Hospital – 1
Nggak terlihat riang seperti biasanya, laki-laki yang Juna tangkap figurnya tampak terduduk lesu tepat di samping ranjang rumah sakit. Sepertinya, ayah Aska sudah diizinkan untuk dipindah ke bangsal perawatan. Pria pada pertengahan lima puluhnya itu tampak telah sadarkan diri, namun masih tetap dalam kondisi yang lemah.
Juna menunggu tepat di balik pintu ruangan, mengintip kondisi di dalam melalui celah jendela. Kepalanya lantas tertunduk membayangkan betapa terpuruknya Aska. Sang ayah yang notabenenya merupakan satu-satunya keluarga yang Aska miliki, kini tampak terbaring nggak berdaya di dalam sana. Juna sepenuhnya paham bahwa kejadian ini pasti nggak akan mudah untuk sang kasih lalui.
Masuk lebih dahulu ke dalam, Mikha terlihat tengah mengelus pundak Aska, memberi kabar bahwa Juna telah datang menunggunya di luar. Laki-laki Agustus itu pun lantas menolehkan kepalanya, tersenyum lemah begitu pandangnya bertemu dengan sosok kekasihnya.
Aska tampak mengelus punggung tangan sang ayah yang masih tampak lemah, berizin untuk meninggalkan beliau sesaat. Kakinya berlangkah pelan, menggeser pintu ruangan untuk menemui Juna.
Keduanya tampak larut dalam diam, sama-sama terduduk pada bangku panjang yang disediakan pihak rumah sakit. Juna bukan pribadi yang tutur katanya menenangkan, sedikit banyak berbeda dengan sang kasih yang memang pandai berucap lembut dan penuh kasih.
Maka pada detik berikutnya, yang Juna dapat lakukan hanya menggenggam punggung tangan sang kekasih yang terasa lebih dingin dari biasanya. Sangat amat kontras dengan miliknya yang hangat.
Aska nggak lantas membalas genggaman tersebut. Dirinya masih tenggelam dalam lautan pikiran buruknya. Sejauh yang Aska ingat, sang ayah selalu menerapkan pola hidup yang sehat, maka penyakit stroke yang kini menyerang beliau sejatinya berada pada urutan terakhir hal yang ia harapkan akan terjadi.
Mata laki-laki itu lantas terpejam, dadanya mengembang seiring pasokan udara yang ia coba hirup masuk memenuhi rongga paru-parunya.
“Thank you ya, Jun, udah disempetin dateng.” Tubuh Aska kini berputar sedikit, pandangnya berarah tepat pada laki-laki di sampingnya. “Having a nice day at campus?“
Di tengah pikiran buruk yang berkecamuk hebat di dalam dirinya, Aska masih sempat-sempatnya bertanya akan kondisi Juna. Entah terbuat dari apa hati laki-laki yang hadirnya selalu tulus itu.
“Class went just well, but now I'm so worried about you.” Juna mengusap punggung tangan Aska menggunakan ibu jarinya. “Gimana kata dokter?”
“Tadi aku nggak gitu merhatiin kata-kata dokternya. Lebih banyak tante Sarah yang denger. Intinya, papa masih harus dirawat buat beberapa hari ke depan biar dokternya bisa observe lebih lanjut. Nothing's too serious, cuma mungkin nanti perlu diterapi ke depannya karena fungsi otak kiri papa bener-bener menurun.”
Hati Juna seperti ikut diremuk selama Aska mengeluarkan rentetan kata di atas. Ia coba tempatkan diri pada posisi Aska, rasanya pasti nggak enak betul ketika kita tahu satu-satunya orang tua yang kita miliki berada pada kondisi yang kurang mengenakkan.
“I'm so sorry for that.” Telapak Juna kini beralih untuk mengelus lembut permukaan pipi Aska. “Rasanya nggak enak banget, ya, pasti?”
Aska mengangguk lemah, tanda ia setuju dengan kalimat sang kasih. Kepalanya kembali tertunduk. Membayangkan sang ayah yang pasti belum bisa beraktivitas seperti sedia kala selama beberapa saat ke depan membuat hatinya seolah teriris. Ia mungkin nggak akan bisa mengajak sang ayah bepergian terlalu jauh untuk beberapa waktu. Padahal, dirinya amat menyukai waktu di mana ia dan sang ayah dapat menghabiskan waktu bersama, berdua saja menikmati atmosfer yang ada.
“Tell me if there's something I can help, okay?“
Atas itu, Aska kembali berangguk lemah.
“Thank you, Juna,” ujarnya sembari menangkup punggung tangan laki-laki yang masih setia berada pada permukaan pipinya. “Kamu emang nggak ada kegiatan apa-apa habis ini?”
“Enggak, kok.”
“Oh, ya udah.” Aska sempat menjeda kalimatnya. “BTW, ini udah malem. Kamu kalo mau pulang, pulang aja. Besok 'kan masih harus kuliah, mana kelasnya pagi juga.”
Entah kenapa, kalimat Aska yang tadi justru membuat hati Juna sedikit terasa sakit. Ia sedang ingin ada untuk Aska, tapi mengapa kekasihnya itu justru tampak seperti nggak ingin untuk ia temani. Juna hanya sedang berusaha menjadi pasangan yang baik untuk laki-laki itu.
“Aku mau nemenin kamu.”
“Udah malem, Jun.”
“Iya, tapi aku-”
“Jun, aku gapapa kok kamu tinggalin. Toh, di sini juga ada tante sama kak Mikha.” Aska berujar seolah ia memang benar-benar nggak membutuhkan kehadiran Juna.
Laki-laki yang baru Aska minta untuk pulang itu hanya terdiam untuk sesaat, mengontrol pikirannya agar jangan sampai kalimatnya justru melukai sang kasih yang emosinya tampak sedikit nggak stabil.
“Okay, then.” Juna tersenyum getir, berusaha untuk terlihat baik-baik saja meskipun setengah dirinya merasa cukup kecewa. Telapaknya masih ia gunakan untuk membelai pelan bagian belakang kepala Aska.
Juna lantas bangkit dari duduknya, menyerahkan kantong plastik transparan yang berisi glazzed donut kesukaan sang kasih. “In case you need some sweets, nemenin papanya sambil makan ini aja. Aku pergi dulu, kalo ada apa-apa remember that I'm one call away, okay?“
Belum sempat Aska mengucapkan rasa terima kasihnya, Juna sudah terlebih dulu memutarbalikkan badan untuk meninggalkan Aska. Laki-laki Agustus itu bahkan nggak tergerak untuk mengantar Juna sampai ke depan rumah sakit.
Aska sempat terdiam untuk sesaat, berpikir apakah ada tutur kalimat atau tingkah perilakunya yang kurang mengenakkan. Namun, isi kepalanya itu sudah lebih dulu dipenuhi oleh keadaan sang ayah, maka yang selanjutnya ia lakukan hanya berdiri dari duduknya dan kembali berjalan masuk ke dalam ruang bangsal tempat sang ayah dirawat.
“Udah selesai ketemu Junanya?” Mikha bertanya tepat pada saat Aska kembali masuk ke dalam ruangan, mengalihkan pandangannya dari layar laptop yang menampilkan dokumen pekerjaannya.
“Udah.”
Kedua alis Mikha tampak bertaut kebingungan. “Lho? Cepet banget ngobrolnya. Emang dia mau buru-buru pulang?”
“Nggak kok, Kak. I told him to just go home since he needed some rest. Besok kelasnya pagi, takut terlambat atau apa gitu,” ujar Aska sembari kembali mengambil tempat duduk di samping ranjang.
Usai mendengar jawaban dari sang adik sepupu, yang Mikha bisa lakukan memijit tulang hidungnya frustrasi. Padahal, sebetulnya ia tahu persis kalau Juna pasti masih ingin berada lebih lama di sini demi bisa menemani adik sepupunya itu.
Sedang laki-laki April yang telah tiba pada lantai dasar rumah sakit tampak berjalan lesu. Kepalanya ikut penuh dengan pikiran-pikiran yang kurang mengenakkan. Pada satu sisi, ia ingin menjaga perkataan serta perbuatannya agar nggak melukai hati sang kasih yang sudah tampak kacau itu, tapi di sisi lain dirinya masih merasa kecewa akan sikap Aska yang seolah-olah nggak butuh akan hadir Juna pada masa sulitnya.
Tampaknya langit seolah merestui rasa kecewa Juna, sebab hujan terlihat tengah mengguyur sebagian kota.
Juna pulang dengan rasa kecewa, menatap lara bulir air hujan yang jatuh pada jendela kereta.