21
Hal yang tadi Juna katakan pada platform Twitter-nya itu benar. Ia bukan tipe orang yang bisa menjalankan harinya dengan baik-baik saja kalau nggak diawali dengan menyantap sarapan. Lambungnya selalu menuntut untuk diisi setiap delapan jam sekali, kendati dirinya yang kerap merasa malas untuk mencari makan.
Namun, semalas-malasnya Juna mencari santapan di setiap pagi, ia jauh lebih malas lagi kalau harus sampai mampir ke UGD rumah sakit jika penyakit asam lambungnya kembali menyerang.
Jadi usai berlari pagi, Juna selalu menyempatkan diri untuk mampir ke warkop di dekat tempat anak-anak teknik mesin ‘nongkrong’ untuk mengisi perutnya.
Sebetulnya, letak indekos Juna dapat dibilang cukup jauh dari sana, tapi ia lebih memilih untuk menyantap nasi telur khas warkop tersebut karena rasanya yang jauh lebih lezat dari nasi telur buatan warkop lain.
Ketika Juna baru saja mendaratkan bokongnya pada bangku kayu warkop, netranya tiba-tiba menangkap keberadaan laki-laki yang familier pada pintu masuk warkop. Laki-laki tersebut terlihat mengenakan kemeja berkerah yang sedikit rendah, juga celana jeans serta sneakers yang persis dipakainya kemarin.
Juna mengedipkan matanya berkali-kali, bergumam di dalam hatinya akibat kebetulan yang baru saja terjadi.
Lagi?
Di tempatnya, lelaki tersebut terlihat sedang celingukan mencari tempat duduk. Warkopnya memang sedang ramai akan pengunjung. Sepertinya, beberapa mahasiswa lebih memilih untuk bersarapan di sini dibanding di tempat-tempat lain karena kelezatan masakannya yang sangat sebanding dengan harganya.
Ketika ia terlihat hendak beranjak, Juna menaikan nada suaranya untuk memanggilnya, persis seperti apa yang ia lakukan kemarin di lobby Gedung K.
“Aska!”
Yang dipanggil lantas mengedarkan pandangannya ke seisi warkop, mencari-cari siapa yang barusan menyapanya.
Tangan Juna melambai-lambai di udara, memberikan sinyal pada lelaki bernama Aska di ambang pintu. Begitu Aska menangkap keberadaan Juna, ia lantas tersenyum dan melanjutkan kalimatnya. “Sini, sini. Mau sarapan, ‘kan, lu?”
Juna sedikit menggeser posisi duduknya, memberikan sedikit tempat untuk Aska dapat duduk. Lantas, Aska melangkahkan kakinya untuk menghampiri Juna. Namun, begitu melihat tempatnya yang sempit, Aska jadi berubah pikiran.
“Sempit banget nggak, sih, Jun?” Aska menggaruk kulit kepalanya yang nggak gatal itu. “Kayaknya gue nyarap di tempat lain aja, deh.”
“Lu ada kelas tapi?” tanya Juna yang sedikit melenceng dari topik awal.
“Hah?”
“Lu habis ini ada kelas?”
“A-ada...,” jawab Aska ragu.
“Jam berapa?”
“Jam delapan. Sebentar lagi.”
“Oh, ya udah.”
Tiba-tiba, Juna berdiri dari tempat duduknya. Mengeluarkan kakinya untuk mempersilakan Aska duduk di tempatnya.
“Gih, duduk. Sarapan di sini aja, nanti telat kalo nyari tempat lain.”
“Aduh, Jun, gue ngerepotin lu mulu nggak, sih, kalo begini?”
Mungkin, kalau yang berada di samping Aska sekarang ini bukan Juna, orang tersebut nggak akan sukarela menunda kegiatan sarapannya demi orang lain. Tapi nyatanya, yang kini tengah bersamanya itu Juna. Lelaki dengan kebaikan bak malaikat yang tentunya nggak akan keberatan untuk mengalah demi kebaikan orang lain.
Di tempatnya, Juna justru menyunggingkan senyumannya, kembali menyuruh Aska untuk lebih dulu sarapan.
“Gapapa, Aska. Gue nggak lagi buru-buru. Lu, tuh, yang harusnya panik.”
“Beneran, Jun?”
“Bener....” Juna meraih kedua pundak Aska untuk ia tuntun duduk di tempatnya yang tadi. “Udah duduk sini, sarapan. Gue tungguin di belakang.”
Dengan perasaan nggak enak, Aska akhirnya duduk di tempat milik Juna dan menyantap sarapannya dengan terburu-buru. Pertama karena dia nggak ingin terlambat masuk kelas dan kedua karena dia nggak ingin membuat Juna menunggu lebih lama lagi.
Hingga akhirnya Aska tersedak nasinya sendiri, terlalu terburu-buru menyuap sendok demi sendok ke dalam mulutnya.
“Uhuk!”
Dengan cekatan, Juna meraih botol minum Aska yang terletak di atas meja warkop untuk Aska minum.
“Eh, minum, minum.”
“T-thanks.”
“Maksud gue, nggak usah panik-panik amat, Aska. Masih ada waktu kok, tenang.”
Punggung Aska diusap pelan oleh Juna. Ia bermaksud untuk menenangkan Aska.
Aska jelas dapat merasakan hangatnya telapak Juna yang kini tengah mengusap lembut punggungnya. Bahkan, jantungnya terasa seperti sempat berhenti sesaat sebab perlakuan Juna itu. Tapi, karena nggak ingin ambil pusing, ia memilih untuk melanjutkan kegiatan mengunyahnya dengan tidak seburu-buru yang tadi karena Juna bilang ia masih punya waktu.
Nggak lama kemudian, nasi beserta telur di atas piring Aska terlihat tandas. Tersisa sendok beserta garpu yang sudah ia balik, tanda bahwa ia telah selesai menyantap makanannya.
“Jun, makasih banget, ya.” Aska berucap sembari bangkit dari tempat duduknya, yang sebelumnya ditempati oleh Juna dan kemudian diberikan ke padanya begitu saja.
“Iya, sama-sama. Mau jalan sekarang?”
“Iya, nih, udah jam segini. Gue duluan, ya, Jun? Jujur gue nggak enak banget, sorry. Beneran makasih. Nanti kapan-kapan kalo lu butuh bantuan, gue bakal-“
“Chill out, Aska, buru-buru banget, sih, ngomongnya.” Juna terkekeh pelan, menampilan mata indahnya yang ikut tersenyum. “Lagian gapapa, nggak usah ngerasa nggak enak terus.”
Sial. Lagi-lagi, Aska menemukan kemiripan di antara Juna dan seseorang di masa lalunya. Bagaimana keduanya yang sama-sama berlaku manis di awal pertemuan. Dirinya hanya terdiam di tempat, mengalihkan arah pandangnya agar ia nggak harus menatap wajah tampan milik seorang Arjuna Prima Putra.
“Udah, gih, jalan. Udah jam segini juga, ‘kan?”
“I-iya. Duluan, ya, Jun.”
“Oke, Aska.”
Kini, Juna telah kembali terduduk pada tempat semula. Menyantap nasi telur yang telah ia pesan sebelumnya.
Ketika hendak meraih gelas minumannya, Juna baru tersadar kalau Aska meninggalkan botol minumannya di atas meja.
Lantas, lengan Juna terulur untuk meraih botol tersebut. Nasi yang tengah dikunyah, ia simpan begitu saja di dalam rongga mulutnya. Dirinya termenung dan tanpa sadar, sebuah senyuman tersungging begitu saja pada wajahnya yang sebagian terkena pancaran sinar matahari pagi dari jendela. Membuat kedua pipinya kini menghangat, kembali menggumamkan sebuah kata,
Lagi.