435

Song recommendation: click here


Kontras dengan apa yang ia ekspektasikan pada angannya, kini Aska justru tertegun tatkala maniknya menangkap keberadaan sedan putih yang terparkir sempurna tepat di depan perkarangan rumahnya.

Bukan ini yang Aska ekspektasikan. Dirinya sudah siap jika pada akhirnya ia harus rela melepas pemuda yang telah mengisi ruang dalam hatinya selama beberapa bulan terakhir. Memang bukan yang pertama, tetapi laki-laki kelahiran Agustus itu tahu persis kalau ia sedang menumbuhkan rasa kasih paling hebat di seumur hidupnya.

Jemari Aska sedikit bergetar sewaktu hendak membukakan pagar untuk lelaki yang amat ia rindukan hangat dari hadirnya. Rasa gugup menyergap tubuhnya ketika laki-laki itu sepertinya tampak telah cukup lama berdiri menanti sang empunya rumah keluar.

“Hai.”

Sapaan yang meluncur dari belah bibir Juna sebetulnya nggak terdengar semudah itu untuk terucap lantaran ia telah berkali-kali mencoba meyakinkan dirinya sendiri di sepanjang jalan yang ia lalui dari rumahnya hingga sampai ke pemberhentian terakhirnya.

“H-hai.”

Canggung rasanya. Seperti ada dinding tinggi yang membatasi keduanya untuk berkomunikasi.

Didn’t expect you to come, but....” Aska menjeda perkataannya. “Well, come in.

Isn’t it going to be awkward if I come in, but it turns out that you won’t be accepting me back into your life?

Aska terbungkam sebab pernyataan Juna benar adanya.

Well, uhm, kalo gitu gue... ngomongnya... di sini aja kali, ya?” Juna berdeham, mengatup bibirnya rapat-rapat sebelum kembali bersuara.

I... once again, want to ask for your apology because I’ve disappointed you in so many ways. I acknowledged my mistake; you’re traumatized by someone who left you hanging without giving any closure or even further explanation, and yet I was there, not being cautious... I was about to make you go through the same phase. Gue beneran mau minta maaf buat itu semua.”

Sunyi malam itu seakan mendukung atmosfer yang membungkus keduanya. Juna sempat berhenti sesaat untuk mengatur riuh degub jantungnya, sedang Aska setia menunggu kelanjutan dari kalimatnya.

But then gue nggak mau cuma minta maaf ke lu because you’re right, kalo gue cuma minta maaf tanpa ngelakuin aksi yang berarti, things won’t instantly get better. I tried my best to gather all my courage, to be standing right here, right in front of you. I’m gonna prove you that I love you, that I’m worth the wait. So maybe... I’d like to ask for my second chance, but only if you want to grant it, kok. No pressure at all. Gue selalu percaya sama pilihan lu.”

Juna menatap Aska dalam dan Aska dipastikan tenggelam sebab yang kemudian ia lakukan adalah melangkah maju, mendekap Juna dengan degub yang berpacu.

Aska sudah mengantisipasi segala hal buruk yang mungkin akan terjadi. Tapi ketika ia bisa merasakan lengan Juna yang terlingkar pada pinggangnya, tetes air mata seketika meluncur pada permukaan pipinya.

Laki-laki itu sepenuhnya tahu bahwa pemuda di dalam rengkuhannya akan kembali menetap.

“Aska... nangis?”

Kepalan tangan Aska mendarat berkali-kali pada punggung bidang Juna, membuat sang empunya jadi menerima pukulan yang terasa cukup keras, tapi nggak semenyakitkan ketika keduanya terpaksa harus berpisah selama beberapa waktu.

“Junaaa... lu, tuh, ya....”

Dinding pembatas imajinernya seolah runtuh. Udara di sekitar nggak lagi terasa menyesakkan untuk keduanya hirup.

I know... I know.” Kontras dengan apa yang dilakukan oleh Aska, laki-laki April itu justru terkekeh pelan sembari mengelus punggung Aska dengan penuh kasih. “Gapapa, pukul aja sampe lu puas. Deserved.

Aska melepas pelukannya secepat kilat, ganti menangkup pipi Juna secara erat.

Must’ve been not easy for you either since I rushed things too soon....” Ibu jari Aska perlahan bergerak mengusap pipi tirus milik Juna.

“Mana... kok udah? Gue gapapa, kok, kalo emang dengan mukulin gue bisa bikin lu jadi lega. I deserved-

You know what else you deserve?” Aska memotong perkataan Juna. “Love. To be loved and to be in love.

Remember when I said that one day we’ll find someone who will accept us for who we are, who will accept all of our fragments and flaws?” Aska bertanya dengan senyum tulus yang terulas jelas. “I was referring to us. There’s this idea in my head that we’re gonna accept each other despite our lack of things. And also the idea of us helping each other grow into better a person.

Mengulas senyumannya, Juna menggenggam punggung tangan Aska yang masih setia menangkup pipinya. Ia akan selalu merasa kagum akan cara laki-laki Agustus itu berpikir.

Sounds wonderful, beyond wonderful.

Just like the idea of me having you again in my warm embrace.

Pada saat itulah Juna yakin kalau pilihannya memang nggak pernah salah;

Pilihan Juna untuk mengenalinya jauh lebih dalam,

Pilihan Juna untuk menaruh rasa sayang padanya,

Pilihan Juna untuk perlahan mengusir rasa takut di dalam dirinya,

Dan pilihan Juna untuk berani berdiri di sini, tepat di hadapan laki-laki yang ia cintai.

Juna tatap iris gelap yang di dalamnya tergantung gugusan bintang yang bergemerlap; salah satu iris paling cantik yang pernah ia tatap lekat-lekat.

Masih ingin diberi kesempatan untuk dapat menatap Aska dengan jarak yang sedekat ini dan dalam jangka waktu yang lebih panjang, Juna berjanji buat nggak akan pernah berhenti berusaha menjadi satu-satunya lelaki yang pantas untuk disandingkan dengan Askanya yang mendekati sempurna.

Tersenyum dan tanpa banyak bicara, Juna menarik lengan Aska secara lembut untuk ia bawa mendekat. Kembali membuat Aska berada dalam rengkuhannya, dengan telapak tangan kanan yang setia mengusap pelan tengkuk kepala Aska.

Berada di dalam pelukan seseorang nggak pernah terasa senyaman ini. Aska sampai berharap dirinya dapat terus dipertemukan oleh Juna bahkan hingga di kehidupan yang lain. Dirinya masih ingin diberi kesempatan untuk bisa mendengar degub jantung seorang Arjuna yang riuhnya justru terasa menenangkan.

Soon to be mine.

Juna mengeratkan dekapannya.

Soon.