We Watched Love Begin Again

Song recommendation: click here

Full credit goes to @jenosunda on Twitter for the ending scene. Thank you so much, dear!


There he is.

Terduduk di belakang kemudi SUV abu-abu tua, menunggu sang kasih masuk ke dalam mobilnya untuk ia bawa pergi menginap di salah satu hotel yang terletak di bilangan Setiabudi, Jakarta Selatan. Suatu penginapan yang sering digadang-gadang sebagai hidden gem hingga kini sudah nggak bisa disebut hidden gem lagi sebab banyaknya orang yang sudah mulai mengetahui keberadaannya.

Keduanya hanya ingin beristirahat saja. Nggak lebih dan nggak juga kurang. Kebetulan malam ini mereka lengang, maka Aska berinisiatif untuk memesan sebuah kamar sejak satu minggu yang lalu. Sekaligus ingin membuat kekasihnya itu tidur dengan lebih nyenyak lantaran akhir-akhir ini Juna kerap mengadu padanya kalau ia suka merasa sulit tidur.

“Haaaiii-“

“Ayo, masuk, masuk. Keburu diklaksonin akunya.”

“Oke, oke. Siap.”

Juna melompat masuk ke dalam mobil. Menyapa Aska dengan mengusap tengkuknya sebelum ia mengenakan sabuk pengamannya.

“Itu tasnya taro belakang aja.”

“Oh, iya.” Juna lantas menyimpan bawaannya pada jok belakang, menuruti perintah Aska. “Aku bawain kamu bekel tau.”

“Apa mana? Liat, dong.”

“Kepo, deh, kamu. Nanti aja kita makan di hotel.”

“Yeee.”

Usai menaruh tas ranselnya di jok belakang, Juna meminta izin Aska untuk mengubah posisi sandaran pada jok mobilnya agar bisa ia pakai tidur. Aska hanya terkekeh, berkata bahwa Juna sebetulnya nggak perlu izin segala.

“Ahahaha, ya udah bobo, ya, pacar akuuu. Kasian banget, sih, dari kemaren lemes kayak cakwe pinggir jalan.”

“Hahaha, udahhh jangan bikin ketawa aku mau bobo.”

Hari ini Aska mengemudi dengan hanya ditemanin alunan lagu yang keluar dari pengeras suara mobil karena Juna tampak langsung pulas di beberapa detik kemudian setelah dirinya berkata ingin beristirahat.

Nggak apa-apa. Junanya itu memang tampak kurang tidur akhir-akhir ini.

Sampai di parkiran penginapan, Aska mengambil seluruh barang bawaan yang terletak di jok belakang sebelum membangunkan Juna. Niatnya hari ini, ia ingin menjadikan Juna ‘raja’ untuk semalam, tapi tetap saja yang namanya Juna itu hampir nggak pernah membiarkan Aska membawa barangnya sendiri.

Hingga keduanya tiba di dalam kamar yang Aska pesan, Juna masih membawa seluruh barang bawaan mereka dan kemudian menaruhnya di atas meja TV yang tersedia sebelum ia melempar tubuhnya di atas kasur.

Aska tersenyum tipis, menghampiri Juna untuk mengusak pelan rambutnya.

“Aku keramasin, ya? Nanti habis itu kamu lanjut mandi sendiri, baru aku pijetin bahunya.”

Juna sontak tersenyum semangat, berjalan terlebih dahulu untuk masuk ke dalam kamar mandi selagi Aska membongkar tasnya guna mencari peralatan mandi.

Masuk ke dalam kamar mandi, Aska mendapati Juna yang sedang menonton livestream pertandingan Valorant. “Ya ampun, udah dulu nontonnya.”

“Hehehe, habis seru, nih, liat Hanan main. Semoga nanti dia maju jadi kontingen sampe ke TC, deh.” Juna tercengir sembari mengunci layar ponselnya. “Ini aku buka baju, boleh?”

“Iya, boleh.”

Aska harus menelan ludahnya gugup begitu Juna menanggalkan pakaian yang melekat pada tubuhnya hingga tinggal menyisakan celana selutut. Laki-laki itu tampak mengagumi tubuh atletis yang dimiliki sang kekasih walau tubuhnya sendiri juga sebetulnya nggak kalah atletis dari tubuh Juna sebab sang kasih kerap mengajaknya berolahraga di gym belakangan ini.

“Duduk di sini.”

“Oke.”

“Aku mulai basahin rambutnya, ya?”

“Oke, cantik.”

Aska terkekeh mendengar panggilan yang Juna beri untuknya.

Ada satu pertanyaan yang masih mengganjal hati Aska. Sudah sejauh ini mengenal Juna, rupanya Aska masih belum tahu-menahu perihal ukiran tinta permanen pada tulang selangka Juna yang bertuliskan MCMLXVII. Laki-laki kelahiran April itu tampak seribu kali lebih menawan dengan tato sederhana yang terlukis sempurna pada tubuh atletisnya.

Nggak ingin mengganggu Juna dengan satu pertanyaan pun, Aska memilih untuk berdiam diri selagi jemarinya bergerak untuk membersihkan kulit kepala Juna. Sesekali memberi tekanan yang cukup untuk memijat kulit kepala yang rambutnya panjang itu.

Juna telah meminta izin Aska untuk memanjangkan rambutnya dan memang Aska pada dasarnya menyukai laki-laki yang berambut panjang.

“Enak.”

“Oh, ya?”

“Iya. Kamu jangan-jangan pernah sekolah jadi terapis.”

“Mana ada. Ngaco aja kamu.”

“Ahahaha.”

Kelopak mata Juna dua-duanya terpejam, menikmati pijatan yang Aska beri pada kulit kepalanya. Mungkin dulu dirinya memang benar pejuang kemerdekaan sebab lihat betapa beruntungnya Juna; memiliki kekasih yang apa saja serba bisa.

Usai membasuh kulit kepala Juna hingga bersih dari sisa-sisa shampoo, Aska keluar dari dalam kamar mandi untuk membiarkan Juna membersihkan tubuhnya, sementara ia memesan makanan untuk keduanya santap malam ini.

Sebelum itu, ia sempat memeriksa bekal apa yang Juna bawa untuk keduanya dan ternyata kekasihnya itu memasak fuyunghai. Aska dibuat terkekeh sebab usaha Juna yang terbilang besar untuk memasak makanan tersebut sebab siapa yang nggak tahu kalau laki-laki itu pada dasarnya kurang menyukai kegiatan masak-memasak.

“ASKA.”

“APA, KENAPA?”

Panggilan dari Juna itu mengagetkan Aska ketika dirinya tengah menyusun lauk pauk yang ia pesan di atas meja.

“Aku lupa bawa baju tidur....”

Aska melemaskan bahunya. Ia pikir Juna sedang membicarakan suatu hal yang genting, ternyata laki-laki itu hanya lupa membawa baju tidur.

“Lupa satu setel?”

“Enggak, sih. Lupa bawa kaosnya aja.”

“Ya udah, pake bathrobe-nya aja. Sini kamu makan dulu, nanti keburu dingin makanannya.”

Mata Juna berbinar melihat lauk pauk yang tersaji di atas meja. Deretan chinese food yang ia sukai. Kekasihnya itu memang sudah paham betul akan selera makannya.

“Maaf, ya, tadi aku buka bekel kamu apa biar makan malem kita nyambung. Ternyata kamu bikin fuyunghai, jadi ya udah aku pesen chinese food.

“Ahahaha pantesan bisa cocok banget sama bekel aku.”

Aska mencicit, “Maaf....”

“Gapapa, dong. Udah nyoba fuyunghai buatan aku?”

“Belom. Maunya makan bareng.”

“Aaa....” Juna memotong masakannya yang terbuat dari telur dan sayur mayur itu, menyuapi Aska setelah dia celupkan pada saos asam manisnya. “Buka mulutnya.”

Aska melahap suapan yang Juna berikan. Memberi lidahnya waktu untuk menikmati fuyunghai masakan Juna.

“Enak, Jun. Pinter masak, ya, kamu sekarang.”

“‘Kan kamu yang ngajarin.”

Keduanya tergelak, kembali menikmati santapan malam yang sudah Aska pesan. Sesekali Aska akan menaruh potongan ayam kungpao di atas sendok nasi Juna atau juga sebaliknya. Lantas mereka pun akan tertawa ketika keduanya sama-sama menaruh potongan lauk pada piring satu sama lain.

Makanannya sudah tandas. Juna dan Aska, keduanya sama-sama membereskan bungkus makanan yang tersisa di atas meja sebelum mereka kembali masuk ke dalam kamar mandi. Sama-sama menyikat gigi sebelum Juna mengistirahatkan badannya selagi Aska membersihkan tubuhnya yang sudah seharian beraktivitas.

Belum cukup dengan mengeramasi Juna, kini Aska sudah terduduk di belakang Juna sembari mengusap massage oil pada leher dan pundak Juna setelah ia selesai dengan kegiatan mandinya. Telapak Aska lagi-lagi bergerak untuk memberi tekanan di atas permukan kulit Juna, membuat Juna memejamkan kedua kelopak matanya menikmati pijatan yang Aska beri.

“Aska.”

“Kenapa, Jun?”

“Kalo habis ini aku tidur gapake baju gapapa, nggak? Panas soalnya kalo pake bathrobe.”

“Ter-“

“Tapi, kalo kamu keganggu bilang aja. Aku gapapa-“

“Terserah, Junaaa. Gapapa, kok, lagian nggak enak juga kalo badannya habis kena oil terus dipakein bathrobe.

Juna menyimpulkan senyumnya selagi matanya masih terpejam. “Hehehe, oke. Nanti kalo kamu nggak nyaman, bilang aja, ya?”

“Iya, Ganteng.”

Terkekeh, Juna lantas kembali terdiam untuk menikmati pijatan Aska. Memang hal inilah yang sangat ia butuhkan lantaran badannya sudah lama terasa seperti remuk di sana dan di sini.

Kegiatan tersebut menjadi kegiatan terakhir yang keduanya lakukan malam ini sebelum Aska pergi untuk mencuci tangan, sedang Juna sudah terlebih dahulu membalut tubuhnya dengan selimut tebal hotel.

Tapi, oh! Ternyata Juna masih belum menggunakan skincare-nya. Jadi, Aska pun berdiri untuk mencari skincare yang Juna bawa pada tasnya untuk ia pakaikan pada permukaan kulit wajah Juna. Sesekali Aska tersenyum, mengagumi fitur wajah Juna yang terpahat sempurna. Ingin rasanya Aska mengecup tiap bagian dari wajah tampan kekasihnya itu.

Thank you, Aska.”

“Sama-sama, Ajun.”

Aska bangkit dari kasur untuk menyimpan skincare Juna di atas meja sebelum dirinya kembali. Ikut mengistirahatkan tubuhnya dengan lengan kanan Juna sebagai bantalan.

“Ini gapapa lengan kamu aku tidurin? Nanti kesemutan, lho.”

“Gapapa. Aku mau deket-deket kamu.”

“Yeee.”

Juna ikut terkekeh sebelum kembali memejamkan mata, sementara Aska masih belum bisa tidur. Kelopak matanya terbuka sempurna, memandang lekat-lekat tato yang masih setia menjadi pusat perhatiannya.

Impulsif, telunjuk Aska bergerak untuk menyusuri rangkaian huruf yang Aska percayai sebagai suatu tahun lahir itu.

Sorry.” Sang kasih tiba-tiba buka suara dengan kedua matanya yang masih terpejam. “Haven’t told you about it yet.

“Ada artinya?” tanya Aska polos.

“1967, tahun lahir mami. Got in on my 18th birthday, simply because I wanna bring my mom everywhere I go. Believing that she will always have her eyes on me.

Aska nggak mengeluarkan sepatah kata pun. Ia hanya menyimpulkan senyumnya sebelum lagi-lagi impulsif bergerak maju, memberi sebuah kecupan ringan tepat di atas ukiran tinta hitam tersebut.

Juna jadi terbangun, memandang sang kasih dengan senyum yang mengembang sempurna. Ibu jarinya bergerak naik untuk mengusap ujung bibir sang kasih.

I once heard this phrase where it says, ‘The universe must've loved you so dearly that it placed all the stars in the corners of your smile’ and I finally see it in you.” Juna berucap dengan volume yang rendah, membuat suaranya jadi berkali lipat lebih berat. “You are loved. So, so loved, Aska.”

Aska hanya terkekeh selagi Juna membawanya masuk ke dalam sebuah pelukan. Telapak Juna bergerak untuk mengusap rambut tebal sang kasih, sementara Aska ikut mengusap punggung bidang Juna.

“Juna.” Aska berujar dengan suaranya yang teredam dada Juna.

“Iya, Cantik?”

Do you realize that we are all first-timers in the context of loving someone?

Juna terdiam sesaat sebelum menganggukan kepalanya pelan.

Well, not exactly a first-timer, sih. But, come to think of it, we’ve almost never been taught on how to love and treat someone properly. So that’s the reason why some are misunderstood and they end up hurting someone that they love. But, life is always a lesson, isn't it?. We just have to learn from our mistakes so the next time we take the courage to love someone again, we wouldn’t end up repeating the same old mistakes.

Kalimat Aska terjeda untuk sesaat sebelum ia kembali berlanjut. “What I’m trying to say is thank you for taking the courage, for putting all of your efforts into me. Hope we can always learn to love each other properly, ya? Let’s not give up too easily.

Juna kembali mengeratkan pelukannya begitu Aska selesai dengan kalimatnya. Lagi-lagi dibuat tersenyum oleh manisnya rangkaian kata yang kekasihnya keluarkan.

God, I'm so in love with him, batin laki-laki kelahiran April itu.

Mungkin, kisah cintanya hanyalah salah satu dari sekian banyak kisah cinta muda-mudi yang ada di seluruh penjuru dunia, namun bagi keduanya ini spesial. Usai melalui perjalanan panjang, mencari-cari arti cinta, kini Juna dan Aska sama-sama saling mengobati dan saling menguatkan.

Semoga dunia ini akan selalu merestui keduanya.