425

Proses yang cukup menguras tenaga akhirnya berbuah manis. Kini Juna telah berada di Kantek sembari menunggu sesi FGD dimulai. Banyak teman-teman dari departemen lain yang turut hadir; teman-teman yang selanjutnya akan menjadi rekan satu timnya.

Matanya dari tadi terus bergerak ke sana ke mari, terlihat nggak pernah tertuju pada satu objek yang pasti. Tengah mencari-cari sosok yang ingin ia temui.

Juna setuju bahwasannya dunia memang kerap menyatukan ia dan Aska di situasi yang nggak terduga sebab pada saat laki-laki itu ingin membuka kulkas untuk membeli sebotol minuman, ternyata sosok yang ia cari-cari sudah lebih dulu membuka pintu di hadapannya. Sudah susah-susah mengederkan pandangan hingga ke sudut-sudut Kantek Luar, tapi ternyata yang dicari-cari justru sudah datang dengan sendirinya.

Sosok itu tampak belum menyadari kehadiran Juna, hingga laki-laki itu memutuskan untuk menyapanya terlebih dahulu.

“Aska?”

Yang dipanggil namanya menoleh, menatap Juna setengah terlonjak. “Eh...?”

“Repot banget pagi-pagi begini. Gue bantu bawain minuman, ya?”

Repot banget pagi-pagi begini. Gue bantu bawain, ya, sampe kelas?

Deja vu.

Otak laki-laki Agustus itu arus pendek. Dirinya seakan kembali ke masa lalu, kali pertama ia dan Juna bertemu. Lidahnya kelu, tubuhnya membeku.

“Aska?”

“I-iya....”

Juna menyimpulkan senyumnya, tanpa banyak bicara mengambil alih beberapa botol minuman yang sedang Aska dekap. Kini laki-laki Agustus itu bahkan hanya menggenggam salah satunya.

“Mau dibawa ke mana emang?”

“Ke... senior gue.” Aska masih tampak terbata-bata.

“Di mana senior lu? Kantek Luar, ya?”

“Ng-nggak, sih... di Tamtek....”

Pandangan Juna beralih pada kumpulan manusia yang sedang terduduk di area Tamtek. Mencari-cari senior Aska yang kemungkinan sedang terduduk di sana.

“Oh, itu bukan yang pada pake jabem?”

“Iya....”

“Oke, yuk? Udah ditungguin pasti.”

Memang benar fakta bahwa pemuda tersebut adalah pemuda yang penuh kejutan sebab nggak peduli seberapa lama Aska mengenalinya, ia masih akan selalu dibuat terkejut oleh hadir atau sikapnya.

Seperti sekarang ini, Aska sudah nggak berharap banyak kalau-kalau hari ini ia akan bertemu dengan laki-laki itu. Tapi dunia malah berkata lain, ketika dirinya sudah kelewat pasrah, Juna justru mulai menunjukkan aksinya.

Berada pada satu kelompok FGD yang sama membuat Aska jadi bisa semakin sering memantau laki-laki yang telah menghilang selama beberapa waktu ke belakang. Jika biasanya Juna akan buru-buru mengalihkan pandangan ketika Aska menatapnya, kini pemuda itu justru akan menyimpulkan senyum sebelum kembali memusatkan fokusnya pada diskusi yang tengah berlangsung.

Hingga tiba waktu pengumuman, nama para mahasiswa dipanggil satu persatu sesuai bidang yang menerimanya. Tatkala nama Aska disebut lantang pada bidang seni, entah kenapa ia justru menolehkan kepalanya ke arah Juna yang duduk jauh beberapa meter darinya. Bertepatan dengan itu, Juna pun ternyata memang sudah berniat akan bertoleh ke samping ketika nama Aska terpanggil. Maka manik keduanya terkunci untuk sesaat, Juna lagi-lagi hanya menyimpulkan senyumnya sedang Aska terdiam canggung.

Beralih ke bidang depor, ternyata Juna diterima menjadi salah satu bagiannya. Aska lagi-lagi menolehkan kepalanya, memandang Juna yang sedang diberi tepukan selamat oleh teman satu departemennya.

Laki-laki kelahiran Agustus itu tenggelam dalam lautan pikirannya sendiri. Diterima pada bidang yang berbeda, itu berarti keduanya dibebaskan untuk menjalin kasih. Namun, ia masih nggak kunjung yakin kalau Juna akan kembali ke sisinya.

Jika Aska ditanya, sudikah ia untuk menerima kembali menerima Juna di kehidupannya, maka jawabannya seratus persen sudi. Namun kali ini, ia pastikan dirinya nggak akan menjadi pihak yang meminta Juna untuk kembali dan tetap tinggal di sisinya lantaran terakhir kali ia memohon seperti itu, harga dirinya terasa seperti diinjak-injak. Ia nggak lagi ingin terlihat lemah di mata orang lain.

Acara sore itu dibubarkan, Aska dan Riga berdiri dari duduknya untuk bersiap-siap pulang, menunggu Gane, kekasih Riga, untuk menghampiri keduanya.

Sebuah notifikasi yang dentingnya lantang membuat Aska sedikit tersentak. Dengan sedikit malas, ia merogoh-rogoh totebag-nya demi bisa meraih benda persegi itu. Nggak disangka-sangka, nama lelaki yang ia rindukan eksistensinya kini terpampang nyata pada layar kunci ponselnya.

Lantas, Riga yang nggak sengaja ikut melihat notifikasi itu ikut terkejut, menutup sebagian mulutnya dengan telapak tangan.

“Anjir, itu beneran Juna?”

Keduanya saling berbalas-balas tatap, sama-sama nggak percaya akan teks notifikasi pada layar ponsel Aska yang bertulisan,

juna Aska pulangg sama siapaa?

juna Kaloo gabawa mobil mau bareng gue aja nggaa?

“Gas.”

“Ih?”

“Gas anjir, Ska. This is the moment you’ve been waiting for in your life.

“Lebay....”

Riga mendengus sebal mendengar pernyataan Aska. Sahabat Aska itu tahu kalau Aska sebenarnya masih mau untuk menjalin hubungan dengan laki-laki teknik mesin itu, akan tetapi ia nggak akan mau menjadi pihak pertama yang menghubungi Juna lagi.

“Itu ‘kan dia yang nawarin, bukan lu yang ngejar-ngejar.”

“Hai.”

Aska rasanya ingin teriak agar laki-laki itu satu kali saja nggak membuat dirinya terkejut sebab entah dari mana datangnya, Juna tiba-tiba sudah berdiri di dekatnya, menghampiri tempat Aska dan Riga menunggu Gane.

“H-hai, Jun.” Riga balas menyapa Juna dengan sedikit kebingungan, sedang Aska hanya bsia membeku di tempatnya.

“Lu berdua udah mau balik?”

“Ini lagi nunggu kak Gane.”

“Aska gimana?” Laki-laki berkemeja flanel hitam itu beralih pada Aska. “Bareng bang Gane juga?”

“I-“

“Enggak, kok! Gue sama kak Gane mau nonton habis ini. Lu mau nggak, Jun, nganterin Aska balik?” Riga menginjak ujung sepatu Aska, membuat sang empunya harus menahan sakit pada ujung kukunya.

“Boleh. Yuk, mau balik sekarang, Aska?”

“Nggak us-“

“Sekarang aja, Jun. Kak Gane kayaknya bentar lagi dateng, deh. Dah sana, hati-hati, ya.” Riga mendorong keduanya untuk pergi dari area Tamtek.

Tolong ingatkan Aska untuk mengeluarkan sumpah serapahnya kepada Riga saat keduanya masuk ke kelas hari Senin nanti. Meski nggak bisa dipungkiri kalau dirinya akan merasa senang jika pemuda jangkung itu benar-benar kembali ke sisinya, akan tetapi Aska masih nggak tahu harus bersikap seperti apa kalau ia harus ditempatkan pada satu ruang yang sama dengan Juna dalam kurun waktu yang secepat ini.

Atmosfer ini terasa begitu canggung, walaupun nggak semenyesakkan kali terakhir ia berada dalam satu kendaraan yang sama dengan laki-laki April di sampingnya. Juna hanya sesekali menanyakan keadaan Aska akhir-akhir ini, sementara sisa perjalanan tersebut hanya diisi dengan melodi lagu yang keluar dari pengeras suara mobil.

Sampai di depan pagar rumahnya, Aska rasanya ingin buru-buru keluar dari dalam sedan putih ini sampai-sampai tangannya justru nggak bisa membuka kunci pada sabuk pengamannya. Membuat Juna terkekeh sampai ingin membantunya.

“Sini, sini, gue bantuin, ya?”

Sabuk pengamannya terlepas, tapi nggak dengan pandangan mereka berdua yang masih terkunci ketika Juna hendak mengembalikan posisi sabuk pengaman pada sisi pintu kursi penumpang.

Lamat-lamat, Aska coba perhatikan raut wajahnya; raut wajah yang tempo waktu lalu ia tatap dengan dalam, tapi justru nyatanya hilang.

Hati Aska kini bergejolak entah berarti apa.

Juna menjadi pihak pertama yang berdeham, memutus pandangan matanya dari wajah Aska. Tubuhnya kembali bergerak mundur. Laki-laki itu mengusap tengkuknya canggung.

“Maaf-”

Well....” Aska menarik napasnya panjang. “Thank you, Juna, udah mau nganterin gue pulang. Drive safe.”

Belum sempat Aska membuka pintunya, Juna sudah terlebih dahulu meraih lengan kanannya. Pandangan keduanya kembali bertemu, tapi kini lidah Juna nggak lagi kelu.

Can we have our good days back?

Maksud hatinya, kembali Juna utarakan,

Am I too late? Can we still have our good, happy, rainbow days back? ‘Cause now I’m more than willing to work on my bad traits, to improve myself more, so that I can be the guy you’ll forever deserve to have.