415
Sejatinya, dunia ini memang bekerja di luar kapasitas berpikir otak manusia sebab lucu bagaimana dua insan yang tadinya saling mengasihi dan kemudian berpisah sebab perbedaan rasa, kini dapat duduk berhadap-hadapan dengan sang surya di ufuk barat yang jingganya terulas jelas pada bingkai wajah mereka berdua.
Yang lebih muda tersenyum. Perawakannya nggak berubah barang sedikit pun, masih tetap menggemaskan sebagaimana Juna harus akui.
“Hai, Kak Juna. Gimana, gimana? Mau ngomongin apa, nih?”
Matcha latte favoritnya ia seruput, menunggu respons pasti dari sang lawan bicara. Sedang lawan bicara itu ikut tersenyum, memandang objek di depannya dengan teduh.
“Apa kabar, Raf?”
“Ih, nanya kabar mulu. ‘Kan kemaren udah aku kasih tau di chat,” gerutu laki-laki mungil yang diketahui bernama Rafa itu. “Ketauan ‘kan nggak merhatiin chat-nya.”
“Hahaha.” Gelak tawa khas seorang Juna terdengar jelas pada pojok ruangan kafe kecil itu. “Iya, ya? Ya udah, tapi beneran all good all fine ‘kan? Pusingnya ada di akademis aja?”
“Iya bener. Cuma ‘kan kata kakak wajar, jalanin aja dulu nanti juga akhirnya sampe tujuan. Terus kalo udah sampe tujuan baru, deh, bisa ngebatin... ternyata aku bisa juga, ya, ngejalanin hari-hari berat itu.”
“Lu emang beneran merhatiin setiap bubble chat kita, ya?”
“Iya, dong. Aku gitu.” Rafa tersenyum bangga, membuat Juna lagi-lagi tersenyum.
Akan tetapi senyum teduh itu bukan mengartikan rasa cintanya lagi. Senyum itu justru menggambarkan betapa leganya Juna tatkala ia bisa melihat raut bahagia sang mantan pengisi hati. Mengingat bagaimana dalamnya luka yang pernah ia toreh, pemuda itu bersyukur sebab Rafa tampak telah pulih seutuhnya meskipun ia tahu bekasnya masih akan tetap tampak samar.
“Ayo, Kak, habis ini aku masih harus les. Kakak mau ngomongin apa?”
“Kok mau?”
“Hah?” Kening Rafa mengerut, kedua alisnya bertaut.
“Kok mau ketemu sama gue? Katanya nggak pernah ada niat buat komunikasi sama gue lagi?”
Rafa menyenderkan punggungnya pada kursi kafe, menyimpulkan senyum sebelum memulai rentetan kalimatnya.
“Emang. Aku emang nggak pernah kepikiran buat nge-chat atau sekadar nyapa kakak duluan karena, ya... buat apa? Aku udah seneng sama hidup aku yang sekarang dan aku udah nggak punya urusan sama kakak. Tapi, kalo emang suatu hari kita nggak sengaja papasan atau kayak sekarang kakak ngajak aku ketemu, ya... aku gapapa, sih, kalo harus ngobrol sekata dua kata. My wound is fully healed, aku udah nggak sedih lagi setiap ngeliat kakak. I’ve reached my acceptance phase, jadi aku nggak masalah kalo kakak ngajak ketemu aku.”
Laki-laki dengan pemikiran yang terlihat jauh berbeda dari perangainya, Juna akan selalu merasa kagum akan Rafa yang jauh lebih dewasa dibanding dirinya sendiri meskipun faktanya ia lahir lebih dulu daripada pemuda lucu itu.
“You know what? Come to think of it, bener kalo kakak dulu udah jahat sama aku padahal all I did was trying my best to be your boyfriend. But I didn’t get the response I deserved. You were all over the place sampe kakak akhirnya mutusin aku. I was hurt. The breakup was too sudden, but I saw it coming so I tried my best to let you go walaupun kalo diinget-inget dulu susah banget merjuangin kakak sampe-sampe aku impulsif nembak kakak duluan.”
Rafa terkekeh pelan ketika batang otaknya kembali memutar rekaman masa lalu, masa-masa dirinya mengejar cinta kakak kelasnya dengan nggak tahu malu.
“Well, that’s just how life works. We got broken easily, but we learn to heal from it. Katanya, bukan cinta kalo nggak ada trial and error-nya. Jadi ya udah... aku ikhlasin semuanya sambil pelan-pelan get myself together again. And in the middle of my journey, ternyata aku diketemuin sama Azza yang bisa bikin aku ngerasa disayang lagi. Deket, deket, deket... akhirnya aku bisa buka hati lagi dan sadar kalo me and kak Juna weren't just meant for each other and it’s all fine. Or even worse, we would just hurt each other by continuing what we’ve had.”
“Maaf, Raf-“
“Without you having to ask me for some apologies, I already forgave you, Kak.” Laki-laki yang lahir satu tahun lebih muda dari Juna menyimpulkan senyumnya, kembali menyeruput minuman matcha di atas meja. “You were the one I loved the most. And I hate being this type of person, but I always forgive the people I once loved. Walaupun aku udah nggak sayang lagi dan kesalahan mereka bisa dibilang besar, aku tetep segampang itu maafin mereka.”
Juna merasa malu.
Bagaimana caranya laki-laki itu menyimpan hati yang begitu besar di dalam tubuhnya yang mungil menggemaskan?
“Still. I haven’t properly delivered my apology. So I’m sorry, really I am.”
“Hahaha, oke, okeee. Aku maafin, kok, Kak. Nggak usah ngerasa bersalah lagi sekarang.”
Rafa terkekeh, yang kemudian disusul oleh Juna. Seperti baru saja terbebas dari kurungan sel penjara, Juna kini dapat tertawa dengan kondisi hati yang bebas.
“Hope life treats you well, ya, Raf.”
“Amin, amin! Kakak juga, ya?” Rafa meraih ponselnya, memeriksa jam yang terpampang pada layar kunci ponselnya. “Anyway, kakak sendiri gimana? Got someone new by your side?”
“Belom, Raf.”
“Oh... tapi kalo deketnya udah, ‘kan?”
Dua insan itu tertawa. Rafa sedikit banyak menggoda kakak kelas sekaligus mantan pujaan hatinya itu. “Yang sering kakak story-in itu, ya?”
“Correct.”
“Manis, Kak. Manis banget malah, pantes kak Juna suka.”
“But he’s much more than a sweet nice-looking guy. He’s... worth more than anything I could ever describe.”
“So... why don’t you ask him to be your boyfriend already?”
“I was still sorry for you, for what happened to you. I'm afraid I'm gonna end up hurting him like what I had done to you.”
“Jeez, not this conversation again.” Rafa menepuk jidatnya kesal. “Kak, you’re now not the bad guy I knew years ago. Lagian aku yakin dulu kakak jadi jahat gitu karena keadaan keluarga kakak. From what I knew, your family is all fine and settled now. Kakak pasti sedikit banyak udah bisa move on dong? Yang secara nggak langsung ngebuat kakak jadi cowok yang jauh lebih baik sekarang. People make mistakes all the time, but they also learn from it all the time.”
Laki-laki manis itu berdiri dari duduknya, merapikan barang yang ia bawa ke mari sebelum beranjak ke luar kafe. “Go, Kak. Catch him already. You deserve to love and to be loved. Who knows if he can love you properly the way my boyfriend loves me now. He reaaally makes me feel like I’m the happiest person on earth. Jangan takut jatuh cinta, ’cause it feels beyond amazing to fall in love with the right person dan kakak nggak akan pernah tau siapa right person itu kalo kakak nggak pernah nyoba.”
Sebelum benar-benar berpisah, Rafa berjalan menghampiri tempat Juna terduduk. Memamerkan senyum paling tulus yang pernah ia beri pada kakak kelasnya itu. “Be happy, even if that means you have to gather the courage in your heart to catch someone new. Be happy because you look best with a smile on your face. Be happy because you deserve it, EVERYONE deserves it. Well... I gotta go. Semoga next time kita ketemu, kakak udah berani buat ngejar dia, ya? Sounds even nicer kalo kakak ternyata udah berani nembak dia. Duluan, ya. Dadah, kak Juna. See you when I see you.”
Dengan begitu saja, Rafa meninggalkannya terduduk sendiri di pojok ruangan. Juna dapat melihat bagaimana Rafa berlari bahagia ke tempat sang kasih menunggunya di luar. Nggak pernah Juna lihat senyum selebar itu terpampang nyata pada wajah Rafa, nggak bahkan ketika Rafa masih menjadi kekasihnya.
Lantas, laki-laki kelahiran April itu berkendara pulang dengan air mata yang menggenang pada pelupuk matanya. Bukan akibat sedih yang tiba-tiba menyerangnya, namun genangan air mata itu merupakan hasil dari apa yang ia pendam selama ini.
Masuk ke dalam rumah, sosok pertama yang ingin ia temui adalah sang ibu. Kakinya berjalan tergesa-gesa ke tempat ibunya biasa bekerja. Dan di sanalah beliau terduduk dengan pandangan yang fokus pada pekerjaan desain gaunnya.
“Mami.”
Wanita berparas cantik itu tersenyum mengalihkan pandangannya. Namun, begitu Anjani lihat anak laki-lakinya datang dengan keadaan yang berantakan, beliau langsung berdiri seraya menautkan alisnya kebingungan.
“A’ Ajun... kenapa, kok, seperti buru-buru begitu?”
Juna nggak ragu untuk bergerak menghampiri sang ibu sembari menenggelamkan kepalanya pada bahu Anjani yang setegar batu karang di pesisir pantai; tetap berdiri tegar walau sudah berkali-kali diterjang ombak lautan.
“Mi....”
“Aa’... ada apa ini?”
“A’ Ajun anak baik ‘kan, Mi?”
“Of course you are... memang siapa yang bilang a’ Ajun bukan anak baiknya Mami?”
“Me, myself.”
“And why is that? Mami nggak pernah didik anak-anak mami jadi orang yang nggak baik. Anak-anak mami semuanya baik dan penuh pengertian.”
Juna sibuk mencurahkan air matanya di tempat paling aman bagi dirinya untuk berkeluh kesah. Anak laki-laki itu nggak pernah diajarkan untuk ragu berbagi dengan kedua orang tuanya.
“A’ Ajun anak mami yang baik, yang nggak pernah mau lihat maminya susah sendiri. Sayang mami, anak baik... kenapa tiba-tiba nangis, Sayang?”
Laki-laki April itu melepas rengkuhannya, menatap figur ibu yang telah membesarkannya. Seumur hidupnya, ia selalu menuaikan hal-hal baik yang Anjani pernah ajarkan kepadanya. Juna pun selalu setuju dengan semua gagasan yang pernah terucap dari bibir sang ibu, maka ketika ibunya berkata bahwa ia adalah anak yang baik, dirinya berusaha memercayai hal itu.
“Mi... A’ Ajun bisa ‘kan nyayang orang dengan bener lagi?”
Anjani menghela napasnya panjang. Sebelah tangannya terangkat untuk mengusap pipi Juna; tangan yang selalu beliau gunakan untuk merawat anak tengahnya dengan penuh cinta.
“Memangnya kenapa Aa’ jadi ragu sama diri sendiri?”
“I... recently couldn’t gather all my bravery to ask him out; him that I’ve been locking my eyes on, him that I’ve learned to love properly. Aa’ takut dia pergi, tapi A’ juga nggak berani-berani buat step up the game.”
Jejak-jejak air mata yang tersisa pada pipi anak laki-lakinya sedang Anjani hapus dengan penuh kasih, menatap anaknya yang nggak terasa sudah mulai bisa merasa gundah akibat cinta.
“Aa’... dari apa yang mami tahu, cinta itu hampir selalu soal dedikasi dan komitmen. Itu alasan kenapa mami dulu berani terima ajakan papi buat menikah, ya karena mami cinta sama papi. Tapi, begitu cinta itu udah nggak lagi menyenangkan dan lama-lama justru menyesakkan, itu juga alasan kenapa mami berani memutus komitmen yang sudah sempat mami bangun berdua. Sudah nggak ada lagi yang bisa kami usahakan, makanya mami dan papi sekarang sudah berusaha di jalannya masing-masing.”
Surai Juna yang mulai memanjang diusap lembut oleh sang ibu, sepertinya Anjani memang sedang berusaha membuat Juna merasa tenang. “Kalau aa’ memang sudah merasa sayang, merasa cinta... aa’ harus berani membangun komitmen sama orang yang aa’ cinta. Walaupun mungkin rasanya berat karena aa’ juga sudah pernah lihat langsung bagaimana suatu komitmen diputuskan di dalam rumah aa’ sendiri, tapi mami harap anak-anak mami tetep berani buat berkomitmen. Ya, Sayang?”
Sebuah senyuman terlukis sempurna pada wajah indah Anjani, senyum yang eksistensinya selalu menghangatkan hati. “Jangan takut jatuh cinta atau bahkan memulai suatu komitmen karena kalau-kalau aa’ takut merasa sakit dari jatuh itu, seenggaknya di bawah sini akan ada mami, papi, teteh, dan nggak lupa adek yang pasti bantu mengobati.”
Dan kini, hati yang sebelumnya terus ragu untuk mencinta telah sepenuhnya bebas dari belenggu.
Juna sudah mantap untuk melangkah maju. Semoga jauh di sana, Aska masih setia menunggu.