235

Prima Putra namanya, seorang figur ayah bagi Arjuna Prima Putra. Dapat ditebak dengan mudah dari nama belakang Juna, pria pada pertengahan 50-annya itu memang merupakan seorang ayah kandung dari pemuda berumur 18 tahun tersebut.

Perawakannya terlihat persis. Tingginya sama-sama semampai. Kulitnya cerah, fitur-fitur pada wajahnya tegas. Dengan bahu seluas samudera dan paras tampan di atas rata-rata, keduanya menjadi idaman bagi manusia-manusia di sekitarnya. Mungkin letak perbedaannya hanya pada tahi lalat manis di bawah mata kanan Juna, satu-satunya fitur yang diwariskan oleh sang ibu.

Genap dua tahun sejak pemuda tersebut membangun tembok tinggi di sekelilingnya agar sang ayah nggak bisa mencoba masuk ke dalam hidupnya. Kesalahan satu malam yang Prima perbuat masih nggak bisa Juna maafkan sebab telah membuat hati Anjani hancur berkeping-keping sampai harus menitikkan air mata di setiap malam beliau memejamkan mata.

Bahkan hingga detik ini pun, Juna lebih memilih untuk mengemudi dalam diam. Hanya terdengar sayup-sayup suara radio yang keluar melalui speaker mobil. Sang ayah pun tampak sedang menimbang-nimbang, haruskah ia mulai berbicara sekarang atau nanti saja ketika telah sampai di bandar udara.

“A' Ajun.”

Ternyata Prima memilih untuk angkat bicara sedari sekarang, menghindari situasi canggung yang menyesakkan atmosfer malam itu.

“Ya?”

“Gimana kabar kul-”

“Ini tadi terminal berapa, deh, Pi?”

Prima menghela napasnya, tampak bersabar diri ketika sang anak tengah terlihat enggan berbasa-basi dengannya.

“Tiga, A'.”

Juna sedikit membelokkan kemudi, mengikuti arahan dari plang hijau di depannya untuk berpindah lajur agar dapat sampai di terminal tiga Bandara Soekarno-Hatta.

Sampai di parkiran, Prima terlebih dahulu ingin mengeluarkan kopernya dari dalam bagasi, namun Juna segera meminta beliau untuk menyingkir. Biar pemuda tersebut yang membawakan koper sang ayah sampai area check in.

“Juna aja.”

Anaknya lebih dulu berjalan di depan, meninggalkan Prima yang masih menatap lamat-lamat punggungnya. Merasa waktu telah berlalu begitu cepat, nggak terasa anak laki-laki satu-satunya itu telah tumbuh menjadi pria dewasa yang tengah menjalankan pendidikan sarjananya. Rasanya baru kemarin sore beliau mengajaknya bermain sepeda mengelilingi komplek.

Sembari menunggu pengumuman, Prima memilih untuk menunggu di kursi tunggu. Meminta Juna untuk membeli segelas kopi demi membunuh waktu. Walaupun Juna sempat kebingungan karena sang ayah nggak biasanya membeli kopi dengan asal memilih dan kini beliau justru menyuruh Juna untuk membeli kopi dari kedai apa saja dengan memberinya sejumlah uang yang sebenarnya cukup untuk membelikan sepuluh orang lain di sini masing-masing segelas kopi dingin.

“Nih, Pi,” ujar Juna dengan segelas kopi dan sisa uang di tangan kanannya, masih berdiri enggan mengambil tempat di samping sang ayah.

“Duduk dulu.” Prima menepuk-nepuk tempat kosong di sampingnya, memperbanyak stok kesabaran lantaran sang anak tengah masih terlihat begitu dingin kepadanya.

Mau nggak mau, Juna pun terduduk di samping Prima. Sama-sama larut dalam diamnya masing-masing sebelum sang ayah akhirnya berbicara sembari menyerahkan kunci mobil.

“Mobilnya dibawa pulang, ya, A'.”

“Oke.”

“Ke Depok.”

Juna menoleh singkat ke arah sang ayah. “Ke Antasari kali maksudnya?”

“Enggak, Nak,” jawab Prima dengan sabar. “Itu mobil Aa'... dibawa aja ke kos. Biar gampang kalau mau ke mana-mana.”

“Juna udah ada motor. Ada ojek online, KRL.” Juna menjawab sang ayah dengan ketegasannya yang selalu hadir ketika ia sedang bersama beliau. “Udah cukup semua.”

“Kalau mau jalan-jalan sama Aska, memangnya motor A' cukup?”

Sontak, Juna menolehkan kepalanya cepat. Mengernyit kebingungan sebab Prima tiba-tiba membawa Aska dalam obrolan keduanya.

“Papi tau Aska dari-” Juna menghenikan kalimatnya, tiba-tiba teringat kalau ia pernah bercerita dengan sang ayah perihal lelaki itu. “Oh, ya. Juna lupa.”

“Dipakai mobilnya kalau mau pergi sama dia. Masa anak Papi mau malam mingguan, pacaran, tapi naik kendaraan umum? 'Kan pasti kalian berdua butuh privasi.”

“Aska bukan pacar Juna,” jawab Juna singkat. “Belum, maksudnya. Ya-” Ia menggaruk kulit kepalanya yang nggak gatal itu.

“Gitu, deh, pokoknya.”

Prima terkekeh mendengar pernyataan yang terlontar. Jatuh cinta memang hal yang amat menyenangkan ketika dilakukan di masa muda. Ia sendiri pun telah melalui masa-masa naif itu. Suatu hal yang dapat membuat diri sendiri menjadi salah tingkah hanya dengan mendengar namanya disebut.

Soon to be. Papi aminkan.” Prima tersenyum tulus, memandang sang anak tengah. “Ya sudah, pokoknya Papi cuma mau bilang, Aska itu anak teman baiknya Papi, kalau bisa Juna kasih apa yang buat dia nyaman.”

Pengumuman bahwa pesawat Prima akan segera lepas landas sesaat lagi terpaksa menghentikan Prima untuk berbicara lebih lanjut. Berdiri dari duduknya untuk bersiap-siap pergi.

“Sudah dipanggil. Papi jalan sekarang, ya, A'.”

“Mobilnya Juna taro di rumah Antasari aja, ya?”

“Arjuna....” Sang ayah memanggil Juna dengan nama lengkapnya. “Mau sampai kapan?”

Keduanya bersitatap untuk sementara waktu. Dalam hatinya, Prima berharap agar perlahan-lahan Juna bisa mulai mengerti keadaan sekarang. Bahwa seluruh kehidupan berjalan maju dan keduanya nggak lagi tinggal di masa lalu.

“Papi pergi dulu. Nanti pulangnya Papi bawain makanan dari Kalimantan buat mami, teteh, Aa', dan adek.”

Prima menepuk bahu Juna sebanyak dua kali sembari tersenyum tulus sebelum beliau melangkah pergi, meninggalkan Juna seorang sendiri.

Lantas, Juna menoleh ke arah lain, menemukan kopi pesanan sang ayah yang masih berada di tempatnya, belum sempat diminum barang seteguk.

“Kopinya, Pi!” Juna sedikit berteriak, berlari untuk menyusul sang ayah.

Prima pun menghentikan langkahnya, memutarbalikkan badan.

“Buat Aa' aja. Biar nggak ngantuk di jalan pulang.”

“Uangnya....”

“Kalau yang itu buat beli bensin mobilnya Aa'.”

Lagi-lagi, beliau tersenyum sebelum kembali berjalan meninggalkan Juna. Hendak pergi ke Kalimantan untuk dinasnya.

Juna menghabiskan hampir lima belas menit untuk berdiam diri di dalam mobilnya yang kini terasa hampa tanpa kehadiran sang ayah. Deru mesin mobil menemani keheningannya di parkiran bandar udara.

Rahangnya mengeras, berusaha menahan bulir air mata yang mulai menggenang pada pelupuk mata. Juna lantas melempar kepalanya ke arah belakang. Mulai berpikir kalau mungkin memang dirinyalah satu-satunya anggota keluarga yang masih hidup di masa lalu sebab keluarganya yang lain tampak seperti sudah sepenuhnya mengikhlaskan apa yang telah terjadi.

Malam ini, Juna mengemudi pulang dengan perasaan yang sedikit membingungkan. Bahkan langit Jakarta malam itu tampak seperti mendukung kebimbangannya sebab pada detik ini butir-butir air hujan terlihat dapat langsung turun menghujam kaca jendela mobilnya dengan keras, namun pada detik berikutnya, ternyata ia masih dapat melihat bulan purnama yang cahayanya tampak benderang tanpa malu-malu ditutupi oleh gumpalan awan.