Hospital – 2
Senyum Juna kian mengembang seiring Aska melangkah ke arahnya. Rasa kecewa akan sosok kekasihnya itu seolah menguap begitu saja di tengah teriknya panas matahari kota. Seenggaknya, pemuda itu sudah mengajukan kata maafnya. Juna juga rasanya paham kalau kondisi Aska memang sedang nggak baik-baik saja. Usai berpamitan pada beberapa teman Juna, keduanya berjalan beriringan menuju tempat mobil Juna terpakir.
“Jalan sekarang, ya?”
“Iya.”
Mereka tampak menikmati perjalanan itu dalam diam. Juna yang nggak ingin salah bicara, pun Aska yang masih sedikit merasa canggung sebab kesalahannya kemarin.
Setelah dipikir-pikir lagi, sepertinya perkataan kakak sepupu Aska ada benarnya juga. Tampaknya memang kurang etis kalau kita mengusir tamu yang sudah sukarela menjenguk. Membayangkan usaha dan waktu yang Juna keluarkan, memang sudah seharusnya Aska menerima Juna untuk waktu yang cukup lama.
Aska hanya tertunduk memperhatikan kuku jarinya yang ia letakan di atas kedua pahanya yang terbalut jeans biru tua. Juna sesekali mencuri padang ke arah laki-laki yang lebih muda itu. Memperhatikan sang kasih yang tampak diam hari ini.
“Aska,” panggil Juna dengan fokus yang masih tertuju pada jalanan di luar jendela.
“Iya, Jun?”
“You seem quiet today. Is everything okay?” Juna bertanya. “I mean, nggak ada kabar buruk dari papa 'kan? Atau kabar buruk dari kamu gitu....”
Laki-laki yang ditanya sempat termenung untuk sesaat sebelum menawarkan jawaban. “Uhm, nggak kok. Iya, nggak ada apa-apa.”
“Well, okay.“
Perjalanan itu berlanjut dengan keduanya yang masih sama-sama diam. Mungkin hanya sesekali bertanya mengenai hal-hal yang sederhana dan selebihnya hanya diisi dengan alunan musik yang keluar dari pengeras suara pada sedan putih itu.
Sampai di rumah sakit tujuan, Juna terlebih dahulu turun untuk membukakan Aska pintu. Mereka sama-sama berjalan dengan Juna yang berada di sisi kanan, menghindari Aska dari kendaraan roda dua yang kemungkinan dapat menyerempet lengan laki-laki kesayangannya itu. Nggak lupa, Juna juga menjinjing titipan sang ayah pada tangan kanannya.
Ayah Aska kini sudah terlihat lebih baik dari hari kemarin sebab pria tersebut sudah dapat tersenyum begitu beliau mendapati kehadiran Aska. Senyum beliau nggak sempurna, tapi Aska akan selalu menantikan kehadirannya. Laki-laki itu berjalan cepat menghampiri ranjang sang ayah, memberinya pelukan sebelum ia sempat menaruh tas bawaannya.
Juna juga nggak lupa buat ikut menyapa teman baik ayahnya itu. Menyalaminya dengan hati-hati sebelum memberikan titipan sang ayah.
“Halo, Om Saka,” laki-laki April itu tersenyum sopan, sebelum ibu dari Mikha, kakak sepupu Aska, keluar dari toilet dan menemukan keponakannya yang sudah hadir di ruangan ini.
“Eh, Aska.” Wanita itu menerima salam tangan Aska, sebelum pandangnya beralih pada sosok Juna. “Ini... Juan, ya? Yang sempat datang kemarin?”
“Iya, Juna, Tante, hehehe.”
“Oh....” Wanita bernama Sarah itu menepuk jidatnya sendiri. “Iya, iya. Maaf, Tante lupa. Adik tingkatnya Mikha 'kan, ya?”
“Iya, Tante, bener.”
“Oke, oke. Duduk, Nak, ini ada kursi kok.”
“Oh iya, makasih, Tante. Sama ini, ada titipan dari papi, temen golfnya om Saka.”
“Wah, makasih ya, Juna.”
Juna lantas terduduk di atas kursi yang memang tersedia di dalam unit perawatan itu. Berbincang satu dua hal dengan Aska dan juga Sarah.
“Mikha katanya mau datang ke mari. Ke mana anaknya, ya, Aska?” tanya wanita itu sembari memotong buah apel di atas piring putih rumah sakit.
“Iya, Tan, tadinya Aska mau bareng Kak Mik ke sini, tapi jadinya sama Juna aja, hehe. Nanti mungkin nyusul, Tan, habis ketemu sama temen-temennya.”
“Memang anak itu sukanya maiiin terus.”
“Hehehe, namanya juga anak kuliahan, Tan.”
Ketiganya melanjutkan obrolan hingga matahari tampak mulai tenggelam di ujung barat. Sarah sempat membeli hidangan malam untuk disantap Juna dan juga Aska sebelum akhirnya Sarah meminta Aska untuk pulang dan kembali di esok hari. Lagipula, kondisi ayah Aska memang tampak kian membaik, nggak ada hal yang harus Aska khawatirkan.
“Nak Juna, Tante titip Aska, ya,” ujar wanita pada pertengahan lima puluhnya itu. Telapaknya ikut beralih mengusap lengan Juna. “Hati-hati di jalan. Nanti Tante kabari terus kalau ada apa-apa.”
“Oke, Tan, Aska pulang, ya. Titip papa juga.” Aska menyalami Sarah sebelum beralih pada sang ayah. Memeluk beliau dengan berhati-hati sebelum dirinya pamit pulang.
Lagi-lagi, seluruh perjalanan malam itu diisi dengan hening yang nyaring. Juna nggak ingin memaksa Aska untuk bercerita banyak sebab mungkin laki-laki itu memang masih butuh waktu meski kondisi ayahnya sudah mulai membaik.
Pemuda itu sempat membelokkan kemudi ke arah drive thru Starbucks. Sempat menawarkan Aska minum, namun kekasihnya itu justru menolak. Lantas ia hanya berakhir memesan satu gelas minuman dan nggak lupa camilan manis.
“Bener kamu nggak mau?”
“Nggak, Jun, thank you.”
“Oke, oke.” Juna berangguk sembari menunggu antrian mobil di depan.
Laki-laki April itu betul-betul mengantar Aska sampai ke depan pagar rumahnya. Ia bahkan ikut turun dari mobil untuk memastikan Aska benar-benar masuk ke dalam rumah dan mengunci pagar beserta pintu rumahnya.
Namun sebelum itu, Juna sempat kembali ke mobil untuk mengeluarkan sesuatu. Ternyata, minuman beserta camilan yang ia pesan melalui layanan drive thru tadi sebetulnya ia tujukan untuk Aska. Tapi kali ini, sudah ada surat yang ia selipkan di dalamnya.
“Diminum, ya, buat ngangetin badan.” Begitu ujarnya sembari menyerahkan bungkus kertas yang berisi pesanannya tadi.
“Eh? Kirain kamu pesen buat diri kamu sendiri tadi?”
Juna hanya tersenyum, mengusap lembut tengkuk Aska sebelum memintanya masuk ke dalam rumah. “Masuk gih istirahat. Kalo ada apa-apa, call aku aja nanti aku bantu sebisa mungkin.”
“Oke....” Aska tersenyum tipis. “Makasih ya, A' Ajun. You're the best, trully.“
Senyum Juna tampak melebar hingga kedua matanya yang cantik melengkung membentuk bulan sabit. “Kamu tau 'kan aku sayang sama kamu?”
“Selalu,” jawab Aska pelan, namun terdengar pasti. “Aku selalu tau itu.”
“Glad to hear that.“
“Aku juga, Jun,” sambung Aska, “aku juga sayang sama kamu. Semoga kamu selalu tau itu.”
Senyum Juna kini tampak jauh lebih teduh, telapaknya kembali mengusap pucuk kepala Aska sebelum laki-laki itu masuk ke dalam rumahnya. Mengistirahatkan badan di atas sofa sebelum ia teringat akan secarik kertas yang terselip di antara minuman dan camilan yang diberikan oleh kekasihnya itu.
Mata Aska lantas kembali terbuka, tangannya terulur untuk mengeluarkan kertas putih yang ia cari-cari.
Aska, aku udah niat mau nulis ini dari tadi siang, semoga bisa beneran sampe ke kamu malem ini ya.
Aku tau pasti rasanya gaenak ada di posisi di mana orang tua kita yang satu-satunya jatuh sakit dan kita gabisa berbuat apa-apa. I'm so sorry that you have to gone through it all. Aku bantu doa dari sini ya? Semoga papa bisa cepet sembuh dan kamu juga baik-baik aja.
Aku tau pasti rasanya susah dan mungkin kamu butuh waktu sendiri, tapi aku harap kamu ga terus-terusan ada di kesendirian itu. Ada lho cowo yang namanya Juna, yang mau nemenin kamu kapan dan di mana pun itu. Mau kamu lagi seneng atau lagi sedih, aku selalu mau nemenin kamu.
Gapapa Aska, biarin aku temenin kamu. Mau kamu diem-diem doang atau kamu bawel, aku masih dan bakal terus mau nemenin kamu. Karena, yah... isn't that the reason for me to exist for?
Tapi, gapapa juga kalo kamu masih mau sendiri. Just don't push me away terus-terusan, let me be there for you kayak gimana kamu selalu ada buat aku kemaren-kemaren ini.
Chin up, Aska. You still look pretty sih even when you're sad, but truth to be told you look even heavenly beautiful when you're in your happiest state.
Aku sayang kamu, hope you'll always know that ya, Cantik akuuuu :)
Juna.