480
Song recommendation: click here
Tercengang, tubuh Aska terbujur kaku tatkala dirinya selesai membaca kalimat terakhir yang terdapat pada creative slides Juna. Otaknya arus pendek, masih belum bisa mencerna apa yang sedang terjadi pada detik itu juga. Seketika ia merasa jantungnya berdegub lebih kencang dari ritme normalnya, riuhnya sampai terdengar melalui gendang telinganya sendiri.
Perlahan-lahan, Aska bawa kakinya melangkah maju. Jemarinya pun bergerak pelan menyibak gorden cokelat tua yang terpasang pada jendela kamarnya. Dan pada saat lensa matanya menangkap tiga figur—yang ia kenal persis perawakannya—sedang berdiri berjejer tepat di depan pagar rumahnya, ia refleks menutup kembali gorden tersebut. Memutar balik tubuhnya agar ia bisa menyenderkan punggung bidangnya sambil tetap memegang dadanya; merasakan degub yang kian berpacu lebih kencang dari biasanya.
Be mine, please?
Kalau Aska nggak salah lihat, tulisan pada kertas karton yang diangkat tinggi-tinggi oleh Hanan dan Yale bertuliskan kalimat seperti di atas dengan Juna yang berdiri penuh percaya diri tepat di tengah-tengah keduanya seraya menggenggam buket bunga yang didominasi warna merah muda.
Ponsel pada genggaman Aska berdering, tanda sebuah panggilan masuk. Nama laki-laki yang memenuhi isi kepalanya itu terpampang nyata di atas layar ponselnya. Aska harus menahan rasa gugupnya sebelum ibu jarinya bergerak menggeser simbol telpon untuk mengangkat panggilan tersebut.
“Aska?”
Sudah berkali-kali Aska mendengar pemuda itu memanggil nama dirinya, namun yang kali ini terdengar sangat jauh berbeda. Aska dapat merasakan radiasi positif tanda rasa percaya diri laki-laki itu memang sedang berada di atas puncaknya. Jauh berbanding terbalik dengan dirinya yang masih belum bisa memproses semua ini.
“Aska, kenapa ditutup lagi gordennya?”
“J-jun....”
“Aku mau nanya, boleh?”
Hening untuk sesaat, Aska menarik dan mengembuskan napasnya dalam-dalam sebelum kembali menjawab sahutan Juna di balik sana.
“K-kenapa?”
“Aska, senior kamu yang tadi itu cuma ngasih bunga sama cokelat atau sekalian nembak?”
Belum sepenuhnya rileks, Aska sudah kembali diserang dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuat dirinya kembali merasa gugup.
“C-cuma... secara nggak langsung c-confess, sih....”
“Oh, gitu, ya?” Kembali hening untuk sesaat, Aska hanya dapat mendengar deru napas Juna dari balik pengeras suara pada ponselnya. Sebelum pemuda itu akhirnya kembali bersuara,
“Could you please accept mine instead?“
“J-jun-”
Laki-laki Agustus itu dapat merasakan senyum yang hadir di balik kalimat Juna yang kemudian terdengar. “Turun, ya, Aska? Aku tunggu jawaban kamu di bawah.”
Panggilan tersebut lantas terputus, meninggalkan Aska berdiri sendiri di dalam kamarnya. Ia nggak mungkin meninggalkan ketiga laki-laki yang sedang menunggunya hingga mentari kembali muncul di ufuk timur. Maka pada akhirnya, ia meraih hoodie hitam yang tersampir pada kursi meja belajar untuk ia kenakan sebelum berjalan pelan menuruni anak tangga.
Persis seperti dugaannya, sosok pertama yang Aska lihat sewaktu ia membuka pintu pagarnya adalah Juna.
Arjunanya yang berdiri penuh percaya diri, tersenyum manis menunggu-nunggu kehadiran dirinya sendiri.
Aska tersenyum kikuk begitu mendapati Hanan dan Yale yang tampak berdiri pasrah, membentang lebar-lebar karton yang bertuliskan Be mine, please?. Kedua temannya itu menekuk wajahnya, merasa sebal sebab yang ditunggu-tunggu membutuhkan waktu yang cukup lama untuk dapat turun membukakan ketiganya pagar.
“Lama lu, jelek,” ledek Hanan dengan raut muka meledek.
“Dih?”
“Udah, Aska, biarin aja Hanan emang nggak ikhlas orangnya.”
“Anak anj-“
Juna mengalihkan pandangnya hanya pada Aska seorang, menantikan jawaban yang sudah sangat ingin ia dengar sedari tadi.
“So....” Juna tersenyum tipis, menyerahkan buket bunga pada genggamannya pada Aska. “Are you gonna be able to accept me? Me and all of my flaws, but I’m going to make sure that we’re always gonna make it. How’s that sound for you?”
Aska mengatupkan bibirnya rapat-rapat, menahan bulir air mata pada pelupuknya yang bisa kapan saja jatuh.
Sisa jarak di antara keduanya hanya tersisa sedikit, sebelum Aska benar-benar menghapus keseluruhan jarak tersebut dengan melangkah maju; melingkarkan lengannya tepat di atas bahu Juna. Kepalanya ia taruh lekat-lekat pada perpotongan leher Juna hingga pada akhirnya Juna sedikit membalas pelukannya.
“Lho, jadi apa jawabannya?” tanya Juna dengan kekehan pelannya. “Diterima nggak, nih?”
Dengan seluruh keberanian yang tersisa, Aska memberi jawaban atas seluruh pertanyaan Juna.
“Be mine too, Arjuna.”
Senyum Juna lantas tertarik hingga ke ujung telinga sembari ia mengeratkan rengkuhan pada tubuh Aska ketika laki-laki itu sepenuhnya menerima Juna di dalam hidupnya. Menerima segala hal yang baik, pun yang buruk, untuk dapat bersama-sama bergerak maju.
“Idihhh, si traitor. Udah nggak jomblo lagi dia,” ledek Hanan sembari menggulung kertas kartonnya.
Yale yang biasanya jarang tertawa pun, kini justru terlihat menampilkan senyum paling bahagianya. Nggak ada yang terasa lebih menyenangkan dari ini semua. Melihat temannya sembuh dari luka yang tertoreh pada hati walau pasti meninggalkan bekas. Tapi seenggaknya, Juna sendiri sudah mau berusaha bangkit.
“Ya udah. Gue cabut, ya, sama Hanan? Congrats, dah, lu berdua.” Yale ikut menggulung kertas kartonnya, menepuk pundak Juna untuk berpamitan.
“Eh?” Aska melepas pelukannya. “Masuk dulu aja kali. Ayo sini gue bikinin minum.”
“Santai, Ska.” Yale mengulas senyumnya. “Yuk, Nan.”
“Oke. Congrats, Bang.” Hanan ikut menepuk pundak Juna sebelum menghampiri Yale untuk beranjak pergi.
“Pulang bisa ‘kan, Jun?” tanya Yale, mengeluarkan kunci mobil dari dalam kantong celananya.
“Bisa, bisa. Hati-hati lu berdua.”
“Yo.”
Aska sebenarnya ingin menawarkan Hanan dan Yale untuk masuk ke dalam rumah. Merasa kurang enak jika harus membiarkan keduanya pulang tanpa ia sambut terlebih dahulu. Akan tetapi, Juna justru berkata nggak apa-apa, biar mereka pulang dengan sedan putih miliknya, sementara ia menghabiskan beberapa waktu berdua dengan Aska.
Usai kendaraan tersebut tampak menghilang di persimpangan jalan, Aska kembali menatap Juna yang ternyata sudah memandanginya sedari tadi. Menunggu sang kasih untuk kembali menoleh ke arahnya.
Lantas, Aska terkekeh sembari mengusap pipi Juna pelan. Sebelum ia kembali membawa Juna ke dalam rengkuhannya. Memeluk tubuh satu sama lain, menghantarkan kehangatan yang belum tentu bisa mereka dapatkan dari eksistensi manusia lain.
“Thank you,” ucap Juna dengan penuh ketulusan di dalamnya. “For accepting me and reminding me that I deserve to love and to be loved.”
Kepala Aska kini beristirahat dengan nyamannya di atas bahu Juna. Suaranya teredam, namun masih terdengar jelas.
“And thank you, for trying your best.”
Jatuh cinta nggak pernah terasa semeledak-meledak dan semenyenangkan ini jika bukan dilalui bersama manusia yang tepat, manusia yang tulus, dan manusia yang paham kalau perihal cinta ini memang harus diperjuangkan bersama-sama.