225
Aska berdiri sendiri di depan pagar dengan sekantong tas kain yang penuh diisi dengan berbagai bahan masakan. Rela berjalan sedikit jauh untuk mengunjungi Juna di hari Minggu sore. Pasalnya lelaki tersebut mengaku bahwa ia kelewat waktu makan di siang tadi, maka Aska pun memutuskan untuk membuatkan Juna masakan sederhana untuk disantap.
Muncullah Juna dengan berbalut hoodie abu-abu beserta celana hitam selutut, tampak persis seperti kebanyakan mahasiswa yang sedang berdiam di indekosnya masing-masing.
“Waduh, banyak banget bawaannya,” ujar Juna sambil tanpa berbasa-basi mengambil tas yang Aska jinjing dan Aska pun kali ini tanpa ragu menyerahkannya karena ia kini justru merasa senang kalau Juna bersedia membantunya melakukan sesuatu.
“Deja vu nggak, Jun?” tanya Aska sembari mengekor di belakang Juna, melangkahkan kaki menuju area dapur.
“Deja vu kenapa, tuh?”
“Dulu pertama kali kita ngobrol lagi 'kan juga gara-gara lu bantuin gue bawain barang-barang gue nyampe kelas.”
Juna terkekeh, “Oh, astaga. Bener juga. Inget aja, sih, Aska.” Ia berujar sembari menolehkan kepalanya ke belakang, menatap singkat Aska yang sedang mengekorinya.
“Oke, mau masak apa, Aska?” tanya Juna usai ia meletakkan tas kain tersebut di atas pantry dapur, kemudian beralih mengeluarkan alat-alat masak yang sudah disediakan pihak penyewa.
“Tunggu, punya grill pan nggak?”
“Hm....” Juna tampak berpikir, mengeluarkan satu teflon bundar yang ia sendiri bahkan nggak paham apakah benda tersebut benar grill pan atau bukan.
“Ini... grill pan bukan?”
“Hahaha.” Aska terkekeh memandang Juna yang terlihat clueless. “Bukan, Juna. Ini bukan grill pan, but well... this would do. Gapapa, makasih, ya.”
Juna tersipu mendengar perkataan lembut Aska. Sederhana, tapi ucapan terima kasihnya membuat ia harus menahan kedua ujung bibirnya agar nggak melengkung tersenyum ke atas.
“Gue mau masak salmon steak. Suka 'kan?”
Sedikit kaget, Juna mengernyitkan dahinya. “Serius lu beli salmon?”
“Iya,” ujar Aska santai, tangannya cekatan mengeluarkan bahan masakan dari dalam tas dan menyusunnya dengan rapi guna mempermudah dirinya dalam proses memasak nanti. “Kenapa kaget gitu?”
“Lu beli berapa banyak? Bukannya lumayan, ya?”
“Gapapa, perbaikan gizi,” jawab Aska enteng. “Bosen 'kan makan nasi telor mulu? Nih, sekali-sekali makannya salmon. Oh iya, Hanan sama Yale ada juga 'kan?”
“Ada....”
“Ya udah, nanti sekalian ajak mereka aja. Gue beli tiga potong, kok.”
Kegiatan masak memasak sore ini dimulai. Usai mencuci tangannya, Aska dengan cekatan membumbui potongan-potongan salmon di hadapannya, memanaskan teflon, kemudian mulai memanggang daging ikan kesukaannya itu.
“Gue bisa bantu apa?” Juna jadi merasa nggak berguna karena Aska tampak bisa menyelesaikan semuanya.
Aska berujar sembari tetap fokus pada teflon di depannya. “Udah, diem aja tungguin gue selesai masak.”
“Gue 'kan juga jago masak tau. Sini, gue mau ikutan.”
“Masa?” Aska menukikkan sebelah alisnya nggak percaya, meremehi kemampuan memasak Juna sebab pemuda itu bahkan nggak tahu seperti apa wujud grill pan.
“Seriusaaan.”
“Ya udah, bantu kupasin bawang putihnya.”
“Ah, gampang itu.”
Juna mulai meraih pisau di sampingnya, mengeluarkan sebutir bawang putih dari dalam plastik. Kedua alisnya tampak bertaut, bibirnya sedikit maju sebagai tanda bahwa ia sedang fokus pada pekerjaannya. Aska sesekali menoleh, tertawa pelan sebab Juna tampak nggak selesai-selesai dengan satu butir bawang putihnya.
“Hahaha, mana katanya jago?”
“Sumpah, sedikit lagi kekupas.”
Aska mengecilkan nyala api pada kompornya, sedikit bergeser untuk membantu pekerjaan Juna.
“Nih, biar lu gampang ngupasnya....” Aska meraih pisau pada genggaman Juna, mengambil sebutir bawang putih lain dari dalam plastik sebagai contoh. “Lu geprek dulu bawangnya kayak begini.”
Telapak Aska berada tepat di atas bawang putih dan pisau, mengeluarkan sedikit tenaga untuk menghancurkan bawang tersebut. “Nah, kalo udah kegeprek, nanti lu jadi lebih gampang ngupas kulitnya. Tinggal dilepas aja. Cepet 'kan?”
“Lah, gampang banget. Coba, coba, gue juga mau.”
“Nih.”
Juna mempraktekkan cara menghancurkan bawang putih persis seperti apa yang Aska lakukan tadi. Namun sepertinya, ia terlalu banyak mengeluarkan tenaga hingga bawang pada talenannya terlihat hampir hancur sempurna.
“Ya ampun, nggak usah pake tenaga dalem juga ngegepreknya.”
“Hahah!” Juna tertawa. “Maaf, maaf. Nggak sengaja. Tapi iya masa? Keren banget, jadi lebih gampang kekupas.”
Aska tersenyum melihat tingkah laku Juna yang lucu, bak anak kecil yang baru saja mendapat lolipop dari sang ibu. “Good job, Ajuuun.” Telapaknya mengudara, mengusak pelan surai tebal pemuda April itu.
Tanpa sadar, perlakuan Aska itu membuat Juna tersenyum salah tingkah. Lelaki itu bahkan harus membuang mukanya agar nggak terlihat kalau sebenarnya ia sedang berseri-seri.
“Jun, lanjut dulu ngupasin bawang putihnya. Mau gue pake.”
“O-oh, iya.”
Aska menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum pelan. Sekuat apa pun Juna berusaha menyembunyikan senyumnya, Aska masih dapat melihat wajah lelaki itu melalui ekor matanya. Ia jelas menyukainya ketika Juna berlaku demikian, tampak seperti seseorang yang benar-benar sedang jatuh cinta. Sedikit banyak ia paham kalau seorang Arjuna itu selalu tampak paling bahagia jika sedang dipuji.
Kegiatan keduanya berlanjut dengan Juna yang terus memperhatikan cara Aska memasak, hingga ilmunya tentang dunia masak memasak bertambah. Harus Juna akui bahwa kemampuan memasak Aska memang jauh berada di atas rata-rata. Meskipun kegiatan ini nggak punya label khusus untuk harus dimiliki perempuan atau laki-laki, tapi bagi ukuran laki-laki, Aska memang terlampau lihai dalam urusan ini.
“Mana temen-temen lu?” Aska bertanya dengan dua piring salmon steak pada tangannya, hendak menyusun meja makan yang berdekatan dengan area dapur. “Sini, suruh makan bareng.”
Kalau boleh jujur, Juna nggak ingin mengundang kedua temannya pada acara makan sore ini sebab ia tahu persis kalau teman-temannya yang usil itu pasti akan meledeknya habis-habisan di depan lelaki impiannya itu. Tapi mau nggak mau, Juna kini sudah berada di depan pintu kamar Hanan dan juga Yale karena Aska sudah memerintahkannya. Mengetuk satu persatu pintu tersebut untuk mengundang penghuninya ke luar.
“Widih, ada acara apaan, nih, tiba-tiba gue dimasakin salmon?” Hanan yang keluar dari kamarnya dengan pakaian yang nggak jauh beda dari Juna segera mengambil tempat duduk tepat di samping Yale.
“Sebenernya lu nggak diajak, sih. Cuma kasian aja udah lama gizi lu buruk gara-gara kebanyakan makan di pinggir jalan,” ledek Yale sembari meraih sendoknya.
“Lu bego yang nggak diajak.” Hanan juga turut meraih alat makannya. “BTW, hai, Ska. Udah lama nggak ketemu.”
“Iya, udah lama banget. Saking lamanya gue baru inget terakhir kita ketemu, tuh, Jumat kemaren,” balas Aska dengan sedikit nada kesal di dalamnya.
“Kalem. Tapi serius, lu kenapa nggak ada angin nggak ada hujan tiba-tiba baik banget masakin gue, Juna, sama Yale?”
“Gue sebenernya mau masakin Juna doang, sih, tapi bener kata Yale, gue jadi kasian ngeliat gizi lu buruk. Jadi, gue masakin aja sekalian.”
Hanan berangguk-angguk, bersiap bangkit dari tempat duduknya. “Oh, gitu. Ya udah, cukup tau aja gue. Gih, dah, pacaran aja lu berdua.”
“Nggak usah ngambek. Udah duduk, jangan rewel.” Juna menarik pergelangan tangan Hanan dengan sedikit tenaga, membuat Hanan kembali terduduk di atas kursinya.
“Ampun, Bang,” ujar Hanan, “tapi, nggak usah sok cool begitu bisa kali. Nggak usah jaim, dah, depan Aska.”
“Nggak, kok.” Aska menggelengkan kepalanya, membuka bungkus camilan untuk ia makan karena dirinya sudah sempat makan siang sebelum bertandang ke mari. “Kalo lagi sama gue doang dia gampang salting. Ini biar nggak diledekin aja sama lu, Nan.”
“Dih? Terus kenapa di depan gua sama Yale sok cool bener, dah?”
“Biasa.” Yale ikut buka suara setelah menyuap salmonnya. “Emang aslinya nggak mau keliatan lemah depan orang-orang.”
Juna dan Yale, keduanya sama-sama bertatap-tatapan untuk sesaat. Saling tahu kalau kalimat Yale barusan punya makna yang lebih dalam dari itu.
“Eh, ngomong-ngomong.” Hanan yang menyadarinya lantas berusaha mencairkan suasana tegang yang baru saja tercipta. “DTI udah kelar juga 'kan, ya, Eksplorasinya?”
Keempatnya kini melanjutkan sesi makan sore sembari bercerita akan kegiatan di masing-masing departemen. Hingga pada saat makanan di atas piring masing-masing telah tandas, Juna berinisiatif untuk membersihkan tumpukan piring tersebut untuk dicuci di wastafel, sembari menguping pembicaraan Aska, Hanan, dan Yale. Takut-takut kalau kedua teman sialannya itu diam-diam menjelek-jelekkan namanya di depan Aska.
“Nggak usah nguping lu!” teriak Hanan, kemudian kembali pada percakapannya dengan Aska dan Yale. Lantas, Juna hanya bisa bergeleng-geleng, bersabar diri karena harus berteman dengan sosok seperti Hanan.
Usai mencuci piring beserta alat masak lainnya, Hanan mengajak Yale untuk meninggalkan Juna dan Aska. Memberi keduanya ruang untuk berbicara. Sepenuhnya mengerti bahwa Aska nggak mungkin datang jauh ke mari hanya untuk membuatkan Juna masakan.
“Mau lanjut ngobrol di sini, atau...?” Juna bertanya dengan dengan kikuk.
“Gue nggak boleh, ya, masuk ke kamar lu?” tanya Aska, “jangan mikir aneh-aneh. Cuma panas aja kalo ngobrolnya di luar, apalagi bekas masak tadi.”
“Gue... gapapa, sih. Tapi, lu... emang gapapa berduaan sama gue di kamar?”
“Emangnya kenapa?”
Juna menghela napasnya. “Seharusnya emang nggak kenapa-kenapa. But people nowadays kadang ada aja yang nggak bisa mikir, ngejadiin kesempatan kalo lagi berduaan di kamar kosan buat jadi kegiatan yang lebih, padahal pasangannya belom tentu ngasih consent. I mean, at least I hope not with me though. But better safe than sorry, lain kali jangan gampang ngasih izin ke orang, ya, Aska?”
Dengan senyum tulusnya, Juna menepuk-nepuk puncak kepala Aska dengan pelan. Memberinya perhatian agar lebih berhati-hati lagi ke depannya. “Masih mau ke kamar gue? Kalo emang masih gapapa, nanti gue duduk di kursi.”
Aska melengkungkan bibirnya ke bawah, kedua matanya kini membulat. “Kalo masih gapapa nggak? Nggak bakal aneh-aneh sumpah. Mau ngadem doang....”
Juna jelas nggak bisa menahan kegemasannya terhadap ekspresi Aska yang terlihat memelas, jadi ia akhirnya beranjak untuk membukakan Aska pintu kamarnya.
Untuk ukuran kamar laki-laki, kamar Juna ini bisa dibilang cukup rapi. Baju-bajunya digantung dengan baik pada pintu kayu kamarnya, selimut serta bantalnya juga disusun dengan apik, serta tumpukan buku di atas meja belajarnya juga tampak ditata sesuai ukuran. Membuat siapa-siapa saja yang masuk ke dalam sini merasa nyaman. Dan jangan lupakan fakta bahwa kamar ini harumnya menenangkan. Sepertinya Juna memilih wewangian yang tepat untuk digantung pada AC kamarnya.
“Sini.” Juna menepuk-nepuk tepian ranjangnya. “Lu duduk di kasur, gue duduk di kursi.”
Alih-alih menuruti perkataan Juna, Aska justru mengikuti pergerak Juna yang sedang duduk membelakanginya. Terlihat tengah merapikan laptop beserta kabel-kabel di atasnya.
Sewaktu Juna berbalik dan menemukan Aska yang berdiri di hadapannya dan bukan duduk di tepian ranjang seperti apa yang telah ia pinta, pemuda tersebut sedikit tersentak hingga roda kursinya bergerak mundur.
“Kag-”
“Puk, puk....“
Telapak tangan Aska bertengger pada puncak kepala Juna. Menepuk-nepuknya pelan, kemudian diakhiri dengan usapan halus pada bahu kokoh lelaki tersebut. Sebelum pada akhirnya ia pun terduduk di tepian ranjang.
“Gapapa, lho, Jun buat nggak selalu keliatan kuat di depan orang-orang. Kadang, gue juga masih suka ngeluh ke temen atau bahkan bokap gue kalo gue lagi demot atau gagal sama sesuatu.”
Jemari Aska memainkan ujung selimut yang sedikit menjuntai ke bawah, kembali melanjutkan kalimatnya. “Easier said than done, I know. Tapi, gue mau lu tau itu.”
Hanya ada suara embusan angin dari AC kamar yang dinginnya menerpa permukaan kulit kedua anak Adam tersebut. Nggak ada yang berminat untuk mengeluarkan barang sepatah dua patah kata seusai Aska menjeda kalimatnya.
“Kemaren-kemaren ini, gue liat lu selalu tampil full energy di depan gue. Selalu nyapa gue, ngecek keadaan gue, dan bahkan nyempetin waktu buat beliin gue kopi,” ujar Aska, kini pandangannya berpindah pada objek yang sedang terduduk di atas kursi. “Padahal aslinya lu lagi hectic parah. Gue baru sadar lu jadi PJ di proyek angkatan lu, ditambah sama Eksplorasi DTM yang pulangnya selalu pagi-pagi banget. Dan lu nggak pernah bilang kalo lu aslinya sesibuk itu, padahal gue bisa-bisa aja ngertiin lu. I'm not going anywhere.“
Juna memberanikan diri untuk mengangkat kepalanya, menemukan kedua maniknya dengan manik milik Aska yang selalu tampak teduh baginya. Pemuda itu tampak tersenyum tulus, benar-benar serius akan pernyataan yang sempat ia nyatakan barusan.
Gugup, Juna menelan ludahnya kasar.
“Lain kali bilang aja, ya, lu lagi sibuk ngapain, hati lu lagi ngerasa apa, biar gue bisa tau. Gue pasti bakal selalu nyoba ngertiin keadaan lu, kok, Jun.”
Sebenarnya, hal baik apa yang telah Juna lakukan pada kehidupan sebelumnya? Hingga ia bisa dipertemukan dengan manusia yang kebaikannya bak malaikat di surga dan dengan kasih yang begitu tulus. Tekadnya membulat, ia akan berusaha untuk nggak menyia-nyiakan kehadirannya. Ia berjanji nggak akan membiarkan yang kali ini pergi atau yang lebih parah lagi, dirinya sendiri yang pergi terlebih dahulu, seperti pengalamannya di masa lalu.