hyucklavender

Senyum Juna kian mengembang seiring Aska melangkah ke arahnya. Rasa kecewa akan sosok kekasihnya itu seolah menguap begitu saja di tengah teriknya panas matahari kota. Seenggaknya, pemuda itu sudah mengajukan kata maafnya. Juna juga rasanya paham kalau kondisi Aska memang sedang nggak baik-baik saja. Usai berpamitan pada beberapa teman Juna, keduanya berjalan beriringan menuju tempat mobil Juna terpakir.

“Jalan sekarang, ya?”

“Iya.”

Mereka tampak menikmati perjalanan itu dalam diam. Juna yang nggak ingin salah bicara, pun Aska yang masih sedikit merasa canggung sebab kesalahannya kemarin.

Setelah dipikir-pikir lagi, sepertinya perkataan kakak sepupu Aska ada benarnya juga. Tampaknya memang kurang etis kalau kita mengusir tamu yang sudah sukarela menjenguk. Membayangkan usaha dan waktu yang Juna keluarkan, memang sudah seharusnya Aska menerima Juna untuk waktu yang cukup lama.

Aska hanya tertunduk memperhatikan kuku jarinya yang ia letakan di atas kedua pahanya yang terbalut jeans biru tua. Juna sesekali mencuri padang ke arah laki-laki yang lebih muda itu. Memperhatikan sang kasih yang tampak diam hari ini.

“Aska,” panggil Juna dengan fokus yang masih tertuju pada jalanan di luar jendela.

“Iya, Jun?”

You seem quiet today. Is everything okay?” Juna bertanya. “I mean, nggak ada kabar buruk dari papa 'kan? Atau kabar buruk dari kamu gitu....”

Laki-laki yang ditanya sempat termenung untuk sesaat sebelum menawarkan jawaban. “Uhm, nggak kok. Iya, nggak ada apa-apa.”

Well, okay.

Perjalanan itu berlanjut dengan keduanya yang masih sama-sama diam. Mungkin hanya sesekali bertanya mengenai hal-hal yang sederhana dan selebihnya hanya diisi dengan alunan musik yang keluar dari pengeras suara pada sedan putih itu.

Sampai di rumah sakit tujuan, Juna terlebih dahulu turun untuk membukakan Aska pintu. Mereka sama-sama berjalan dengan Juna yang berada di sisi kanan, menghindari Aska dari kendaraan roda dua yang kemungkinan dapat menyerempet lengan laki-laki kesayangannya itu. Nggak lupa, Juna juga menjinjing titipan sang ayah pada tangan kanannya.

Ayah Aska kini sudah terlihat lebih baik dari hari kemarin sebab pria tersebut sudah dapat tersenyum begitu beliau mendapati kehadiran Aska. Senyum beliau nggak sempurna, tapi Aska akan selalu menantikan kehadirannya. Laki-laki itu berjalan cepat menghampiri ranjang sang ayah, memberinya pelukan sebelum ia sempat menaruh tas bawaannya.

Juna juga nggak lupa buat ikut menyapa teman baik ayahnya itu. Menyalaminya dengan hati-hati sebelum memberikan titipan sang ayah.

“Halo, Om Saka,” laki-laki April itu tersenyum sopan, sebelum ibu dari Mikha, kakak sepupu Aska, keluar dari toilet dan menemukan keponakannya yang sudah hadir di ruangan ini.

“Eh, Aska.” Wanita itu menerima salam tangan Aska, sebelum pandangnya beralih pada sosok Juna. “Ini... Juan, ya? Yang sempat datang kemarin?”

“Iya, Juna, Tante, hehehe.”

“Oh....” Wanita bernama Sarah itu menepuk jidatnya sendiri. “Iya, iya. Maaf, Tante lupa. Adik tingkatnya Mikha 'kan, ya?”

“Iya, Tante, bener.”

“Oke, oke. Duduk, Nak, ini ada kursi kok.”

“Oh iya, makasih, Tante. Sama ini, ada titipan dari papi, temen golfnya om Saka.”

“Wah, makasih ya, Juna.”

Juna lantas terduduk di atas kursi yang memang tersedia di dalam unit perawatan itu. Berbincang satu dua hal dengan Aska dan juga Sarah.

“Mikha katanya mau datang ke mari. Ke mana anaknya, ya, Aska?” tanya wanita itu sembari memotong buah apel di atas piring putih rumah sakit.

“Iya, Tan, tadinya Aska mau bareng Kak Mik ke sini, tapi jadinya sama Juna aja, hehe. Nanti mungkin nyusul, Tan, habis ketemu sama temen-temennya.”

“Memang anak itu sukanya maiiin terus.”

“Hehehe, namanya juga anak kuliahan, Tan.”

Ketiganya melanjutkan obrolan hingga matahari tampak mulai tenggelam di ujung barat. Sarah sempat membeli hidangan malam untuk disantap Juna dan juga Aska sebelum akhirnya Sarah meminta Aska untuk pulang dan kembali di esok hari. Lagipula, kondisi ayah Aska memang tampak kian membaik, nggak ada hal yang harus Aska khawatirkan.

“Nak Juna, Tante titip Aska, ya,” ujar wanita pada pertengahan lima puluhnya itu. Telapaknya ikut beralih mengusap lengan Juna. “Hati-hati di jalan. Nanti Tante kabari terus kalau ada apa-apa.”

“Oke, Tan, Aska pulang, ya. Titip papa juga.” Aska menyalami Sarah sebelum beralih pada sang ayah. Memeluk beliau dengan berhati-hati sebelum dirinya pamit pulang.

Lagi-lagi, seluruh perjalanan malam itu diisi dengan hening yang nyaring. Juna nggak ingin memaksa Aska untuk bercerita banyak sebab mungkin laki-laki itu memang masih butuh waktu meski kondisi ayahnya sudah mulai membaik.

Pemuda itu sempat membelokkan kemudi ke arah drive thru Starbucks. Sempat menawarkan Aska minum, namun kekasihnya itu justru menolak. Lantas ia hanya berakhir memesan satu gelas minuman dan nggak lupa camilan manis.

“Bener kamu nggak mau?”

“Nggak, Jun, thank you.”

“Oke, oke.” Juna berangguk sembari menunggu antrian mobil di depan.

Laki-laki April itu betul-betul mengantar Aska sampai ke depan pagar rumahnya. Ia bahkan ikut turun dari mobil untuk memastikan Aska benar-benar masuk ke dalam rumah dan mengunci pagar beserta pintu rumahnya.

Namun sebelum itu, Juna sempat kembali ke mobil untuk mengeluarkan sesuatu. Ternyata, minuman beserta camilan yang ia pesan melalui layanan drive thru tadi sebetulnya ia tujukan untuk Aska. Tapi kali ini, sudah ada surat yang ia selipkan di dalamnya.

“Diminum, ya, buat ngangetin badan.” Begitu ujarnya sembari menyerahkan bungkus kertas yang berisi pesanannya tadi.

“Eh? Kirain kamu pesen buat diri kamu sendiri tadi?”

Juna hanya tersenyum, mengusap lembut tengkuk Aska sebelum memintanya masuk ke dalam rumah. “Masuk gih istirahat. Kalo ada apa-apa, call aku aja nanti aku bantu sebisa mungkin.”

“Oke....” Aska tersenyum tipis. “Makasih ya, A' Ajun. You're the best, trully.

Senyum Juna tampak melebar hingga kedua matanya yang cantik melengkung membentuk bulan sabit. “Kamu tau 'kan aku sayang sama kamu?”

“Selalu,” jawab Aska pelan, namun terdengar pasti. “Aku selalu tau itu.”

Glad to hear that.

“Aku juga, Jun,” sambung Aska, “aku juga sayang sama kamu. Semoga kamu selalu tau itu.”

Senyum Juna kini tampak jauh lebih teduh, telapaknya kembali mengusap pucuk kepala Aska sebelum laki-laki itu masuk ke dalam rumahnya. Mengistirahatkan badan di atas sofa sebelum ia teringat akan secarik kertas yang terselip di antara minuman dan camilan yang diberikan oleh kekasihnya itu.

Mata Aska lantas kembali terbuka, tangannya terulur untuk mengeluarkan kertas putih yang ia cari-cari.

Aska, aku udah niat mau nulis ini dari tadi siang, semoga bisa beneran sampe ke kamu malem ini ya.

Aku tau pasti rasanya gaenak ada di posisi di mana orang tua kita yang satu-satunya jatuh sakit dan kita gabisa berbuat apa-apa. I'm so sorry that you have to gone through it all. Aku bantu doa dari sini ya? Semoga papa bisa cepet sembuh dan kamu juga baik-baik aja.

Aku tau pasti rasanya susah dan mungkin kamu butuh waktu sendiri, tapi aku harap kamu ga terus-terusan ada di kesendirian itu. Ada lho cowo yang namanya Juna, yang mau nemenin kamu kapan dan di mana pun itu. Mau kamu lagi seneng atau lagi sedih, aku selalu mau nemenin kamu.

Gapapa Aska, biarin aku temenin kamu. Mau kamu diem-diem doang atau kamu bawel, aku masih dan bakal terus mau nemenin kamu. Karena, yah... isn't that the reason for me to exist for?

Tapi, gapapa juga kalo kamu masih mau sendiri. Just don't push me away terus-terusan, let me be there for you kayak gimana kamu selalu ada buat aku kemaren-kemaren ini.

Chin up, Aska. You still look pretty sih even when you're sad, but truth to be told you look even heavenly beautiful when you're in your happiest state.

Aku sayang kamu, hope you'll always know that ya, Cantik akuuuu :)

Juna.

Nggak terlihat riang seperti biasanya, laki-laki yang Juna tangkap figurnya tampak terduduk lesu tepat di samping ranjang rumah sakit. Sepertinya, ayah Aska sudah diizinkan untuk dipindah ke bangsal perawatan. Pria pada pertengahan lima puluhnya itu tampak telah sadarkan diri, namun masih tetap dalam kondisi yang lemah.

Juna menunggu tepat di balik pintu ruangan, mengintip kondisi di dalam melalui celah jendela. Kepalanya lantas tertunduk membayangkan betapa terpuruknya Aska. Sang ayah yang notabenenya merupakan satu-satunya keluarga yang Aska miliki, kini tampak terbaring nggak berdaya di dalam sana. Juna sepenuhnya paham bahwa kejadian ini pasti nggak akan mudah untuk sang kasih lalui.

Masuk lebih dahulu ke dalam, Mikha terlihat tengah mengelus pundak Aska, memberi kabar bahwa Juna telah datang menunggunya di luar. Laki-laki Agustus itu pun lantas menolehkan kepalanya, tersenyum lemah begitu pandangnya bertemu dengan sosok kekasihnya.

Aska tampak mengelus punggung tangan sang ayah yang masih tampak lemah, berizin untuk meninggalkan beliau sesaat. Kakinya berlangkah pelan, menggeser pintu ruangan untuk menemui Juna.

Keduanya tampak larut dalam diam, sama-sama terduduk pada bangku panjang yang disediakan pihak rumah sakit. Juna bukan pribadi yang tutur katanya menenangkan, sedikit banyak berbeda dengan sang kasih yang memang pandai berucap lembut dan penuh kasih.

Maka pada detik berikutnya, yang Juna dapat lakukan hanya menggenggam punggung tangan sang kekasih yang terasa lebih dingin dari biasanya. Sangat amat kontras dengan miliknya yang hangat.

Aska nggak lantas membalas genggaman tersebut. Dirinya masih tenggelam dalam lautan pikiran buruknya. Sejauh yang Aska ingat, sang ayah selalu menerapkan pola hidup yang sehat, maka penyakit stroke yang kini menyerang beliau sejatinya berada pada urutan terakhir hal yang ia harapkan akan terjadi.

Mata laki-laki itu lantas terpejam, dadanya mengembang seiring pasokan udara yang ia coba hirup masuk memenuhi rongga paru-parunya.

Thank you ya, Jun, udah disempetin dateng.” Tubuh Aska kini berputar sedikit, pandangnya berarah tepat pada laki-laki di sampingnya. “Having a nice day at campus?

Di tengah pikiran buruk yang berkecamuk hebat di dalam dirinya, Aska masih sempat-sempatnya bertanya akan kondisi Juna. Entah terbuat dari apa hati laki-laki yang hadirnya selalu tulus itu.

Class went just well, but now I'm so worried about you.” Juna mengusap punggung tangan Aska menggunakan ibu jarinya. “Gimana kata dokter?”

“Tadi aku nggak gitu merhatiin kata-kata dokternya. Lebih banyak tante Sarah yang denger. Intinya, papa masih harus dirawat buat beberapa hari ke depan biar dokternya bisa observe lebih lanjut. Nothing's too serious, cuma mungkin nanti perlu diterapi ke depannya karena fungsi otak kiri papa bener-bener menurun.”

Hati Juna seperti ikut diremuk selama Aska mengeluarkan rentetan kata di atas. Ia coba tempatkan diri pada posisi Aska, rasanya pasti nggak enak betul ketika kita tahu satu-satunya orang tua yang kita miliki berada pada kondisi yang kurang mengenakkan.

I'm so sorry for that.” Telapak Juna kini beralih untuk mengelus lembut permukaan pipi Aska. “Rasanya nggak enak banget, ya, pasti?”

Aska mengangguk lemah, tanda ia setuju dengan kalimat sang kasih. Kepalanya kembali tertunduk. Membayangkan sang ayah yang pasti belum bisa beraktivitas seperti sedia kala selama beberapa saat ke depan membuat hatinya seolah teriris. Ia mungkin nggak akan bisa mengajak sang ayah bepergian terlalu jauh untuk beberapa waktu. Padahal, dirinya amat menyukai waktu di mana ia dan sang ayah dapat menghabiskan waktu bersama, berdua saja menikmati atmosfer yang ada.

Tell me if there's something I can help, okay?

Atas itu, Aska kembali berangguk lemah.

Thank you, Juna,” ujarnya sembari menangkup punggung tangan laki-laki yang masih setia berada pada permukaan pipinya. “Kamu emang nggak ada kegiatan apa-apa habis ini?”

“Enggak, kok.”

“Oh, ya udah.” Aska sempat menjeda kalimatnya. “BTW, ini udah malem. Kamu kalo mau pulang, pulang aja. Besok 'kan masih harus kuliah, mana kelasnya pagi juga.”

Entah kenapa, kalimat Aska yang tadi justru membuat hati Juna sedikit terasa sakit. Ia sedang ingin ada untuk Aska, tapi mengapa kekasihnya itu justru tampak seperti nggak ingin untuk ia temani. Juna hanya sedang berusaha menjadi pasangan yang baik untuk laki-laki itu.

“Aku mau nemenin kamu.”

“Udah malem, Jun.”

“Iya, tapi aku-”

“Jun, aku gapapa kok kamu tinggalin. Toh, di sini juga ada tante sama kak Mikha.” Aska berujar seolah ia memang benar-benar nggak membutuhkan kehadiran Juna.

Laki-laki yang baru Aska minta untuk pulang itu hanya terdiam untuk sesaat, mengontrol pikirannya agar jangan sampai kalimatnya justru melukai sang kasih yang emosinya tampak sedikit nggak stabil.

Okay, then.” Juna tersenyum getir, berusaha untuk terlihat baik-baik saja meskipun setengah dirinya merasa cukup kecewa. Telapaknya masih ia gunakan untuk membelai pelan bagian belakang kepala Aska.

Juna lantas bangkit dari duduknya, menyerahkan kantong plastik transparan yang berisi glazzed donut kesukaan sang kasih. “In case you need some sweets, nemenin papanya sambil makan ini aja. Aku pergi dulu, kalo ada apa-apa remember that I'm one call away, okay?

Belum sempat Aska mengucapkan rasa terima kasihnya, Juna sudah terlebih dulu memutarbalikkan badan untuk meninggalkan Aska. Laki-laki Agustus itu bahkan nggak tergerak untuk mengantar Juna sampai ke depan rumah sakit.

Aska sempat terdiam untuk sesaat, berpikir apakah ada tutur kalimat atau tingkah perilakunya yang kurang mengenakkan. Namun, isi kepalanya itu sudah lebih dulu dipenuhi oleh keadaan sang ayah, maka yang selanjutnya ia lakukan hanya berdiri dari duduknya dan kembali berjalan masuk ke dalam ruang bangsal tempat sang ayah dirawat.

“Udah selesai ketemu Junanya?” Mikha bertanya tepat pada saat Aska kembali masuk ke dalam ruangan, mengalihkan pandangannya dari layar laptop yang menampilkan dokumen pekerjaannya.

“Udah.”

Kedua alis Mikha tampak bertaut kebingungan. “Lho? Cepet banget ngobrolnya. Emang dia mau buru-buru pulang?”

“Nggak kok, Kak. I told him to just go home since he needed some rest. Besok kelasnya pagi, takut terlambat atau apa gitu,” ujar Aska sembari kembali mengambil tempat duduk di samping ranjang.

Usai mendengar jawaban dari sang adik sepupu, yang Mikha bisa lakukan memijit tulang hidungnya frustrasi. Padahal, sebetulnya ia tahu persis kalau Juna pasti masih ingin berada lebih lama di sini demi bisa menemani adik sepupunya itu.

Sedang laki-laki April yang telah tiba pada lantai dasar rumah sakit tampak berjalan lesu. Kepalanya ikut penuh dengan pikiran-pikiran yang kurang mengenakkan. Pada satu sisi, ia ingin menjaga perkataan serta perbuatannya agar nggak melukai hati sang kasih yang sudah tampak kacau itu, tapi di sisi lain dirinya masih merasa kecewa akan sikap Aska yang seolah-olah nggak butuh akan hadir Juna pada masa sulitnya.

Tampaknya langit seolah merestui rasa kecewa Juna, sebab hujan terlihat tengah mengguyur sebagian kota.

Juna pulang dengan rasa kecewa, menatap lara bulir air hujan yang jatuh pada jendela kereta.

Song recommendation: click here

Full credit goes to @jenosunda on Twitter for the ending scene. Thank you so much, dear!


There he is.

Terduduk di belakang kemudi SUV abu-abu tua, menunggu sang kasih masuk ke dalam mobilnya untuk ia bawa pergi menginap di salah satu hotel yang terletak di bilangan Setiabudi, Jakarta Selatan. Suatu penginapan yang sering digadang-gadang sebagai hidden gem hingga kini sudah nggak bisa disebut hidden gem lagi sebab banyaknya orang yang sudah mulai mengetahui keberadaannya.

Keduanya hanya ingin beristirahat saja. Nggak lebih dan nggak juga kurang. Kebetulan malam ini mereka lengang, maka Aska berinisiatif untuk memesan sebuah kamar sejak satu minggu yang lalu. Sekaligus ingin membuat kekasihnya itu tidur dengan lebih nyenyak lantaran akhir-akhir ini Juna kerap mengadu padanya kalau ia suka merasa sulit tidur.

“Haaaiii-“

“Ayo, masuk, masuk. Keburu diklaksonin akunya.”

“Oke, oke. Siap.”

Juna melompat masuk ke dalam mobil. Menyapa Aska dengan mengusap tengkuknya sebelum ia mengenakan sabuk pengamannya.

“Itu tasnya taro belakang aja.”

“Oh, iya.” Juna lantas menyimpan bawaannya pada jok belakang, menuruti perintah Aska. “Aku bawain kamu bekel tau.”

“Apa mana? Liat, dong.”

“Kepo, deh, kamu. Nanti aja kita makan di hotel.”

“Yeee.”

Usai menaruh tas ranselnya di jok belakang, Juna meminta izin Aska untuk mengubah posisi sandaran pada jok mobilnya agar bisa ia pakai tidur. Aska hanya terkekeh, berkata bahwa Juna sebetulnya nggak perlu izin segala.

“Ahahaha, ya udah bobo, ya, pacar akuuu. Kasian banget, sih, dari kemaren lemes kayak cakwe pinggir jalan.”

“Hahaha, udahhh jangan bikin ketawa aku mau bobo.”

Hari ini Aska mengemudi dengan hanya ditemanin alunan lagu yang keluar dari pengeras suara mobil karena Juna tampak langsung pulas di beberapa detik kemudian setelah dirinya berkata ingin beristirahat.

Nggak apa-apa. Junanya itu memang tampak kurang tidur akhir-akhir ini.

Sampai di parkiran penginapan, Aska mengambil seluruh barang bawaan yang terletak di jok belakang sebelum membangunkan Juna. Niatnya hari ini, ia ingin menjadikan Juna ‘raja’ untuk semalam, tapi tetap saja yang namanya Juna itu hampir nggak pernah membiarkan Aska membawa barangnya sendiri.

Hingga keduanya tiba di dalam kamar yang Aska pesan, Juna masih membawa seluruh barang bawaan mereka dan kemudian menaruhnya di atas meja TV yang tersedia sebelum ia melempar tubuhnya di atas kasur.

Aska tersenyum tipis, menghampiri Juna untuk mengusak pelan rambutnya.

“Aku keramasin, ya? Nanti habis itu kamu lanjut mandi sendiri, baru aku pijetin bahunya.”

Juna sontak tersenyum semangat, berjalan terlebih dahulu untuk masuk ke dalam kamar mandi selagi Aska membongkar tasnya guna mencari peralatan mandi.

Masuk ke dalam kamar mandi, Aska mendapati Juna yang sedang menonton livestream pertandingan Valorant. “Ya ampun, udah dulu nontonnya.”

“Hehehe, habis seru, nih, liat Hanan main. Semoga nanti dia maju jadi kontingen sampe ke TC, deh.” Juna tercengir sembari mengunci layar ponselnya. “Ini aku buka baju, boleh?”

“Iya, boleh.”

Aska harus menelan ludahnya gugup begitu Juna menanggalkan pakaian yang melekat pada tubuhnya hingga tinggal menyisakan celana selutut. Laki-laki itu tampak mengagumi tubuh atletis yang dimiliki sang kekasih walau tubuhnya sendiri juga sebetulnya nggak kalah atletis dari tubuh Juna sebab sang kasih kerap mengajaknya berolahraga di gym belakangan ini.

“Duduk di sini.”

“Oke.”

“Aku mulai basahin rambutnya, ya?”

“Oke, cantik.”

Aska terkekeh mendengar panggilan yang Juna beri untuknya.

Ada satu pertanyaan yang masih mengganjal hati Aska. Sudah sejauh ini mengenal Juna, rupanya Aska masih belum tahu-menahu perihal ukiran tinta permanen pada tulang selangka Juna yang bertuliskan MCMLXVII. Laki-laki kelahiran April itu tampak seribu kali lebih menawan dengan tato sederhana yang terlukis sempurna pada tubuh atletisnya.

Nggak ingin mengganggu Juna dengan satu pertanyaan pun, Aska memilih untuk berdiam diri selagi jemarinya bergerak untuk membersihkan kulit kepala Juna. Sesekali memberi tekanan yang cukup untuk memijat kulit kepala yang rambutnya panjang itu.

Juna telah meminta izin Aska untuk memanjangkan rambutnya dan memang Aska pada dasarnya menyukai laki-laki yang berambut panjang.

“Enak.”

“Oh, ya?”

“Iya. Kamu jangan-jangan pernah sekolah jadi terapis.”

“Mana ada. Ngaco aja kamu.”

“Ahahaha.”

Kelopak mata Juna dua-duanya terpejam, menikmati pijatan yang Aska beri pada kulit kepalanya. Mungkin dulu dirinya memang benar pejuang kemerdekaan sebab lihat betapa beruntungnya Juna; memiliki kekasih yang apa saja serba bisa.

Usai membasuh kulit kepala Juna hingga bersih dari sisa-sisa shampoo, Aska keluar dari dalam kamar mandi untuk membiarkan Juna membersihkan tubuhnya, sementara ia memesan makanan untuk keduanya santap malam ini.

Sebelum itu, ia sempat memeriksa bekal apa yang Juna bawa untuk keduanya dan ternyata kekasihnya itu memasak fuyunghai. Aska dibuat terkekeh sebab usaha Juna yang terbilang besar untuk memasak makanan tersebut sebab siapa yang nggak tahu kalau laki-laki itu pada dasarnya kurang menyukai kegiatan masak-memasak.

“ASKA.”

“APA, KENAPA?”

Panggilan dari Juna itu mengagetkan Aska ketika dirinya tengah menyusun lauk pauk yang ia pesan di atas meja.

“Aku lupa bawa baju tidur....”

Aska melemaskan bahunya. Ia pikir Juna sedang membicarakan suatu hal yang genting, ternyata laki-laki itu hanya lupa membawa baju tidur.

“Lupa satu setel?”

“Enggak, sih. Lupa bawa kaosnya aja.”

“Ya udah, pake bathrobe-nya aja. Sini kamu makan dulu, nanti keburu dingin makanannya.”

Mata Juna berbinar melihat lauk pauk yang tersaji di atas meja. Deretan chinese food yang ia sukai. Kekasihnya itu memang sudah paham betul akan selera makannya.

“Maaf, ya, tadi aku buka bekel kamu apa biar makan malem kita nyambung. Ternyata kamu bikin fuyunghai, jadi ya udah aku pesen chinese food.

“Ahahaha pantesan bisa cocok banget sama bekel aku.”

Aska mencicit, “Maaf....”

“Gapapa, dong. Udah nyoba fuyunghai buatan aku?”

“Belom. Maunya makan bareng.”

“Aaa....” Juna memotong masakannya yang terbuat dari telur dan sayur mayur itu, menyuapi Aska setelah dia celupkan pada saos asam manisnya. “Buka mulutnya.”

Aska melahap suapan yang Juna berikan. Memberi lidahnya waktu untuk menikmati fuyunghai masakan Juna.

“Enak, Jun. Pinter masak, ya, kamu sekarang.”

“‘Kan kamu yang ngajarin.”

Keduanya tergelak, kembali menikmati santapan malam yang sudah Aska pesan. Sesekali Aska akan menaruh potongan ayam kungpao di atas sendok nasi Juna atau juga sebaliknya. Lantas mereka pun akan tertawa ketika keduanya sama-sama menaruh potongan lauk pada piring satu sama lain.

Makanannya sudah tandas. Juna dan Aska, keduanya sama-sama membereskan bungkus makanan yang tersisa di atas meja sebelum mereka kembali masuk ke dalam kamar mandi. Sama-sama menyikat gigi sebelum Juna mengistirahatkan badannya selagi Aska membersihkan tubuhnya yang sudah seharian beraktivitas.

Belum cukup dengan mengeramasi Juna, kini Aska sudah terduduk di belakang Juna sembari mengusap massage oil pada leher dan pundak Juna setelah ia selesai dengan kegiatan mandinya. Telapak Aska lagi-lagi bergerak untuk memberi tekanan di atas permukan kulit Juna, membuat Juna memejamkan kedua kelopak matanya menikmati pijatan yang Aska beri.

“Aska.”

“Kenapa, Jun?”

“Kalo habis ini aku tidur gapake baju gapapa, nggak? Panas soalnya kalo pake bathrobe.”

“Ter-“

“Tapi, kalo kamu keganggu bilang aja. Aku gapapa-“

“Terserah, Junaaa. Gapapa, kok, lagian nggak enak juga kalo badannya habis kena oil terus dipakein bathrobe.

Juna menyimpulkan senyumnya selagi matanya masih terpejam. “Hehehe, oke. Nanti kalo kamu nggak nyaman, bilang aja, ya?”

“Iya, Ganteng.”

Terkekeh, Juna lantas kembali terdiam untuk menikmati pijatan Aska. Memang hal inilah yang sangat ia butuhkan lantaran badannya sudah lama terasa seperti remuk di sana dan di sini.

Kegiatan tersebut menjadi kegiatan terakhir yang keduanya lakukan malam ini sebelum Aska pergi untuk mencuci tangan, sedang Juna sudah terlebih dahulu membalut tubuhnya dengan selimut tebal hotel.

Tapi, oh! Ternyata Juna masih belum menggunakan skincare-nya. Jadi, Aska pun berdiri untuk mencari skincare yang Juna bawa pada tasnya untuk ia pakaikan pada permukaan kulit wajah Juna. Sesekali Aska tersenyum, mengagumi fitur wajah Juna yang terpahat sempurna. Ingin rasanya Aska mengecup tiap bagian dari wajah tampan kekasihnya itu.

Thank you, Aska.”

“Sama-sama, Ajun.”

Aska bangkit dari kasur untuk menyimpan skincare Juna di atas meja sebelum dirinya kembali. Ikut mengistirahatkan tubuhnya dengan lengan kanan Juna sebagai bantalan.

“Ini gapapa lengan kamu aku tidurin? Nanti kesemutan, lho.”

“Gapapa. Aku mau deket-deket kamu.”

“Yeee.”

Juna ikut terkekeh sebelum kembali memejamkan mata, sementara Aska masih belum bisa tidur. Kelopak matanya terbuka sempurna, memandang lekat-lekat tato yang masih setia menjadi pusat perhatiannya.

Impulsif, telunjuk Aska bergerak untuk menyusuri rangkaian huruf yang Aska percayai sebagai suatu tahun lahir itu.

Sorry.” Sang kasih tiba-tiba buka suara dengan kedua matanya yang masih terpejam. “Haven’t told you about it yet.

“Ada artinya?” tanya Aska polos.

“1967, tahun lahir mami. Got in on my 18th birthday, simply because I wanna bring my mom everywhere I go. Believing that she will always have her eyes on me.

Aska nggak mengeluarkan sepatah kata pun. Ia hanya menyimpulkan senyumnya sebelum lagi-lagi impulsif bergerak maju, memberi sebuah kecupan ringan tepat di atas ukiran tinta hitam tersebut.

Juna jadi terbangun, memandang sang kasih dengan senyum yang mengembang sempurna. Ibu jarinya bergerak naik untuk mengusap ujung bibir sang kasih.

I once heard this phrase where it says, ‘The universe must've loved you so dearly that it placed all the stars in the corners of your smile’ and I finally see it in you.” Juna berucap dengan volume yang rendah, membuat suaranya jadi berkali lipat lebih berat. “You are loved. So, so loved, Aska.”

Aska hanya terkekeh selagi Juna membawanya masuk ke dalam sebuah pelukan. Telapak Juna bergerak untuk mengusap rambut tebal sang kasih, sementara Aska ikut mengusap punggung bidang Juna.

“Juna.” Aska berujar dengan suaranya yang teredam dada Juna.

“Iya, Cantik?”

Do you realize that we are all first-timers in the context of loving someone?

Juna terdiam sesaat sebelum menganggukan kepalanya pelan.

Well, not exactly a first-timer, sih. But, come to think of it, we’ve almost never been taught on how to love and treat someone properly. So that’s the reason why some are misunderstood and they end up hurting someone that they love. But, life is always a lesson, isn't it?. We just have to learn from our mistakes so the next time we take the courage to love someone again, we wouldn’t end up repeating the same old mistakes.

Kalimat Aska terjeda untuk sesaat sebelum ia kembali berlanjut. “What I’m trying to say is thank you for taking the courage, for putting all of your efforts into me. Hope we can always learn to love each other properly, ya? Let’s not give up too easily.

Juna kembali mengeratkan pelukannya begitu Aska selesai dengan kalimatnya. Lagi-lagi dibuat tersenyum oleh manisnya rangkaian kata yang kekasihnya keluarkan.

God, I'm so in love with him, batin laki-laki kelahiran April itu.

Mungkin, kisah cintanya hanyalah salah satu dari sekian banyak kisah cinta muda-mudi yang ada di seluruh penjuru dunia, namun bagi keduanya ini spesial. Usai melalui perjalanan panjang, mencari-cari arti cinta, kini Juna dan Aska sama-sama saling mengobati dan saling menguatkan.

Semoga dunia ini akan selalu merestui keduanya.

Song recommendation: click here


Tercengang, tubuh Aska terbujur kaku tatkala dirinya selesai membaca kalimat terakhir yang terdapat pada creative slides Juna. Otaknya arus pendek, masih belum bisa mencerna apa yang sedang terjadi pada detik itu juga. Seketika ia merasa jantungnya berdegub lebih kencang dari ritme normalnya, riuhnya sampai terdengar melalui gendang telinganya sendiri.

Perlahan-lahan, Aska bawa kakinya melangkah maju. Jemarinya pun bergerak pelan menyibak gorden cokelat tua yang terpasang pada jendela kamarnya. Dan pada saat lensa matanya menangkap tiga figur—yang ia kenal persis perawakannya—sedang berdiri berjejer tepat di depan pagar rumahnya, ia refleks menutup kembali gorden tersebut. Memutar balik tubuhnya agar ia bisa menyenderkan punggung bidangnya sambil tetap memegang dadanya; merasakan degub yang kian berpacu lebih kencang dari biasanya.

Be mine, please?

Kalau Aska nggak salah lihat, tulisan pada kertas karton yang diangkat tinggi-tinggi oleh Hanan dan Yale bertuliskan kalimat seperti di atas dengan Juna yang berdiri penuh percaya diri tepat di tengah-tengah keduanya seraya menggenggam buket bunga yang didominasi warna merah muda.

Ponsel pada genggaman Aska berdering, tanda sebuah panggilan masuk. Nama laki-laki yang memenuhi isi kepalanya itu terpampang nyata di atas layar ponselnya. Aska harus menahan rasa gugupnya sebelum ibu jarinya bergerak menggeser simbol telpon untuk mengangkat panggilan tersebut.

“Aska?”

Sudah berkali-kali Aska mendengar pemuda itu memanggil nama dirinya, namun yang kali ini terdengar sangat jauh berbeda. Aska dapat merasakan radiasi positif tanda rasa percaya diri laki-laki itu memang sedang berada di atas puncaknya. Jauh berbanding terbalik dengan dirinya yang masih belum bisa memproses semua ini.

“Aska, kenapa ditutup lagi gordennya?”

“J-jun....”

“Aku mau nanya, boleh?”

Hening untuk sesaat, Aska menarik dan mengembuskan napasnya dalam-dalam sebelum kembali menjawab sahutan Juna di balik sana.

“K-kenapa?”

“Aska, senior kamu yang tadi itu cuma ngasih bunga sama cokelat atau sekalian nembak?”

Belum sepenuhnya rileks, Aska sudah kembali diserang dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuat dirinya kembali merasa gugup.

“C-cuma... secara nggak langsung c-confess, sih....”

“Oh, gitu, ya?” Kembali hening untuk sesaat, Aska hanya dapat mendengar deru napas Juna dari balik pengeras suara pada ponselnya. Sebelum pemuda itu akhirnya kembali bersuara,

Could you please accept mine instead?

“J-jun-”

Laki-laki Agustus itu dapat merasakan senyum yang hadir di balik kalimat Juna yang kemudian terdengar. “Turun, ya, Aska? Aku tunggu jawaban kamu di bawah.”

Panggilan tersebut lantas terputus, meninggalkan Aska berdiri sendiri di dalam kamarnya. Ia nggak mungkin meninggalkan ketiga laki-laki yang sedang menunggunya hingga mentari kembali muncul di ufuk timur. Maka pada akhirnya, ia meraih hoodie hitam yang tersampir pada kursi meja belajar untuk ia kenakan sebelum berjalan pelan menuruni anak tangga.

Persis seperti dugaannya, sosok pertama yang Aska lihat sewaktu ia membuka pintu pagarnya adalah Juna.

Arjunanya yang berdiri penuh percaya diri, tersenyum manis menunggu-nunggu kehadiran dirinya sendiri.

Aska tersenyum kikuk begitu mendapati Hanan dan Yale yang tampak berdiri pasrah, membentang lebar-lebar karton yang bertuliskan Be mine, please?. Kedua temannya itu menekuk wajahnya, merasa sebal sebab yang ditunggu-tunggu membutuhkan waktu yang cukup lama untuk dapat turun membukakan ketiganya pagar.

“Lama lu, jelek,” ledek Hanan dengan raut muka meledek.

“Dih?”

“Udah, Aska, biarin aja Hanan emang nggak ikhlas orangnya.”

“Anak anj-“

Juna mengalihkan pandangnya hanya pada Aska seorang, menantikan jawaban yang sudah sangat ingin ia dengar sedari tadi.

So....” Juna tersenyum tipis, menyerahkan buket bunga pada genggamannya pada Aska. “Are you gonna be able to accept me? Me and all of my flaws, but I’m going to make sure that we’re always gonna make it. How’s that sound for you?

Aska mengatupkan bibirnya rapat-rapat, menahan bulir air mata pada pelupuknya yang bisa kapan saja jatuh.

Sisa jarak di antara keduanya hanya tersisa sedikit, sebelum Aska benar-benar menghapus keseluruhan jarak tersebut dengan melangkah maju; melingkarkan lengannya tepat di atas bahu Juna. Kepalanya ia taruh lekat-lekat pada perpotongan leher Juna hingga pada akhirnya Juna sedikit membalas pelukannya.

“Lho, jadi apa jawabannya?” tanya Juna dengan kekehan pelannya. “Diterima nggak, nih?”

Dengan seluruh keberanian yang tersisa, Aska memberi jawaban atas seluruh pertanyaan Juna.

Be mine too, Arjuna.”

Senyum Juna lantas tertarik hingga ke ujung telinga sembari ia mengeratkan rengkuhan pada tubuh Aska ketika laki-laki itu sepenuhnya menerima Juna di dalam hidupnya. Menerima segala hal yang baik, pun yang buruk, untuk dapat bersama-sama bergerak maju.

“Idihhh, si traitor. Udah nggak jomblo lagi dia,” ledek Hanan sembari menggulung kertas kartonnya.

Yale yang biasanya jarang tertawa pun, kini justru terlihat menampilkan senyum paling bahagianya. Nggak ada yang terasa lebih menyenangkan dari ini semua. Melihat temannya sembuh dari luka yang tertoreh pada hati walau pasti meninggalkan bekas. Tapi seenggaknya, Juna sendiri sudah mau berusaha bangkit.

“Ya udah. Gue cabut, ya, sama Hanan? Congrats, dah, lu berdua.” Yale ikut menggulung kertas kartonnya, menepuk pundak Juna untuk berpamitan.

“Eh?” Aska melepas pelukannya. “Masuk dulu aja kali. Ayo sini gue bikinin minum.”

“Santai, Ska.” Yale mengulas senyumnya. “Yuk, Nan.”

“Oke. Congrats, Bang.” Hanan ikut menepuk pundak Juna sebelum menghampiri Yale untuk beranjak pergi.

“Pulang bisa ‘kan, Jun?” tanya Yale, mengeluarkan kunci mobil dari dalam kantong celananya.

“Bisa, bisa. Hati-hati lu berdua.”

“Yo.”

Aska sebenarnya ingin menawarkan Hanan dan Yale untuk masuk ke dalam rumah. Merasa kurang enak jika harus membiarkan keduanya pulang tanpa ia sambut terlebih dahulu. Akan tetapi, Juna justru berkata nggak apa-apa, biar mereka pulang dengan sedan putih miliknya, sementara ia menghabiskan beberapa waktu berdua dengan Aska.

Usai kendaraan tersebut tampak menghilang di persimpangan jalan, Aska kembali menatap Juna yang ternyata sudah memandanginya sedari tadi. Menunggu sang kasih untuk kembali menoleh ke arahnya.

Lantas, Aska terkekeh sembari mengusap pipi Juna pelan. Sebelum ia kembali membawa Juna ke dalam rengkuhannya. Memeluk tubuh satu sama lain, menghantarkan kehangatan yang belum tentu bisa mereka dapatkan dari eksistensi manusia lain.

Thank you,” ucap Juna dengan penuh ketulusan di dalamnya. “For accepting me and reminding me that I deserve to love and to be loved.

Kepala Aska kini beristirahat dengan nyamannya di atas bahu Juna. Suaranya teredam, namun masih terdengar jelas.

And thank you, for trying your best.

Jatuh cinta nggak pernah terasa semeledak-meledak dan semenyenangkan ini jika bukan dilalui bersama manusia yang tepat, manusia yang tulus, dan manusia yang paham kalau perihal cinta ini memang harus diperjuangkan bersama-sama.

Gelisah, Juna mengetuk-ngetukan ujung jari kuku telunjuknya pada permukaan meja. Menunggu teman-temannya datang untuk membantu ia melancarkan misi hari ini. Laki-laki itu nggak bisa menahan degub jantungnya yang terus berpacu kencang. Merasa grogi dengan aksi yang akan ia lancarkan bersama teman-temannya.

Hari ini akan tercatat dalam sepanjang sejarah hidupnya sebagai kali pertama ia menyatakan rasa cinta, mengajak sang pujaan hati untuk bergerak selangkah lebih maju dari hanya sekadar teman biasa; menjadikannya manusia spesial yang Juna anggap berbeda dari teman-temannya yang lain.

Akhirnya datang Hanan dan juga Yale dari arah bawah tangga. Laki-laki yang berambut lebih panjang melempar kemeja flanelnya di atas meja, ikut terduduk pada kursi kayu tepat di samping temannya yang sedang terlihat gusar.

“Ya elah, chill out aja, Jun. Nggak usah panik begitulah.” Dikeluarkannya bungkus rokok yang ia simpan di dalam kantong celana jeans-nya. Nggak lupa korek api bermerknya guna membakar ujung gulungan tembakau itu. “Rokok?” tawar Hanan yang kemudian disambut gelengan dari yang ditanya.

“Nggak, dah. Tolong liatin dulu, ini udah pas 'kan CS gue?” Juna menggeser letak laptopnya, memberi akses pada Hanan untuk bisa melihat tampilan layarnya. “Bener nggak over banget 'kan?”

Disambut oleh tawa, Juna turut dihadiahi pukulan pada pundaknya. Kedua sahabat baiknya itu hanya bisa tergelak tatkala raut gusar Juna tampak nggak kunjung hilang.

“Anjiiing. Udah, Jun, udah.” Kini Yale ikut menimpali sahabatnya. “Udah bener itu. Nggak usah dicek-cek teruslah, 'kan dari kemaren udah didiskusiin terus.”

“Ah, lagian gila juga, nih, seniornya Aska. Nggak tau kali, ya, kalo Askanya udah deket sama gue?”

“Lah, kok ngamuk?” Hanan menaikkan sebelah alisnya. “Terserah dia lah mau ngasih Aska bunga kek, cokelat kek, surat kek, rumah kek. Orang duit juga duit dia, kalo ditolak juga bakal jadi derita dia. Kenapa jadi lu yang ngamuk?”

“Ya....” Juna mengusap tengkuknya kikuk. “Maksud gue-”

”'Kan? Nyesek 'kan lu ngeliat dia di-treat kayak begitu sama orang lain?” Hanan memulai sesi ceramahnya. “Nyesek 'kan lu ngeliat Aska disayang sebegitunya sama orang selain lu? Dari dulu ke mana aja, Jun? Kenapa baru panas kalo dia baik sama orang yang suka sama dia?”

Juna mengelak, nggak ingin terlihat kalah oleh argumen Hanan. “Lho? Nggak gitu, Nan. Ini 'kan gue juga lagi mau nembak.”

“Iya, tau.” Hanan tetap berpegang teguh pada pendiriannya. “Tapi dari kemaren-kemaren lu ke mana aja? Kenapa harus nunggu ditegasin sama Aska dan harus nunggu dia baik ke yang lain dulu?”

“Ya-”

“Terus, nih.” Hanan tampak berapi-api, menyela kalimat yang ingin Juna lontarkan. “Lu sadar nggak lu, tuh, kebanyakan nanya orang lain tentang hubungan lu sama Aska. Padahal itu 'kan hubungan lu berdua, cuma lu sama Aska yang paling tau masalah apa yang ada di dalem sana. Lu-”

“Lho? Tapi 'kan gue nelen bulet-bulet saran dari lu semua. Gue tetep-”

Yale yang sedari tadi sibuk memantikkan api untuk membakar ujung rokoknya, kini membanting korek apinya dengan cukup keras ke atas permukaan meja.

“Udah, anjing. Bisa nggak lu berdua stop ngomongin hal-hal yang udah berlalu?”

Ciut, Juna serta Hanan lantas menghentikan debat kusirnya. Sama-sama nggak berani kalau Yale sudah mulai angkat bicara. Temannya yang jarang sekali mengeluarkan kata-kata itu akan tampak amat menyeramkan ketika pada akhirnya ia buka suara.

“Ini kita mau ngapain habis ini? Langsung aja udah, keburu malem entar.”

“Nggak jadi ambil bunga, nih, gue?” tanya Hanan.

“Nggak usah, dia 'kan ternyata pulang ke Menteng sore ini. Kita bertiga ambil bunganya bareng-bareng aja terus langsung cabut ke rumahnya. ” Juna memberikan usul sembari mematikan power laptopnya. “Habis itu stand by depan pager dari gue habis kirim link CS, nungguin dia keluar dari rumahnya.”

Hanan menekan-nekan ujung rokoknya pada asbak yang memang selalu tersedia di atas meja tersebut. Berdiri sembari mengeluarkan kunci mobilnya. “Gaaas. Jalan sekarang aja kita.”

“Yuk-”

“Ini si anjing ini mau nembak Aska pake kaos ketekan?” Yale menunjuk Juna yang memang benar hanya terbalut baju tanpa lengan, membuat Hanan otomatis mengeluarkan tawa khasnya.

“Hahaha, tolol lu, Juna. Buruan ganti baju goblok, udah sore ini.”

“Eh, iya, bantu pilihin dong....”

Nggak habis pikir dengan teman baiknya itu, Yale dan Hanan sama-sama menepuk jidatnya keheranan, sementara Juna melipir masuk ke dalam kamar untuk menunjukkan dua pilihan pakaiannya.

Satu hoodie putih beserta jeans biru tua, sementara yang satunya lagi kemeja putih gading beserta celana ankle khaki.

“Eh, gini ya, pinter. Kalo ini mah emang outfit lu sehari-hari.” Hanan melayangkan protesnya dengan amarah yang sedikit tertahan. “Lu bisa nggak pilih baju, tuh, yang lebih spesial dikit?”

“Anjinglah. Sini, dah, gue yang pilihin dari lemari lu.”

Dengan stok sabar yang menipis, Yale memasuki kamar indekos Juna. Mulai memilah-milah baju terbaik yang bisa Juna kenakan sore ini. Hanan pun hanya bisa terkekeh, sementara Juna terdiam pasrah.

“Goblok ye, ini lu ada leather jacket kenapa nggak pernah dipake, dah?” ujar Yale dengan leather jacket yang ia bawa keluar kamar.

“Ya....” Juna menggaruk kulit kepalanya yang sebenarnya nggak terasa gatal. “Over banget nggak, sih, kalo pake leather jacket?

Yale melempar leather jacket tersebut beserta kaos sleeveless hitam. Nggak lupa celana jeans biru muda yang juga ia temukan dari dalam lemari. Memaksa Juna untuk mencoba mengenakan pakaian pilihannya.

“Cobain dulu.”

Kelewat pasrah, Juna masuk ke dalam kamar untuk mengganti pakaiannya. Hingga laki-laki tersebut akhirnya ke luar dengan penampilan yang jauh lebih menawan dari biasanya. Leather jacket berwarna hitam itu tampak dengan sempurna membalut tubuh atletisnya. Nggak lupa rambut hitamnya yang memang ia biarkan memanjang, pemuda tersebut memang terlihat begitu tampan. Siapa-siapa saja yang melewatinya, pasti nggak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk mengagumi paras menawan Juna barang sedetik saja.

“Anjiiing, ganteng banget lu kayak Dilan,” puji Hanan sembari menepuk-nepuk pundak Juna.

“Dilan pakenya jaket denim nggak, sih...,” protes laki-laki yang baru dipuji oleh temannya itu.

“Tai. Iya juga, ya?” Hanan terkekeh singkat. “Ya udah intinya ganteng, deh, lu. Udah ayo jalan sekarang.”

“Serius, ini nggak berlebihan 'kan?”

“Pede, Bang.” Hanan menepuk-nepuk pipi Juna pelan. “Ganteng, ganteeeng.”

“Ya udah tunggu. Gue ambil dulu propertinya.”

“Properti apa lagi....”

Kesabaran Yale kembali diuji dengan tingkah ajaib Juna. Sampai teman baiknya itu keluar dengan dua buah gulungan kertas karton, yang isi tulisan di dalamnya membuat Hanan dan Yale sontak tertawa ketika gulungan tersebut akhirnya dibuka oleh sang pemilik.

“ANJINGLAH JUNA HAHAHA, LET'S GO, BRADEEER.”

Song recommendation: click here


Kontras dengan apa yang ia ekspektasikan pada angannya, kini Aska justru tertegun tatkala maniknya menangkap keberadaan sedan putih yang terparkir sempurna tepat di depan perkarangan rumahnya.

Bukan ini yang Aska ekspektasikan. Dirinya sudah siap jika pada akhirnya ia harus rela melepas pemuda yang telah mengisi ruang dalam hatinya selama beberapa bulan terakhir. Memang bukan yang pertama, tetapi laki-laki kelahiran Agustus itu tahu persis kalau ia sedang menumbuhkan rasa kasih paling hebat di seumur hidupnya.

Jemari Aska sedikit bergetar sewaktu hendak membukakan pagar untuk lelaki yang amat ia rindukan hangat dari hadirnya. Rasa gugup menyergap tubuhnya ketika laki-laki itu sepertinya tampak telah cukup lama berdiri menanti sang empunya rumah keluar.

“Hai.”

Sapaan yang meluncur dari belah bibir Juna sebetulnya nggak terdengar semudah itu untuk terucap lantaran ia telah berkali-kali mencoba meyakinkan dirinya sendiri di sepanjang jalan yang ia lalui dari rumahnya hingga sampai ke pemberhentian terakhirnya.

“H-hai.”

Canggung rasanya. Seperti ada dinding tinggi yang membatasi keduanya untuk berkomunikasi.

Didn’t expect you to come, but....” Aska menjeda perkataannya. “Well, come in.

Isn’t it going to be awkward if I come in, but it turns out that you won’t be accepting me back into your life?

Aska terbungkam sebab pernyataan Juna benar adanya.

Well, uhm, kalo gitu gue... ngomongnya... di sini aja kali, ya?” Juna berdeham, mengatup bibirnya rapat-rapat sebelum kembali bersuara.

I... once again, want to ask for your apology because I’ve disappointed you in so many ways. I acknowledged my mistake; you’re traumatized by someone who left you hanging without giving any closure or even further explanation, and yet I was there, not being cautious... I was about to make you go through the same phase. Gue beneran mau minta maaf buat itu semua.”

Sunyi malam itu seakan mendukung atmosfer yang membungkus keduanya. Juna sempat berhenti sesaat untuk mengatur riuh degub jantungnya, sedang Aska setia menunggu kelanjutan dari kalimatnya.

But then gue nggak mau cuma minta maaf ke lu because you’re right, kalo gue cuma minta maaf tanpa ngelakuin aksi yang berarti, things won’t instantly get better. I tried my best to gather all my courage, to be standing right here, right in front of you. I’m gonna prove you that I love you, that I’m worth the wait. So maybe... I’d like to ask for my second chance, but only if you want to grant it, kok. No pressure at all. Gue selalu percaya sama pilihan lu.”

Juna menatap Aska dalam dan Aska dipastikan tenggelam sebab yang kemudian ia lakukan adalah melangkah maju, mendekap Juna dengan degub yang berpacu.

Aska sudah mengantisipasi segala hal buruk yang mungkin akan terjadi. Tapi ketika ia bisa merasakan lengan Juna yang terlingkar pada pinggangnya, tetes air mata seketika meluncur pada permukaan pipinya.

Laki-laki itu sepenuhnya tahu bahwa pemuda di dalam rengkuhannya akan kembali menetap.

“Aska... nangis?”

Kepalan tangan Aska mendarat berkali-kali pada punggung bidang Juna, membuat sang empunya jadi menerima pukulan yang terasa cukup keras, tapi nggak semenyakitkan ketika keduanya terpaksa harus berpisah selama beberapa waktu.

“Junaaa... lu, tuh, ya....”

Dinding pembatas imajinernya seolah runtuh. Udara di sekitar nggak lagi terasa menyesakkan untuk keduanya hirup.

I know... I know.” Kontras dengan apa yang dilakukan oleh Aska, laki-laki April itu justru terkekeh pelan sembari mengelus punggung Aska dengan penuh kasih. “Gapapa, pukul aja sampe lu puas. Deserved.

Aska melepas pelukannya secepat kilat, ganti menangkup pipi Juna secara erat.

Must’ve been not easy for you either since I rushed things too soon....” Ibu jari Aska perlahan bergerak mengusap pipi tirus milik Juna.

“Mana... kok udah? Gue gapapa, kok, kalo emang dengan mukulin gue bisa bikin lu jadi lega. I deserved-

You know what else you deserve?” Aska memotong perkataan Juna. “Love. To be loved and to be in love.

Remember when I said that one day we’ll find someone who will accept us for who we are, who will accept all of our fragments and flaws?” Aska bertanya dengan senyum tulus yang terulas jelas. “I was referring to us. There’s this idea in my head that we’re gonna accept each other despite our lack of things. And also the idea of us helping each other grow into better a person.

Mengulas senyumannya, Juna menggenggam punggung tangan Aska yang masih setia menangkup pipinya. Ia akan selalu merasa kagum akan cara laki-laki Agustus itu berpikir.

Sounds wonderful, beyond wonderful.

Just like the idea of me having you again in my warm embrace.

Pada saat itulah Juna yakin kalau pilihannya memang nggak pernah salah;

Pilihan Juna untuk mengenalinya jauh lebih dalam,

Pilihan Juna untuk menaruh rasa sayang padanya,

Pilihan Juna untuk perlahan mengusir rasa takut di dalam dirinya,

Dan pilihan Juna untuk berani berdiri di sini, tepat di hadapan laki-laki yang ia cintai.

Juna tatap iris gelap yang di dalamnya tergantung gugusan bintang yang bergemerlap; salah satu iris paling cantik yang pernah ia tatap lekat-lekat.

Masih ingin diberi kesempatan untuk dapat menatap Aska dengan jarak yang sedekat ini dan dalam jangka waktu yang lebih panjang, Juna berjanji buat nggak akan pernah berhenti berusaha menjadi satu-satunya lelaki yang pantas untuk disandingkan dengan Askanya yang mendekati sempurna.

Tersenyum dan tanpa banyak bicara, Juna menarik lengan Aska secara lembut untuk ia bawa mendekat. Kembali membuat Aska berada dalam rengkuhannya, dengan telapak tangan kanan yang setia mengusap pelan tengkuk kepala Aska.

Berada di dalam pelukan seseorang nggak pernah terasa senyaman ini. Aska sampai berharap dirinya dapat terus dipertemukan oleh Juna bahkan hingga di kehidupan yang lain. Dirinya masih ingin diberi kesempatan untuk bisa mendengar degub jantung seorang Arjuna yang riuhnya justru terasa menenangkan.

Soon to be mine.

Juna mengeratkan dekapannya.

Soon.

Proses yang cukup menguras tenaga akhirnya berbuah manis. Kini Juna telah berada di Kantek sembari menunggu sesi FGD dimulai. Banyak teman-teman dari departemen lain yang turut hadir; teman-teman yang selanjutnya akan menjadi rekan satu timnya.

Matanya dari tadi terus bergerak ke sana ke mari, terlihat nggak pernah tertuju pada satu objek yang pasti. Tengah mencari-cari sosok yang ingin ia temui.

Juna setuju bahwasannya dunia memang kerap menyatukan ia dan Aska di situasi yang nggak terduga sebab pada saat laki-laki itu ingin membuka kulkas untuk membeli sebotol minuman, ternyata sosok yang ia cari-cari sudah lebih dulu membuka pintu di hadapannya. Sudah susah-susah mengederkan pandangan hingga ke sudut-sudut Kantek Luar, tapi ternyata yang dicari-cari justru sudah datang dengan sendirinya.

Sosok itu tampak belum menyadari kehadiran Juna, hingga laki-laki itu memutuskan untuk menyapanya terlebih dahulu.

“Aska?”

Yang dipanggil namanya menoleh, menatap Juna setengah terlonjak. “Eh...?”

“Repot banget pagi-pagi begini. Gue bantu bawain minuman, ya?”

Repot banget pagi-pagi begini. Gue bantu bawain, ya, sampe kelas?

Deja vu.

Otak laki-laki Agustus itu arus pendek. Dirinya seakan kembali ke masa lalu, kali pertama ia dan Juna bertemu. Lidahnya kelu, tubuhnya membeku.

“Aska?”

“I-iya....”

Juna menyimpulkan senyumnya, tanpa banyak bicara mengambil alih beberapa botol minuman yang sedang Aska dekap. Kini laki-laki Agustus itu bahkan hanya menggenggam salah satunya.

“Mau dibawa ke mana emang?”

“Ke... senior gue.” Aska masih tampak terbata-bata.

“Di mana senior lu? Kantek Luar, ya?”

“Ng-nggak, sih... di Tamtek....”

Pandangan Juna beralih pada kumpulan manusia yang sedang terduduk di area Tamtek. Mencari-cari senior Aska yang kemungkinan sedang terduduk di sana.

“Oh, itu bukan yang pada pake jabem?”

“Iya....”

“Oke, yuk? Udah ditungguin pasti.”

Memang benar fakta bahwa pemuda tersebut adalah pemuda yang penuh kejutan sebab nggak peduli seberapa lama Aska mengenalinya, ia masih akan selalu dibuat terkejut oleh hadir atau sikapnya.

Seperti sekarang ini, Aska sudah nggak berharap banyak kalau-kalau hari ini ia akan bertemu dengan laki-laki itu. Tapi dunia malah berkata lain, ketika dirinya sudah kelewat pasrah, Juna justru mulai menunjukkan aksinya.

Berada pada satu kelompok FGD yang sama membuat Aska jadi bisa semakin sering memantau laki-laki yang telah menghilang selama beberapa waktu ke belakang. Jika biasanya Juna akan buru-buru mengalihkan pandangan ketika Aska menatapnya, kini pemuda itu justru akan menyimpulkan senyum sebelum kembali memusatkan fokusnya pada diskusi yang tengah berlangsung.

Hingga tiba waktu pengumuman, nama para mahasiswa dipanggil satu persatu sesuai bidang yang menerimanya. Tatkala nama Aska disebut lantang pada bidang seni, entah kenapa ia justru menolehkan kepalanya ke arah Juna yang duduk jauh beberapa meter darinya. Bertepatan dengan itu, Juna pun ternyata memang sudah berniat akan bertoleh ke samping ketika nama Aska terpanggil. Maka manik keduanya terkunci untuk sesaat, Juna lagi-lagi hanya menyimpulkan senyumnya sedang Aska terdiam canggung.

Beralih ke bidang depor, ternyata Juna diterima menjadi salah satu bagiannya. Aska lagi-lagi menolehkan kepalanya, memandang Juna yang sedang diberi tepukan selamat oleh teman satu departemennya.

Laki-laki kelahiran Agustus itu tenggelam dalam lautan pikirannya sendiri. Diterima pada bidang yang berbeda, itu berarti keduanya dibebaskan untuk menjalin kasih. Namun, ia masih nggak kunjung yakin kalau Juna akan kembali ke sisinya.

Jika Aska ditanya, sudikah ia untuk menerima kembali menerima Juna di kehidupannya, maka jawabannya seratus persen sudi. Namun kali ini, ia pastikan dirinya nggak akan menjadi pihak yang meminta Juna untuk kembali dan tetap tinggal di sisinya lantaran terakhir kali ia memohon seperti itu, harga dirinya terasa seperti diinjak-injak. Ia nggak lagi ingin terlihat lemah di mata orang lain.

Acara sore itu dibubarkan, Aska dan Riga berdiri dari duduknya untuk bersiap-siap pulang, menunggu Gane, kekasih Riga, untuk menghampiri keduanya.

Sebuah notifikasi yang dentingnya lantang membuat Aska sedikit tersentak. Dengan sedikit malas, ia merogoh-rogoh totebag-nya demi bisa meraih benda persegi itu. Nggak disangka-sangka, nama lelaki yang ia rindukan eksistensinya kini terpampang nyata pada layar kunci ponselnya.

Lantas, Riga yang nggak sengaja ikut melihat notifikasi itu ikut terkejut, menutup sebagian mulutnya dengan telapak tangan.

“Anjir, itu beneran Juna?”

Keduanya saling berbalas-balas tatap, sama-sama nggak percaya akan teks notifikasi pada layar ponsel Aska yang bertulisan,

juna Aska pulangg sama siapaa?

juna Kaloo gabawa mobil mau bareng gue aja nggaa?

“Gas.”

“Ih?”

“Gas anjir, Ska. This is the moment you’ve been waiting for in your life.

“Lebay....”

Riga mendengus sebal mendengar pernyataan Aska. Sahabat Aska itu tahu kalau Aska sebenarnya masih mau untuk menjalin hubungan dengan laki-laki teknik mesin itu, akan tetapi ia nggak akan mau menjadi pihak pertama yang menghubungi Juna lagi.

“Itu ‘kan dia yang nawarin, bukan lu yang ngejar-ngejar.”

“Hai.”

Aska rasanya ingin teriak agar laki-laki itu satu kali saja nggak membuat dirinya terkejut sebab entah dari mana datangnya, Juna tiba-tiba sudah berdiri di dekatnya, menghampiri tempat Aska dan Riga menunggu Gane.

“H-hai, Jun.” Riga balas menyapa Juna dengan sedikit kebingungan, sedang Aska hanya bsia membeku di tempatnya.

“Lu berdua udah mau balik?”

“Ini lagi nunggu kak Gane.”

“Aska gimana?” Laki-laki berkemeja flanel hitam itu beralih pada Aska. “Bareng bang Gane juga?”

“I-“

“Enggak, kok! Gue sama kak Gane mau nonton habis ini. Lu mau nggak, Jun, nganterin Aska balik?” Riga menginjak ujung sepatu Aska, membuat sang empunya harus menahan sakit pada ujung kukunya.

“Boleh. Yuk, mau balik sekarang, Aska?”

“Nggak us-“

“Sekarang aja, Jun. Kak Gane kayaknya bentar lagi dateng, deh. Dah sana, hati-hati, ya.” Riga mendorong keduanya untuk pergi dari area Tamtek.

Tolong ingatkan Aska untuk mengeluarkan sumpah serapahnya kepada Riga saat keduanya masuk ke kelas hari Senin nanti. Meski nggak bisa dipungkiri kalau dirinya akan merasa senang jika pemuda jangkung itu benar-benar kembali ke sisinya, akan tetapi Aska masih nggak tahu harus bersikap seperti apa kalau ia harus ditempatkan pada satu ruang yang sama dengan Juna dalam kurun waktu yang secepat ini.

Atmosfer ini terasa begitu canggung, walaupun nggak semenyesakkan kali terakhir ia berada dalam satu kendaraan yang sama dengan laki-laki April di sampingnya. Juna hanya sesekali menanyakan keadaan Aska akhir-akhir ini, sementara sisa perjalanan tersebut hanya diisi dengan melodi lagu yang keluar dari pengeras suara mobil.

Sampai di depan pagar rumahnya, Aska rasanya ingin buru-buru keluar dari dalam sedan putih ini sampai-sampai tangannya justru nggak bisa membuka kunci pada sabuk pengamannya. Membuat Juna terkekeh sampai ingin membantunya.

“Sini, sini, gue bantuin, ya?”

Sabuk pengamannya terlepas, tapi nggak dengan pandangan mereka berdua yang masih terkunci ketika Juna hendak mengembalikan posisi sabuk pengaman pada sisi pintu kursi penumpang.

Lamat-lamat, Aska coba perhatikan raut wajahnya; raut wajah yang tempo waktu lalu ia tatap dengan dalam, tapi justru nyatanya hilang.

Hati Aska kini bergejolak entah berarti apa.

Juna menjadi pihak pertama yang berdeham, memutus pandangan matanya dari wajah Aska. Tubuhnya kembali bergerak mundur. Laki-laki itu mengusap tengkuknya canggung.

“Maaf-”

Well....” Aska menarik napasnya panjang. “Thank you, Juna, udah mau nganterin gue pulang. Drive safe.”

Belum sempat Aska membuka pintunya, Juna sudah terlebih dahulu meraih lengan kanannya. Pandangan keduanya kembali bertemu, tapi kini lidah Juna nggak lagi kelu.

Can we have our good days back?

Maksud hatinya, kembali Juna utarakan,

Am I too late? Can we still have our good, happy, rainbow days back? ‘Cause now I’m more than willing to work on my bad traits, to improve myself more, so that I can be the guy you’ll forever deserve to have.

Sejatinya, dunia ini memang bekerja di luar kapasitas berpikir otak manusia sebab lucu bagaimana dua insan yang tadinya saling mengasihi dan kemudian berpisah sebab perbedaan rasa, kini dapat duduk berhadap-hadapan dengan sang surya di ufuk barat yang jingganya terulas jelas pada bingkai wajah mereka berdua.

Yang lebih muda tersenyum. Perawakannya nggak berubah barang sedikit pun, masih tetap menggemaskan sebagaimana Juna harus akui.

“Hai, Kak Juna. Gimana, gimana? Mau ngomongin apa, nih?”

Matcha latte favoritnya ia seruput, menunggu respons pasti dari sang lawan bicara. Sedang lawan bicara itu ikut tersenyum, memandang objek di depannya dengan teduh.

“Apa kabar, Raf?”

“Ih, nanya kabar mulu. ‘Kan kemaren udah aku kasih tau di chat,” gerutu laki-laki mungil yang diketahui bernama Rafa itu. “Ketauan ‘kan nggak merhatiin chat-nya.”

“Hahaha.” Gelak tawa khas seorang Juna terdengar jelas pada pojok ruangan kafe kecil itu. “Iya, ya? Ya udah, tapi beneran all good all fine ‘kan? Pusingnya ada di akademis aja?”

“Iya bener. Cuma ‘kan kata kakak wajar, jalanin aja dulu nanti juga akhirnya sampe tujuan. Terus kalo udah sampe tujuan baru, deh, bisa ngebatin... ternyata aku bisa juga, ya, ngejalanin hari-hari berat itu.”

“Lu emang beneran merhatiin setiap bubble chat kita, ya?”

“Iya, dong. Aku gitu.” Rafa tersenyum bangga, membuat Juna lagi-lagi tersenyum.

Akan tetapi senyum teduh itu bukan mengartikan rasa cintanya lagi. Senyum itu justru menggambarkan betapa leganya Juna tatkala ia bisa melihat raut bahagia sang mantan pengisi hati. Mengingat bagaimana dalamnya luka yang pernah ia toreh, pemuda itu bersyukur sebab Rafa tampak telah pulih seutuhnya meskipun ia tahu bekasnya masih akan tetap tampak samar.

“Ayo, Kak, habis ini aku masih harus les. Kakak mau ngomongin apa?”

“Kok mau?”

“Hah?” Kening Rafa mengerut, kedua alisnya bertaut.

“Kok mau ketemu sama gue? Katanya nggak pernah ada niat buat komunikasi sama gue lagi?”

Rafa menyenderkan punggungnya pada kursi kafe, menyimpulkan senyum sebelum memulai rentetan kalimatnya.

“Emang. Aku emang nggak pernah kepikiran buat nge-chat atau sekadar nyapa kakak duluan karena, ya... buat apa? Aku udah seneng sama hidup aku yang sekarang dan aku udah nggak punya urusan sama kakak. Tapi, kalo emang suatu hari kita nggak sengaja papasan atau kayak sekarang kakak ngajak aku ketemu, ya... aku gapapa, sih, kalo harus ngobrol sekata dua kata. My wound is fully healed, aku udah nggak sedih lagi setiap ngeliat kakak. I’ve reached my acceptance phase, jadi aku nggak masalah kalo kakak ngajak ketemu aku.”

Laki-laki dengan pemikiran yang terlihat jauh berbeda dari perangainya, Juna akan selalu merasa kagum akan Rafa yang jauh lebih dewasa dibanding dirinya sendiri meskipun faktanya ia lahir lebih dulu daripada pemuda lucu itu.

You know what? Come to think of it, bener kalo kakak dulu udah jahat sama aku padahal all I did was trying my best to be your boyfriend. But I didn’t get the response I deserved. You were all over the place sampe kakak akhirnya mutusin aku. I was hurt. The breakup was too sudden, but I saw it coming so I tried my best to let you go walaupun kalo diinget-inget dulu susah banget merjuangin kakak sampe-sampe aku impulsif nembak kakak duluan.”

Rafa terkekeh pelan ketika batang otaknya kembali memutar rekaman masa lalu, masa-masa dirinya mengejar cinta kakak kelasnya dengan nggak tahu malu.

Well, that’s just how life works. We got broken easily, but we learn to heal from it. Katanya, bukan cinta kalo nggak ada trial and error-nya. Jadi ya udah... aku ikhlasin semuanya sambil pelan-pelan get myself together again. And in the middle of my journey, ternyata aku diketemuin sama Azza yang bisa bikin aku ngerasa disayang lagi. Deket, deket, deket... akhirnya aku bisa buka hati lagi dan sadar kalo me and kak Juna weren't just meant for each other and it’s all fine. Or even worse, we would just hurt each other by continuing what we’ve had.

“Maaf, Raf-“

Without you having to ask me for some apologies, I already forgave you, Kak.” Laki-laki yang lahir satu tahun lebih muda dari Juna menyimpulkan senyumnya, kembali menyeruput minuman matcha di atas meja. “You were the one I loved the most. And I hate being this type of person, but I always forgive the people I once loved. Walaupun aku udah nggak sayang lagi dan kesalahan mereka bisa dibilang besar, aku tetep segampang itu maafin mereka.”

Juna merasa malu.

Bagaimana caranya laki-laki itu menyimpan hati yang begitu besar di dalam tubuhnya yang mungil menggemaskan?

Still. I haven’t properly delivered my apology. So I’m sorry, really I am.

“Hahaha, oke, okeee. Aku maafin, kok, Kak. Nggak usah ngerasa bersalah lagi sekarang.”

Rafa terkekeh, yang kemudian disusul oleh Juna. Seperti baru saja terbebas dari kurungan sel penjara, Juna kini dapat tertawa dengan kondisi hati yang bebas.

Hope life treats you well, ya, Raf.”

“Amin, amin! Kakak juga, ya?” Rafa meraih ponselnya, memeriksa jam yang terpampang pada layar kunci ponselnya. “Anyway, kakak sendiri gimana? Got someone new by your side?

“Belom, Raf.”

“Oh... tapi kalo deketnya udah, ‘kan?”

Dua insan itu tertawa. Rafa sedikit banyak menggoda kakak kelas sekaligus mantan pujaan hatinya itu. “Yang sering kakak story-in itu, ya?”

Correct.

“Manis, Kak. Manis banget malah, pantes kak Juna suka.”

But he’s much more than a sweet nice-looking guy. He’s... worth more than anything I could ever describe.

So... why don’t you ask him to be your boyfriend already?

I was still sorry for you, for what happened to you. I'm afraid I'm gonna end up hurting him like what I had done to you.

Jeez, not this conversation again.” Rafa menepuk jidatnya kesal. “Kak, you’re now not the bad guy I knew years ago. Lagian aku yakin dulu kakak jadi jahat gitu karena keadaan keluarga kakak. From what I knew, your family is all fine and settled now. Kakak pasti sedikit banyak udah bisa move on dong? Yang secara nggak langsung ngebuat kakak jadi cowok yang jauh lebih baik sekarang. People make mistakes all the time, but they also learn from it all the time.

Laki-laki manis itu berdiri dari duduknya, merapikan barang yang ia bawa ke mari sebelum beranjak ke luar kafe. “Go, Kak. Catch him already. You deserve to love and to be loved. Who knows if he can love you properly the way my boyfriend loves me now. He reaaally makes me feel like I’m the happiest person on earth. Jangan takut jatuh cinta, ’cause it feels beyond amazing to fall in love with the right person dan kakak nggak akan pernah tau siapa right person itu kalo kakak nggak pernah nyoba.”

Sebelum benar-benar berpisah, Rafa berjalan menghampiri tempat Juna terduduk. Memamerkan senyum paling tulus yang pernah ia beri pada kakak kelasnya itu. “Be happy, even if that means you have to gather the courage in your heart to catch someone new. Be happy because you look best with a smile on your face. Be happy because you deserve it, EVERYONE deserves it. Well... I gotta go. Semoga next time kita ketemu, kakak udah berani buat ngejar dia, ya? Sounds even nicer kalo kakak ternyata udah berani nembak dia. Duluan, ya. Dadah, kak Juna. See you when I see you.

Dengan begitu saja, Rafa meninggalkannya terduduk sendiri di pojok ruangan. Juna dapat melihat bagaimana Rafa berlari bahagia ke tempat sang kasih menunggunya di luar. Nggak pernah Juna lihat senyum selebar itu terpampang nyata pada wajah Rafa, nggak bahkan ketika Rafa masih menjadi kekasihnya.

Lantas, laki-laki kelahiran April itu berkendara pulang dengan air mata yang menggenang pada pelupuk matanya. Bukan akibat sedih yang tiba-tiba menyerangnya, namun genangan air mata itu merupakan hasil dari apa yang ia pendam selama ini.

Masuk ke dalam rumah, sosok pertama yang ingin ia temui adalah sang ibu. Kakinya berjalan tergesa-gesa ke tempat ibunya biasa bekerja. Dan di sanalah beliau terduduk dengan pandangan yang fokus pada pekerjaan desain gaunnya.

“Mami.”

Wanita berparas cantik itu tersenyum mengalihkan pandangannya. Namun, begitu Anjani lihat anak laki-lakinya datang dengan keadaan yang berantakan, beliau langsung berdiri seraya menautkan alisnya kebingungan.

“A’ Ajun... kenapa, kok, seperti buru-buru begitu?”

Juna nggak ragu untuk bergerak menghampiri sang ibu sembari menenggelamkan kepalanya pada bahu Anjani yang setegar batu karang di pesisir pantai; tetap berdiri tegar walau sudah berkali-kali diterjang ombak lautan.

“Mi....”

“Aa’... ada apa ini?”

“A’ Ajun anak baik ‘kan, Mi?”

Of course you are... memang siapa yang bilang a’ Ajun bukan anak baiknya Mami?”

Me, myself.

And why is that? Mami nggak pernah didik anak-anak mami jadi orang yang nggak baik. Anak-anak mami semuanya baik dan penuh pengertian.”

Juna sibuk mencurahkan air matanya di tempat paling aman bagi dirinya untuk berkeluh kesah. Anak laki-laki itu nggak pernah diajarkan untuk ragu berbagi dengan kedua orang tuanya.

“A’ Ajun anak mami yang baik, yang nggak pernah mau lihat maminya susah sendiri. Sayang mami, anak baik... kenapa tiba-tiba nangis, Sayang?”

Laki-laki April itu melepas rengkuhannya, menatap figur ibu yang telah membesarkannya. Seumur hidupnya, ia selalu menuaikan hal-hal baik yang Anjani pernah ajarkan kepadanya. Juna pun selalu setuju dengan semua gagasan yang pernah terucap dari bibir sang ibu, maka ketika ibunya berkata bahwa ia adalah anak yang baik, dirinya berusaha memercayai hal itu.

“Mi... A’ Ajun bisa ‘kan nyayang orang dengan bener lagi?”

Anjani menghela napasnya panjang. Sebelah tangannya terangkat untuk mengusap pipi Juna; tangan yang selalu beliau gunakan untuk merawat anak tengahnya dengan penuh cinta.

“Memangnya kenapa Aa’ jadi ragu sama diri sendiri?”

I... recently couldn’t gather all my bravery to ask him out; him that I’ve been locking my eyes on, him that I’ve learned to love properly. Aa’ takut dia pergi, tapi A’ juga nggak berani-berani buat step up the game.

Jejak-jejak air mata yang tersisa pada pipi anak laki-lakinya sedang Anjani hapus dengan penuh kasih, menatap anaknya yang nggak terasa sudah mulai bisa merasa gundah akibat cinta.

“Aa’... dari apa yang mami tahu, cinta itu hampir selalu soal dedikasi dan komitmen. Itu alasan kenapa mami dulu berani terima ajakan papi buat menikah, ya karena mami cinta sama papi. Tapi, begitu cinta itu udah nggak lagi menyenangkan dan lama-lama justru menyesakkan, itu juga alasan kenapa mami berani memutus komitmen yang sudah sempat mami bangun berdua. Sudah nggak ada lagi yang bisa kami usahakan, makanya mami dan papi sekarang sudah berusaha di jalannya masing-masing.”

Surai Juna yang mulai memanjang diusap lembut oleh sang ibu, sepertinya Anjani memang sedang berusaha membuat Juna merasa tenang. “Kalau aa’ memang sudah merasa sayang, merasa cinta... aa’ harus berani membangun komitmen sama orang yang aa’ cinta. Walaupun mungkin rasanya berat karena aa’ juga sudah pernah lihat langsung bagaimana suatu komitmen diputuskan di dalam rumah aa’ sendiri, tapi mami harap anak-anak mami tetep berani buat berkomitmen. Ya, Sayang?”

Sebuah senyuman terlukis sempurna pada wajah indah Anjani, senyum yang eksistensinya selalu menghangatkan hati. “Jangan takut jatuh cinta atau bahkan memulai suatu komitmen karena kalau-kalau aa’ takut merasa sakit dari jatuh itu, seenggaknya di bawah sini akan ada mami, papi, teteh, dan nggak lupa adek yang pasti bantu mengobati.”

Dan kini, hati yang sebelumnya terus ragu untuk mencinta telah sepenuhnya bebas dari belenggu.

Juna sudah mantap untuk melangkah maju. Semoga jauh di sana, Aska masih setia menunggu.

Kali kedua Aska bertemu dengan Juna sejak insiden malam hari itu, ia masih berharap dirinya akan bersikap jauh lebih bijak. Sebab kini ia jadi sama sekali nggak menikmati dentum musik yang menjalar hingga ke sudut-sudut ruangan. Tatkala semua temannya asik menenggak minuman beralkohol dengan menikmati iringan musik yang ada, dirinya justru memikirkan bagaimana dunia tampak ingin selalu mempertemukan keduanya.

Dari dulu hingga sekarang, dua laki-laki itu selalu saja bertubrukan pada momentum yang nggak keduanya sangka. Hingga Juna dan Aska, keduanya saling menumbuhkan rasa, meski kini tengah berada pada ambang yang membingungkan.

Tahu akan seperti ini, Juna seharusnya nggak mengiyakan ajakan Hanan sebelumnya. Dari sekian banyak meja yang bisa ia tempati, kenapa Juna harus duduk berseberang-seberangan dengan laki-laki kelahiran Agustus itu? Lagipula siapa yang akan menyangka kalau Aska akan ikut ke acara malam ini. Pemuda itu telah dikenal sebagai sosok yang sama sekali nggak rela membiarkan minuman beralkohol merk apa pun masuk melewati kerongkongannya.

Mata keduanya terkunci untuk beberapa saat, jiwanya seakan berteriak ingin segera merengkuh satu sama lain erat. Namun apa daya, yang Juna bisa lakukan hanya membuang wajahnya ke arah samping sedang Aska terus menatapnya hingga ia kemudian lelah sendiri.

Payah; pecundang. Sebut semua kata yang dapat mendeskripsikan sosok Juna belakangan ini. Tapi yang pemuda itu tahu, ia nggak akan membiarkan Aska tersentuh oleh siapa-siapa saja yang berpotensi menyakiti dirinya. Maka tatkala pandangnya menangkap Aska yang tengah digoda oleh laki-laki lain, Juna nggak lagi bisa menahan keinginannya untuk menghampiri laki-laki itu. Persetan dengan nama atau bahkan sosok di balik laki-laki itu. Juna hanya ingin Aska pulang dengan kondisi yang masih baik-baik saja.

“Ayo dong, masa udah dateng ke sini, tapi nggak minum apa-apa?” Pemuda itu tampak menyodorkan sloki tepat pada wajah Aska. “Have fun bareng aja kita.”

“Maaf-”

He doesn’t drink.” Juna tersenyum menahan kesalnya, berujar pada laki-laki entah siapa namanya yang lengannya hampir terlingkar sempurna pada bahu Aska. “And hand’s off, please?

Laki-laki itu terkekeh, menyipitkan mata untuk menajamkan fokusnya pada objek pandangnya. “Maba mesin, ya? Yang tadi datengnya telat?”

“Iya.” Juna membalas laki-laki itu sekenanya, kemudian beralih pada Aska sembari alisnya bertaut khawatir. “Are you sure you still wanna be here?

Sejujurnya enggak. Nggak sama sekali.

Aska sungguh nggak menyukai suasana seperti ini, bukan karena kehadiran Juna atau juga hal lain.

Tapi kontras dengan hatinya, mulut Aska justru terkunci rapat enggan menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh pemuda di hadapannya. Ia memandang Juna lekat-lekat di tengah temaramnya ruangan, membuat Juna frustrasi nggak tahu harus bertindak apa.

“Oke.” Juna paham kalau ia nggak bisa terus berada di mari. “Seenggaknya lain kali, jangan lupa pake jaket. You know it well you catch cold easily, right?” Laki-laki itu menyampirkan jaket denim-nya pada tubuh Aska yang kalau diteliti akan sedikit lebih mungil dari ukuran tubuhnya walau nggak terlalu signifikan.

Take care. Jangan pisah sama temen-temen lu, jangan mau kalo diajak pulang sama orang yang menurut lu jahat. I’m going home.” Juna tersenyum canggung meninggalkan Aska di tengah keramaian. Pemuda itu hanya nggak mau merusak malam Aska, maka pada akhirnya ia memutuskan untuk menjadi pihak yang pergi menjauh.

Tapi Juna bisa apa kalau Aska justru juga menjadi pihak yang pergi menjauh; menjauh dari keramaian untuk mengikuti arah jalannya ke luar. Hingga suaranya bersahut, membuat jantung Juna seolah lolos dari tulang rusuknya.

“Kalo gue pulangnya sama lu.” Aska menjeda kalimatnya sesaat. “Would that be okay?

Do you consider yourself as ‘orang jahat’ kayak apa yang lu bilang tadi?”

Kini Aska telah berdiri tepat di belakang Juna. Laki-laki April itu tahu kalau ia memutarbalikkan badan, maka Aska akan menjadi pemandangan pertama yang ia lihat.

No, I don’t.” Juna menjawab dengan ketakutan yang menyelimuti hatinya.

Great, because me neither.” Aska berjalan ke depan, memandang Juna yang masih tampak enggan memandangnya balik. “So can you drive me home?

Well, okay. Gapapa kalo nggak bisa. I can just go back to the par-

Sure.” Juna menelan ludahnya gugup. “Sure, let me drive you home.

Because I cannot see you being with any other person rather than me.

Kalau saja batinnya bisa bersuara, maka frasa tersebut akan menjadi pelengkap kalimatnya yang tadi. Tapi pemuda itu memang kelewat payah. Yang selanjutnya ia lakukan hanya membukakan pintu untuk Ask, mengantar laki-laki itu pulang dengan selamat hingga sampai rumahnya.

Atmosfer ini terasa menyesakkan. Aska nggak ingin keadaan ini berlangsung untuk terlalu lama. Akan tetapi, ia juga nggak melihat adanya pergerakan yang berarti dari sisi Juna. Mana bisa Aska paksa Juna untuk cepat bergerak. Biar bagaimana juga, Juna adalah seseorang dengan pendiriannya sendiri. Aska sama sekali nggak bertanggung jawab atas diri laki-laki itu. Ia nggak bisa membuang-buang waktunya hanya untuk mengubah pemikiran seorang Arjuna Prima Putra.

Perjalanan dari bilangan Sudirman hingga ke Menteng itu hanya dipenuhi sunyi yang memuakkan. Aska benci perasaan itu, ia sungguh sangat ingin kembali ke masa lalu di mana semuanya terasa baik-baik saja.

Thank you Juna. Drive safe sampe ke Bogor.”

Nggak ada keberanian yang tersisa dari diri Juna untuk sekadar membalas rasa terima kasih dari Aska. Lelaki itu hanya menyimpulkan senyumnya, kemudian menginjak pedal gas untuk meninggalkan Aska sendiri, baik secara literal maupun figuratif.

So, are we just gonna stay like this forever?

Satu tetes air mata lolos bersamaan, baik itu dari laki-laki yang ditinggalkan dan juga yang meninggalkan.

Kini Aska mengerti alasan di balik mengapa hampir setiap insan memilih untuk menghindari pertemuan dengan mantan kekasih sebab tatkala maniknya dengan manik milik Juna bertemu dan terkunci untuk beberapa saat, waktu seolah berhenti dan dunia pun kabur.

Meskipun secara teknis Juna nggak bisa dikatakan sebagai mantan kekasihnya, namun rasanya tetap sama. Keduanya seakan baru putus hubungan walau sejatinya belum ada yang mereka mulai.

Aska benci perasaan ini. Harapannya, ia dapat bersikap lebih bijak dalam menanggapi kegundahan hatinya, namun mempraktekan hal tersebut nyatanya nggak semudah membalikkan telapak tangan. Pemuda Agustus itu jadi kehilangan fokusnya, padahal ini adalah saat yang tepat baginya untuk bertukar wawasan dengan seniornya.

Fokus Aska sudah terlanjur hilang pada saat netranya menangkap figur Juna yang turut menyambangi lingkaran manusia di Tamtek ini, figur yang sudah ia rindu-rindukan eksistensinya. Laki-laki itu telah mencoba mengalihkan pandangannya dari tempat Juna terduduk, namun bayang-bayang pemuda kelahiran April itu masih menghantuinya.

“Udah, Ska, diliatin mulu cowoknya.”

“Bukan cowok gue.”

Jawaban singkat dari Aska berhasil mengundang tawa kecil dari Riga. “Ya udah jangan kayak mau nangis gitu. Sepupu lu, tuh, lagi ngomong. Perhatiin.”

Kepala Aska tertunduk, membuat Riga menghela napasnya panjang. Ditaruhnya telapak tangan kirinya pada lutut Aska untuk membuat sahabatnya itu merasa lebih baik.

Keadaan pada sisi Juna juga nggak jauh berbeda. Sekuat tenaga lelaki itu coba untuk mengusir pikiran-pikiran yang menghantuinya di setiap malam matanya terpejam, namun otaknya akan kembali memikirkan sang pujaan hati.

Juna pun nggak ingin menghalangi apa yang keduanya telah impi-impikan, tapi rasa takut itu terasa terus menerus membelenggu membungkus hatinya.

Melihat teman baiknya yang tampak nggak baik-baik saja membuat Hanan menautkan kedua alisnya kebingungan.

“Kenapa lu dari tadi ganti-gantian ngeliatin sama Aska, sih?”

“Gapapa.”

Baik, tolong ingatkan Hanan untuk memeriksa Juna nanti.

Interaksi antarsenior dan mahasiswa baru itu berlangsung dalam rentang waktu yang cukup lama. Hingga belahan Indonesia bagian barat itu telah dibungkus sempurna oleh gelapnya malam, baru mahasiswa-mahasiswa tersebut memutuskan untuk membubarkan pertemuan.

Laki-laki bertulang pipi tinggi itu menghampiri sang adik sepupu, hendak mengajaknya pulang ke rumah sebab ia sudah sempat berjanji.

“Mau pulang sekarang?”

“Boleh, Kak Mik.”

“Oke.” Lelaki yang diketahui bernama Mikha itu menyimpulkan senyumnya, menggeser arah pandangnya sedikit ke samping. “Riga mau bareng atau....”

“Nggak usah, Bang, makasih. Gue balik sama Kak Gane, kok.”

“Hahaha, oke, oke. Gue duluan, ya, sama Aska?”

“Iya, Bang, hati-hati. Masih galau, tuh, sepupu lu.”

Ah, pemuda bernama Riga itu memang suka nggak tahu tempat. Ia baru saja membocorkan fakta bahwa Aska sedang nggak baik-baik saja.

Still?” Mikha berucap dengan nada yang penuh kekhawatiran.

“Nggak, kok, udah biasa aja.” Aska berusaha menutupi fakta tersebut walau ia tahu percuma. “Ayo, Kak Mik. Aska pengen cepet-cepet pulang. Cabut, ya, Rig.”

Mikha hanya mengangguk-anggukan kepalanya, kemudian bergegas menyusul jalannya sang adik sepupu di depan. Namun, begitu mereka sampai di tempat sedan hitamnya terparkir, laki-laki itu justru memutar balik tubuhnya. Mencari alasan yang tepat untuk dirinya bisa izin kembali sebentar ke dalam area Tamtek.

“Aska, tunggu sebentar, ya? Korek Kakak kayaknya ketinggalan sama temen Kakak.” Mikha menyerahkan kunci mobilnya untuk dapat Aska pakai memanaskan mesin mobil. “Ini, Aska panasin dulu aja biar nanti Kakak balik, kita langsung jalan.”

Aska yang nggak ingin banyak bicara, hanya menerima kunci mobil pemberian Mikha, sedang sang empunya berjalan kembali masuk ke gedung teknik.

Sayang, kakak sepupunya itu memang nggak mahir berdusta sebab yang Aska temukan begitu dirinya masuk ke kursi kemudi ialah korek api yang tergeletak sempurna pada bagian tengah antara kursi kemudi dan kursi penumpang. Laki-laki itu bisa langsung menebak apa tujuan sang kakak sepupu kembali menyambangi area Tamtek.

Sementara Mikha kini tengah mengedarkan pandangannya, mencari-cari objek yang ingin ia ajak bicara. Dan begitu netranya menangkap figur semampai seorang Juna, ia langsung saja melangkahkan kakinya menghampiri pemuda yang tengah terduduk di meja Kantek itu.

“Juna.”

“Eh, Bang?”

Juna? Sudah pasti terlonjak begitu bahunya ditepuk oleh sosok seniornya itu. Lantas ia langsung bangkit dari duduknya, mengikuti arah jalan Mikha sesaat setelah seniornya itu memberinya gestur untuk ikut pergi bersamanya.

“Ada apa, ya, Bang?”

Pemuda tersebut nggak ingin tampak gugup di depan seniornya itu, namun gelagat matanya justru berkata lain. Ia total terlihat gugup tatkala Mikha menaruh pandang pada dirinya.

“Oke, gue nggak mau basa-basi karena gue nggak ngerasa gue perlu ikut campur urusan lu sama Aska. Tapi, gue kayaknya nggak bisa ngeliat Aska disia-siain lagi sama cowok yang nggak punya pengaruh apa-apa buat dia.” Mikha menyenderkan tubuhnya pada salah satu tiang kayu. “Okay, look. Maaf, I know this seems a little cringey karena harusnya gue emang nggak perlu ngurusin masalah hati lu berdua. Pokoknya to make it short, gue nggak bakal mau ngebantu lu soal apa-apa lagi kalo lu cuma mau main-main sama Aska. Di luar urusan organisasi, gue nggak mau ngobrol lagi sama lu walaupun lu sebenernya salah satu maba yang gue suka sifat dan cara kerjanya. Sounds unprofessional, tapi gue lebih sayang sama Aska daripada sama orang yang baru gue kenal satu semester.”

Sebagai penutup, Mikha memberi tepukan sarkasme pada dada bidang milik pemuda April itu. “Behave, be good to him kalo masih punya hati. He's my precious baby.

Mikha beranjak pergi meninggalkan Juna seorang diri. Laki-laki itu sedikit nggak percaya kalau firasatnya akan menjadi nyata. Ia sudah merasa takut kalau-kalau seniornya itu akan mengajaknya bicara tentang urusan pribadi dan benar adanya kalau Mikha memang baru saja membicarakan Aska dengan dirinya. Meski hingga kini, Juna nggak kunjung tahu siapa sosok Mikha di dalam hidup Aska.

Laki-laki itu berjalan kembali ke dalam kantin fakultasnya dengan rasa yang kurang nyaman menyelimuti rongga dadanya. Sewaktu ia sampai di dalam, teman-temannya ternyata sedang bersiap untuk pulang. Hanan sudah terlebih dahulu membawakan totebag-nya untuk ia bawa pulang.

“Udah gue bilang 'kan backing-annya serem?”

“Maksud lu?”

“Senior lu yang itu.” Hanan menunjuk figur Mikha yang tengah berjalan menjauh menggunakan dagunya. “Kakak sepupunya Aska. Sama-sama anak tunggal, makanya mereka bisa deket karena saling nemuin sosok kakak sama adek di satu sama lain.”

Sedikit nggak percaya dengan fakta tersebut, Juna hanya dapat menganga kebingungan.

“Kaget, Jun? Hahaha.”

Fokus laki-laki April itu kembali. “Kok lu bisa tau sampe situ?”

“Gue 'kan intel.”

“Tapi-”

“Susah, Bro, kalo urusannya udah sama senior. Lu tau sendiri sekeras apa dept kita.” Hanan menepuk pundak Juna, berniat untuk menyemangati. “Gue nggak tau lu lagi kenapa sama Aska karena lu nggak ada cerita-cerita sama gue, tapi semangat, deh, ya.”