345
Menepati janjinya kemarin, hari ini Juna tengah melajukan kendaraannya untuk menjemput Aska di rumahnya. Terdengar berlebihan, namun pemuda tersebut memang sudah terbiasa dengan kehadiran Aska. Jadi, ia selalu berusaha meluangkan waktunya untuk menemui laki-laki Agustus itu. Mumpung keduanya masih belum disibukan kembali oleh kegiatan perkuliahan, mungkin ini memang saat yang tepat bagi keduanya untuk sering-sering menghabiskan waktu bersama.
Persis seperti kali sebelumnya, Juna akan mendapati Aska tersenyum sebelum membuka pintu mobilnya, kemudian masuk ke dalam, duduk di kursi penumpang menemani Juna melajukan kendaraan di balik kemudinya. Atau sesekali posisinya akan tertukar, Aska yang berada di balik kemudi, sedang Juna menemani Aska di sebelahnya.
“Mau ke mana kita?” tanya Juna, menurunkan rem tangan sesaat setelah Aska berhasil memasang sabuk pengaman.
“Nggak tau.” Aska berucap sembari melihat pantulan dirinya pada cermin sunvisor, berusaha merapikan rambut depannya. “Nggak nemu-nemu ide dari tadi.”
“Hm... ke mana, ya? Gue juga nggak kepikiran apa-apa lagi.” Juna kembali menjawab, namun setelahnya nggak terdengar sahutan dari pemuda di sebelahnya. Alih-alih menyahut, Aska justru kembali fokus merapikan rambutnya.
“Udah bagus, Askaaa.” Juna terkekeh sembari mengusap tengkuk yang lebih muda. “Kenapa disisir-sisir terus?”
“Ini poninya bandel. Dari tadi melengkung ke kiri terus padahal biasanya model gue ke kanan.”
Tergelak, Juna berpikir itu lucu tentang bagaimana Aska memarahi rambut miliknya sendiri.
“Still pretty eitherway,” ucap Juna dengan pandangannya yang masih fokus ke jalanan di depan, membuat Aska menoleh secepat kilat, nggak percaya kalau Juna baru saja memujinya secara langsung dan tanpa salah tingkah. Sepertinya pemuda itu sudah mulai punya keberanian lebih.
“Oooh....” Aska meledeknya dengan senyuman yang mengembang sempurna. “Someone’s getting braver I see.”
“Ahahaha. Ya udah... ini mau ke mana jadinya?”
“Nggak tau. Gue ngikut aja, deh.” Aska menutup sunvisor dan akhirnya menyenderkan punggungnya. “Coba bentar gue cari-cari dulu.”
“Oke. Kalo bisa yang sedaerah sama Senop gitu-gitu. Soalnya adek gue nitip makanan di daerah sana.” Juna bersahut memberikan saran. “Terserah, sih, tapi maksud gue biar sekalian aja.”
“Adek lu nitip apa?”
“Sliced Pizzeria. Mau nyobain dia.”
“Oh... ya udah kalo gitu.”
“Ya udah apa?” Kepala Juna bertoleh ke arah kiri.
“Beliin adek lu dulu, terus ke Bogor aja kita. Mau nggak?”
“Ke rumah gue...?”
“Iya.”
Keduanya saling melempar pandang, sunyi untuk sesaat.
“...nggak mau, ya?” tanya Aska yang kemudian disambut gelengan Juna.
“Nggak, nggak. Mau gue, cuma belom bilang ke mami. Nanti pas beli pizza, gue coba WA mami dulu, deh.”
“Bener nggak? Kalo lu nggak mau, ya gapapa kita di sini-sini aja.”
“Mau, kok, mau. Kaget sedikit aja tadi.”
“Ih, serius.”
“Seriuuus. Mami juga pasti seneng ketemu sama lu lagi.” Juna tersenyum, mengusap lembut tengkuk Aska. “Oke, oke. Kita ketemu mami sama Wylsa, ya?”
Keduanya sempat bertandang ke toko pizza ternama di bilangan Senopati sebelum kembali melanjutkan perjalanan ke Bogor, tempat Juna tinggal bersama ibu dan adiknya.
Impresi pertama yang terlintas pada benak Aska ketika kakinya melangkah masuk ke dalam rumah Juna ialah cantik. Rumah ini terlihat jauh lebih hidup ketimbang rumah milik ayah Juna yang terletak di bilangan Antasari. Seluruh ruangannya didominasi dengan warna putih dan furnitur yang kebanyakan terbuat dari kayu jati berwarna cokelat tua, sebuah kombinasi yang nggak pernah salah. Seluruh dekorasi ruangan berada tepat pada porsinya, nggak terlihat berlebihan pun juga kekurangan.
Anjani keluar dari dalam dapur untuk menyambut Aska dan begitu pula anak tengahnya. Wanita tersebut tersenyum sumringah begitu mendapati keberadaan Aska di rumahnya. Sudah beberapa waktu sejak kali terakhir beliau bertemu dengan pemuda Agustus itu.
“Aska, apa kabar, Nak?”
“Baik, Tan. Tante sendiri gimana, nih?”
“Baik, baik selalu. Sini masuk, Aska. Tante sudah buatkan makanan. Tadi Tante sudah bilang ke aa’ buat jangan makan, biar makan bareng di rumah aja.”
“Iya, Tan. Tadi cuma beliin titipan Wylsa aja, kok.”
“Oh, iya.” Anjani menjentikkan jarinya. “Sekalian makan bareng Wylsa, ya?”
“Boleh, Tante.”
“Adeeek.” Anjani beralih untuk memanggil anak bungsunya. “Deeek, ini ada aa’ sama kakak Aska! Ayo sini makan dulu, Dek.”
Wylsa terlihat malu-malu ketika keluar dari kamar tidurnya. Baru bertemu sebanyak dua kali membuat dirinya belum terbiasa untuk banyak berbincang dengan Aska. Juna telihat menahan tawanya ketika Wylsa menyapa Aska dengan senyuman yang canggung. Padahal Juna tahu persis adiknya nggak sepemalu itu ketika sudah kenal dekat dengan seseorang yang baru.
Syukurlah Aska merupakan tipe pemuda yang mudah untuk mengakrabkan diri dengan orang tua. Ia nggak begitu merasa canggung ketika diharuskan untuk berbincang dengan Anjani. Topiknya berada di sekitar dunia perkuliahan, termasuk persiapan Wylsa untuk masuk ke kampus yang sama dengan kedua kakaknya. Ternyata, adik bungsu Juna itu sama-sama ingin masuk ke fakultas yang sama seperti kakak laki-lakinya.
Makanan di atas meja telah tandas. Anjani dan Wylsa meninggalkan keduanya untuk menghabiskan waktu bersama sembari sang ibu kembali melanjutkan pekerjaan desainnya serta Wylsa yang kembali mengerjakan latihan soal pada buku lesnya.
Juna memilih untuk membawa Aska pergi ke ruang tengah, meminta Aska untuk duduk di atas sofa bersamanya. Namun ternyata, laki-laki tersebut justru melangkahkan kakinya ke piano yang berada di samping ruangan.
Tubuh Aska terduduk di atas kursi empuk piano. Jemarinya perlahan-lahan membuka penutup piano hingga jejeran tuts hitam putih terpampang nyata di hadapannya. Kepalanya tertoleh seolah meminta izin Juna untuk memainkannya. Lantas, pemuda kelahiran April yang tengah mengistirahatkan badan di atas sofa jadi kembali berdiri, menghampiri Aska dan duduk tepat di sampingnya. Kedua bahu laki-laki tersebut menempel, memberikan sensasi nyaman ketika tengah bersama.
“Mainin aja.”
“Ganggu nggak?”
“Nggak, kok. Kamar Wylsa di atas, mami juga lagi di atas.”
Aska tersenyum menanggapi Juna. Jemarinya yang ramping mulai ia bawa untuk menyentuh tuts piano di hadapannya. Memainkan piece Nocturne Op. 9 No. 2, piece yang sudah sangat familier di telinga Juna. Namun, nggak peduli seberapa banyak ia telah mendengarnya, Juna tetap akan selalu kagum dengan manusia yang memainkannya.
“Ah... udah kaku banget gue.” Aska menghentikan permainannya, menepuk jidatnya kesal.
“Udah lama nggak main, ya?”
“Iya. Habis masuk kuliah gue udah nggak pernah main lagi.”
“Still sounds magical though.“
“Bohooong.”
Sebuah kekehan lolos begitu saja dari belah bibir Juna. “Well, di telinga orang yang nggak bisa main piano kayak gue, kedengerannya masih bagus, Aska. Walaupun kedengerannya nggak begitu nge-feel kayak kalo mami yang main.”
“Oh, mami juga sering main?”
“Iya, iseng-iseng aja atau nggak Wylsa... dia juga suka main kalo lagi gabut.”
Aska nggak menanggapi pemuda di sampingnya, hanya tersenyum pelan sembari memainkan lagu Love Story karya Taylor Swift. Jemarinya terlihat lebih luwes ketika bermain lagu yang bukan klasik.
“Crazy yet funny at the same time how we've come this far.“
“Kita berdua?”
“Ya... iya? Mau siapa lagi emang?”
“Right....“
Yang lebih muda melanjutkan permainannya untuk beberapa saat. Membuat Juna turut bernyanyi melantunkan liriknya. Untuk lagu ini, Juna memang hafal akan sebagian liriknya.
“Romeo, take me somewhere we can be alone. I'll be waiting, all there's left to do is run. You'll be the prince and I'll be the princess. It's a love story, baby just say yes.“
Keduanya tertawa lepas, menikmati momen yang tengah keduanya rajut bersama. Sempat saling melempar tatap, kemudian kembali tersenyum.
“Padahal ya, Jun... gue nggak ada niatan buat deket sama orang lagi pas masuk kuliah.”
“Neither do I, Aska. Cuma lu yang berhasil bikin gue jadi muter haluan.”
“Ahahah, berisik lu. Bisa aja kalo ngomong.”
“Serius gueee.”
Aska kembali dibuat tertawa oleh pemuda di sampingnya, sedang Juna hanya bisa memandangnya dengan penuh kasih.
Ah, tipikal kisah cinta dua remaja.
Anjani yang tadinya ingin menghampiri Juna dan Aska untuk memberikan makanan ringan jadi urung. Wanita itu tersenyum teduh, bersender pada dinding dapur yang mengarah ke ruang tengah. Batinnya berharap agar anak laki-lakinya dapat mencintai laki-laki di sampingnya dengan tulus dan tanpa rasa ragu. Semoga kelak, Juna nggak akan pernah merasakan apa yang beliau rasakan.
“Aska.”
“Apa, Junaaa?”
“Still believe in me?“
“Dulu awalnya skeptis, but you prove me wrong everyday. So I have no reasons buat nggak percaya sama lu.”
Alih-alih melanjutkan bicaranya, Juna hanya bergeleng sembari tersenyum. Berharap ia bisa membalas sayang yang telah Aska curahkan sebab laki-laki tersebut memang pantas atas segala cinta di muka bumi ini. Mana tega pemuda April itu menghancurkan ekspektasi Aska terhadap dirinya.
Sebut semua frasa yang bisa mengungkapkan rasa cinta seseorang, maka Juna akan menggunakannya untuk mendeskripsikan apa yang benaknya rasakan terhadap laki-laki manis yang telah mengisi hari-harinya.
Untuk saat ini Juna masih sedikit takut. Takut belum bisa memberi cinta yang pantas untuk Aska terima setiap harinya.
Semoga, semoga dunia berinya kebaikan. Rasa takut itu akan perlahan sirna jika ia sendiri berani untuk melawan.