakan kedua kelopak matanya lebar-lebar. Langsung merogoh kantong celana untuk mengambil ponselnya dari dalam sana.

Benar saja, ternyata sewaktu Juna memberi lihat potret Aska kepada sang kakak, dia nggak sengaja menyentuh ikon yang berbentuk hati. Membuat sebuah notifikasi pada akun Instagram Aska muncul, tanda bahwa seseorang baru saja menyukai unggahannya.

“Lu nge-stalk gue apa gimana, Jun?”

Spontan, Aska dan Riga keduanya terkekeh pelan. Reaksi Juna terlihat seperti anak kecil yang sedang tertangkap basah mencuri permen di warung.

“Yah... ketauan, deh, gue.” Juna mengusap tengkuknya kikuk. Membuat Aska serta Riga kembali terkekeh pelan.

“Juna... Juna.” Riga menggeleng-gelengkan kepalanya. “Ini gue kasih tau, ya. Kalo mau nge-stalk orang di Instagram pake tangan kanan biar ngga ke-like, nah kalo di Twitter, baru lu pakenya tangan kiri. Ke-like ‘kan, tuh, posting-an orang.”

“Hahahah.” Aska mengeluarkan sisa tawanya, kemudian menepuk lengan Juna perlahan. “Bercanda, Jun. Nggak usah malu-malu amat. Udah, lupain aja. Gue juga pernah, kok, nggak sengaja nge-like post-an orang.”

“Errr... iya... hehehe, aduh sorry, ya, Aska.”

Nggak bisa menahan rasa malunya, kini nada bicara Juna jadi ikut gelagapan. Berharap lantai dasar warung dapat tiba-tiba terbelah dan menelannya hidup-hidup. Atau boleh juga dengan sebuah capit dapat menariknya tubuhnya dari atas bak mesin mainan pada area bermain. Ia bisa menerima cara apa saja, asalkan kini ia nggak lagi diharuskan untuk bertatap muka dengan seorang Askara Mahavira.

“Lah, tenang aja, Jun. Nggak perlu minta maaf juga.”

Juna tersenyum canggung, memanglingkan pandangannya ke luar jendela. Berusaha menghindari tatapan Aska san Riga yang hanya akan membuatnya semakin malu.

Ah, tuh ‘kan. Tau gitu kemaren gue nggak usah nunjukkin foto Aska ke teteh. Jadi ketauan begini ‘kan sekarang.

Hati Juna bergumam, namun tiba-tiba kepalanya bergeleng.

Tapi, nggak, sih. Ini emang guenya aja yang ceroboh. Ah elah... mau ditaro di mana muka gue?

“Suka, sih, suka. Tapi, jangan yang sampe kebaca banget dong, Jun. Hahahah.” Riga meledek Juna lagi, seperti belum puas dengan yang tadi. ”Play it lowkey, Jun. Udah lama nggak ngegebet orang, ya, lu?”

“Riga....” Aska menatap Riga tajam, seperti menyuruhnya untuk menghentikan sindirannya pada Juna.

“Eh, bercanda, Jun.”

Beberapa bulan telah berlalu sejak terakhir kali Juna bertemu dengan sang kakak atau yang lebih akrab ia sapa dengan 'teteh'. Namun, hal tersebut nggak lantas buat dia jadi mudah lupa akan sosoknya. Walaupun kini surai hitam legam yang biasanya panjang sampai menyentuh pinggang telah terpangkas, Juna tetap dapat menangkap keberadaan kakaknya yang bernama Yesha di tengah-tengah keramaian restoran.

Juna tersenyum singkat, melangkahkan tungkainya untuk menghampiri meja yang telah ditempati oleh Yesha.

“Teh.”

“Eh, akhirnya.” Yesha memanglingkan arah pandangnya pada layar ponsel, menatap adik laki-lakinya yang kemudian menarik kursi sebagai tempatnya duduk. “Dateng juga lo.”

“Lama nggak nunggunya?”

“Lumayan. Lo, sih, bukannya bawa mobil sendiri.”

“Sama aja. Malah cepetan naik KRL kali? Cuma emang tadi lama aja dapet ojeknya.”

“Tapi, tetep-”

“Asik, udah dipesenin makannya.” Juna memotong kalimat sang kakak yang terpaut tiga tahun lebih tua lantaran enggan berdebat lebih jauh. Diambilnya sumpit yang tersaji di dalam tempat penyimpanan untuk mulai menyumpit sushi yang telah dipesan oleh Yesha.

“Enak banget. Udah lama gue nggak nyushi.”

“Bagus, anak rantau harus belajar hemat.”

“Rantau dari Bogor ke Depok doang.”

“Tetep aja namanya rantau.”

Juna memajukan dagunya, menunjuk sajian makanan khas Jepang di atas meja. “Ini lu juga boros, Teh. Ngajak makannya sushi, padahal lu juga anak rantau.”

“Lah, kalo ini 'kan uang gue. Bebas dong mau gue pake buat apa? Beda cerita sama lo, uang lo 'kan masih uang papi sama mami.”

“Mami aja.” Juna tersenyum miris. “Gue nggak pernah pake uang yang ditransfer papi.”

Di hadapan Juna, Yesha tampak menghela napasnya berat, kemudian meletakkan sumpitnya di atas piring untuk menatap sang adik yang sedang sibuk memasukkan sushi demi sushi ke dalam mulutnya.

“A' Ajun....”

“Eh, ini apa? Gue nggak pernah mesen daging-dagingan di Zenbu.” Juna meraih potongan daging yang baru saja dimasak, yang kemudian ia suap ke dalam mulutnya. “Enak, dah. Gue baru pernah coba.”

Melihat adiknya yang terus menerus enggan membahas perihal sosok sang ayah membuat Yesha memijit keningnya pelan. Tahun berlalu sejak hakim mengetuk palu memutuskan peceraian bagi Prima dan Anjani (sosok orang tua kandung dari Juna beserta saudara kandungnya), namun sampai detik ini Juna masih tampak enggan berdamai dengan sang ayah.

Yesha, adik bungsunya (Wylsa), dan bahkan Anjani sendiri telah memaafkan kesalahan yang sang ayah sempat perbuat sebelum pasangan suami-istri itu akhirnya memutuskan untuk berpisah ranjang. Namun, anak laki-laki satu-satunya di rumah tetap enggan menerima sosok Prima kembali di hidupnya.

Menurut Juna, apa yang telah sang ayah lakukan untuk sungguh kelewat batas. Ia nggak bisa menolerir kesalahan yang telah beliau lakukan setelah melihat Anjani yang harus menitikkan air mata di setiap malam yang beliau lalui.

Without realizing that he was slowly turning into his father, turut melukai hati yang seharusnya ia jaga kala itu. Juna yang berumur enam belas tahun, nggak seharusnya ikut berubah. Turut melukai kekasih yang berjarak satu tahun lebih muda darinya. Meninggalkannya kebingungan, sendirian dalam gelap seperti apa yang telah Prima perbuat pada Anjani. Membuat sang ibu seperti sudah nggak lagi merasa disayang.

Alright, fine. You do you.” Yesha kembali meraih gelas iced lychee tea, menenggak substansi dari dalam sana untuk mendinginkan kepalanya. “By the way, how's college?

I adapt easily so everything's good.

“Masih suka kepikiran BIFA, nggak?”

Juna terkekeh pelan. “Dikit. Dikit banget tapi. Gue udah ikhlas, deh, sekarang. Gue ikut aja mami maunya gue ngejalanin pendidikan apa biar mami seneng. Nggak bisa gue liat mami nangis-nangis lagi.”

Kini, berganti Yesha yang tersenyum miris. Dalam hatinya bergumam, Padahal papi bisa bantu bujukin mami yang kekeuh maunya lu jadi sarjana dulu baru lanjut BIFA. Harusnya sekarang lo bisa langsung sekolah pilot, A'. 'Kan selama ini papi juga yang selalu ngedukung lo jadi pilot.

Nggak ingin berdebat dengan Juna, Yesha lebih memilih memendam pendapatnya sendiri.

“Terus, lo seriusan nggak ada deket sama siapa-siapa?”

“Yah elah... ini lagi.”

“Enggak, serius. Soalnya dulu pas gue masuk kuliah, tuh, orang-orang pada gampang banget dapet pacar.”

“Tapi, di antara mereka ada juga 'kan yang nggak dapet?”

“Ya....” Yesha menggaruk pipinya. “Ada juga, sih.”

“Ya udah, berarti gue salah satu bagian dari yang nggak dapet itu.”

“Tapi, lo sendiri masih nutup hati nggak? Gue yakin adek gue yang ganteng ini pasti pernah dideketin sama orang. Ya kali, deh, nggak ada yang basa-basi nyoba deketin lo?”

Juna tertawa terbahak-bahak mendengar pernyataan Yesha. “Hahaha! Akhirnya lu ngaku kalo gue ganteng.”

“Jawab gue dulu. Masa iya, sih, nggak ada yang deketin lo?”

“Gue baru sadar kalo kayaknya I don't go with the person who likes me,” jawab Juna, “I should be the one who chases. I go with the person that I like. Biar gue jadi nggak gampang nyia-nyiain orang itu.”

“Baik itu orang yang lo suka atau orang yang suka sama lo, nggak seharusnya lo sia-siain kebaikan mereka.”

Juna tertegun, nggak bisa mengelak opini sang kakak.

But anyway back to the topic. What if they're the one?

What do you mean by 'they'?

Person who likes you.

Still a no from me, I guess...?

Yesha memutar bola matanya malas. “Jeez.

“Tenang, Teh. Yang kayaknya besok kiamat aja, sih? Nggak perlu buru-buru amat kali.”

“Ya udah.” Yesha melipat tangannya di atas meja. “Kalo gitu ganti pertanyaan. Ada nggak yang lagi mau lo deketin? Yang keliatan menarik di mata lo.”

Bagian ini yang Juna hindar-hindari dari orang sebab dirinya sendiri pun masih belum mantap soal apakah ia harus benar-benar mengejar sosok laki-laki itu atau tidak.

Mulut Juna terlihat menggembung, masih penuh dengan makanan yang sedang ia kunyah. Namun, melihat Yesha yang tampak seperti sedang menunggu jawaban darinya, ia jadi mau nggak mau menelan makanannya lebih cepat untuk menjawab pertanyaan sang kakak.

“Hm....”

“Gimana, ada nggak?”

I-

Yesha menaikan sebelah alisnya. “I?

I'm still unsure about this one, but if you wanna take a look-

“Mau. Mana coba sini fotonya? Harus gue seleksi dulu, nih.”

God....

“Cepeeet.”

Sebetulnya, Juna nggak ingin menunjukan sosok yang terngiang-ngiang di kepalanya terlebih dahulu kepada Yesha. Ia nggak ingin diburu-buru oleh para manusia di sekitarnya untuk mendekati lelaki tersebut. Ia ingin semuanya pasti, walau itu berarti ia harus berjalan pelan.

“A' Ajun.”

Fine. Sabar.”

Ponsel yang tadinya tergeletak begitu saja di atas meja akhirnya diraih oleh sang pemilik. Ibu jarinya bergerak menuju aplikasi Instagram, menari di atas layar mencari username yang ingin dituju.

@askaramahavira

Salah satu unggahan milik username tersebut menunjukkan wajahnya yang berseri-seri, yang kemudian Juna coba beri lihat pada sang kakak.

“Ih, manis. Jago lo, A', nyari cowonya.”

“Iya, manis. Ngaku gue. Tapi, yang lebih penting lagi sifatnya, sih. Nggak tau kenapa gue jadi rada tertarik sama dia karena itu.”

Yesha kembali menenggak minumannya sambil mengangguk-anggukan kepala. “Kenapa emang dia?”

“Keliatan kayak... apa, ya? Keras kepala? Nggak mau ngerepotin orang? Yah, pokoknya begitu,” jawab Juna sembari menatap lurus ke depan, kembali mengingat-ingat sosok Aska yang ia kerap temui akhir-akhir ini. “Dan gue penasaran, gue bisa apa nggak buat dia jadi luluh.”

You're not seriously jadiin dia bahan buat nguji kehebatan lo....”

Juna menegapkan bahunya, kepalanya bergeleng untuk menyanggah argumen sang kakak. “Enggak, Teh. Nggak begitu maksud gue. Gue beneran fall for his personality. Gue suka ngeliat dia ada di pendiriannya, tapi tetep keliatan baik dan nggak angkuh. Kemaren aja gue sempet dikasih makanan ringan buat ngeganjel perut. Karena dia yang baik juga, makanya gue jadi tertarik.”

Melihat adiknya yang jadi mudah tersenyum ketika bercerita tentang sosok laki-laki yang diketahui bernama Aska itu, membuat hati Yesha seakan berada di kedamaian. Akhirnya, adik laki-laki satu-satunya itu berani untuk membuka hatinya lagi.

“Oke kalo gitu. Majuin aja coba. Pretty sure lo udah belajar dari masa lalu dan nggak bakal ngulang kesalahan yang sama sekarang.”

About that....” Juna menghela napasnya panjang. “Let's just... wait. Okay?

Sebelum kembali mematikan ponselnya, Juna menatap potret Askara Mahavira yang terpampang di atas layar ponselnya. Yang tanpa sadar menghadirkan sebuah senyum kecil pada raut wajahnya yang tampak kian bersinar terkena cahaya dari lampu-lampu yang menggantung di atap restoran.

Ibu jari Juna bergerak, hendak menyusuri wajah yang hanya bisa ia pandang lekat-lekat lewat layar ponselnya. Namun akhirnya, ia mengunci layar ponsel itu sebelum kembali melanjutkan sesi bertukar cerita dengan sang kakak.

Aska nggak pernah menyangka kalau obrolannya dengan Riga kemarin siang dapat berubah menjadi seserius ini.

Coincidence.

Aska sama sekali nggak pernah menyangka kalau kebetulan tersebut akan terjadi selama tiga hari berturut-turut.

Yang kini tengah Aska tatap nggak lain dan nggak bukan adalah Juna, laki-laki yang sudah ia temui di hari Senin dan Selasa kemarin.

Juna tampak sedang kebingungan menimbang-nimbang sesuatu. Dan Aska yang pada hari biasanya nggak pernah peduli akan urusan orang lain, entah kenapa hari ini jadi penasaran ingin mengetahui pikiran apa yang sedang bersarang di dalam kepala Juna; keputusan apa yang sedang lelaki itu sedang pertimbangkan.

Lantas, Aska membawa dirinya mendekat ke arah Juna dengan sepiring sate titipan Riga di tangan kanannya.

“Juna?”

“Eh.” Juna tampak sedikit terlonjak begitu seseorang tiba-tiba menepuk pundak kirinya.

“Aska?”

“Lu ngapain diem, berdiri doang di sini?” tanya Aska, “mau beli makan?”

“Enggak, eh, iya.” Juna menggelengkan kepalanya. “Eh, enggak, tapi pengen, tapi takut gue telat. Aduh, gue jadi nggak jelas ngomongnya.”

“Hahah.” Aska terkekeh pelan, gemas akan tingkah Juna yang sedang kebingungan itu. “Coba gue tebak. Lu lagi mau makan, tapi takut terlambat masuk kelas, tapi perut lu juga nggak bisa kalo telat makan karena lu punya maag. Iya, nggak?”

“Kok lu tau?”

“Kalo perut lu bisa nahan, harusnya lu nggak ada di sini. Pasti lu lebih milih ngamanin absen, daripada mikir harus beli makan apa enggak.”

Alis Juna kini bertaut kebingungan. “Lu... cenayang, ya? Atau dukun, nih, jangan-jangan.”

Sekali lagi, Aska dibuat tertawa oleh Juna. “Hahaha, enggak, Jun. Ya kali, deh? Nih, pegangin sate gue sebentar.”

Piring sate yang dibawa oleh Aska kini berpindah ke tangan Juna, sementara dirinya sibuk merogoh totebag-nya untuk mencari senjata andalan kala rasa lapar menyerang.

“Ini, gue ada Marie Regal sama susu almond. Gue juga punya maag, BTW. Jadi, kalo lagi nggak bisa makan berat, biasanya gue ganjel dulu pake ini. Kelas biasanya dua jam sampe dua setengah jam 'kan? Yah... bisalah kalo lu ganjel pake ini, asal habis kelas lu bener-bener langsung makan berat.”

“Terus ini....” Kalimat Juna terputus. “Buat gue, gitu?”

“Iyalah, kalo nggak buat lu ngapain gue sekarang nyodorin ini.”

Juna masih tampak enggan menerima pemberian Aska, sementara Aska melihat jam pada ponselnya. Waktu menunjukkan pukul 12.58 siang, ia yakin Juna nggak lagi punya banyak waktu untuk berpikir. Kelas biasanya akan dimulai pukul 13.00.

“Ambil. Makan di jalan, biar lu nggak telat. Tapi, hati-hati keselek, ya.”

Aska menaruh bungkus makanan serta minuman yang selalu ia bawa di dalam tasnya itu pada genggaman Juna. Kemudian, ia kembali meraih piring yang sebelumnya ia minta Juna untuk bawa.

“Gih, jalan. Gue juga udah mau balik ke meja. Duluan, Jun.”

Tertegun, Juna merasa ia nggak sekali pun pernah merasa bertemu dengan seseorang dengan hati setulus dan otak setanggap milik Aska. Aska dapat dengan mudahnya menebak apa yang sedang terjadi pada dirinya juga memberikan solusi yang nggak pernah terpikirkan oleh Juna sebelum ini.

Ia masih belum bisa memproses semuanya secepat Aska bisa memberinya solusi. Namun yang jelas ada satu hal yang pasti,

Juna terkesima.

Botol minum milik Aska kini tengah digenggam oleh Juna. Ujung sepatunya diketuk-ketuk ke lantai sembari menunggu kedatangan Aska.

Ketika sedang menunggu, sebenarnya ada sedikit pikiran yang berkecamuk di dalam tempurung kepalanya.

Sejauh Juna pernah membantu seseorang, dia nggak pernah sekali pun menemui sosok yang sangat enggan untuk merepotkan dirinya. Walaupun sebenarnya ia sama sekali nggak merasa terepotkan. Tapi, sosok Aska ini membuat Juna menobatkannya sebagai sosok yang paling nggak enakan di dalam hidupnya.

Normalnya, kebanyakan orang akan merasa senang jika bebannya berkurang sebab dibantu oleh yang lain. Maksud Juna tadi pun sama, dia nggak ingin membuat Aska jadi harus kembali ke area fakultas karena ia sudah berada di luar area tersebut. Namun tetap saja, yang namanya Aska itu bersikukuh untuk menjadi pihak yang menghampiri Juna walau itu berarti ia harus keluar tenaga lagi.

“Juna?”

Yang baru saja dipanggil langsung mendongakan kepalanya, melempar pandang pada sumber suara.

Aska ternyata. Ia baru saja sampai di depan area kantin fakultas atau yang lebih biasa disebut Kantek bagi para mahasiswa teknik di kampus ini.

“Hai,” sapa Juna yang kemudian sedikit menolehkan kepalanya pada sosok yang nggak ia kenal di samping Aska. “Ini....”

“Eh, iya, ini temen gue. Kenalin, Riga namanya,” ujar Aska, “Nah, Riga, ini Juna.”

“Oh....” Riga membulatkan mulutnya membentuk abjad 'O' sembari mengangguk-anggukan kepalanya. “Ini, toh, gebetan Aska yang namanya Juna.”

Juna nggak sanggup untuk mengeluarkan sepatah kata apa pun. Mulutnya kini sedikit ternganga, terkejut mendengar pernyataan teman Aska yang kini ia ketahui bernama Riga.

“Riga....” Aska melempar tatapan yang sedikit tajam pada Riga, yang kemudian dibalas oleh cengiran oleh kawan sesama teknik industrinya itu.

“Bercanda. Kenalin, gue Riga,” ujar Riga sambil menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Juna.

“Juna...,” balas Juna nggak kalah ramah. “Oh, iya, ini botol minum lu, Aska.”

Botol minum yang sebelumnya berada pada genggaman Juna kini telah berpindah pada genggaman sang pemilik asli.

Thanks, Jun, udah jagain botol gue. Tapi, tadi harusnya lu tinggal aja di warkop biar nggak repot-repot balikin begini.”

“Gapapa, 'kan ini lu juga yang nyamperin gue. Walaupun aslinya gue bisa-bisa aja nemuin lu di luar, terus kita ketemu di tengah.”

“Dih, Aska, lu bego apa gimana, sih?” sambar Riga tiba-tiba. “Tuh, Juna udah nawarin buat ketemu di tengah-tengah, kenapa lu harus susah-susah balik ke FT? Aneh l-”

“Sssh, udah, udah.” Sebelum Riga sempat melanjutkan kalimatnya, Aska sudah terlebih dahulu menyuruhnya untuk menutup mulut. “Makasih, ya, Jun. Kalo gitu, gue duluan.”

Dan begitu saja, lengan Riga ditarik oleh Aska untuk menjauh dari tempat Juna berdiri. Meninggalkan Juna sendirian sembari menatap punggung Aska yang lama kelamaan mengecil dan kemudian menghilang.

Juna selalu suka direpotkan, baik itu hanya oleh teman-temannya dan bahkan sosok yang ia sayangi. Bertemu dengan seseorang yang terlihat sama sekali enggan merepotkan dan bergantung pada orang lain lantas membuat hati kecilnya jadi sedikit penasaran.

Namun detik selanjutnya, Juna tertangkap menggeleng-gelengkan kepalanya. Mengusir rasa penasarannya akan sosok Aska yang kini telah menghilang dari pandangannya. Nggak seharusnya Juna merasa penasaran hanya karena Aska tampak seperti sosok yang sulit untuk ia taklukan.

Hal yang tadi Juna katakan pada platform Twitter-nya itu benar. Ia bukan tipe orang yang bisa menjalankan harinya dengan baik-baik saja kalau nggak diawali dengan menyantap sarapan. Lambungnya selalu menuntut untuk diisi setiap delapan jam sekali, kendati dirinya yang kerap merasa malas untuk mencari makan.

Namun, semalas-malasnya Juna mencari santapan di setiap pagi, ia jauh lebih malas lagi kalau harus sampai mampir ke UGD rumah sakit jika penyakit asam lambungnya kembali menyerang.

Jadi usai berlari pagi, Juna selalu menyempatkan diri untuk mampir ke warkop di dekat tempat anak-anak teknik mesin ‘nongkrong’ untuk mengisi perutnya.

Sebetulnya, letak indekos Juna dapat dibilang cukup jauh dari sana, tapi ia lebih memilih untuk menyantap nasi telur khas warkop tersebut karena rasanya yang jauh lebih lezat dari nasi telur buatan warkop lain.

Ketika Juna baru saja mendaratkan bokongnya pada bangku kayu warkop, netranya tiba-tiba menangkap keberadaan laki-laki yang familier pada pintu masuk warkop. Laki-laki tersebut terlihat mengenakan kemeja berkerah yang sedikit rendah, juga celana jeans serta sneakers yang persis dipakainya kemarin.

Juna mengedipkan matanya berkali-kali, bergumam di dalam hatinya akibat kebetulan yang baru saja terjadi.

Lagi?

Di tempatnya, lelaki tersebut terlihat sedang celingukan mencari tempat duduk. Warkopnya memang sedang ramai akan pengunjung. Sepertinya, beberapa mahasiswa lebih memilih untuk bersarapan di sini dibanding di tempat-tempat lain karena kelezatan masakannya yang sangat sebanding dengan harganya.

Ketika ia terlihat hendak beranjak, Juna menaikan nada suaranya untuk memanggilnya, persis seperti apa yang ia lakukan kemarin di lobby Gedung K.

“Aska!”

Yang dipanggil lantas mengedarkan pandangannya ke seisi warkop, mencari-cari siapa yang barusan menyapanya.

Tangan Juna melambai-lambai di udara, memberikan sinyal pada lelaki bernama Aska di ambang pintu. Begitu Aska menangkap keberadaan Juna, ia lantas tersenyum dan melanjutkan kalimatnya. “Sini, sini. Mau sarapan, ‘kan, lu?”

Juna sedikit menggeser posisi duduknya, memberikan sedikit tempat untuk Aska dapat duduk. Lantas, Aska melangkahkan kakinya untuk menghampiri Juna. Namun, begitu melihat tempatnya yang sempit, Aska jadi berubah pikiran.

“Sempit banget nggak, sih, Jun?” Aska menggaruk kulit kepalanya yang nggak gatal itu. “Kayaknya gue nyarap di tempat lain aja, deh.”

“Lu ada kelas tapi?” tanya Juna yang sedikit melenceng dari topik awal.

“Hah?”

“Lu habis ini ada kelas?”

“A-ada...,” jawab Aska ragu.

“Jam berapa?”

“Jam delapan. Sebentar lagi.”

“Oh, ya udah.”

Tiba-tiba, Juna berdiri dari tempat duduknya. Mengeluarkan kakinya untuk mempersilakan Aska duduk di tempatnya.

“Gih, duduk. Sarapan di sini aja, nanti telat kalo nyari tempat lain.”

“Aduh, Jun, gue ngerepotin lu mulu nggak, sih, kalo begini?”

Mungkin, kalau yang berada di samping Aska sekarang ini bukan Juna, orang tersebut nggak akan sukarela menunda kegiatan sarapannya demi orang lain. Tapi nyatanya, yang kini tengah bersamanya itu Juna. Lelaki dengan kebaikan bak malaikat yang tentunya nggak akan keberatan untuk mengalah demi kebaikan orang lain.

Di tempatnya, Juna justru menyunggingkan senyumannya, kembali menyuruh Aska untuk lebih dulu sarapan.

“Gapapa, Aska. Gue nggak lagi buru-buru. Lu, tuh, yang harusnya panik.”

“Beneran, Jun?”

“Bener....” Juna meraih kedua pundak Aska untuk ia tuntun duduk di tempatnya yang tadi. “Udah duduk sini, sarapan. Gue tungguin di belakang.”

Dengan perasaan nggak enak, Aska akhirnya duduk di tempat milik Juna dan menyantap sarapannya dengan terburu-buru. Pertama karena dia nggak ingin terlambat masuk kelas dan kedua karena dia nggak ingin membuat Juna menunggu lebih lama lagi.

Hingga akhirnya Aska tersedak nasinya sendiri, terlalu terburu-buru menyuap sendok demi sendok ke dalam mulutnya.

Uhuk!

Dengan cekatan, Juna meraih botol minum Aska yang terletak di atas meja warkop untuk Aska minum.

“Eh, minum, minum.”

T-thanks.

“Maksud gue, nggak usah panik-panik amat, Aska. Masih ada waktu kok, tenang.”

Punggung Aska diusap pelan oleh Juna. Ia bermaksud untuk menenangkan Aska.

Aska jelas dapat merasakan hangatnya telapak Juna yang kini tengah mengusap lembut punggungnya. Bahkan, jantungnya terasa seperti sempat berhenti sesaat sebab perlakuan Juna itu. Tapi, karena nggak ingin ambil pusing, ia memilih untuk melanjutkan kegiatan mengunyahnya dengan tidak seburu-buru yang tadi karena Juna bilang ia masih punya waktu.

Nggak lama kemudian, nasi beserta telur di atas piring Aska terlihat tandas. Tersisa sendok beserta garpu yang sudah ia balik, tanda bahwa ia telah selesai menyantap makanannya.

“Jun, makasih banget, ya.” Aska berucap sembari bangkit dari tempat duduknya, yang sebelumnya ditempati oleh Juna dan kemudian diberikan ke padanya begitu saja.

“Iya, sama-sama. Mau jalan sekarang?”

“Iya, nih, udah jam segini. Gue duluan, ya, Jun? Jujur gue nggak enak banget, sorry. Beneran makasih. Nanti kapan-kapan kalo lu butuh bantuan, gue bakal-“

Chill out, Aska, buru-buru banget, sih, ngomongnya.” Juna terkekeh pelan, menampilan mata indahnya yang ikut tersenyum. “Lagian gapapa, nggak usah ngerasa nggak enak terus.”

Sial. Lagi-lagi, Aska menemukan kemiripan di antara Juna dan seseorang di masa lalunya. Bagaimana keduanya yang sama-sama berlaku manis di awal pertemuan. Dirinya hanya terdiam di tempat, mengalihkan arah pandangnya agar ia nggak harus menatap wajah tampan milik seorang Arjuna Prima Putra.

“Udah, gih, jalan. Udah jam segini juga, ‘kan?”

“I-iya. Duluan, ya, Jun.”

“Oke, Aska.”

Kini, Juna telah kembali terduduk pada tempat semula. Menyantap nasi telur yang telah ia pesan sebelumnya.

Ketika hendak meraih gelas minumannya, Juna baru tersadar kalau Aska meninggalkan botol minumannya di atas meja.

Lantas, lengan Juna terulur untuk meraih botol tersebut. Nasi yang tengah dikunyah, ia simpan begitu saja di dalam rongga mulutnya. Dirinya termenung dan tanpa sadar, sebuah senyuman tersungging begitu saja pada wajahnya yang sebagian terkena pancaran sinar matahari pagi dari jendela. Membuat kedua pipinya kini menghangat, kembali menggumamkan sebuah kata,

Lagi.

Sungguh, Aska bukanlah pribadi yang mudah tersulut emosinya. Tapi, permintaan Riga pagi ini untuk membelikannya teh melati sebelum kelas dimulai sedikit membuat mood Aska memburuk lantaran harus melipir ke gedung fakultas tetangga untuk membeli minuman tersebut.

Meskipun Aska juga ikut ditraktir segelas kopi dingin, namun tetap saja dirinya merasa begitu malas kalau harus mampir ke kedai kopi terlebih dahulu.

Permasalahannya adalah hari ini ia sudah harus membawa begitu banyak barang ke kampus dan barang-barang tersebut cukup membuatnya kerepotan pagi ini.

Hardcopy tugas yang harus diasistensi, buku Kalkulus milik kakak tingkatnya yang harus dikembalikan nanti, serta laptop di dalam totebag-nya. Dan kini ditambah dengan dua gelas minuman di tangan kanannya, Aska nggak yakin kalau dia nggak akan kewalahan untuk berjalan sampai kelasnya nanti.

Koridor Gedung K pagi ini terlihat ramai akan mahasiswa yang sedang sibuk mencari kelasnya masing-masing. Beberapa terlihat serius berkutat dengan tugas yang terpampang pada layar laptop dan beberapa yang lain terlihat waswas membawa tugas maketnya. Aska harus menghela napas panjang begitu sampai di koridor, merasa cemas sebab takut bertubrukan dengan mahasiswa lain.

“Aska?”

Astaga, siapa yang sempat-sempatnya menyapa Aska di tengah keramaian ini? Bukankah ia jelas terlihat nggak punya waktu untuk meladeni panggilan tersebut?

Namun, lantaran enggan dicap sombong, Aska jadi mau nggak mau menghentikan langkahnya pada bordes tangga, menghalangi mahasiswa lain yang hendak lanjut naik ke lantai atas dan beberapa dari mereka sempat menegur Aska dengan nada yang sama sekali nggak terdengar ramah di telinga.

“I- eh, siapa, ya?”

Dahi Aska mengerut begitu lobus otaknya nggak mengenali siapa sosok yang menyapanya barusan. Tapi, begitu matanya menangkap keberadaan tahi lalat familier pada bawah mata yang memperindah paras laki-laki tersebut beserta senyum yang juga nggak kalah manis, Aska tiba-tiba saja mengenali siapa lelaki itu.

“Juna, ya?”

Lantas, lelaki yang diketahui bernama Juna tersebut menarik kedua ujung bibirnya tersenyum. Tungkainya ia langkahkan untuk mendekatkan dirinya pada Aska.

“Iya, bener,” jawab Juna ramah. “Repot banget pagi-pagi begini. Gue bantu bawain, ya, sampe kelas?”

“Hah?” Aska sedikit melongo.

“Gue bantu bawain barang lu sampe kelas,” ulang Juna.

“Eh, gapapa.” Aska menggelengkan kepalanya pelan. “Gue bisa sendiri, kok.”

“Udah ayo, sekalian gue naik. Daripada nanti di tengah jalan minuman lu jatoh? Liat, tuh, udah miring-miring begitu bawanya.”

Aska mengalihkan tatapannya pada dua gelas minuman di tangan kanannya. Ternyata benar saja, substansi di dalam gelas tersebut terlihat hampir saja tumpah.

“Errr... gimana, ya, Jun?”

Enggan membuang-buang waktu, Juna lantas meraih tumpukan buku dan tugas Aska yang berada di tangan kirinya. Melihat nggak ada penolakan dari Aska, Juna pun kembali mengajaknya menaiki anak tangga.

“Yuk jalan? Kelas lu di mana emang?”

“K301, tapi gapapa, Jun. Sini biar gue sendiri aj-”

“Oke, yuk? Bentar lagi jam delapan. Dosen gue hari ini galak, nggak boleh telat.” Juna memotong kalimat Aska dan sedikit mendorong punggungnya agar segera naik ke lantai atas.

Begitu sampai di lantai tiga, Juna mengambil alih komando langkah keduanya. Berusaha menyelinap di antara mahasiswa lain agar dapat cepat sampai di ruang kelas Aska.

“Oke, sampe. Nih, bawaan lu.” Juna menyerahkan barang pada dekapannya kembali pada pemiliknya yang lantas diterima langsung oleh Aska. “Dah, gue turun lagi, ya?”

“Eh, tunggu.”

Baru saja Juna memutar balik tubuhnya, fabrik kemeja pada sikutnya sudah ditarik lagi oleh Aska. “Kenapa, Aska?”

“Tadi katanya lu sekalian naik, kok sekarang bilangnya mau turun?”

“Hahahah.” Juna terkekeh pelan, menunjukkan kedua matanya yang ikut tersenyum. “Ketauan, deh, gue. Sebenernya kelas gue emang di bawah, sih.”

“Lah, tau gitu lu nggak usah bantuin gue, Jun. Jadi bolak balik begini, 'kan, lu.”

“Ah, udah santai.” Juna mengibas-ngibaskan telapaknya di udara. “Daripada lu kenapa-kenapa di jalan.”

“Ya, tapi tetep aja lu jadi harus-”

Gotta go. Dosen gue galak. See you next time, Aska.” Juna mengusap singkat ujung bahu Aska sebagai tanda perpisahan.

Sebelum Aska sempat berterima kasih, punggung Juna sudah menghilang ditelan keramaian. Lantas, Aska hanya dapat berteriak seadanya, mengucapkan terima kasih dengan harapan daun telinga Juna masih dapat menangkap gelombang suaranya.

Aska sempat terdiam di depan pintu kelasnya, menelan ludahnya kasar sebab perasaan kurang mengenakan yang tiba-tiba hadir di dalam rongga dadanya karena telah merepotkan teman yang nggak begitu ia kenal dekat itu.

Di dalam kelas, Riga terlihat telah menyiapkan satu bangku untuk Aska tepat di samping bangkunya sendiri. Aska langsung saja berjalan cepat menghampiri teman baiknya itu.

Lantas, segelas teh dingin pesanan Riga dibanting pelan oleh Aska di atas meja temannya itu. “Bikin repot aja pagi-pagi. Untung bisa bawanya. Makasih, BTW.”

“Itu siapa yang nganterin lu sampe kelas?” tanya Riga tiba-tiba, mengalihkan topik pembicaraan.

“Hah?”

“Cowo tadi siapa, Ska? Yang nganterin lu sampe depan kelas.”

“Wah....” Aska melayangkan protesnya. “Bukannya bilang 'makasih' dulu, malah kepo siapa yang bantuin gue.”

Belum sempat Aska melanjutkan kalimatnya, sang dosen pengampu sudah keburu menginjakkan kakinya ke dalam kelas. Ruang tersebut jadi langsung terasa sunyi dan mau nggak mau, Aska dan Riga harus menunda obrolannya.

Nggak jauh berbeda, kondisi ruang kelas Juna juga terlihat sunyi. Ia masuk ke dalam ruang kelas tepat sebelum dosen pengampunya datang menyusul di ambang pintu.

Kini, Juna beserta tiga teman lainnya tengah menyiapkan laptop dan proyektor untuk menunjukkan perkembangan tugas yang telah diberikan dosennya seminggu yang lalu.

“Lu tadi kenapa lama amat, dah, masuk kelasnya?” bisik Hanan sembari ia mencolokan kabel HDMI pada laptop Juna.

“Nan,” tegur Yale, “lu bisa diem dulu nggak? Ini kita lagi ditungguin.”

“Maaf, Bang. Ya udah, lanjut.”

Sementara dua teman lainnya sibuk bersiap-siap, Juna di tempatnya hanya menatap kosong layar laptop meski ibu jarinya terlihat bergerak pada trackpad untuk mencari file presentasi kelompok.

“Woy, Juna.”

“Juna, cepet buka.”

“Ehm.” Sang dosen pengampu baru saja berdeham. “Bagaimana, Arjuna, Hanan, dan Joshua Yale? Apakah sudah bisa dipresentasikan hasil kerja kalian?”

Nggak tahan lagi, Yale relfeks menepuk punggung Juna dengan cukup keras. “Juna, cepetan buka, anjing.”

“O-oh, baik, Prof.” Juna sedikit gelagapan. “Segera saya buka file-nya. Maaf, barusan saya melamun.”

Segera saja Juna menggelengkan kepalanya kencang, berusaha mengembalikan kesadarannya. File presentasi lantas terbuka dan ketiganya siap untuk memaparkan isinya.

Tapi tunggu, apa yang baru saja Juna lakukan?

Apakah ia baru saja melamun memikirkan betapa manisnya paras Aska ketika dilihat dari jarak yang cukup dekat?

Juna hanya pernah sekali bertemu dengan Aska, ketika keduanya diwajibkan untuk mengerjakan tugas Masa Bimbingan bersama-sama. Saat itu pun, Juna nggak terlalu memerhatikan bagaimana penampilan Aska karena ia sedang terburu-buru. Namun, begitu pagi ini ia sempat bertemu dengan Aska lagi, entah kenapa manisnya paras Aska terasa begitu membekas pada pikirannya. Membuat dirinya jadi kehilangan fokus saat hendak melakukan presentasi.

Lagi-lagi, Juna mengguncangkan kepalanya pelan agar dapat kembali fokus pada presentasinya. Ah, kenapa juga ia sempat-sempatnya berpikir demikian di tengah kelas paginya?

Kembali pada Aska di ruang kelasnya, dirinya pun terlihat nggak jauh berbeda dari Juna. Riga sempat memergokinya yang sedang terlihat melamun sembari mencoret-coret kertas pada mejanya.

“Ska, woy,” tegur Riga, “perhatiin kali dosennya.”

“Oh.” Punggung Aska seketika menegap, pandangannya kembali fokus ke depan kelas. “Sorry, sorry.

Pulpen yang sedari Aska genggam tiba-tiba dibanting begitu saja ke atas meja, membuat Riga yang sedang memfokuskan pandangannya ke depan jadi menolehkan kepalanya pada Aska.

“Ska?” Riga sedikit menjeda kalimatnya. “Lu kenapa, sih? Kesel gara-gara gue nggak ikut ke KopKen?”

Aska menggeleng pelan untuk menjawab pertanyaan Riga.

Enggak, ini sama sekali bukan salah Riga. Aska bukan seseorang yang akan membesar-besarkan masalah sepele seperti tadi.

Yang kini tengah memenuhi tempurung kepala Aska hanyalah tentang mengapa seorang Juna tampak sedikit banyak mirip dengan seseorang di masa lalunya. Gerak-geriknya, caranya menolong Aska, semua tentang Juna di pagi ini mengingatkan Aska dengan sosok tersebut; sosok yang membuatnya enggan percaya dengan cinta dua arah.

Jatuh cinta sama Dimas itu gampang.

Segampang karena dia orang yang baik, sangat amat baik.

Dimas yang selalu memanusiakan manusia lain. Dimas yang selalu berbuat baik regardless perlakuan mereka ke diri Dimas sendiri. Dimas yang selalu bisa diandelin sama orang-orang di sekitarnya.

Beneran, deh. Segampang itu buat jatuh cinta sama Dimas, rasa-rasanya hampir nggak mungkin buat nggak jatuh cinta sama Dimas waktu lu udah deket sama dia.

Udah satu tahun sejak gua hidup dan tinggal di satu atap yang sama bareng Dimas. Rasanya, kehidupan yang gua jalanin jadi jauh lebih gampang buat dijalanin karena kehadiran Dimas sendiri bikin gua jadi jauh lebih semangat ngejalanin hidup. And not to forget rasa sayang yang selalu Dimas salurin ke gua. Bikin gua nggak pernah ngerasa sendirian ngehadapin dunia di luar sana.

Oke, mungkin Dimas bukan kayak cowok di luar sana yang perlakuannya kelewat manis. Mungkin juga Dimas nggak nunjukin rasa sayangnya lewat hal-hal yang bikin melting, kayak bikinin scrapbook lucu di hari lahir gua atau ngasih sebuket bunga yang dia rangkai sendiri. Tapi yang pasti, Dimas tetep tau gimana caranya bikin gua ngerasa disayang sepenuhnya.

Cara Dimas buat nyampein rasa sayangnya itu dengan selalu ada buat gua di mana pun dan kapan pun dia berada. Dimas bakalan selalu ada buat ngedengerin gua cerita di penghujung hari kita masing-masing, entah itu dengan hadir secara langsung atau via telpon, pada akhirnya Dimas selalu berusaha buat ada.

Dimas yang selalu bisa ngertiin gua.

Pada dasarnya, manusia itu makluk sosial, jadi hampir nggak mungkin buat kita enggak berkomunikasi dengan manusia lain. Di situlah Dimas ngerasa perannya jadi pasangan dibutuhkan, buat jadi tempat cerita dan pendengar yang baik buat diri gua.

Setelah ngelaluin hari-hari gua, entah itu yang berat atau yang menyenangkan, gua bakalan tetep bisa nemuin Dimas yang duduk di pinggir ranjang sebelum kita terlelap. Lengkap dengan senyum manisnya dan lengan yang terbuka lebar buat nyambut gua di kasur.

Tentunya gua akan berhamburan begitu aja ke dalam pelukan Dimas. Pelukannya yang hangat; yang selalu kerasa kayak rumah buat gua. Laki-laki 28 tahun yang namanya Dimas itu selalu meluk gua seolah-olah gua adalah dunianya yang harus dia jaga dengan sepenuh hati, yang nggak akan pernah dia biarin pergi dari genggamannya, lagi.

Dimas juga nggak pernah lupa buat ngusap lembut punggung gua setiap kali gua ada di dalam rengkuhannya. Sesekali ngebawa telapaknya yang besar itu buat ngusap puncak kepala gua sambil setelahnya dia mulai ngomong, “You did well today, too. So, how was your day? Mind to share some of your stories today?

Mulai dari situlah sesi cerita kita berdua dimulai. Baik itu sesuatu yang nggak ada penting-pentingnya atau juga masalah di coffee shop yang gua buka di sini, gua selalu numpahin semuanya ke Dimas.

Yang bikin gua nggak pernah bosen nyeritain keseharian gua ke Dimas adalah karena dia yang keliatan sebegitu antusiasnya waktu rentetan demi rentetan kalimat keluar dari belah bibir gua. Kepala Dimas selalu miring 45 derajat, netranya selalu natap gua dengan dalam, disertai dengan senyuman tipis yang selalu terpatri di atas wajahnya. Dari situ gua udah bisa tau kalo Dimas emang bener-bener ngedengerin seluruh keluh dan kesah gua.

Dimas juga tau kapan dia harus angkat bicara buat berpendapat, kapan dia harus nenangin gua yang lagi kesel atau sedih, kapan dia harus ngeapresiasi apa yang udah gua lakuin hari itu, dan kapan dia harus ngasih gua saran buat memperbaiki diri gua sendiri.

Intinya, Dimas emang bener-bener seseorang yang bisa ngertiin gua dengan baik and that's why I decided to come back, to stay here, right by his side.

Kelar gua cerita, tentu gua juga bakal nyuruh Dimas cerita balik. Setiap harinya, gua selalu belajar buat jadi pendengar yang baik buat Dimas. Biar di hubungan ini nggak cuma gua yang diuntungkan karena Dimas juga berhak dapet feedback yang setara.

Sesi bercerita sama Dimas selalu semenenangkan dan semenyenangkan itu. Kalo aja bukan karena kantuk yang nyerang diri kita masing-masing, gua bisa aja ceritain lebih banyak hal sampe jarum jam di kamar kita mengarah ke angka 3.

Di akhir sesi itu, gua nggak pernah lupa buat nyampein rasa terima kasih gua.

“Makasih, Dimas, udah mau dengerin cerita-cerita aku, udah mau selalu ngertiin aku. Makasih udah mau berusaha buat selalu ada di sini nemenin hari-hari yang aku lewatin.”

Setelahnya, gua langsung bisa liat senyuman Dimas yang kian mengembang, ngebuat diri gua jadi nggak bisa nahan keinginan buat ngecup bibirnya singkat.

Lantas gua pun maju sedikit, ngecup bibirnya selama beberapa detik. Gua juga masih bisa ngerasain kehadiran senyuman manis milik Dimas di tengah-tengah kecupan itu.

Dimas juga nggak cuma tinggal diam. Habis itu, Dimas pasti balik ngecup dahi buat buat beberapa saat, yang kemudian bikin kedua mata gua terpejam dan sebuah senyuman pun terlukis jelas di atas wajah gua.

Malam-malam itu selalu ditutup dengan kita berdua yang bergelung di bawah selimut tebel, di tengah-tengah dinginnya kamar tidur kita berdua. Dengan Dimas yang selalu jadi big spoon, sementara gua yang aman di dalam pelukannya sebagai little spoon.

Biasanya, Dimas bakalan jadi orang yang pules duluan. Diikutin gua yang setelah beberapa saat kemudian baru bisa pules.

Waktu gua ngerasa Dimas di belakang gua udah pules tidurnya, gua selalu diem-diem mandangin lengannya yang terlingkar sempurna di sekitar pinggang gua, dengan jemarinya yang bertaut erat seolah-olah nggak mau gua pergi dari rengkuhannya. Dan kadang, gua suka nemuin cincin tunangan kita yang masih terlingkar di jari manisnya.

Ch, gua rasa itu orang emang bener-bener jatuh cinta sama gua. Sampe cincin tunangan aja bisa lupa dia lepas dan akhirnya kebawa tidur.

Lantas dengan perlahan, gua lepasin cincin itu dari jari manis Dimas. Terus setelahnya gua taruh di atas nightstand, tepat berdampingan di samping cincin tunangan punya gua. Gua pandangin cincin-cincin itu buat beberapa saat, sembari mikir betapa beruntungnya gua buat bisa sampe di titik ini sama sosok laki-laki yang paling gua sayang.

Sebelum akhirnya gua mulai pules, tertidur di dalam rengkuhan hangat milik Dimas yang bisa bikin gua ngerasa aman dari serangan jahat dalam bentuk apa pun itu.

Gua berjanji sama diri gua sendiri buat nggak akan pernah lagi pergi dari hidup Dimas dan atau ngebiarin Dimas pergi dari hidup gua.

I love you, Dimas. Bahkan rasa-rasanya frasa itu nggak akan pernah cukup buat ngegambarin rasa sayang aku ke kamu.

Guess we really meant to cross paths.

Tertanda, Sena.

Siang yang cerah di bandara. Sinar matahari di luar sana keliatan terang banget. Bahkan mungkin buat orang-orang yang kerjanya di luar ruangan, panas matahari siang ini berasa nusuk banget ke kulit.

Di sebelah Sena, Dimas terduduk dengan santai sambil natap pemandangan di luar. Berjejer pesawat-pesawat yang siap terbang atau baru aja mendarat. Mungkin salah satu di antaranya, terselip pesawat yang bakal mereka tumpangin sore nanti.

“Dim, aku tanya sekali lagi.”

“Iya, Sena?”

“Kamu yakin mau pindah ke Bali?”

“Yakin, Senaaa.”

Pertanyaan ini lagi. Pertanyaan yang selalu Sena tanyain dari mulai Dimas setuju buat pindah ke Bali bareng Sena sampe sekarang mereka berdua mau lepas landas.

“Serius, deh, Dim. Pindah kota itu nggak gampang buat beberapa orang. Masa adaptasinya juga belom tentu lancar. Aku takut kamu nanti nyesel.”

Jakarta left you a bad memory, a bad experience,” jawab Dimas, “jadi, kenapa juga kita harus tetep tinggal di sini?”

“Aku takut kamunya, Dim.”

“Takut aku kenapaaa?” Dimas ngeraih telapak tangan Sena yang tergeletak di atas paha Sena sendiri. “Kan, aku pindahnya bareng kamu. Buat apa aku ngerasa takut?”

“Dim...”

“Udah, ya, Sena?” Sekarang, rambut Sena yang dielus sama Dimas. “Kamu juga baru buka cabang coffee shop baru di Bali. Biar gampang gitu, lho, mantaunya. Lagian, aku kerja di mana aja nggak apa-apa. Setoran naskah juga nggak harus tatap muka sama penerbitku.”

“Hm...” Sena ngelengkungin bibirnya. “Bener, ya, kamu?”

“Bener, Sena sayang.”

“Nggak usah sayang-sayang.”

“Hahahah, kenapaaa?”

“Deg-degan akunya.”

“Astaga, masih aja...”

Cup.

Bibir Dimas dikecup singkat sama Sena. Nimbulin senyuman singkat di wajah Dimas setelahnya.

“Yaudah, kalo gitu, makasih karena udah mau selalu ngertiin aku.”

“Kamu yang duluan bisa ngertiin aku. Makanya, aku nggak pernah ragu buat nungguin kamu.”

Sena natap Dimas dengan tajam. Bikin yang lagi diliatin jadi kebingungan.

“Kenapa, Na?”

“Kenapa kamu mau balik ke aku padahal aku udah jahat dulu?”

“Nggak ada yang jahat. Jangan ngecap diri kamu sendiri kayak begitu.”

“Jadi, kamu udah maafin aku?”

“Kamu sebenernya nggak perlu minta maaf dari awal.”

“Tapi, waktu aku baru pulang ke Jakarta, waktu kita berdua makan malem buat yang pertama kalinya, kamu keliatan kayak butuh penjelasan dan permintaan maaf dari aku.”

“Iya, tapi ternyata, simply dengan kamu balik ke aku, hati aku udah ngerasa lega. Malem itu, waktu aku ngeliat kamu dan sadar kamu belom berubah, aku jadi nggak perlu penjelasan apa-apa lagi. Emang kamu masih ngerasa perlu? Masih ada yang ngeganjel gitu buat kamu?”

“Aku takut kamu...”

“Kamu terlalu banyak takutnya, ya? Hahahah.” Dimas ngusap pipi Sena dengan lembut. “Gapapa, gapapa. Pelan-pelan kita usir rasa takut kamu, ya? Tenang, aku bakal selalu ada di sini buat nemenin kamu. Jadi, kamu nggak perlu ngerasa takut lagi, oke? Aku janji bakal bikin Bali jadi tempat yang penuh memori indah buat kamu, berdua sama aku.” Kalimat Dimas itu ditutup dengan usapan lembut di rambut belakang Sena.

Sena tersenyum. Bersyukur akan kehadiran Dimas. Dimasnya yang selalu bisa ngertiin Sena dan segala ketakutannya. Dimasnya yang selalu bisa sabar sama tingkah laku Sena. Dan Dimasnya yang selalu bikin Sena ngerasa disayang sepenuhnya.

Pesawat Dimas dan Sena sore itu berhasil ngebawa mereka berdua ninggalin kota Jakarta.

Jakarta beserta seluruh kenangannya.

Walaupun kota ini juga yang mempertemukan mereka berdua, tapi beberapa momen yang udah dilaluin di sini justru bikin salah satu di antara keduanya kadang ngerasa sakit hati buat nginget-nginget masa itu.

Jadi, mungkin keputusan Dimas dan Sena buat pindah ke Bali dan tinggal bareng-bareng adalah keputusan yang tepat. Siapa yang tau kalo nanti pulau itu justru bisa ngasih mereka kenangan baru yang jauh lebih menyenangkan daripada kota ini?