14
Sungguh, Aska bukanlah pribadi yang mudah tersulut emosinya. Tapi, permintaan Riga pagi ini untuk membelikannya teh melati sebelum kelas dimulai sedikit membuat mood Aska memburuk lantaran harus melipir ke gedung fakultas tetangga untuk membeli minuman tersebut.
Meskipun Aska juga ikut ditraktir segelas kopi dingin, namun tetap saja dirinya merasa begitu malas kalau harus mampir ke kedai kopi terlebih dahulu.
Permasalahannya adalah hari ini ia sudah harus membawa begitu banyak barang ke kampus dan barang-barang tersebut cukup membuatnya kerepotan pagi ini.
Hardcopy tugas yang harus diasistensi, buku Kalkulus milik kakak tingkatnya yang harus dikembalikan nanti, serta laptop di dalam totebag-nya. Dan kini ditambah dengan dua gelas minuman di tangan kanannya, Aska nggak yakin kalau dia nggak akan kewalahan untuk berjalan sampai kelasnya nanti.
Koridor Gedung K pagi ini terlihat ramai akan mahasiswa yang sedang sibuk mencari kelasnya masing-masing. Beberapa terlihat serius berkutat dengan tugas yang terpampang pada layar laptop dan beberapa yang lain terlihat waswas membawa tugas maketnya. Aska harus menghela napas panjang begitu sampai di koridor, merasa cemas sebab takut bertubrukan dengan mahasiswa lain.
“Aska?”
Astaga, siapa yang sempat-sempatnya menyapa Aska di tengah keramaian ini? Bukankah ia jelas terlihat nggak punya waktu untuk meladeni panggilan tersebut?
Namun, lantaran enggan dicap sombong, Aska jadi mau nggak mau menghentikan langkahnya pada bordes tangga, menghalangi mahasiswa lain yang hendak lanjut naik ke lantai atas dan beberapa dari mereka sempat menegur Aska dengan nada yang sama sekali nggak terdengar ramah di telinga.
“I- eh, siapa, ya?”
Dahi Aska mengerut begitu lobus otaknya nggak mengenali siapa sosok yang menyapanya barusan. Tapi, begitu matanya menangkap keberadaan tahi lalat familier pada bawah mata yang memperindah paras laki-laki tersebut beserta senyum yang juga nggak kalah manis, Aska tiba-tiba saja mengenali siapa lelaki itu.
“Juna, ya?”
Lantas, lelaki yang diketahui bernama Juna tersebut menarik kedua ujung bibirnya tersenyum. Tungkainya ia langkahkan untuk mendekatkan dirinya pada Aska.
“Iya, bener,” jawab Juna ramah. “Repot banget pagi-pagi begini. Gue bantu bawain, ya, sampe kelas?”
“Hah?” Aska sedikit melongo.
“Gue bantu bawain barang lu sampe kelas,” ulang Juna.
“Eh, gapapa.” Aska menggelengkan kepalanya pelan. “Gue bisa sendiri, kok.”
“Udah ayo, sekalian gue naik. Daripada nanti di tengah jalan minuman lu jatoh? Liat, tuh, udah miring-miring begitu bawanya.”
Aska mengalihkan tatapannya pada dua gelas minuman di tangan kanannya. Ternyata benar saja, substansi di dalam gelas tersebut terlihat hampir saja tumpah.
“Errr... gimana, ya, Jun?”
Enggan membuang-buang waktu, Juna lantas meraih tumpukan buku dan tugas Aska yang berada di tangan kirinya. Melihat nggak ada penolakan dari Aska, Juna pun kembali mengajaknya menaiki anak tangga.
“Yuk jalan? Kelas lu di mana emang?”
“K301, tapi gapapa, Jun. Sini biar gue sendiri aj-”
“Oke, yuk? Bentar lagi jam delapan. Dosen gue hari ini galak, nggak boleh telat.” Juna memotong kalimat Aska dan sedikit mendorong punggungnya agar segera naik ke lantai atas.
Begitu sampai di lantai tiga, Juna mengambil alih komando langkah keduanya. Berusaha menyelinap di antara mahasiswa lain agar dapat cepat sampai di ruang kelas Aska.
“Oke, sampe. Nih, bawaan lu.” Juna menyerahkan barang pada dekapannya kembali pada pemiliknya yang lantas diterima langsung oleh Aska. “Dah, gue turun lagi, ya?”
“Eh, tunggu.”
Baru saja Juna memutar balik tubuhnya, fabrik kemeja pada sikutnya sudah ditarik lagi oleh Aska. “Kenapa, Aska?”
“Tadi katanya lu sekalian naik, kok sekarang bilangnya mau turun?”
“Hahahah.” Juna terkekeh pelan, menunjukkan kedua matanya yang ikut tersenyum. “Ketauan, deh, gue. Sebenernya kelas gue emang di bawah, sih.”
“Lah, tau gitu lu nggak usah bantuin gue, Jun. Jadi bolak balik begini, 'kan, lu.”
“Ah, udah santai.” Juna mengibas-ngibaskan telapaknya di udara. “Daripada lu kenapa-kenapa di jalan.”
“Ya, tapi tetep aja lu jadi harus-”
“Gotta go. Dosen gue galak. See you next time, Aska.” Juna mengusap singkat ujung bahu Aska sebagai tanda perpisahan.
Sebelum Aska sempat berterima kasih, punggung Juna sudah menghilang ditelan keramaian. Lantas, Aska hanya dapat berteriak seadanya, mengucapkan terima kasih dengan harapan daun telinga Juna masih dapat menangkap gelombang suaranya.
Aska sempat terdiam di depan pintu kelasnya, menelan ludahnya kasar sebab perasaan kurang mengenakan yang tiba-tiba hadir di dalam rongga dadanya karena telah merepotkan teman yang nggak begitu ia kenal dekat itu.
Di dalam kelas, Riga terlihat telah menyiapkan satu bangku untuk Aska tepat di samping bangkunya sendiri. Aska langsung saja berjalan cepat menghampiri teman baiknya itu.
Lantas, segelas teh dingin pesanan Riga dibanting pelan oleh Aska di atas meja temannya itu. “Bikin repot aja pagi-pagi. Untung bisa bawanya. Makasih, BTW.”
“Itu siapa yang nganterin lu sampe kelas?” tanya Riga tiba-tiba, mengalihkan topik pembicaraan.
“Hah?”
“Cowo tadi siapa, Ska? Yang nganterin lu sampe depan kelas.”
“Wah....” Aska melayangkan protesnya. “Bukannya bilang 'makasih' dulu, malah kepo siapa yang bantuin gue.”
Belum sempat Aska melanjutkan kalimatnya, sang dosen pengampu sudah keburu menginjakkan kakinya ke dalam kelas. Ruang tersebut jadi langsung terasa sunyi dan mau nggak mau, Aska dan Riga harus menunda obrolannya.
Nggak jauh berbeda, kondisi ruang kelas Juna juga terlihat sunyi. Ia masuk ke dalam ruang kelas tepat sebelum dosen pengampunya datang menyusul di ambang pintu.
Kini, Juna beserta tiga teman lainnya tengah menyiapkan laptop dan proyektor untuk menunjukkan perkembangan tugas yang telah diberikan dosennya seminggu yang lalu.
“Lu tadi kenapa lama amat, dah, masuk kelasnya?” bisik Hanan sembari ia mencolokan kabel HDMI pada laptop Juna.
“Nan,” tegur Yale, “lu bisa diem dulu nggak? Ini kita lagi ditungguin.”
“Maaf, Bang. Ya udah, lanjut.”
Sementara dua teman lainnya sibuk bersiap-siap, Juna di tempatnya hanya menatap kosong layar laptop meski ibu jarinya terlihat bergerak pada trackpad untuk mencari file presentasi kelompok.
“Woy, Juna.”
“Juna, cepet buka.”
“Ehm.” Sang dosen pengampu baru saja berdeham. “Bagaimana, Arjuna, Hanan, dan Joshua Yale? Apakah sudah bisa dipresentasikan hasil kerja kalian?”
Nggak tahan lagi, Yale relfeks menepuk punggung Juna dengan cukup keras. “Juna, cepetan buka, anjing.”
“O-oh, baik, Prof.” Juna sedikit gelagapan. “Segera saya buka file-nya. Maaf, barusan saya melamun.”
Segera saja Juna menggelengkan kepalanya kencang, berusaha mengembalikan kesadarannya. File presentasi lantas terbuka dan ketiganya siap untuk memaparkan isinya.
Tapi tunggu, apa yang baru saja Juna lakukan?
Apakah ia baru saja melamun memikirkan betapa manisnya paras Aska ketika dilihat dari jarak yang cukup dekat?
Juna hanya pernah sekali bertemu dengan Aska, ketika keduanya diwajibkan untuk mengerjakan tugas Masa Bimbingan bersama-sama. Saat itu pun, Juna nggak terlalu memerhatikan bagaimana penampilan Aska karena ia sedang terburu-buru. Namun, begitu pagi ini ia sempat bertemu dengan Aska lagi, entah kenapa manisnya paras Aska terasa begitu membekas pada pikirannya. Membuat dirinya jadi kehilangan fokus saat hendak melakukan presentasi.
Lagi-lagi, Juna mengguncangkan kepalanya pelan agar dapat kembali fokus pada presentasinya. Ah, kenapa juga ia sempat-sempatnya berpikir demikian di tengah kelas paginya?
Kembali pada Aska di ruang kelasnya, dirinya pun terlihat nggak jauh berbeda dari Juna. Riga sempat memergokinya yang sedang terlihat melamun sembari mencoret-coret kertas pada mejanya.
“Ska, woy,” tegur Riga, “perhatiin kali dosennya.”
“Oh.” Punggung Aska seketika menegap, pandangannya kembali fokus ke depan kelas. “Sorry, sorry.“
Pulpen yang sedari Aska genggam tiba-tiba dibanting begitu saja ke atas meja, membuat Riga yang sedang memfokuskan pandangannya ke depan jadi menolehkan kepalanya pada Aska.
“Ska?” Riga sedikit menjeda kalimatnya. “Lu kenapa, sih? Kesel gara-gara gue nggak ikut ke KopKen?”
Aska menggeleng pelan untuk menjawab pertanyaan Riga.
Enggak, ini sama sekali bukan salah Riga. Aska bukan seseorang yang akan membesar-besarkan masalah sepele seperti tadi.
Yang kini tengah memenuhi tempurung kepala Aska hanyalah tentang mengapa seorang Juna tampak sedikit banyak mirip dengan seseorang di masa lalunya. Gerak-geriknya, caranya menolong Aska, semua tentang Juna di pagi ini mengingatkan Aska dengan sosok tersebut; sosok yang membuatnya enggan percaya dengan cinta dua arah.