220

Belum cukup seminggu ke belakang ini Juna telah ditempa beberapa kesibukan, nyatanya hari Sabtu ini menjadi puncak dari hari-hari lain. Ia nggak menyangka jika kesalahan yang ia perbuat sebagai penanggung jawab bidang perlengkapan pada acara angkatannya terlampau begitu fatal hingga ia harus menerima cecaran dari beberapa kakak tingkatnya yang sudah jauh lebih ahli di bidang ini.

Juna mengusap wajahnya kasar, kedua matanya terpejam berusaha menenangkan pikirannya yang berkecamuk.

Nggak bisa, batinnya. Juna butuh sesuatu untuk membasuh kekecewaannya. Kaki jenjangnya pun lantas melangkah masuk ke toilet guna membasuh wajahnya dengan air mengalir.

Helaan napas berat terdengar memenuhi ruangan sempit itu. Juna ingin sekali meluapkan amarahnya yang sesaat lagi akan tumpah sebab telah melebihi batas wajarnya. Ia telah dipercaya oleh banyak orang untuk mengemban amanat ini, lantas mengapa ia masih nggak bisa mempertanggungjawabkan hal tersebut di hadapan orang-orang?

Untuk beberapa saat, Juna terdiam. Kemudian kedua tungkainya memutuskan untuk melangkah ke luar, hendak pulang ke tempat ia tinggal untuk mengistirahatkan tubuh serta pikirannya.

“Jun....”

There he is standing alone, waiting for him to come outside.

Aska telah berdiri di tempatnya untuk beberapa saat, menunggu lelaki yang tengah tampak berantakan itu untuk dapat dia sambangi. Dirinya telah melalui perdebatan hebat dengan sel-sel pada otaknya. Haruskah ia biarkan Juna sendiri? Atau justru seperti sekarang, dengan keberanian penuh Aska coba hampiri lelaki itu.

“Eh, Aska?” Juna sempat malfungsi sesaat, kemudian buru-buru mengeringkan bulir-bulir air yang mengalir pada pelipis wajahnya dengan lengan kemeja flanel yang ia kenakan. “Kok ke sini?” tanya Juna, “ada perlu sesuatu?”

You ok- ah, tunggu. Of course you're not okay.” Aska berujar dengan tatapan yang sendu.

Sementara Juna langsung tertawa seadanya, berusaha tampil baik di depan lelaki impiannya itu. “Enggak, gue gapap-”

Can I walk you home?

Juna mengedip-ngedipkan kedua matanya kebingungan. Nggak tahu harus merespon Aska dengan jawaban seperti apa.

“Udah jam segini,” ujar Juna pada akhirnya. “Kosan gue juga jauh.”

“Iya, tau,” balas Aska tenang, “can I still walk you home?

Juna termenung.

Please?” Aska mencoba untuk memohon. “I wanna be there for you too.

Lelaki April itu ingin menolaknya, namun kepalanya justru memerintahkan saraf pada tulang di belakang kepalanya untuk berangguk.

“Mau?”

Pertahanannya runtuh.

“Mau....”

Lantas, Aska melangkah maju, menghampiri lelaki yang telah berusaha mengisi hari-harinya. Dan kali ini, tiba gilirannya untuk mencoba menemani Juna di hari beratnya. Aska nggak ingin hanya dirinya yang diuntungkan di sini.

Want some hugs?” tawar Aska dengan keberanian penuh. Walaupun dirinya takut, takut kalau Juna akan menganggapnya berlebihan sebab keduanya baru saja kenal dekat dalam beberapa minggu ke belakang.

“Kita masih di FT-”

Want some hugs?” ulang Aska dengan sedikit penekanan di dalamnya, berusaha bertanya tanpa nada ragu yang tersirat.

Persetan dengan orang-orang yang kemungkinan masih bisa melihat keduanya berpelukan di area fakultas meskipun tampaknya sudah nggak ada seorang pun yang tersisa di sekitar mereka. Juna sedang ingin sekali dipeluk.

“Mau....” Juna berkata dengan lemah. “Mau juga.”

Aska menelusupkan kedua lengannya di celah antara lengan dan tubuh Juna, membawanya ke sebuah pelukan hangat. Telapak tangannya nggak berhenti mengusap punggung seluas samudera milik lelaki dalam rengkuhannya itu.

“Gapapa. Ada gue di sini.”

Sebulir air mata jatuh melesat di atas pipi halus milik Juna. Alih-alih berteriak atau melempar barang, dirinya justru akan menangis ketika tengah berada di puncak amarahnya.

Juna masih merasa kecewa akan dirinya sendiri. Ia nggak terbiasa gagal, maka ketika pada akhirnya ia harus melewati kegagalan, dirinya akan merasa kelewat sedih, kecewa akan kinerja diri sendiri. Padahal dalam hidup, nggak selamanya kita harus berhasil, bukan?

“Makasih....” Juna berujar dengan suaranya yang teredam pada perpotongan leher Aska.

It's okay, Big Baby.

Terenyuh, Juna kembali meneteskan air matanya. Sanggupkah ia untuk membalas semua yang telah Aska kerahkan padanya pagi buta ini agar dapat membuatnya jauh lebih tenang?

Aska hanya dapat berlanjut merengkuh Juna, sepenuhnya mengerti alasan di balik pria itu yang seharian ini menghilang nggak ada kabar. Nggak sampai hati melihat Juna yang senantiasa terlihat ceria dan full energy di hadapannya meskipun tengah melalui banyak hal berat di minggu ini.

Dan sementara itu, jauh di balik pilar sana terdapat seorang lelaki yang tengah memperhatikan keduanya. Mulutnya ternganga, sedikit nggak percaya dengan apa yang baru saja ia saksikan.

Oh... so my baby is finally seeing someone new, batinnya dengan senyum yang sedikit tersungging sebelum meninggalkan Juna dan Aska, memberi keduanya ruang untuk menghabiskan waktu bersama sebelum Aska mengantar Juna pulang.