400

Kali kedua Aska bertemu dengan Juna sejak insiden malam hari itu, ia masih berharap dirinya akan bersikap jauh lebih bijak. Sebab kini ia jadi sama sekali nggak menikmati dentum musik yang menjalar hingga ke sudut-sudut ruangan. Tatkala semua temannya asik menenggak minuman beralkohol dengan menikmati iringan musik yang ada, dirinya justru memikirkan bagaimana dunia tampak ingin selalu mempertemukan keduanya.

Dari dulu hingga sekarang, dua laki-laki itu selalu saja bertubrukan pada momentum yang nggak keduanya sangka. Hingga Juna dan Aska, keduanya saling menumbuhkan rasa, meski kini tengah berada pada ambang yang membingungkan.

Tahu akan seperti ini, Juna seharusnya nggak mengiyakan ajakan Hanan sebelumnya. Dari sekian banyak meja yang bisa ia tempati, kenapa Juna harus duduk berseberang-seberangan dengan laki-laki kelahiran Agustus itu? Lagipula siapa yang akan menyangka kalau Aska akan ikut ke acara malam ini. Pemuda itu telah dikenal sebagai sosok yang sama sekali nggak rela membiarkan minuman beralkohol merk apa pun masuk melewati kerongkongannya.

Mata keduanya terkunci untuk beberapa saat, jiwanya seakan berteriak ingin segera merengkuh satu sama lain erat. Namun apa daya, yang Juna bisa lakukan hanya membuang wajahnya ke arah samping sedang Aska terus menatapnya hingga ia kemudian lelah sendiri.

Payah; pecundang. Sebut semua kata yang dapat mendeskripsikan sosok Juna belakangan ini. Tapi yang pemuda itu tahu, ia nggak akan membiarkan Aska tersentuh oleh siapa-siapa saja yang berpotensi menyakiti dirinya. Maka tatkala pandangnya menangkap Aska yang tengah digoda oleh laki-laki lain, Juna nggak lagi bisa menahan keinginannya untuk menghampiri laki-laki itu. Persetan dengan nama atau bahkan sosok di balik laki-laki itu. Juna hanya ingin Aska pulang dengan kondisi yang masih baik-baik saja.

“Ayo dong, masa udah dateng ke sini, tapi nggak minum apa-apa?” Pemuda itu tampak menyodorkan sloki tepat pada wajah Aska. “Have fun bareng aja kita.”

“Maaf-”

He doesn’t drink.” Juna tersenyum menahan kesalnya, berujar pada laki-laki entah siapa namanya yang lengannya hampir terlingkar sempurna pada bahu Aska. “And hand’s off, please?

Laki-laki itu terkekeh, menyipitkan mata untuk menajamkan fokusnya pada objek pandangnya. “Maba mesin, ya? Yang tadi datengnya telat?”

“Iya.” Juna membalas laki-laki itu sekenanya, kemudian beralih pada Aska sembari alisnya bertaut khawatir. “Are you sure you still wanna be here?

Sejujurnya enggak. Nggak sama sekali.

Aska sungguh nggak menyukai suasana seperti ini, bukan karena kehadiran Juna atau juga hal lain.

Tapi kontras dengan hatinya, mulut Aska justru terkunci rapat enggan menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh pemuda di hadapannya. Ia memandang Juna lekat-lekat di tengah temaramnya ruangan, membuat Juna frustrasi nggak tahu harus bertindak apa.

“Oke.” Juna paham kalau ia nggak bisa terus berada di mari. “Seenggaknya lain kali, jangan lupa pake jaket. You know it well you catch cold easily, right?” Laki-laki itu menyampirkan jaket denim-nya pada tubuh Aska yang kalau diteliti akan sedikit lebih mungil dari ukuran tubuhnya walau nggak terlalu signifikan.

Take care. Jangan pisah sama temen-temen lu, jangan mau kalo diajak pulang sama orang yang menurut lu jahat. I’m going home.” Juna tersenyum canggung meninggalkan Aska di tengah keramaian. Pemuda itu hanya nggak mau merusak malam Aska, maka pada akhirnya ia memutuskan untuk menjadi pihak yang pergi menjauh.

Tapi Juna bisa apa kalau Aska justru juga menjadi pihak yang pergi menjauh; menjauh dari keramaian untuk mengikuti arah jalannya ke luar. Hingga suaranya bersahut, membuat jantung Juna seolah lolos dari tulang rusuknya.

“Kalo gue pulangnya sama lu.” Aska menjeda kalimatnya sesaat. “Would that be okay?

Do you consider yourself as ‘orang jahat’ kayak apa yang lu bilang tadi?”

Kini Aska telah berdiri tepat di belakang Juna. Laki-laki April itu tahu kalau ia memutarbalikkan badan, maka Aska akan menjadi pemandangan pertama yang ia lihat.

No, I don’t.” Juna menjawab dengan ketakutan yang menyelimuti hatinya.

Great, because me neither.” Aska berjalan ke depan, memandang Juna yang masih tampak enggan memandangnya balik. “So can you drive me home?

Well, okay. Gapapa kalo nggak bisa. I can just go back to the par-

Sure.” Juna menelan ludahnya gugup. “Sure, let me drive you home.

Because I cannot see you being with any other person rather than me.

Kalau saja batinnya bisa bersuara, maka frasa tersebut akan menjadi pelengkap kalimatnya yang tadi. Tapi pemuda itu memang kelewat payah. Yang selanjutnya ia lakukan hanya membukakan pintu untuk Ask, mengantar laki-laki itu pulang dengan selamat hingga sampai rumahnya.

Atmosfer ini terasa menyesakkan. Aska nggak ingin keadaan ini berlangsung untuk terlalu lama. Akan tetapi, ia juga nggak melihat adanya pergerakan yang berarti dari sisi Juna. Mana bisa Aska paksa Juna untuk cepat bergerak. Biar bagaimana juga, Juna adalah seseorang dengan pendiriannya sendiri. Aska sama sekali nggak bertanggung jawab atas diri laki-laki itu. Ia nggak bisa membuang-buang waktunya hanya untuk mengubah pemikiran seorang Arjuna Prima Putra.

Perjalanan dari bilangan Sudirman hingga ke Menteng itu hanya dipenuhi sunyi yang memuakkan. Aska benci perasaan itu, ia sungguh sangat ingin kembali ke masa lalu di mana semuanya terasa baik-baik saja.

Thank you Juna. Drive safe sampe ke Bogor.”

Nggak ada keberanian yang tersisa dari diri Juna untuk sekadar membalas rasa terima kasih dari Aska. Lelaki itu hanya menyimpulkan senyumnya, kemudian menginjak pedal gas untuk meninggalkan Aska sendiri, baik secara literal maupun figuratif.

So, are we just gonna stay like this forever?

Satu tetes air mata lolos bersamaan, baik itu dari laki-laki yang ditinggalkan dan juga yang meninggalkan.