395
Kini Aska mengerti alasan di balik mengapa hampir setiap insan memilih untuk menghindari pertemuan dengan mantan kekasih sebab tatkala maniknya dengan manik milik Juna bertemu dan terkunci untuk beberapa saat, waktu seolah berhenti dan dunia pun kabur.
Meskipun secara teknis Juna nggak bisa dikatakan sebagai mantan kekasihnya, namun rasanya tetap sama. Keduanya seakan baru putus hubungan walau sejatinya belum ada yang mereka mulai.
Aska benci perasaan ini. Harapannya, ia dapat bersikap lebih bijak dalam menanggapi kegundahan hatinya, namun mempraktekan hal tersebut nyatanya nggak semudah membalikkan telapak tangan. Pemuda Agustus itu jadi kehilangan fokusnya, padahal ini adalah saat yang tepat baginya untuk bertukar wawasan dengan seniornya.
Fokus Aska sudah terlanjur hilang pada saat netranya menangkap figur Juna yang turut menyambangi lingkaran manusia di Tamtek ini, figur yang sudah ia rindu-rindukan eksistensinya. Laki-laki itu telah mencoba mengalihkan pandangannya dari tempat Juna terduduk, namun bayang-bayang pemuda kelahiran April itu masih menghantuinya.
“Udah, Ska, diliatin mulu cowoknya.”
“Bukan cowok gue.”
Jawaban singkat dari Aska berhasil mengundang tawa kecil dari Riga. “Ya udah jangan kayak mau nangis gitu. Sepupu lu, tuh, lagi ngomong. Perhatiin.”
Kepala Aska tertunduk, membuat Riga menghela napasnya panjang. Ditaruhnya telapak tangan kirinya pada lutut Aska untuk membuat sahabatnya itu merasa lebih baik.
Keadaan pada sisi Juna juga nggak jauh berbeda. Sekuat tenaga lelaki itu coba untuk mengusir pikiran-pikiran yang menghantuinya di setiap malam matanya terpejam, namun otaknya akan kembali memikirkan sang pujaan hati.
Juna pun nggak ingin menghalangi apa yang keduanya telah impi-impikan, tapi rasa takut itu terasa terus menerus membelenggu membungkus hatinya.
Melihat teman baiknya yang tampak nggak baik-baik saja membuat Hanan menautkan kedua alisnya kebingungan.
“Kenapa lu dari tadi ganti-gantian ngeliatin sama Aska, sih?”
“Gapapa.”
Baik, tolong ingatkan Hanan untuk memeriksa Juna nanti.
Interaksi antarsenior dan mahasiswa baru itu berlangsung dalam rentang waktu yang cukup lama. Hingga belahan Indonesia bagian barat itu telah dibungkus sempurna oleh gelapnya malam, baru mahasiswa-mahasiswa tersebut memutuskan untuk membubarkan pertemuan.
Laki-laki bertulang pipi tinggi itu menghampiri sang adik sepupu, hendak mengajaknya pulang ke rumah sebab ia sudah sempat berjanji.
“Mau pulang sekarang?”
“Boleh, Kak Mik.”
“Oke.” Lelaki yang diketahui bernama Mikha itu menyimpulkan senyumnya, menggeser arah pandangnya sedikit ke samping. “Riga mau bareng atau....”
“Nggak usah, Bang, makasih. Gue balik sama Kak Gane, kok.”
“Hahaha, oke, oke. Gue duluan, ya, sama Aska?”
“Iya, Bang, hati-hati. Masih galau, tuh, sepupu lu.”
Ah, pemuda bernama Riga itu memang suka nggak tahu tempat. Ia baru saja membocorkan fakta bahwa Aska sedang nggak baik-baik saja.
“Still?” Mikha berucap dengan nada yang penuh kekhawatiran.
“Nggak, kok, udah biasa aja.” Aska berusaha menutupi fakta tersebut walau ia tahu percuma. “Ayo, Kak Mik. Aska pengen cepet-cepet pulang. Cabut, ya, Rig.”
Mikha hanya mengangguk-anggukan kepalanya, kemudian bergegas menyusul jalannya sang adik sepupu di depan. Namun, begitu mereka sampai di tempat sedan hitamnya terparkir, laki-laki itu justru memutar balik tubuhnya. Mencari alasan yang tepat untuk dirinya bisa izin kembali sebentar ke dalam area Tamtek.
“Aska, tunggu sebentar, ya? Korek Kakak kayaknya ketinggalan sama temen Kakak.” Mikha menyerahkan kunci mobilnya untuk dapat Aska pakai memanaskan mesin mobil. “Ini, Aska panasin dulu aja biar nanti Kakak balik, kita langsung jalan.”
Aska yang nggak ingin banyak bicara, hanya menerima kunci mobil pemberian Mikha, sedang sang empunya berjalan kembali masuk ke gedung teknik.
Sayang, kakak sepupunya itu memang nggak mahir berdusta sebab yang Aska temukan begitu dirinya masuk ke kursi kemudi ialah korek api yang tergeletak sempurna pada bagian tengah antara kursi kemudi dan kursi penumpang. Laki-laki itu bisa langsung menebak apa tujuan sang kakak sepupu kembali menyambangi area Tamtek.
Sementara Mikha kini tengah mengedarkan pandangannya, mencari-cari objek yang ingin ia ajak bicara. Dan begitu netranya menangkap figur semampai seorang Juna, ia langsung saja melangkahkan kakinya menghampiri pemuda yang tengah terduduk di meja Kantek itu.
“Juna.”
“Eh, Bang?”
Juna? Sudah pasti terlonjak begitu bahunya ditepuk oleh sosok seniornya itu. Lantas ia langsung bangkit dari duduknya, mengikuti arah jalan Mikha sesaat setelah seniornya itu memberinya gestur untuk ikut pergi bersamanya.
“Ada apa, ya, Bang?”
Pemuda tersebut nggak ingin tampak gugup di depan seniornya itu, namun gelagat matanya justru berkata lain. Ia total terlihat gugup tatkala Mikha menaruh pandang pada dirinya.
“Oke, gue nggak mau basa-basi karena gue nggak ngerasa gue perlu ikut campur urusan lu sama Aska. Tapi, gue kayaknya nggak bisa ngeliat Aska disia-siain lagi sama cowok yang nggak punya pengaruh apa-apa buat dia.” Mikha menyenderkan tubuhnya pada salah satu tiang kayu. “Okay, look. Maaf, I know this seems a little cringey karena harusnya gue emang nggak perlu ngurusin masalah hati lu berdua. Pokoknya to make it short, gue nggak bakal mau ngebantu lu soal apa-apa lagi kalo lu cuma mau main-main sama Aska. Di luar urusan organisasi, gue nggak mau ngobrol lagi sama lu walaupun lu sebenernya salah satu maba yang gue suka sifat dan cara kerjanya. Sounds unprofessional, tapi gue lebih sayang sama Aska daripada sama orang yang baru gue kenal satu semester.”
Sebagai penutup, Mikha memberi tepukan sarkasme pada dada bidang milik pemuda April itu. “Behave, be good to him kalo masih punya hati. He's my precious baby.“
Mikha beranjak pergi meninggalkan Juna seorang diri. Laki-laki itu sedikit nggak percaya kalau firasatnya akan menjadi nyata. Ia sudah merasa takut kalau-kalau seniornya itu akan mengajaknya bicara tentang urusan pribadi dan benar adanya kalau Mikha memang baru saja membicarakan Aska dengan dirinya. Meski hingga kini, Juna nggak kunjung tahu siapa sosok Mikha di dalam hidup Aska.
Laki-laki itu berjalan kembali ke dalam kantin fakultasnya dengan rasa yang kurang nyaman menyelimuti rongga dadanya. Sewaktu ia sampai di dalam, teman-temannya ternyata sedang bersiap untuk pulang. Hanan sudah terlebih dahulu membawakan totebag-nya untuk ia bawa pulang.
“Udah gue bilang 'kan backing-annya serem?”
“Maksud lu?”
“Senior lu yang itu.” Hanan menunjuk figur Mikha yang tengah berjalan menjauh menggunakan dagunya. “Kakak sepupunya Aska. Sama-sama anak tunggal, makanya mereka bisa deket karena saling nemuin sosok kakak sama adek di satu sama lain.”
Sedikit nggak percaya dengan fakta tersebut, Juna hanya dapat menganga kebingungan.
“Kaget, Jun? Hahaha.”
Fokus laki-laki April itu kembali. “Kok lu bisa tau sampe situ?”
“Gue 'kan intel.”
“Tapi-”
“Susah, Bro, kalo urusannya udah sama senior. Lu tau sendiri sekeras apa dept kita.” Hanan menepuk pundak Juna, berniat untuk menyemangati. “Gue nggak tau lu lagi kenapa sama Aska karena lu nggak ada cerita-cerita sama gue, tapi semangat, deh, ya.”