31
Aska nggak pernah menyangka kalau obrolannya dengan Riga kemarin siang dapat berubah menjadi seserius ini.
Coincidence.
Aska sama sekali nggak pernah menyangka kalau kebetulan tersebut akan terjadi selama tiga hari berturut-turut.
Yang kini tengah Aska tatap nggak lain dan nggak bukan adalah Juna, laki-laki yang sudah ia temui di hari Senin dan Selasa kemarin.
Juna tampak sedang kebingungan menimbang-nimbang sesuatu. Dan Aska yang pada hari biasanya nggak pernah peduli akan urusan orang lain, entah kenapa hari ini jadi penasaran ingin mengetahui pikiran apa yang sedang bersarang di dalam kepala Juna; keputusan apa yang sedang lelaki itu sedang pertimbangkan.
Lantas, Aska membawa dirinya mendekat ke arah Juna dengan sepiring sate titipan Riga di tangan kanannya.
“Juna?”
“Eh.” Juna tampak sedikit terlonjak begitu seseorang tiba-tiba menepuk pundak kirinya.
“Aska?”
“Lu ngapain diem, berdiri doang di sini?” tanya Aska, “mau beli makan?”
“Enggak, eh, iya.” Juna menggelengkan kepalanya. “Eh, enggak, tapi pengen, tapi takut gue telat. Aduh, gue jadi nggak jelas ngomongnya.”
“Hahah.” Aska terkekeh pelan, gemas akan tingkah Juna yang sedang kebingungan itu. “Coba gue tebak. Lu lagi mau makan, tapi takut terlambat masuk kelas, tapi perut lu juga nggak bisa kalo telat makan karena lu punya maag. Iya, nggak?”
“Kok lu tau?”
“Kalo perut lu bisa nahan, harusnya lu nggak ada di sini. Pasti lu lebih milih ngamanin absen, daripada mikir harus beli makan apa enggak.”
Alis Juna kini bertaut kebingungan. “Lu... cenayang, ya? Atau dukun, nih, jangan-jangan.”
Sekali lagi, Aska dibuat tertawa oleh Juna. “Hahaha, enggak, Jun. Ya kali, deh? Nih, pegangin sate gue sebentar.”
Piring sate yang dibawa oleh Aska kini berpindah ke tangan Juna, sementara dirinya sibuk merogoh totebag-nya untuk mencari senjata andalan kala rasa lapar menyerang.
“Ini, gue ada Marie Regal sama susu almond. Gue juga punya maag, BTW. Jadi, kalo lagi nggak bisa makan berat, biasanya gue ganjel dulu pake ini. Kelas biasanya dua jam sampe dua setengah jam 'kan? Yah... bisalah kalo lu ganjel pake ini, asal habis kelas lu bener-bener langsung makan berat.”
“Terus ini....” Kalimat Juna terputus. “Buat gue, gitu?”
“Iyalah, kalo nggak buat lu ngapain gue sekarang nyodorin ini.”
Juna masih tampak enggan menerima pemberian Aska, sementara Aska melihat jam pada ponselnya. Waktu menunjukkan pukul 12.58 siang, ia yakin Juna nggak lagi punya banyak waktu untuk berpikir. Kelas biasanya akan dimulai pukul 13.00.
“Ambil. Makan di jalan, biar lu nggak telat. Tapi, hati-hati keselek, ya.”
Aska menaruh bungkus makanan serta minuman yang selalu ia bawa di dalam tasnya itu pada genggaman Juna. Kemudian, ia kembali meraih piring yang sebelumnya ia minta Juna untuk bawa.
“Gih, jalan. Gue juga udah mau balik ke meja. Duluan, Jun.”
Tertegun, Juna merasa ia nggak sekali pun pernah merasa bertemu dengan seseorang dengan hati setulus dan otak setanggap milik Aska. Aska dapat dengan mudahnya menebak apa yang sedang terjadi pada dirinya juga memberikan solusi yang nggak pernah terpikirkan oleh Juna sebelum ini.
Ia masih belum bisa memproses semuanya secepat Aska bisa memberinya solusi. Namun yang jelas ada satu hal yang pasti,
Juna terkesima.