59
Helaan napas berat terdengar mengalahkan sunyinya kamar indekos Juna yang terletak di lantai dua. Jam dinding yang bunyi linearnya terus berdetak seakan menyuruhnya untuk segera bergegas, takut-takut akan terlambat.
Layar ponselnya terkunci tatkala ia bangkit dari tepian ranjang. Juna sempat menghampiri meja belajar terlebih dahulu, menimbang-nimbang arloji mana yang akan ia pakai. Pilihannya kemudian jatuh pada arloji pemberian sang ayah di ulang tahunnya yang ke-16.
Satu-satunya hal yang menurut Juna masih bisa ia lakukan untuk menghargai kehadiran sang ayah ialah mengenakan arloji tersebut walaupun pada kenyataannya secara nggak sadar, ia hampir nggak pernah menolak permintaan Prima. Sebab menurutnya, sudah nggak lagi tersisa setitik pun rasa peduli dalam diri Juna terhadap pria itu.
Seperti hari-hari sebelumnya, hari ini cuaca di luar terlihat cerah walaupun nggak secerah suasana hati pemuda yang sedang menuruni tangga itu. Seharusnya, siang ini ia dapat mengunjungi bioskop sebab malam sebelumnya ia telah memesan sebuah tiket hanya untuk menumpang tidur. Yang kemudian dilanjut dengan kegiatan rapat mingguan untuk proyek acara di angkatannya.
Pemuda kelahiran April itu memang sedikit unik. Ketika ia merasa sulit terlelap, memesan sebuah bangku untuk menonton di bioskop merupakan opsi terbaiknya. Udara dingin teater bioskop dianggap dapat memeluknya dengan sempurna hingga matanya dapat seketika terpejam dan kemudian terlelap.
Juna memasukkan kunci motornya ke dalam lubang di atas tangki. Motor retro gagah yang hanya memiliki satu tempat duduk itu ia panaskan terlebih dahulu sebelum dibawa melintasi jalanan kota Depok.
“Akhirnya itu motor dipake juga, nggak cuma dipanasin doang tiap pagi. Mau ke mana lu emang?”
Itu suara Bang Wira, penjaga indekos yang tengah ditinggali oleh Juna serta beberapa penghuni lain.
“Mau ketemu orang tua, Bang.” Juna membalasnya sembari merapatkan resleting jaket hitamnya.
“Oh, ya udah. Hati-hati lu.”
“Yo, makasih, Bang.”
Usai dirasa cukup, Juna mengencangkan pengait pada helmnya. Dibawanya motor itu melesat di jalanan yang telah ramai akan pengguna.
Perjalanan dari tempatnya tinggal menuju padang golf yang dituju memakan cukup banyak waktu. Namun, syukurlah Juna tetap dapat sampai dengan tepat waktu. Setelah menuruni motor dan melepas helm, ia juga melepas jaket yang melekat pada tubuh bidangnya. Beranjak masuk ke dalam, ke tempat sang ayah kemungkinan besar sudah menunggu kedatangan sang anak tengah.
Juna sempat menelan ludahnya kasar sebab kembali terlintas pada otaknya pikiran-pikiran mengenai ia yang nggak bisa menjadi dirinya sendiri kala ia berada di sekitar teman-teman sang ayah. Bagaimana ia harus terlihat seperti pemuda yang sempurna tanpa lecet sedikit pun. Memberikan kesan bahwa pria bernama Prima itu telah sukses membesarkannya menjadi lelaki yang sempurna. Padahal di sebagian hidup Juna, kehadiran pria itu justru tampak acapkali absen dari kegiatan-kegiatannya.
“Aa'.”
Juna kembali tertegun. Sudah dua bulan terakhir sang ayah nggak mengajaknya pergi bertemu. Ia kira ia sudah nggak lagi harus terlibat dengan pria tersebut, namun nyatanya pagi ini ia kembali berdiri berhadap-hadapan dengan Prima.
“Pi,” sapa Juna sekenanya.
Seperti kali sebelumnya, Juna diajak berbincang oleh sang ayah dengan teman-teman sebayanya yang turut hadir pada kegiatan berolahraga pagi ini. Beberapa tampak turut membawa putranya. Juna juga sudah merasa familier dengan wajah-wajah yang ada. Tapi sepertinya, ada wajah baru yang belum pernah ia jumpai sebelumnya.
Lantas, Prima mengelus pelan pundak Juna, menuntunnya menemui wajah baru tersebut.
“Pak Saka, ini anak saya yang tengah, yang pernah saya ceritakan tempo hari,” ujar sang ayah ramah, “Aa', ini arsitek rumah yang di Jakarta. Baru sempet papi kenalin sekarang.”
Juna bukan seorang anak kecil yang mudah merajuk nggak tahu tempat. Sebesar apa pun rasa dendamnya dengan sang ayah, ia nggak akan mengacaukan acara yang telah disusun rapi oleh pria itu.
“Halo, Om Saka.” Juna sedikit membungkukkan badannya. “Arjuna.”
“Atau Juna, biar lebih singkat,” sambung papinya mewakili.
“Oh, halo, Juna. Wah, namanya kayak chef yang terkenal itu, ya,” canda Om Saka yang lantas membuat Juna tertawa sopan. Lelucon yang telah masuk ke dalam rungu Juna sebanyak jutaan kali.
“Hahaha, betul, Om.”
“Ganteng kayak papinya. Mirip-mirip, nggak beda jauh.”
Juga pernyataan yang telah Juna terima sebanyak jutaan kali. Orang-orang memang kerap berkata wajah tampannya itu cetakan asli dari sang ayah.
Pepatah mengatakan, buah jatuh tak jauh dari pohonnya.
Juna tersenyum singkat. Pepatah itu terdengar sedikit terlalu serius lantaran bukan hanya penampilan yang sang ayah wariskan, namun caranya memperlakukan kekasihnya dahulu juga sepertinya tampak ikut diwariskan oleh pria itu.
“Aa', om ini juga punya anak yang seumuran kamu. Sama-sama kuliah teknik juga.”
“Oh, iya, Om?”
“Iya, betul itu Juna,” jawab Om Saka, “anak Om laki-laki. Kalau Juna mau minta kontaknya... mungkin aja Juna tertarik 'kan? Nanti bisa Om kasih. Mana tau jodoh.”
Papi dan Om Saka tergelak, sementara Juna pun mau nggak mau ikut terkekeh seadanya.
Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Juna sama sekali nggak merasa tertarik akan topik apa pun yang dibicarakan hari ini. Dirinya hanya ikut tertawa, mengangguk-anggukan kepala, atau menggumamkan kalimat 'oh, ya?' di sepanjang acara. Nggak lupa senyuman ramah yang selalu terpatri pada wajahnya sebab ia nggak ingin teman-teman sang ayah menganggap anak dari seorang Prima Putra terlihat angkuh dan sulit untuk diajak bicara.
Juna masih punya hati, meski nggak seberapa besar. Ia nggak ingin menghancurkan imej sang ayah di mata orang lain. Cukup keluarganya saja yang menganggap pria itu telah gagal membina kehidupan berkeluarga. Jangan sampai beliau juga dianggap gagal dalam menjalankan pekerjaannya.