25
Botol minum milik Aska kini tengah digenggam oleh Juna. Ujung sepatunya diketuk-ketuk ke lantai sembari menunggu kedatangan Aska.
Ketika sedang menunggu, sebenarnya ada sedikit pikiran yang berkecamuk di dalam tempurung kepalanya.
Sejauh Juna pernah membantu seseorang, dia nggak pernah sekali pun menemui sosok yang sangat enggan untuk merepotkan dirinya. Walaupun sebenarnya ia sama sekali nggak merasa terepotkan. Tapi, sosok Aska ini membuat Juna menobatkannya sebagai sosok yang paling nggak enakan di dalam hidupnya.
Normalnya, kebanyakan orang akan merasa senang jika bebannya berkurang sebab dibantu oleh yang lain. Maksud Juna tadi pun sama, dia nggak ingin membuat Aska jadi harus kembali ke area fakultas karena ia sudah berada di luar area tersebut. Namun tetap saja, yang namanya Aska itu bersikukuh untuk menjadi pihak yang menghampiri Juna walau itu berarti ia harus keluar tenaga lagi.
“Juna?”
Yang baru saja dipanggil langsung mendongakan kepalanya, melempar pandang pada sumber suara.
Aska ternyata. Ia baru saja sampai di depan area kantin fakultas atau yang lebih biasa disebut Kantek bagi para mahasiswa teknik di kampus ini.
“Hai,” sapa Juna yang kemudian sedikit menolehkan kepalanya pada sosok yang nggak ia kenal di samping Aska. “Ini....”
“Eh, iya, ini temen gue. Kenalin, Riga namanya,” ujar Aska, “Nah, Riga, ini Juna.”
“Oh....” Riga membulatkan mulutnya membentuk abjad 'O' sembari mengangguk-anggukan kepalanya. “Ini, toh, gebetan Aska yang namanya Juna.”
Juna nggak sanggup untuk mengeluarkan sepatah kata apa pun. Mulutnya kini sedikit ternganga, terkejut mendengar pernyataan teman Aska yang kini ia ketahui bernama Riga.
“Riga....” Aska melempar tatapan yang sedikit tajam pada Riga, yang kemudian dibalas oleh cengiran oleh kawan sesama teknik industrinya itu.
“Bercanda. Kenalin, gue Riga,” ujar Riga sambil menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Juna.
“Juna...,” balas Juna nggak kalah ramah. “Oh, iya, ini botol minum lu, Aska.”
Botol minum yang sebelumnya berada pada genggaman Juna kini telah berpindah pada genggaman sang pemilik asli.
“Thanks, Jun, udah jagain botol gue. Tapi, tadi harusnya lu tinggal aja di warkop biar nggak repot-repot balikin begini.”
“Gapapa, 'kan ini lu juga yang nyamperin gue. Walaupun aslinya gue bisa-bisa aja nemuin lu di luar, terus kita ketemu di tengah.”
“Dih, Aska, lu bego apa gimana, sih?” sambar Riga tiba-tiba. “Tuh, Juna udah nawarin buat ketemu di tengah-tengah, kenapa lu harus susah-susah balik ke FT? Aneh l-”
“Sssh, udah, udah.” Sebelum Riga sempat melanjutkan kalimatnya, Aska sudah terlebih dahulu menyuruhnya untuk menutup mulut. “Makasih, ya, Jun. Kalo gitu, gue duluan.”
Dan begitu saja, lengan Riga ditarik oleh Aska untuk menjauh dari tempat Juna berdiri. Meninggalkan Juna sendirian sembari menatap punggung Aska yang lama kelamaan mengecil dan kemudian menghilang.
Juna selalu suka direpotkan, baik itu hanya oleh teman-temannya dan bahkan sosok yang ia sayangi. Bertemu dengan seseorang yang terlihat sama sekali enggan merepotkan dan bergantung pada orang lain lantas membuat hati kecilnya jadi sedikit penasaran.
Namun detik selanjutnya, Juna tertangkap menggeleng-gelengkan kepalanya. Mengusir rasa penasarannya akan sosok Aska yang kini telah menghilang dari pandangannya. Nggak seharusnya Juna merasa penasaran hanya karena Aska tampak seperti sosok yang sulit untuk ia taklukan.