175
Aska nggak paham mengapa dirinya lebih memilih untuk mencari Juna kala ia sedang sendiri dibanding menghubungi temannya yang lain yang sudah lebih akrab dengan dirinya.
Entah kenapa, pemuda tersebut memberikan kesan yang baik bagi diri Aska. Nggak tampak niat buruk barang seujung jari pun yang tersirat dari dalam diri Juna. Hal tersebut membuat Aska nyaman berada dalam satu ruang yang sama dengan lelaki itu, bahkan jika di dalam ruangan tersebut ada tersisa mereka berdua.
Walaupun Aska telah mempersiapkan kemungkinan terburuk, entah musibah apa itu yang membuat Juna mungkin nggak jadi mendatanginya di toko dimsum ini. Tapi nggak peduli selama apa pun itu, nyatanya Juna tetap datang.
There he is.
Pria yang Aska tunggu-tunggu kehadirannya.
Juna datang dengan napas yang terdengar sedikit menderu-deru. Ia nggak baru saja berkendara dengan kecepatan maksimum untuk menuju ke mari, bukan?
“Kok ngos-ngosan?”
“Iya... sorry. Lama, ya, nunggunya?”
“Minum dulu. Kok malah mikirin gue, sih?” Aska menyodorkan segelas air mineral dingin yang telah ia pesan.
“Ah....” Juna mengusap ujung bibirnya setelah menenggak substansi di dalam gelas tersebut. “Iya, tadi gue dari stasiun naik ojek online ke sini. Terus ternyata ada tabrakan yang bikin macet, akhirnya gue turun aja terus lari ke sini. Lu udah nunggu dari setengah enam soalnya.”
Dilihatnya arloji yang ia pakai pada pergelangan tangan kirinya. “Sekarang udah hampir setengah tujuh. “Sorry, Aska.”
“Tau gitu nggak usah gapapa lho, Jun.” Bahu Aska menurun, nggak sampai hati mendengar Juna yang jadi kerepotan sebab dirinya itu. “Kalo makan waktu banget, lain kali lagi aja kita makannya.”
“I'll always make time for you.” Juna mengusap peluh yang menghiasi pelipisnya. “Or at least, I'll always try.“
Sungguh, seorang Arjuna Prima Putra bukanlah pemuda dengan mulut yang mudah meluncurkan kalimat semanis madu. Namun, Aska selalu berkali-kali tertangkap terdiam diri, berusaha mencerna kalimat Juna yang kedengarannya sangat berarti. Belum pernah ada satu pun laki-laki yang berhasil meluluhkan hati Aska sedikit demi sedikit setelah ia susah payah menyembuhkannya dari luka yang terdahulu.
“You don't have to....“
“Tapi, gue mau.”
Keduanya saling bertukar tatap. Sebelum Juna akhirnya mencairkan suasana agar nggak terlalu sendu.
“BTW, gue udah boleh makan belom? Laper banget bolak-balik Jakarta-Depok, apalagi nyampe Jakarta Utara.”
Disodorkannya sepiring siomai babi ke depan meja Juna, sebelum dirinya turut menyumpit hakau udang di hadapannya. “Tuh, siapa yang kemaren bilang, B aja, kok, nggak jauh.“
“Gue nggak bilang jauh, tapi bikin laper iya. Nggak masalah, kok, kalo gue harus bolak-balik.” Juna menyuap siomai pemberian Aska ke dalam mulutnya.
“Lu kenapa niat banget, Jun?”
Juna mengunyah siomainya terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan yang Aska lontarkan. “Emang gue harus bersikap kayak gimana lagi kalo mau deketin orang? Bener 'kan emang kayak begini cara mainnya?”
Aska belajar satu hal malam ini.
If they want, then they would. They'll always make an effort if they want it.
“Tapi, terus kalo udah dapet, lu bakal ngurangin pace lu atau justru lu kencengin?”
Lidah Juna terasa kelu mendengar pertanyaan lanjut dari diri Aska. Ia menjilat bibirnya singkat, mulutnya sedikit ternganga. Otaknya bekerja keras, memikiran jawaban yang tepat bagi pertanyaan itu.
“Soalnya kadang ada aja orang yang udah dapet, terus udah gitu. Udah ilang rasa penasarannya, eh habis itu effort-nya ikut ilang juga.”
“Um....”
“Gapapa, lupain aja.” Aska tersenyum getir. “Come to think of it, I think it's weird to have that as our 'first' conversation. Well, not really the 'first' one, but well... we're still on our first stage, aren't we?“
“Y-yeah....“
“Oke, udah lupain aja. Sorry, sorry.“
Aska jadi merasa nggak enak hati telah membawa topik yang kurang mengenakkan untuk dibahas ketika sedang bersama pemuda di hadapannya itu. Terkadang, ia membenci bagian dari dirinya yang ini, yang suka berkata terlalu apa adanya. Hal ini bisa saja membuat lawan bicaranya menjadi nggak nyaman untuk menghabiskan waktu bersamanya.
“Udah pernah makan di Wingheng, Jun?” tanya Aska dengan usahanya mengalihkan topik pembicaraan.
“Udah, tapi gue personally lebih suka tempat dimsum lain. Ya, walaupun kalo di Jakarta emang Wingheng yang paling enak.”
“Oh, iya?” tanya Aska antusias. “Di mana emang yang lebih enak.”
“Ada tempat dimsum di Bandung. Dimsum Sembilan Ayam. Menurut gue itu enak banget, lebih-lebih dari Wingheng. Nggak ada menu babinya, sih, tapi tetep enak.”
“Yah, sayang banget adanya di Bandung. Masa gue harus jauh-jauh ke Bandung cuma buat makan dimsum.”
“Hahahah.” Juna terkekeh. “Ayo, sama gue ke Bandung.”
“Sekarang banget?”
“Ehm....” Juna mengusap tengkuknya kikuk. Bisa-bisanya dia mengajak Aska bepergian ke luar kota bahkan hanya di hari kesekiannya dekat dengan laki-laki tersebut. “Yah... maksud gue, nanti-nanti kalo ternyata kita masih deket. Ayo, jalan-jalan ke Bandung. Still too early for now, but yeah....“
Gantian, sekarang Aska yang terkekeh pelan. “Kapan, tuh, kira-kira?”
“Libur semester ganjil? Genap?” tebak Juna, “I don't know, we'll see.“
“Menurut lu kita sampe bulan segitu makin deket atau malah udah jauh lagi?”
“Nggak pernah ada bayangan gue mau jauh-jauhan sama lu, Aska. Ya, kalo gue maunya makin deket dong.” Juna menjawabnya dengan jelas, kemudian kembali menenggak air minumnya. “Tinggal dari lu, kira-kira mau apa nggak lanjut sama gue.”
“Oke, oke.”
“Jadi gimana. Mau nggak, Aska?” goda Juna.
”'Kan gue bilang liat besok-besok.”
“Tapi, buat sekarang....” Juna meletakkan sumpitnya di atas piring kecil di hadapannya. Kedua punggung tangannya ia pakai untuk menyangga dagunya dan kini kedua matanya sedang lekat-lekat menatap lelaki dambaannya. “Kalo gue chat atau ajak jalan lu udah ngasih lampu ijo 'kan buat gue?”
Aska tersipu, memanglingkan wajahnya ke arah samping agar nggak harus bertatap-tatapan dengan pria di hadapannya itu.
Keduanya pun tergelak. Aska menutup sebagian wajahnya dengan telapak tangan kanannya.
“Bisa-bisanya lu nanya gitu langsung ke gue, mana segala ngeliat ke arah gue lagi.”
“Aduh, hahahah....” Juna tertawa renyah, turut menutup wajahnya yang kini kemerahan. “Sebenernya gue juga deg-degan, sih, nanyanya.”
“Iya, tuh, telinga lu sampe merah begitu,” tunjuk Aska.
“Yah, emang nggak bisa diajak kerja sama, nih, telinga gue.” Juna mengusap-usap telinganya yang kini menghangat itu.
Jatuh cinta nggak pernah terasa semenyenangkan ini sebelumnya.