370

Pemuda April yang penuh kejutan.

Aska bahkan nggak bisa menebak apa yang pemuda tersebut akan lakukan pada detik berikutnya. Yang Aska tahu pasti, pemuda tersebut akan selalu membuat ia mengulas senyum terbaiknya.

Seperti saat sekarang, pemuda bernama Juna itu tengah menutup pintu mobilnya. Berjalan mendekat sembari menggenggam buket bunga, berharap Aska akan merasa jauh lebih bahagia tatkala ia tiba di hadapannya.

“Selamat, ya, Aska.”

Padahal bukan sesuatu yang amat besar untuk dirayakan, tapi Juna selalu memiliki cara untuk mengapresiasi pencapaian pujaan hatinya itu.

Senyum manis Aska kian terpampang nyata sampai-sampai tulang pipinya begitu tercetak jelas. Merupakan senyum paling manis yang pernah Juna saksikan keindahannya.

“Kaget banget tiba-tiba didatengin pake bunga....”

Well deserved.

Aska nggak lagi bisa menahan keinginannya untuk merengkuh pemuda di hadapannya. Jadi pada detik berikutnya, Aska maju selangkah untuk melingkarkan lengannya pada leher jenjang laki-laki kelahiran April itu, yang kemudian dibalas dengan lengan Juna yang terlingkar pada pinggang ramping Aska.

Juna turut merasakan betapa bahagianya laki-laki manis yang kini tengah memeluknya dengan erat. Dan ia berani bersumpah kalau kebahagiaan Aska adalah salah satu hal yang paling nggak ingin ia hancurkan.

“Mau tau sesuatu nggak?” Juna bertanya dengan suara yang teredam pada perpotongan leher Aska, membuat yang lebih muda jadi melepaskan pelukannya.

“Apa kenapa?”

Ponsel yang berada pada kantong celana jeans hitamnya kini telah berpindah pada genggam tangannya. Ibu jari Juna bergerak di atas layar untuk membuka barisan kalimat yang menyatakan,

BP Kemahasiswaan Arjuna Prima Putra M'21

Refleks, Aska kembali membawa Juna ke dalam pelukannya ketika ia berhasil mencerna informasi bahwa pemuda di hadapannya juga telah berhasil lolos pada pilihan pertamanya.

Lucu bagaimana keduanya merayakan pencapaian ini.

Mereka nggak baru saja diterima menjadi mahasiswa universitas ternama di dunia, pun atau pekerja di perusahaan multinasional bergengsi. Tapi mereka tetap terlihat berantusias atas pencapaian satu sama lain.

Juna terkekeh pelan tatkala Aska kembali merengkuhnya. Pelukan ini rasanya hangat, nggak jauh berbeda dengan ketika sang ibu merengkuhnya. Sama-sama menenangkan, Juna harap ia bisa merasakan hangat ini untuk jangka waktu yang panjang.

“Ah, congrats. Sorry refleks meluk lagi.”

Thank you... dan gapapa.” Juna berucap sembari melangkah maju untuk kembali memeluk Aska dengan bonus usapan pada tengkuknya. “Akhirnya gue tau gimana rasanya dipeluk sama orang yang gue sayang.”

Hangat.

Pipi Aska hangat sebab rona kemerahan yang menjalar begitu saja pada kedua pipinya.

“Gue nggak nyiapin apa-apa buat lu....”

Kekehan Juna lolos begitu ia dengar sahutan Aska yang kelewat polos. “Hahaha. Gapapa, gue emang sengaja nggak ngasih tau kalo pengumuman gue diundur. Soalnya hari ini 'kan harinya Aska,” ucapnya dengan telapak tangan yang bergerak bebas mengusap puncak kepala Aska. Begitu banyak afeksi yang Juna beri sampai Aska merasakan senang yang membuncah.

“Udah makan belom?”

“Hm... belom, sih. Mau cari makan?”

“Ya udah!” Aska berseru semangat. “Gue masakin nasi goreng mau nggak? Yah... nggak seberapa, sih, sama buket lu, tap-”

“Mau!” Juna berseru dengan senyuman jenaka pada durjanya. “Mau, mau, mau. Mau makan masakan Aska.”

Ah, dunia ini memang isinya cinta-cintaan saja.

Lihat bagaimana kini Aska yang berganti mengusap sisi kepala Juna dengan gemas. Dua remaja itu memang sama kasmarannya. Mudah bagi keduanya untuk merasa gemas akan satu sama lain hanya dari gestur yang sederhana.

“Papa mana? Gue mau salim dulu,” tanya Juna tatkala kakinya telah menginjak area ruang tamu rumah Aska.

“Lagi nginep di rumah opa oma.”

“Lho, lu sendirian dong?”

“Iya,” jawab Aska dengan mudahnya, membuka kulkas untuk mencari-cari protein apa yang dapat ia tambahkan ke dalam nasi gorengnya nanti.

“Papa udah tau gue mau ke sini?”

“Udah, Junaaa. Tenang aja, nggak mungkin gue nggak izin dulu.”

“Oh... terus kata papa apa?”

“Ya... boleh-boleh aja.” Aska menjawab dengan fokusnya yang tertuju pada bawang-bawangan di atas talenan. “Asal pulangnya jangan malem-malem.”

“Oke, gue pulang jam sepuluh, ya?”

Begitu Juna mengajukan jam untuk dirinya pulang, Aska langsung menoleh secepat cahaya. “Ah... kok cepet banget? Ini gue kelar masak aja paling jam delapan.”

”'Kan kata papa nggak boleh malem-malem.”

“Setengah sebelas juga belom kemaleman....”

“Ahahaha.” Juna tertawa gemas melihat kening Aska yang berkerut kecewa. “Besok-besok 'kan masih bisa ketemu lagi. Bukannya apa-apa, gue cuma nggak mau ngelanggar aturan dari papa. Ya, Aska?”

“Ya udah, deh.”

“Jangan ditekuk mukanya, 'kan tadi baru keterima siwa. Harusnya seneng dong?”

“Iya, enggaaak. Nih, senyum.”

“Iya gitu senyum. 'Kan cantik jadinya.”

“Hahaha diem luuu.”

Sudah banyak yang keduanya bicarakan, saling bertukar cerita dengan satu sama lain. Sampai ketika pada topiknya habis, keduanya hanya akan berbincang mengenai hal-hal kecil yang terjadi di kehidupan masing-masing. Sesederhana apa pun topiknya, mereka akan tetap mendengarkan satu sama lain dengan penuh perhatian.

Bagian favorit Juna ketika ia tengah mendengarkan rentetan kalimat yang dengan lancarnya keluar dari belah bibir Aska ialah bagaimana laki-laki Agustus itu bercerita dengan sangat ekspresif. Kedua alis tebalnya ikut bergerak naik dan turun, pun gestur tangannya yang ikut bermain-main. Juna akan selalu bersukarela menopang dagunya untuk memerhatikan Aska.

Nggak jauh berbeda dengan Juna, Aska nggak kalah senang ketika harus mendengarkan cerita mengenai bagaimana hari laki-laki April itu berjalan. Baik itu penuh tawa atau juga duka, Aska akan selalu setia untuk mendengarkan pemuda itu. Jemarinya yang bebas sesekali bergerak untuk menyisir pelan surai hitam Juna atau merapikan kerah bajunya.

Cintanya sederhana. Nggak perlu susah payah untuk membahagiakan satu sama lain. Cukup dengan hadir di keseharian, lantas, Juna dan Aska, keduanya akan sama-sama merasa cukup.

Hingga linear pada jam dinding ruang keluarga mengarah ke angka 10, Juna bangkit dari duduknya untuk meraih jaket hitam yang tersampir pada kursi meja makan. Aska pun ikut pergi mengantarnya sampai tempat mobil Juna terparkir.

“Juna.”

“Iya, Aska?”

Alih-alih menjawab, Aska justru membawa lengan kanan yang tergantung pada sisi tubuhnya untuk bergerak naik. Jemarinya yang ramping ia pakai untuk mengusap sisi kepala Juna hingga ke tengkuk. Telapaknya hinggap untuk menangkup pipi Juna yang terasa dingin sebab terpaan udara malam.

Aska telusuri fitur-fitur wajah Juna yang tegas dan tepat pada porsinya.

Lihat bagaimana alis Juna yang terukir dengan sempurna, kemudian turun pada hidung bangirnya, dan nggak lupa, tahi lalat pada bawah mata kanannya yang membuat durja tersebut tampak jutaan kali lebih manis.

Rasa-rasanya Tuhan memang menghabiskan waktu yang cukup lama dalam memahat figur pemuda itu. Aska bersyukur, amat bersyukur, sebab telah dipertemukan olehnya.

Juna tersenyum kecil, menggenggam punggung tangan Aska yang senantiasa menangkup pipi kirinya. Memilih untuk mengunci mulutnya rapat-rapat, ikut memandang manik yang segelap gulita malam.

Larut dalam pikirannya masing-masing, keduanya bertahan pada posisi yang sama untuk beberapa saat.

Hingga pada akhirnya, Aska menjadi pihak pertama yang mengeluarkan suara, yang kemudian membuat Juna hanya bisa menelan ludahnya gugup, nggak terpikir balasan apa yang tepat untuk pertanyaan tersebut.

“Kita, tuh, nungguin apa, sih, sebenernya?”

Skak mat.

Juna hanya berharap detik pada arlojinya akan berhenti bergerak.