475
Gelisah, Juna mengetuk-ngetukan ujung jari kuku telunjuknya pada permukaan meja. Menunggu teman-temannya datang untuk membantu ia melancarkan misi hari ini. Laki-laki itu nggak bisa menahan degub jantungnya yang terus berpacu kencang. Merasa grogi dengan aksi yang akan ia lancarkan bersama teman-temannya.
Hari ini akan tercatat dalam sepanjang sejarah hidupnya sebagai kali pertama ia menyatakan rasa cinta, mengajak sang pujaan hati untuk bergerak selangkah lebih maju dari hanya sekadar teman biasa; menjadikannya manusia spesial yang Juna anggap berbeda dari teman-temannya yang lain.
Akhirnya datang Hanan dan juga Yale dari arah bawah tangga. Laki-laki yang berambut lebih panjang melempar kemeja flanelnya di atas meja, ikut terduduk pada kursi kayu tepat di samping temannya yang sedang terlihat gusar.
“Ya elah, chill out aja, Jun. Nggak usah panik begitulah.” Dikeluarkannya bungkus rokok yang ia simpan di dalam kantong celana jeans-nya. Nggak lupa korek api bermerknya guna membakar ujung gulungan tembakau itu. “Rokok?” tawar Hanan yang kemudian disambut gelengan dari yang ditanya.
“Nggak, dah. Tolong liatin dulu, ini udah pas 'kan CS gue?” Juna menggeser letak laptopnya, memberi akses pada Hanan untuk bisa melihat tampilan layarnya. “Bener nggak over banget 'kan?”
Disambut oleh tawa, Juna turut dihadiahi pukulan pada pundaknya. Kedua sahabat baiknya itu hanya bisa tergelak tatkala raut gusar Juna tampak nggak kunjung hilang.
“Anjiiing. Udah, Jun, udah.” Kini Yale ikut menimpali sahabatnya. “Udah bener itu. Nggak usah dicek-cek teruslah, 'kan dari kemaren udah didiskusiin terus.”
“Ah, lagian gila juga, nih, seniornya Aska. Nggak tau kali, ya, kalo Askanya udah deket sama gue?”
“Lah, kok ngamuk?” Hanan menaikkan sebelah alisnya. “Terserah dia lah mau ngasih Aska bunga kek, cokelat kek, surat kek, rumah kek. Orang duit juga duit dia, kalo ditolak juga bakal jadi derita dia. Kenapa jadi lu yang ngamuk?”
“Ya....” Juna mengusap tengkuknya kikuk. “Maksud gue-”
”'Kan? Nyesek 'kan lu ngeliat dia di-treat kayak begitu sama orang lain?” Hanan memulai sesi ceramahnya. “Nyesek 'kan lu ngeliat Aska disayang sebegitunya sama orang selain lu? Dari dulu ke mana aja, Jun? Kenapa baru panas kalo dia baik sama orang yang suka sama dia?”
Juna mengelak, nggak ingin terlihat kalah oleh argumen Hanan. “Lho? Nggak gitu, Nan. Ini 'kan gue juga lagi mau nembak.”
“Iya, tau.” Hanan tetap berpegang teguh pada pendiriannya. “Tapi dari kemaren-kemaren lu ke mana aja? Kenapa harus nunggu ditegasin sama Aska dan harus nunggu dia baik ke yang lain dulu?”
“Ya-”
“Terus, nih.” Hanan tampak berapi-api, menyela kalimat yang ingin Juna lontarkan. “Lu sadar nggak lu, tuh, kebanyakan nanya orang lain tentang hubungan lu sama Aska. Padahal itu 'kan hubungan lu berdua, cuma lu sama Aska yang paling tau masalah apa yang ada di dalem sana. Lu-”
“Lho? Tapi 'kan gue nelen bulet-bulet saran dari lu semua. Gue tetep-”
Yale yang sedari tadi sibuk memantikkan api untuk membakar ujung rokoknya, kini membanting korek apinya dengan cukup keras ke atas permukaan meja.
“Udah, anjing. Bisa nggak lu berdua stop ngomongin hal-hal yang udah berlalu?”
Ciut, Juna serta Hanan lantas menghentikan debat kusirnya. Sama-sama nggak berani kalau Yale sudah mulai angkat bicara. Temannya yang jarang sekali mengeluarkan kata-kata itu akan tampak amat menyeramkan ketika pada akhirnya ia buka suara.
“Ini kita mau ngapain habis ini? Langsung aja udah, keburu malem entar.”
“Nggak jadi ambil bunga, nih, gue?” tanya Hanan.
“Nggak usah, dia 'kan ternyata pulang ke Menteng sore ini. Kita bertiga ambil bunganya bareng-bareng aja terus langsung cabut ke rumahnya. ” Juna memberikan usul sembari mematikan power laptopnya. “Habis itu stand by depan pager dari gue habis kirim link CS, nungguin dia keluar dari rumahnya.”
Hanan menekan-nekan ujung rokoknya pada asbak yang memang selalu tersedia di atas meja tersebut. Berdiri sembari mengeluarkan kunci mobilnya. “Gaaas. Jalan sekarang aja kita.”
“Yuk-”
“Ini si anjing ini mau nembak Aska pake kaos ketekan?” Yale menunjuk Juna yang memang benar hanya terbalut baju tanpa lengan, membuat Hanan otomatis mengeluarkan tawa khasnya.
“Hahaha, tolol lu, Juna. Buruan ganti baju goblok, udah sore ini.”
“Eh, iya, bantu pilihin dong....”
Nggak habis pikir dengan teman baiknya itu, Yale dan Hanan sama-sama menepuk jidatnya keheranan, sementara Juna melipir masuk ke dalam kamar untuk menunjukkan dua pilihan pakaiannya.
Satu hoodie putih beserta jeans biru tua, sementara yang satunya lagi kemeja putih gading beserta celana ankle khaki.
“Eh, gini ya, pinter. Kalo ini mah emang outfit lu sehari-hari.” Hanan melayangkan protesnya dengan amarah yang sedikit tertahan. “Lu bisa nggak pilih baju, tuh, yang lebih spesial dikit?”
“Anjinglah. Sini, dah, gue yang pilihin dari lemari lu.”
Dengan stok sabar yang menipis, Yale memasuki kamar indekos Juna. Mulai memilah-milah baju terbaik yang bisa Juna kenakan sore ini. Hanan pun hanya bisa terkekeh, sementara Juna terdiam pasrah.
“Goblok ye, ini lu ada leather jacket kenapa nggak pernah dipake, dah?” ujar Yale dengan leather jacket yang ia bawa keluar kamar.
“Ya....” Juna menggaruk kulit kepalanya yang sebenarnya nggak terasa gatal. “Over banget nggak, sih, kalo pake leather jacket?“
Yale melempar leather jacket tersebut beserta kaos sleeveless hitam. Nggak lupa celana jeans biru muda yang juga ia temukan dari dalam lemari. Memaksa Juna untuk mencoba mengenakan pakaian pilihannya.
“Cobain dulu.”
Kelewat pasrah, Juna masuk ke dalam kamar untuk mengganti pakaiannya. Hingga laki-laki tersebut akhirnya ke luar dengan penampilan yang jauh lebih menawan dari biasanya. Leather jacket berwarna hitam itu tampak dengan sempurna membalut tubuh atletisnya. Nggak lupa rambut hitamnya yang memang ia biarkan memanjang, pemuda tersebut memang terlihat begitu tampan. Siapa-siapa saja yang melewatinya, pasti nggak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk mengagumi paras menawan Juna barang sedetik saja.
“Anjiiing, ganteng banget lu kayak Dilan,” puji Hanan sembari menepuk-nepuk pundak Juna.
“Dilan pakenya jaket denim nggak, sih...,” protes laki-laki yang baru dipuji oleh temannya itu.
“Tai. Iya juga, ya?” Hanan terkekeh singkat. “Ya udah intinya ganteng, deh, lu. Udah ayo jalan sekarang.”
“Serius, ini nggak berlebihan 'kan?”
“Pede, Bang.” Hanan menepuk-nepuk pipi Juna pelan. “Ganteng, ganteeeng.”
“Ya udah tunggu. Gue ambil dulu propertinya.”
“Properti apa lagi....”
Kesabaran Yale kembali diuji dengan tingkah ajaib Juna. Sampai teman baiknya itu keluar dengan dua buah gulungan kertas karton, yang isi tulisan di dalamnya membuat Hanan dan Yale sontak tertawa ketika gulungan tersebut akhirnya dibuka oleh sang pemilik.
“ANJINGLAH JUNA HAHAHA, LET'S GO, BRADEEER.”