150

“Ini gapapa lu yang bawa? Nggak mau tukeran sama gue?”

“Enggak.”

Satu jawaban singkat yang terlontar dari belah bibir Aska cukup untuk membuat Juna sedikit tercengang. Meskipun Juna telah mengetahui persis bahwa lelaki yang kini tengah menjemputnya memang seorang pribadi yang tegas, jujur, dan enggan berbasa-basi, namun tetap saja Juna lagi-lagi dibuat kaget dengan setiap jawaban dari pertanyaannya.

“Nggak enak dong masa lu yang nyetir? Harusnya gue nggak, sih?”

“Apanya yang nggak enak? Dan kenapa harus lu? Aturan dari mana coba.”

“Ya... nggak enak aja 'kan gue yang nawarin lu main ke luar. Masa iya gue yang ngajak, tapi terus lu yang nyetir.”

“Gue nggak ngerasa ada masalah kalo semisal gue yang nyetir terus lu diem aja di samping gue.”

Aight, aight.” Juna mengulas senyumnya singkat, lantas membuka pintu kursi penumpang dan masuk ke dalam mobil kepunyaan Aska. Sepertinya mereka berdua akan menghabiskan malam di depan Gerbang 10 Gelora Bung Karno jika Juna tetap bersikukuh untuk mengambil alih kemudi sebab Aska juga bukan pribadi yang gampang tergoyahkan argumennya.

Just, let me know kalo lu capek terus mau tukeran nyetir.”

“Harusnya lu nggak, sih, yang capek? 'Kan lu yang habis lari.”

“Oke, iya.”

“Kok gitu, sih, ngejawab guenya? Masih nggak suka kalo gue yang nyetir?”

Juna menolehkan kepalanya cepat ke samping kanan. “Hah? Enggak, Aska. Nggak gitu maksud nada bicara gue-”

“Hahahah, chill. Gue bercanda. Maaf galak banget tadi,” balas Aska sembari menurunkan rem tangan sebelum akhirnya menginjak pedal gas untuk meninggalkan area gerbang stadion. “Jangan tegang-tegang banget kalo gue lagi kayak begitu. Aslinya gue nggak segalak itu, sumpah.”

“Oke....”

At least nggak segalak temen gue, si Riga,” lanjut Aska, “lu nggak ada riwayat penyakit jantung 'kan, Jun?”

“Kenapa emang?”

“Takut lu tiba-tiba jantungan kalo gue galakin.”

“Ahahaha, masa sampe segitunya. Gue biasa aja, kok.”

Jawaban dari Juna barusan berhasil menyatukan kedua alis tebal Aska. Dahinya kini ikut mengerut, tampak nggak percaya dengan pernyataan Juna. “Masa?”

“Serius. Gue nggak takut sama yang galak-galak.”

“Oh, kuat ya lu berarti.”

“Harus. Apalagi kalo sama lu.”

“Kenapa emang kalo sama gue?”

“Harus bisa kuat kalo sama lu. Biar ke depannya bisa jalan terus.”

“Jalan as in beneran jalan berdua ke luar atau jalan yang lain?”

Sempat ada jeda sejenak sebelum Juna membalas perkataan Aska. Yang pada akhirnya dijawab dengan, “We'll figure things out one by one.

Sementara Aska memilih untuk nggak melanjutkan topik ini. Dia nggak sepolos itu. Aska tentu menyadari ke mana Juna ingin membawa hubungan keduanya pergi. Nggak sekali atau dia kali Aska telah melalui fase ini, apalagi ketika dirinya baru menginjak dunia perkuliahan. Nggak jarang teman seangkatan atau bahkan kakak tingkatnya mencoba peraduan, mencoba meluluhkan hatinya yang telah dibentengi sebegitu tegarnya agar nggak lagi mudah untuk dihancurkan begitu saja.

Sudah ada beberapa laki-laki yang Aska tolak kehadirannya di dalam hidupnya yang sudah terlanjur nyaman sendiri itu. Ia juga nggak mengingat-ingat berapa banyak jumlahnya, tapi yang pasti ada. Nggak pernah terlintas di pikirannya untuk menjalin hubungan serius dengan orang baru di lingkungan perkuliahannya. Semua itu disebabkan karena keinginannya yang enggan kembali tersakiti oleh seseorang yang lain.

Namun entah kenapa, yang satu ini berbeda. Mungkin karena Juna yang nggak terlalu terkesan ingin merebut hati Aska dengan secepat kilat. Lelaki itu selalu tampak tenang, nggak ada tawaran yang datang dari dirinya dengan terlalu terburu-buru. Aska juga nggak terus menerus menerima pesan dari Juna yang kemungkinan besar dapat membuatnya risih.

Alon-alon asal kelakon kalau kata orang jawa. Hal-hal tersebut kemudian berhasil menarik perhatian seorang Aska.

Seperti sekarang ini, Juna nggak memaksa Aska untuk pergi ke luar. Ia hanya menawari seadanya, yang kemudian Aska terima dengan impulsif, dengan tanpa alasan. Padahal barusan tadi, ia baru saja berkata kepada temannya bahwa ia sedang ingin sendiri.

“Ini mau ke mana, Jun?”

“Mau makan yang berat atau yang ringan?”

“Terserah.”

Juna sudah mengetahui jurus untuk menghadapi situasi seperti ini. “Makan taichan, mau?”

“Nggak, ah.”

“Gultik?”

“Nggak mau. Gue nggak mau yang begitu-begitu.”

“Ya udah es krim, mau?”

“Mau.”

“Oke, berarti tadi jawabannya yang ringan-ringan,” balas Juna, “ini ambil kanan terus di pertigaan belok. Ke Cold Moo aja kita.”

Perjalanan dari daerah Senayan ke Dharmawangsa nggak terasa begitu canggung karena Juna tampak nggak pernah kehabisan topik obrolan. Dan Aska pun tampak nggak merasa kelelahan karena harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terlontar itu.

Juna juga nggak tahu kenapa. Padahal tadi sembari menunggu Aska datang menjemputnya, pikirannya amat sangat berkecamuk. Berpikir kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi ketika ia tengah jalan berdua dengan tambatan hatinya itu. Takut jika nanti Aska merasa nggak nyaman. Tapi sepertinya, pemikiran Juna mengenai hal tersebut terpatahkan begitu saja begitu ia dapat melihat senyum atau tawa yang selalu menghiasi wajah Aska tiap kali ia membuka mulutnya untuk berbicara.

Melihat sosok Aska yang mudah untuk diajak berbincang lantas membuat Juna nggak lagi menyesali keputusannya untuk mencoba mendekati temannya yang berasal dari teknik industri itu. Walaupun Juna harus mulai membiasakan diri untuk selalu dikagetkan dengan perkataan Aska yang beberapa kali terdengar menohok, namun pada akhirnya semua tampak memuaskan. Ketika Juna mulai bertemu dengan bagian diri Aska yang sangat menyenangkan, ia jadi nggak lagi memikirkan ketakutannya sewaktu pertama memulai pembicaraan dengan Aska melalui platform iMessage.

“Rame. Gue aja yang naik ke atas, gimana? Lu tunggu di sini.”

“Gapapa emang?”

“Ya, gapapa,” balas Juna sembari merogoh tas kecilnya untuk mengambil dompet. “Lu udah pernah ke sini belom?”

“Belom.”

“Ya udah, biasanya makan es krim yang rasa apa? Cokelat, kacang, strober-”

“Nggak, nggak. Pokoknya gue nggak mau stroberi,” sanggah Aska tegas. Dirinya amat membenci buah beri jenis yang itu.

“Cokelat, mau?”

“Bosen nggak, sih?”

“Kalo yang rasa-rasa cookies gitu, mau?”

“Nah, boleh.”

“Oke, tunggu. Gue pesenin dulu.”

Dengan begitu, Juna membuka pintu dari kursi penumpang untuk masuk ke dalam kedai es krim dua lantai itu. Dari kursinya, Aska dapat melihat Juna yang langsung naik ke lantai dua. Setelah Aska pelajari, sepertinya tempat di lantai satu itu hanya melayani pembelian kopi dan cookies, maka dari itu Juna langsung membawa dirinya ke atas.

Aska memutuskan untuk keluar dari mobil, masuk ke dalam kedai di depannya untuk menyegarkan diri dengan ambience toko yang tetap tampak nyaman meski dikerubungi keramaian. Diletakannya tas beserta ponsel milik Juna yang nggak mau ia tinggalkan di dalam mobil pada meja tempat duduk. Dirinya kemudian tergerak untuk meraih ponsel tersebut, walaupun perasaan segan mencegahnya untuk melakukan hal tersebut. Namun beberapa saat kemudian, ia kembali berpikir, mungkin nggak ada salahnya kalau ia jahil sedikit.

Ponsel milik Juna itu lantas Aska gunakan untuk mengambil sebuah swafoto sebelum kembali ia gelatakkan di atas meja. Ia tolehkan kepalanya ke luar jendela, berpikir kalau aksinya barusan dapat membuat Juna merasa terganggu dengan sikap Aska yang terlalu menginvasi barang pribadinya.

Nggak apa, pikir Aska. Lebih baik Juna menjadi pihak pertama yang pergi meninggalkannya karena merasa risih, dibanding ia harus menjadi pihak pertama yang jatuh terlalu dalam. Sebab Aska rasa ia nggak punya kekuatan yang cukup besar untuk menahan rasa sukanya pada Pemuda Mesin itu karena oh, sungguh....

Lihat bagaimana gagahnya pemuda itu ketika kini berjalan ke tempat Aska mendudukan diri. Dengan rambut yang sedikit basah sebab ulah keringat hasil olahraganya, disertai dengan bibir tipisnya yang senantiasa mencetak senyuman termanis di muka bumi. Aska yakin sudah banyak mahasiswa di kampusnya yang terpikat dengan sosok pemuda yang kini telah berhenti di hadapannya. Dengan ketampanannya yang di atas rata-rata, mustahil jika nggak ada seorang pun yang pernah hati padanya.

“Kok turun, Aska?” tanya Juna. Kedua cup es krim yang ia bawa kini telah ia letakkan di atas meja. “Katanya nggak mau kalo rame-rame? Ini tempatnya lagi rame, lho.”

Bagaimana bisa Aska menahan rasa kagumnya akan sosok Juna jika pemuda itu bahkan mengingat-ingat detil kecil dari dirinya.

Oke, mungkin hal ini tampak biasa saja karena setiap laki-laki yang sedang berusaha menaklukan sang tambata hati akan selalu bersikap seperti demikian. Namun ketahuilah, ini semua perihal Aska, pemuda paling hopeless romantic seantero Jakarta. Hal ini menjadi alasan mengapa ia selalu menolak untuk dekat dengan seseorang yang baru, takut jika ia akan dengan mudahnya jatuh hati, sementara pihak lawan sendiri sebenarnya masih belum pasti.

“Aska, kok bengong?”

“Eh-“ Aska menggelengkan kepalanya kencang, berusah mengembalikan kesadarannya. “Iya... tadi gue liat-liat kayaknya enakan makan di dalem.”

“Tapi, gapapa kalo rame begini?”

“Gapapa.”

Aight.” Juna menarik satu bangku yang menghadap ke arah Aska. “Bilang aja, ya, kalo nggak nyaman. Nanti balik lagi aja ke mobil.”

“Oke, makasih, ya.”

“Makasih karena apa, Aska?”

“Karena....” Aska tampak berpikir sejenak. “Udah ngeprioritasin kenyamanan gue?”

“Ahahah, astaga gue cuma begitu doang pake di-makasih-in segala.” Juna terkekeh pelan mendengar jawaban dari Aska. “Gue nggak ngapa-ngapain padahal. ‘Kan lu sendiri tadi yang bilang kalo nggak mau rame-rame. It’s the bare minimum, I guess?

Yeah, but still.

Alright. My pleasure, Aska.” Juna tersenyum singkat sebelum kembali menyuap es krim ke dalam mulutnya. “Lagian, isn’t that just what I’m supposed to do?

Dahi Aska mengerut. “Maksudnya?”

You know... PDKT things. Gue harus bersikap-“

Wait, you did not just....

Mata Juna membulat sempurna, nggak sengaja bertatap-tatapan dengan lawan bicaranya di seberang sana. Sempat ada jeda beberapa detik sebelum ia menutup mulutnya, nggak percaya dengan apa yang baru saja ia lontarkan dari belah bibirnya.

Pffft.

Stupid ass.” Juna menepuk bibirnya pelan, membuat Aska nggak kuasa terbahak-bahak di hadapannya.

“Ahahah! Why are you so clumsy, sih?” Aska sampai harus menyeka air matanya saking lucunya kejadian tadi.

Oh Tuhan, tolong katakan Juna nggak baru saja terang-terangan berkata pada Aska bahwa ia memang benar sedang menjalankan aksi PDKT-nya.

Sementara Juna masih berusaha keras menghilangkan rasa malunya dengan terus-terusan menunduk, Aska justru berkata, “It’s okay. Gue pura-pura nggak denger aja, deh. Udah sini, jangan nunduk terus.”

Juna mengangkat wajahnya perlahan ketika Aska menepuk lengannya pelan. Masih tersirat rasa malu pada raut wajahnya, namun nggak apa, Aska kini mencoba bersikap seolah-olah Juna nggak baru saja membocorkan suatu rahasia besar kepadanya.

Aska tersenyum singkat melihat Juna yang kini nggak lagi menundukkan kepalanya. “Cute.

Deg.

Jantung Juna terasa jatuh ke dasar rongga perutnya. Baru saja selesai dengan rasa malunya tadi, kini ia sudah dibuat tersipu dengan pujiang singkat yang baru saja Aska lontarkan barusan.