306
Song recommendation: click here
Di antara kegiatan lain yang mungkin dilakukan oleh Aska pada rentang libur semester ganjil, berkendara dengan Juna menuju suatu kota di Jawa Barat berada pada daftar terakhir yang Aska pikir dapat ia lakukan.
Tapi nyatanya, di sinilah Aska. Terduduk manis di samping kursi kemudi, mengeluarkan celetuk-celetuk ringan demi mengisi kekosongan sembari kendaraan sedan berwarna putih itu melaju di atas jalan tol menuju kota Bandung.
Destinasi pertama bagi keduanya adalah toko roti yang terletak di suatu jalan yang bernama Gempol Wetan. Mungkin karena sebab itu pula, toko roti ini akhirnya dinamakan sebagai toko Roti Gempol.
Memasuki bangunan yang lebih terlihat seperti rumah ini terasa seperti kembali ke era 60-an, meskipun nggak ada dari Juna dan Aska yang pernah merasakan bagaimana rasanya hidup di era tersebut, terduduk dengan sepiring roti panggang hangat yang aromanya menyeruak hingga ke sudut-sudut ruangan.
Juna mengambil tempat duduk di sisi kanan agar Aska dapat duduk di sisi kiri. Tubuhnya yang bidang digunakan untuk menutupi sinar matahari yang kemungkinan dapat masuk menyilaukan mata. Sebelum duduk pun Juna sempat memesankan keduanya santapan pagi. Dua piring roti panggang khas Bandung beserta susu murni yang dapat melengkapinya.
Aska tersenyum melihat Juna yang bersedia melakukan semua hal itu untuknya. Tentu, kalau dipikirkan lagi dirinya pasti bisa melakukan semuanya sendiri, namun akhir-akhir ini Juna memang gemar memanjakannya dan ternyata, Aska dapat menikmatinya.
Nggak selamanya dimanjakan itu merupakan hal yang buruk, walaupun Aska awalnya sempat berpikir demikian. Dulu, dirinya sering sekali menolak bantuan yang datang dari orang lain, takut jika nantinya orang tersebut akan merasa terepotkan. Di samping itu, Aska juga nggak ingin berhutang budi kepada mereka. Hingga lelaki bernama Juna datang ke dalam hidupnya dan Aska akhirnya mengerti bahwa mungkin seperti itulah cara seseorang dapat menunjukkan rasa cintanya.
“Enak nggak?” tanya Juna usai melihat Aska menyuapkan sepotong roti asin ke dalam mulutnya. Menunggu kata ‘enak’ meluncur keluar dari belah bibir laki-laki tersebut.
“Enak!” Suara Aska sedikit meninggi, bersemangat dalam mengeluarkan pernyataannya. “Empuk rotinya.”
“Yes. Hehehe bagus, deh, kalo gitu.” Juna terkekeh, menampilkan senyum yang akhir-akhir ini sering buat Aska mabuk kepayang.
“Kok lu tau, sih, tempat makan enak kayak gini di Bandung?”
Diletakannya garpu yang baru ia gunakan untuk menyuap sepotong roti sebelum dirinya menjawab pertanyaan Aska. “’Kan gue udah bilang gue orang sunda. Rumah aki, tuh, ada di daerah Antapani. Jadi, dulu gue sering pulang ke sini, diajakin mami muter-muter sampe gue hafal.”
“Oh, iya, bener juga.” Aska baru teringat kalau pemuda di hadapannya itu memiliki darah campuran sunda dan batak. “Pantes tadi lu nggak pake Google Maps bisa hafal. Keren, keren. Kalo gue, sih, kayaknya bakalan udah lupa.”
Spontan, dirinya membuang wajahnya ke samping, malu menatap Aska yang baru memberinya pujian. Pemuda yang bernama Juna itu memang mudah tersipu ketika sedang diberi pujian, bahkan dengan sesederhana apa pun pujian yang dilontarkan.
“Biasa aja.” Juna mengatupkan kedua bibirnya, menahan senyum yang kemungkinan akan tergurat lebar-lebar. “Tapi, makasih.”
Melihat Juna, Aska jadi tertawa sendiri. Respons Juna yang selalu menyenangkan dan nggak pernah setengah-setengah selalu membuat Aska yakin untuk tetap tinggal bersama laki-laki itu.
Sembari menunggu organ-organ pencernaannya dapat memproses roti panggang yang telah selesai disantap, Juna mengajak Aska untuk hanya mengelilingi Kota Kembang ini. Sudah lama Juna nggak mengunjungi kota tempat sang ibu dilahirkan, sedang Aska lupa kapan terakhir kali ia menghirup sejuknya udara Bandung. Maka Aska sama sekali nggak merasa keberatan jika harinya yang menuju siang itu hanya digunakan untuk berkeliling.
“Bandung kayak sejuk banget, ya, Jun.” Aska berucap dengan pasang maniknya yang nggak lepas dari pemandangan di luar.
“Sejuk kalo lu mainnya ke sini. Coba kalo gue bawa lu ke Bojongsoang.”
Mengernyit, Aska mengalihkan pandangannya dari luar jendela. “Emang kenapa kalo di Bojongsoang?”
“Nggak jauh bedalah dari Depok.” Juna terkekeh. “Nggak akan berani lidah lu bilang sejuk.”
“Hahaha! Masa, sih?”
“Seriuuus. Makanya udah, kita mainnya di sini-sini aja.”
“Oke.” Aska berangguk, melempar senyum pada manusia di balik kemudi. “Ngikut aa' Bandungnya aja udah.”
Sebuah tawa lolos begitu saja dari belah bibirnya. Juna sudah sering disapa dengan panggilan aa', tapi kalau sapaan tersebut keluar dari mulut Aska, Juna nggak bisa untuk nggak tersipu malu.
Jarum arlojinya telah mengarah ke angka 12, maka Juna memutuskan untuk mengarahkan kendaraannya ke toko dimsum favoritnya, mengajak Aska untuk mengisi perut. Hanya dengan membayangkan gurihnya udang yang menjadi isian menu hakau dapat membuat mulutnya berliur. Ia jadi nggak sabar untuk segera menunjukkan betapa lezatnya dimsum masakan toko Dimsum Sembilan Ayam.
Keduanya terduduk pada bangku yang saling berhadap-hadapan. Berbincang mengenai ini dan itu sembari menunggu pesanan datang.
Beberapa klakat yang di dalamnya terdapat potongan-potongan dimsum akhirnya mendarat menghiasi meja di antara mereka berdua. Aska melihatnya dengan berbinar-binar, nggak sabar untuk mencicipi dimsum di toko yang baru pernah ia kunjungi sekarang.
Tangan Juna otomatis meraih peralatan makan di sampingnya. Membukakan plastik yang membungkusi sumpit kayu sekali pakai tersebut untuk Aska pakai makan. Lagi-lagi, Aska tersenyum melihat aksi pemuda itu, menggumamkan frasa terima kasih karena telah membantunya, yang kemudian dibalas dengan senyum tulus pada wajah Juna.
Menu pertama yang Aska cicipi adalah hakau udang, salah satu jenis dimsum favoritnya. Isian hakaunya yang gendut, gurih, manis, dan empuk berhasil memanjakan lidah Aska. Membuat kedua pipinya terangkat sebab senyum yang seketika terulas.
“Enak?”
“Enaaak,” jawab Aska puas. Belum ada tempat makan pilihan Juna yang berhasil mengecewakannya.
“Asik, seneng gue dengernya.” Juna pun turut menyumpit sepotong hakau pada klakat di hadapannya. “Selamat makan, Aska.”
“Met makan juga, Ajun. Makasih, ya, udah dibawa ke sini. Nggak kalah enak sama Wingheng.”
Tiap-tiap manusia di restoran ini akan sadar kalau pemuda yang tubuhnya terbalut jaket hitam itu pasti sedang merasa sayang-sayangnya kepada pemuda lain di hadapannya. Lihat saja kedua ujung bibirnya yang kian tertarik ke atas hanya dengan memandang sang pujaan hati menyantap makanan hasil rekomendasinya.
Seperti janjinya tempo hari yang lalu, Juna turut membawa Aska pada suatu tempat di bilangan Kosambi. Puluhan flash menyala-nyala menyilaukan mata, membiarkan sebuah kamera DSLR hitam mengabadikan momen keduanya ketika tengah berada di Bumi Pasundan.
Nggak ada yang tahu kalau-kalau Juna dan Aska ke depannya nggak bisa kembali ke mari berdua, maka seenggaknya selembar foto yang tercetak nggak berapa lama kemudian dapat menjadi sesuatu yang dapat dikenang tatkala realita dunia perkuliahan telah memanggil mereka pulang.
Sore hari di Bandung sejatinya nggak terlihat jauh berbeda dengan sore hari di ibu kota. Namun yang sedikit membedakan, Juna ada di tempat ini dengan lelaki yang ia impi-impikan. Maka tentu senja ini akan selalu menjadi senja terindah di dalam hidupnya, mengalahkan senja-senja menawan yang pernah ia saksikan dari bibir pantai.
“Lu tahun baruan mau ke mana, Jun?” Aska bertanya dengan maniknya yang sibuk menelisik hasil cetakan fotonya bersama Juna. “Udah ada plan?”
“Rahasiaaa.”
“Dih?” Alis Aska bertaut, kepalanya menoleh ke kursi kemudi secepat kilat.
“Hahaha, liat aja. Nanti lu juga tau.”
“Ya udah, gue juga rahasia.”
“Oke, siap.”
“Jangan nyama-nyamain destinasi kita berdua.”
Juna terkekeh dengan telapaknya yang masih setia menggenggam erat kemudi mobil. “Iya, iyaaa.”
Destinasi keempat bagi Juna dan Aska terletak di bilangan Ciumbuleuit. Puluhan muda-mudi tampak memenuhi area Warung Sate Bu Ngantuk. Nggak heran, selain harganya yang cukup terjangkau bagi kantong pelajar maupun mahasiswa, gurih koya yang bertaburan di atas sate asin khas warung itu memang bisa dibilang memuaskan lidah.
Sedannya telah terparkir sempurna pada bahu jalan, lantas Juna mematikan mesin mobilnya dan melangkah ke luar. Membukakan pintu bagi Aska untuk dapat keluar juga. Aska pun tersenyum dan menyambut lengan yang Juna tawarkan untuk ia gaet. Sekali lagi, Juna menuntunnya membelah keramaian seperti kali terakhir Juna mengajaknya untuk makan di warung pinggir jalan.
Keduanya nggak sedang menyantap menu mewah pada restoran bintang lima yang terdapat di lantai teratas gedung tertinggi ibu kota, tetapi kebahagiaan ini terasa jauh lebih mahal dari santapan tersebut atau bahkan, jauh lebih nggak terkira harganya.
Askanya, ah belum. Juna masih belum dapat mengklaim lelaki tersebut sebagai laki-laki miliknya. Tapi, melihat Aska yang tampak begitu bahagia ketika tengah berada di dekatnya, Juna jadi semakin membulatkan tekad untuk nggak membiarkan dirinya berbuat kesalahan yang fatal lagi. Ia sungguh, sungguh ingin melihat senyum manis Aska untuk seribu tahun ke depan.
“Enak banget....” Aska mengunyah daging ayam yang berbumbu asin gurih tersebut dengan semangat. “Boleh nambah nggak? Tapi, cuma kayak lima tusuk gitu.”
“Pesen sepuluh lagi aja,” jawab Juna, “nanti kalo nggak habis, gue yang habisin.”
“Beneran nggak?”
“Beneeer, daripada nanti mau nambah lagi. Gue pesenin sepuluh sekalian, ya?”
“Yeay, oke.” Aska tersenyum lucu, membuat Juna nggak kuasa untuk membelai bagian belakang kepala Aska sebelum akhirnya berdiri untuk memesankan mereka sepuluh tusuk sate lagi.
Juna menyimpulkan senyum melihat Aska dengan senangnya menyuapkan potong demi potong daging ayam ke dalam mulut. Dan oh, jaket yang semula terbalut pada tubuhnya kini telah berpindah menyelimuti punggung Aska. Juna membetulkan letak jaket pada ujung bahu Aska yang sedikit lagi tampak akan jatuh, membuat Aska ikut tersenyum melihat perlakuannya.
“Jun, kalo gue habisin sepuluh-sepuluhnya gapapa nggak?”
“Ya udah, gapapa.”
“Ih, kok lu nggak kesel, sih? Padahal tadi gue mau pesennya lima aja. Eh, ternyata bener kata lu, mending langsung pesen sepuluh.”
“Lah?” Juna terkekeh. “Ngapain gue harus kesel, Askaaa? Gih, dihabisin. Kalo mau nambah, nambah lagi aja, ya?” Ibu jari serta telunjuknya ia gunakan untuk mencubit gemas pipi kanan Aska.
“A’, punten.”
Tiba seorang perempuan entah siapa menghampiri Juna. Seorang diri dengan ponsel pintar pada genggamannya.
“Eh, iya, kenapa?”
“Punten banget ini, A’. Tiasa nyungken poto bareng nggak, yah, sama Aa’-nya?”
Dahi Juna mengerut, tanda kebingungan dengan permintaan perempuan di hadapannya. “Buat apa, ya, kalo boleh tau?”
Mendengar Juna yang membalasnya dengan bahasa Indonesia, perempuan itu jadi ikut menggunakan bahasa Indonesia juga. “Inian, A’. Tadi habis kena dare sama temen.”
Terkekeh, Juna melemparkan tanya kepada Aska yang tampaknya nggak mengerti maksud perempuan tersebut. “Gimana, Aska?”
“Gimana apanya?”
“Ini tetehnya boleh nggak foto sama gue? Katanya dapet dare dari temen-temennya.”
“Eh, pacarnya, ya, A’?” Perempuan tadi langsung merasa nggak enak begitu Juna meminta izin.
“Oh, bukan kok Teh. Foto aja nggak apa-apa.”
“Bener?” tanya Juna.
“Ya....” Aska menjeda kalimatnya kebingungan. “Apanya yang harus kenapa-kenapa?”
Jadilah perempuan tersebut benar-benar mengajak Juna untuk berswafoto. Yang kemudian dibalas Juna dengan senyuman tipis tatkala perempuan itu menyampaikan rasa terima kasihnya.
“Hatur nuhun pisan, A’, hampura buat Aa’-nya juga, jadi ganggu pacarnya.”
“Bukan, Teh.” Aska menggelengkan kepalanya. “Nggak apa-apa, kok, nggak per-“
Juna tersenyum memotong kalimat Aska. “Doain, Teh, supaya hayang jadi kabogohan urang.”
“Wah, amin, A’,” balas perempuan itu.
“Gue nggak ngerti, ih.” Aska melempar tatapan tajamnya. “Doain apa itu tadi?”
“Rahasiaaa.”
“Juna, ih, lu doain gue yang aneh-aneh, ya?”
Tergelak, kedua kelopak mata Juna menyipit hingga nggak terlihat lagi putih pada maniknya. “Nggak, dong. Lagian, tuh, gue akhirnya ngomong sunda. Penasaran ‘kan waktu itu gue bisa atau enggak ngomong sunda?”
“Ya udah, sekalian translate-in.”
“Nggak mauuu.” Juna mencibir. “Biar rahasia.”
“Nyebelin banget Juna.”
Malam itu, keduanya tampak seperti pasang remaja yang benar-benar sedang dimabuk cinta. Mulai dari mentari muncul dari ufuk timur hingga kini telah menyinari bumi di bagian yang lain, Juna dan Aska masih setia menghabiskan waktu berdua. Meskipun rundown yang telah disusun bersama nggak sepenuhnya terlaksana dengan sempurna, seenggaknya Juna berhasil membawa Aska ke tempat-tempat yang ia rekomendasikan.
Perjalanan Juna dan Aska ke kota ini ditutup dengan membeli es kopi susu di salah satu gerai kopi terkenal di Jalan Braga, Toko Kopi Djawa. Sebelum sedan putih berplat B 1380 APP tersebut kembali melaju di atas jalan tol menuju ibu kota.
Juna bukan tipe manusia yang gemar meromantisasikan segala hal, tapi sungguh, berada di satu kendaraan yang sama dengan Aska sembari mendengarkan alunan lagu yang senantiasa memenuhi indera pendengaran terasa seperti hal paling romantis yang pernah ia lakukan di seumur hidupnya. Sesederhana ini dan Juna sudah merasa seperti manusia paling bahagia di dunia.
Ragu-ragu, Juna coba lancarkan aksi untuk menggenggam telapak Aska. Mulai dari telapak tangan kirinya yang ia pindahkan ke atas persneling, yang kemudian membuat jantungnya berdebar dua kali lebih cepat dari biasanya. Memikirkan cara paling efektif untuk meminta Aska menggenggam telapaknya.
Lantas, pemuda itu menelan ludahnya kasar dan bedeham untuk menghilangkan rasa gugupnya. Aska menoleh, memeriksa apakah Juna baik-baik saja.
“Kenapa, Jun?”
Pertanyaan tersebut Juna biarkan menggantung di udara. Masih memikirkan bagaimana caranya untuk membuat jemari keduanya bertaut.
Tapi, persetan dengan semua ini, Juna nggak ingin kehilangan kesempatan untuk menggenggam telapak Aska malam ini.
“Aska.”
“Iya, Juna?”
“Can we hold hands?” Juna bertanya dengan fokusnya yang masih tertuju pada ruas jalan tol, baru kemudian memberanikan diri untuk menoleh ke samping kiri.
“Ah, sorry, gapapa kalo-“
Berbanding terbalik dengan dugaan Juna, Aska justru kini dengan beraninya menggenggam telapak kiri Juna yang berada di atas persneling. Jemari-jemarinya bertaut. Rasanya seperti tangan Aska memang diciptakan untuk menggenggamnya erat-erat.
Merasa lega, kini bahu Juna nggak lagi menegang seperti saat sebelumnya. Tubuhnya justru melemas seperti sedang diterbangkan ke atas langit. Aska menggenggam telapak Juna dengan menggunakan kedua telapaknya, membuat Juna merasakan kehangatan yang nggak pernah ia rasakan sebelumnya, kehangatan yang belum tentu ia bisa temukan pada hadirnya manusia lain.
Seharusnya, seperti inilah rasanya jatuh cinta. Nggak ada rasa ragu atau waswas sebab cinta pada hakikatnya justru buat tiap-tiap manusia merasa nyaman untuk berada di dekat manusia lain yang mereka cintai.
Melangkah-langkah kecil untuk bisa masuk ke dalam hati manusia yang kita cintai memang seharusnya terasa menyenangkan dan bukan menyakitkan.