40
Beberapa bulan telah berlalu sejak terakhir kali Juna bertemu dengan sang kakak atau yang lebih akrab ia sapa dengan 'teteh'. Namun, hal tersebut nggak lantas buat dia jadi mudah lupa akan sosoknya. Walaupun kini surai hitam legam yang biasanya panjang sampai menyentuh pinggang telah terpangkas, Juna tetap dapat menangkap keberadaan kakaknya yang bernama Yesha di tengah-tengah keramaian restoran.
Juna tersenyum singkat, melangkahkan tungkainya untuk menghampiri meja yang telah ditempati oleh Yesha.
“Teh.”
“Eh, akhirnya.” Yesha memanglingkan arah pandangnya pada layar ponsel, menatap adik laki-lakinya yang kemudian menarik kursi sebagai tempatnya duduk. “Dateng juga lo.”
“Lama nggak nunggunya?”
“Lumayan. Lo, sih, bukannya bawa mobil sendiri.”
“Sama aja. Malah cepetan naik KRL kali? Cuma emang tadi lama aja dapet ojeknya.”
“Tapi, tetep-”
“Asik, udah dipesenin makannya.” Juna memotong kalimat sang kakak yang terpaut tiga tahun lebih tua lantaran enggan berdebat lebih jauh. Diambilnya sumpit yang tersaji di dalam tempat penyimpanan untuk mulai menyumpit sushi yang telah dipesan oleh Yesha.
“Enak banget. Udah lama gue nggak nyushi.”
“Bagus, anak rantau harus belajar hemat.”
“Rantau dari Bogor ke Depok doang.”
“Tetep aja namanya rantau.”
Juna memajukan dagunya, menunjuk sajian makanan khas Jepang di atas meja. “Ini lu juga boros, Teh. Ngajak makannya sushi, padahal lu juga anak rantau.”
“Lah, kalo ini 'kan uang gue. Bebas dong mau gue pake buat apa? Beda cerita sama lo, uang lo 'kan masih uang papi sama mami.”
“Mami aja.” Juna tersenyum miris. “Gue nggak pernah pake uang yang ditransfer papi.”
Di hadapan Juna, Yesha tampak menghela napasnya berat, kemudian meletakkan sumpitnya di atas piring untuk menatap sang adik yang sedang sibuk memasukkan sushi demi sushi ke dalam mulutnya.
“A' Ajun....”
“Eh, ini apa? Gue nggak pernah mesen daging-dagingan di Zenbu.” Juna meraih potongan daging yang baru saja dimasak, yang kemudian ia suap ke dalam mulutnya. “Enak, dah. Gue baru pernah coba.”
Melihat adiknya yang terus menerus enggan membahas perihal sosok sang ayah membuat Yesha memijit keningnya pelan. Tahun berlalu sejak hakim mengetuk palu memutuskan peceraian bagi Prima dan Anjani (sosok orang tua kandung dari Juna beserta saudara kandungnya), namun sampai detik ini Juna masih tampak enggan berdamai dengan sang ayah.
Yesha, adik bungsunya (Wylsa), dan bahkan Anjani sendiri telah memaafkan kesalahan yang sang ayah sempat perbuat sebelum pasangan suami-istri itu akhirnya memutuskan untuk berpisah ranjang. Namun, anak laki-laki satu-satunya di rumah tetap enggan menerima sosok Prima kembali di hidupnya.
Menurut Juna, apa yang telah sang ayah lakukan untuk sungguh kelewat batas. Ia nggak bisa menolerir kesalahan yang telah beliau lakukan setelah melihat Anjani yang harus menitikkan air mata di setiap malam yang beliau lalui.
Without realizing that he was slowly turning into his father, turut melukai hati yang seharusnya ia jaga kala itu. Juna yang berumur enam belas tahun, nggak seharusnya ikut berubah. Turut melukai kekasih yang berjarak satu tahun lebih muda darinya. Meninggalkannya kebingungan, sendirian dalam gelap seperti apa yang telah Prima perbuat pada Anjani. Membuat sang ibu seperti sudah nggak lagi merasa disayang.
“Alright, fine. You do you.” Yesha kembali meraih gelas iced lychee tea, menenggak substansi dari dalam sana untuk mendinginkan kepalanya. “By the way, how's college?“
“I adapt easily so everything's good.“
“Masih suka kepikiran BIFA, nggak?”
Juna terkekeh pelan. “Dikit. Dikit banget tapi. Gue udah ikhlas, deh, sekarang. Gue ikut aja mami maunya gue ngejalanin pendidikan apa biar mami seneng. Nggak bisa gue liat mami nangis-nangis lagi.”
Kini, berganti Yesha yang tersenyum miris. Dalam hatinya bergumam, Padahal papi bisa bantu bujukin mami yang kekeuh maunya lu jadi sarjana dulu baru lanjut BIFA. Harusnya sekarang lo bisa langsung sekolah pilot, A'. 'Kan selama ini papi juga yang selalu ngedukung lo jadi pilot.
Nggak ingin berdebat dengan Juna, Yesha lebih memilih memendam pendapatnya sendiri.
“Terus, lo seriusan nggak ada deket sama siapa-siapa?”
“Yah elah... ini lagi.”
“Enggak, serius. Soalnya dulu pas gue masuk kuliah, tuh, orang-orang pada gampang banget dapet pacar.”
“Tapi, di antara mereka ada juga 'kan yang nggak dapet?”
“Ya....” Yesha menggaruk pipinya. “Ada juga, sih.”
“Ya udah, berarti gue salah satu bagian dari yang nggak dapet itu.”
“Tapi, lo sendiri masih nutup hati nggak? Gue yakin adek gue yang ganteng ini pasti pernah dideketin sama orang. Ya kali, deh, nggak ada yang basa-basi nyoba deketin lo?”
Juna tertawa terbahak-bahak mendengar pernyataan Yesha. “Hahaha! Akhirnya lu ngaku kalo gue ganteng.”
“Jawab gue dulu. Masa iya, sih, nggak ada yang deketin lo?”
“Gue baru sadar kalo kayaknya I don't go with the person who likes me,” jawab Juna, “I should be the one who chases. I go with the person that I like. Biar gue jadi nggak gampang nyia-nyiain orang itu.”
“Baik itu orang yang lo suka atau orang yang suka sama lo, nggak seharusnya lo sia-siain kebaikan mereka.”
Juna tertegun, nggak bisa mengelak opini sang kakak.
“But anyway back to the topic. What if they're the one?“
“What do you mean by 'they'?“
“Person who likes you.“
“Still a no from me, I guess...?“
Yesha memutar bola matanya malas. “Jeez.“
“Tenang, Teh. Yang kayaknya besok kiamat aja, sih? Nggak perlu buru-buru amat kali.”
“Ya udah.” Yesha melipat tangannya di atas meja. “Kalo gitu ganti pertanyaan. Ada nggak yang lagi mau lo deketin? Yang keliatan menarik di mata lo.”
Bagian ini yang Juna hindar-hindari dari orang sebab dirinya sendiri pun masih belum mantap soal apakah ia harus benar-benar mengejar sosok laki-laki itu atau tidak.
Mulut Juna terlihat menggembung, masih penuh dengan makanan yang sedang ia kunyah. Namun, melihat Yesha yang tampak seperti sedang menunggu jawaban darinya, ia jadi mau nggak mau menelan makanannya lebih cepat untuk menjawab pertanyaan sang kakak.
“Hm....”
“Gimana, ada nggak?”
“I-“
Yesha menaikan sebelah alisnya. “I?“
“I'm still unsure about this one, but if you wanna take a look-“
“Mau. Mana coba sini fotonya? Harus gue seleksi dulu, nih.”
“God....“
“Cepeeet.”
Sebetulnya, Juna nggak ingin menunjukan sosok yang terngiang-ngiang di kepalanya terlebih dahulu kepada Yesha. Ia nggak ingin diburu-buru oleh para manusia di sekitarnya untuk mendekati lelaki tersebut. Ia ingin semuanya pasti, walau itu berarti ia harus berjalan pelan.
“A' Ajun.”
“Fine. Sabar.”
Ponsel yang tadinya tergeletak begitu saja di atas meja akhirnya diraih oleh sang pemilik. Ibu jarinya bergerak menuju aplikasi Instagram, menari di atas layar mencari username yang ingin dituju.
@askaramahavira
Salah satu unggahan milik username tersebut menunjukkan wajahnya yang berseri-seri, yang kemudian Juna coba beri lihat pada sang kakak.
“Ih, manis. Jago lo, A', nyari cowonya.”
“Iya, manis. Ngaku gue. Tapi, yang lebih penting lagi sifatnya, sih. Nggak tau kenapa gue jadi rada tertarik sama dia karena itu.”
Yesha kembali menenggak minumannya sambil mengangguk-anggukan kepala. “Kenapa emang dia?”
“Keliatan kayak... apa, ya? Keras kepala? Nggak mau ngerepotin orang? Yah, pokoknya begitu,” jawab Juna sembari menatap lurus ke depan, kembali mengingat-ingat sosok Aska yang ia kerap temui akhir-akhir ini. “Dan gue penasaran, gue bisa apa nggak buat dia jadi luluh.”
“You're not seriously jadiin dia bahan buat nguji kehebatan lo....”
Juna menegapkan bahunya, kepalanya bergeleng untuk menyanggah argumen sang kakak. “Enggak, Teh. Nggak begitu maksud gue. Gue beneran fall for his personality. Gue suka ngeliat dia ada di pendiriannya, tapi tetep keliatan baik dan nggak angkuh. Kemaren aja gue sempet dikasih makanan ringan buat ngeganjel perut. Karena dia yang baik juga, makanya gue jadi tertarik.”
Melihat adiknya yang jadi mudah tersenyum ketika bercerita tentang sosok laki-laki yang diketahui bernama Aska itu, membuat hati Yesha seakan berada di kedamaian. Akhirnya, adik laki-laki satu-satunya itu berani untuk membuka hatinya lagi.
“Oke kalo gitu. Majuin aja coba. Pretty sure lo udah belajar dari masa lalu dan nggak bakal ngulang kesalahan yang sama sekarang.”
“About that....” Juna menghela napasnya panjang. “Let's just... wait. Okay?“
Sebelum kembali mematikan ponselnya, Juna menatap potret Askara Mahavira yang terpampang di atas layar ponselnya. Yang tanpa sadar menghadirkan sebuah senyum kecil pada raut wajahnya yang tampak kian bersinar terkena cahaya dari lampu-lampu yang menggantung di atap restoran.
Ibu jari Juna bergerak, hendak menyusuri wajah yang hanya bisa ia pandang lekat-lekat lewat layar ponselnya. Namun akhirnya, ia mengunci layar ponsel itu sebelum kembali melanjutkan sesi bertukar cerita dengan sang kakak.