191
Notifikasi yang kian bermunculan pada layar ponselnya membuat kedua pipi Juna pegal sebab senyum yang ia coba tahan. Kedua telapak tangannya ia masukkan ke dalam kantong jaket hitamnya. Bersender pada dinding tempat ia duduk menunggu acara Eksplorasi IMTI yang nggak kunjung selesai.
Belum. Juna sejatinya belum memejamkan kedua matanya ketika Aska telah menyuruhnya untuk meninggalkan Aska agar dapat menggunakan waktu istirahatnya. Alih-alih merebahkan tubuhnya di atas kasur untuk segera pergi ke alam mimpi, ia justru meraih jaket yang tergantung pada pintu kamar indekosnya kemudian bergegas menuju gedung fakultasnya.
Acara ini biasanya diselenggarakan selama empat sampai lima hari, berbeda-beda tergantung kebijakan departemen yang terdapat pada fakultas ini. Dimulai pada sekitar jam tujuh malam dan biasanya tetap berlangsung hingga sang surya muncul di ufuk timur. Lagi-lagi berbeda, bergantung pada kebijakan tiap-tiap departemen.
Untuk kasus departemen Aska, sepertinya acara tersebut akan usai sesaat lagi. Juna lantas segera bangkit dari duduknya ketika anak-anak departemen tersebut telah berhamburan pergi meninggalkan tempat acara.
Juna terus menunggu, hingga kedua maniknya menangkap keberadaan lelaki dambaannya, yang tetap terlihat manis walau kantuk jelas telah menyerang durjanya. Aska tengah berjalan seorang diri, sepertinya belum sadar akan kehadiran Juna beberapa meter di hadapannya.
“Hai.”
Aska terlonjak, tubuhnya sedikit tersentak mundur akibat sapaan yang baru saja ditujukan untuk dirinya.
“Lah, Juna?” Dengan kesadarannya yang tersisa setengah, Aska membulatkan kedua matanya lebar-lebar. “Lu bukannya udah gue suruh tidur?”
“Sendirian?” tanya Juna, “temen-temen lu yang lain mana? Kok nggak bareng?” Bukannya membalas, ia justru melontarkan pertanyaan lain.
“Jawab gue dulu. Lu bukannya udah tidur?” Aska tampak enggan mengalah. “Keganggu, ya, sama suara notification chat gue?”
“Oke, oke.” Juna mengalah. “Habis lu suruh tidur, sebenernya gue nggak langsung tidur, sih. Soalnya tanggung aja udah jam segini.” Sembari berkata, Juna melepaskan jaket yang tadinya melekat pada tubuh bidangnya.
“Sini tasnya,” pinta Juna, namun Aska langsung menahan totebag yang tersampir pada bahu kanannya agar benda tersebut nggak berpindah tempat.
“Terus kalo tanggung kenapa? Tidur aja harusnya, 'kan lu nanti kelas, Jun.”
Juna memilih untuk menghiraukan ujaran lelaki di hadapannya itu. “Sini tasnya. Pake dulu jaket gue.”
“Kalo gue pake jaket lu, lu pake apa, Juna?”
Keduanya sama-sama keras kepala. Perdebatan ini tampak akan berlangsung hingga satu jam lamanya jika nggak ada dari keduanya yang rela mengalah.
“Gue udah pake dari tadi, Aska,” jawab Juna nggak kalah ngeyel. “Lagian Depok dingin, nanti lu sakit.”
“Gue lebih percaya Billie Eilish aslinya orang Nganjuk daripada cuaca Depok tiba-tiba berubah jadi dingin.”
“Hahahahah.” Juna tertawa renyah, namun pergerakan tangannya tetap nggak berubah, tetap ingin menyampirkan jaket hitamnya pada tubuh Aska yang terlihat sudah kelelahan itu. “Udah ayo dipake jaketnya. Sini dulu tasnya.”
Aska menelan ludahnya gugup. Mungkinkah ini saat baginya untuk mencoba seseorang melakukan sesuatu padanya untuk membantu meringankan bebannya? Untuk sekali-sekali, nggak ada salahnya, bukan?
“Yuk?” Juna tersenyum, menunggu Aska menyerahkan tasnya untuk Juna dapat menyampirkan jaket miliknya. Hingga pada akhirnya Aska luluh, ia melepaskan totebag yang ia bawa pada bahu kanannya.
“Nice.
Juna menerima tas yang disodorkan oleh pemiliknya itu, kemudian menyampirkan jaket kebesarannya pada tubuh Aska. Nggak terbalut dengan sempurna, namun cukup tebal untuk memberi Aska sedikit kehangatan.
“Sini balikin tasnya,” ujar Aska sembari membetulkan letak jaket pada tubuhnya.
“Gue aja yang bawa,” balas Juna, matanya menatap Aska singkat, kemudian beralih ke arah jalan setapak di depan, bersiap-siap untuk meninggalkan area fakultas.
“Nggak mau. Sini gue aja, gue bisa bawa sendiri.”
“Iya, gue tau lu bisa bawa sendiri. Semua orang juga bisa ngebawa tasnya sendiri.” Juna berkata selembut mungkin. “Tapi, kali ini gue coba bantu bawa aja, ya? Gapapa 'kan?”
Aska termenung untuk sesaat.
“Gapapa 'kan?” ulang Juna, “yuk jalan. Gue temenin balik sampe depan kosan.”
Juna berjalan terlebih dahulu, meninggalkan Aska yang masih termenung hingga akhirnya ia turut melangkahkan kakinya untuk mengejar lelaki di depannya.
“Gimana Eksplor day one-nya?” tanya Juna, mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
“Ya... gitu, deh. Capek, terus ngantuk banget.”
“Gue belom pernah ngerasain, sih. Tapi, kalo kata kating gue, emang awalnya bikin ngantuk, but you'll soon get used to it.“
“Yeah... people said so. Semoga mulai besok-besok udah nggak begitu berasa ngantuknya.”
Juna tersenyum menanggapi lelaki yang ikut berjalan di sampingnya itu.
Kini, berganti Aska yang menanyakan tempat Juna tinggal. “Kosan lu emang di mananya, deh, Jun?”
“Keluar gerbang, belok kiri.
“Hah?” Aska sedikit terlonjak kaget. “Lu ngekos di Kukel?”
“Enggak, belom sampe Kukel juga. Masih daerah-daerah sini, kok.”
“Jauh banget. Kosan gue cuma tinggal lurus,” ujar Aska, “terus lu pulang gimana?”
“Tenang, Kutek masih agak rame. Gue bisalah jalan sendiri.”
“Serius?”
“Serius,” jawab Juna enteng. “Gue udah pernah, kok, jalan balik sendiri subuh-subuh.”
“Baru maba udah disuruh romusha.“
“Hahahah!” Juna tertawa sedikit kencang. “Nggak boleh begitu, Aska.”
“Semoga cepet-cepet kelar, deh, masa-masa kuliah ini.”
“Lho, malah kalo udah selesai kuliah, tanggung jawab kita bakalan jadi lebih gede nggak, sih?”
“Ah, sial.” Aska menepuk jidatnya. “Bener juga lu.”
Keduanya tertawa pelan, sama-sama menyusuri jalan menuju tempat Aska tinggal selama menjalankan masa-masa perkuliahannya. Jam pada layar ponsel menunjukkan pukul lima pagi, namun langit di atas sana masih berwarna gelap. Keduanya berjalan dengan penerangan remang-remang di sekelilingnya, sesekali tertawa akan kata-kata yang keluar dari belah bibir masing-masing. Sungguh nggak terasa, keduanya tiba-tiba sampai di depan pagar indekos Aska.
“Di sini kosan gue.”
“Oh....” Juna mengangguk-anggukan kepalanya. “Di sini... pantes sering makan di tempat biasa.”
“Iya, deket soalnya,” jawab Aska sembari melepaskan jaket yang tersampir asal pada tubuhnya.
“Ya udah, istirahat, ya, Aska.” Juna tersenyum, menerima pemberian jaket dari Aska, kemudian ikut menyerahkan totebag yang tersampir pada bahu kirinya. “Jangan sampe telat masuk kelas.”
“Iya, lu juga,” balas Aska, “lain kali kalo disuruh tidur, ya tidur. Jangan tiba-tiba kelayapan di FT.”
“Siap, Bos.” Juna terkekeh. “Gue balik dulu, ya?”
“Hati-hati. Makasih udah ditemenin balik.”
“Oke, dadah, Aska.” Juna melambai-lambaikan telapak tangannya. “Eh, kok, dadah? Sok akrab banget gue.”
“Hahaha!” Aska tertawa. “Iya, dadah, Ajun. Selamat tidur, semoga nyenyak sampe bangun.”
Pipinya panas, semburat kemerahan muncul begitu saja pada kedua pipi Juna yang berkulit susu itu. Lidahnya kelu, sel-sel pada otaknya nggak bisa menghasilkan respon yang tepat atas ucapan dari lelaki dambaannya itu.
“Kok merah pipinya?” ledek Aska, yang sebetulnya paham betul bahwa Juna sedang salah tingkah sebab ulah perkataannya.
“Uh... gotta go. Dah, Aska.”
Dengan begitu saja, Juna tersenyum singkat kemudian berlari kecil meninggalkan Aska seorang diri. Hingga pada saat tubuh lelaki April itu menghilang di persimpangan, Aska meloloskan tawanya. Telapak tangannya menelusup masuk, membuka kunci pagar indekosnya.
Ketika ia telah kembali mengunci gembok pagarnya, Aska sempat menyenderkan tubuhnya di balik pagar. Kedua matanya terpejam, bibirnya nggak berhenti menyunggingkan senyum lebarnya.
Why am I smiling like an idiot? batin Aska dengan perasaan senang yang meledak-ledak pada benaknya. Falling in love is indeed a silly thing.
Terbelalak, Aska membuka kedua matanya lebar-lebar.
Oh wait, did I fall already?