hyucklavender

“Dor!”

Bukannya tersentak kaget, Lazuardi hanya mengernyitkan dahi ketika Bintang menepuk salah satu pundaknya. Reaksi Lazuardi yang tidak mememuhi ekspektasi Bintang membuat laki-laki yang tengah menjinjing tas bekal itu berdecak sebal.

“Ah, reaksi lo nggak asik.”

“Kenapa manggil?” tanya Lazuardi langsung pada intinya.

Dengan senyum miring yang terpatri pada wajahnya, Bintang menarik lengan Lazuardi untuk membawanya menjauh dari kerumunan mahasiswa yang hendak beranjak keluar dari dalam gedung perkuliahan.

“Nih, janji gue kemaren.” Bintang menyodorkan tas bekalnya.

“Apa?”

“Astaga....” Bintang memijit keningnya yang terasa pening. “Masa gitu doang lupa, sih? Kemaren ‘kan gue bilang gue mau masakin lo makanan.”

Lazuardi terkekeh seadanya. “Emang udah memenuhi syarat?”

Sebelum menjawab pertanyaan Lazuardi, Bintang terlebih dahulu mengeluarkan ponselnya dari dalam kantung celana. Kemudian lelaki itu menunjukan layar ponselnya yang menunjukan ruang obrolan bersama beberapa senior kepada Lazuardi.

“Liat, gue udah punya janji ngobrol-ngobrol sama tiga senior.” Bintang memakerkan pencapaiannya yang melebihi permintaan Lazuardi.

Merasa gemas dengan tingkah pemuda di hadapannya, Lazuardi lagi-lagi terkekeh sambil mengusap puncak kepala Bintang sampai ke tengkuknya.

Good job. Nanti, jangan malu buat tanya hal-hal yang harus lo ketahuin ke mereka. Mereka pasti mau ngasih lo ilmu buat nyusun grand design.”

Kelopak mata Bintang berkedip berkali-kali. Tubuhnya terbujur kaku menerima perlakuan Lazuardi yang tadi itu.

Tolong jangan katakan bahwa Lazuardi baru saja mengusap kepalanya dengan penuh perhatian dan tak lupa memujinya dengan kata-kata yang membuat lututnya terasa lemas.

“Eh-“ Lazuardi menarik telapak tangannya. “Sorry, sorry. Nggak sengaja.”

Menelan ludahnya gugup, Lazuardi akhirnya memilih untuk berpamitan. “Yaudah, gue... cabut duluan, ya? Makasih bekelnya, nanti gue makan di Kantek.”

Lazuardi sempat menepuk ujung bahu Bintang sebelum ia benar-benar rain dari jangkauan pandang Bintang. Dan tepat setelah itu, Bintang baru bisa mengembuskan napasnya yang tertahan.

He did not just....

Sementara itu, ada beberapa pasang mata yang menyaksikan kejadian di antara Lazuardi dan Bintang. Satu yang terlonjak kaget sampai harus bertingkah seolah ia tidak baru saja menyaksikan hal paling fenomenal seantero teknik, sedang satu yang lain harus menahan rasa sakit yang tiba-tiba saja menyergap isi hatinya.

Ketukan pintu yang berulang-ulang dan terdengar nyaring membuat Lazuardi harus terburu-buru memasang kaus pada tubuhnya. Pemuda itu kemudian sesegera mungkin membuka pintu unit apartemennya. Ternyata Bintang sudah berdiri menunggunya di depan dengan sebuah senyum yang terpatri lebar.

“Hai.”

Sapaan Bintang membuat kening Lazuardi mengernyit kebingungan. Rasa-rasanya baru kemarin pemuda itu memasang raut wajah sedihnya, namun dengan waktu yang secepat ini ia sudah bisa kembali tersenyum seperti sedia kala.

Lazuardi mempersilakan Bintang masuk dan entah kenapa kata-kata inilah yang pertama keluar dari belah bibir Bintang ketika laki-laki itu akhirnya terduduk pada sofa di tepi jendela.

“Lo habis mandi parfum apa gimana?” tanya Bintang, “wangi banget perasaan.”

Alih-alih menjawab celotehan Bintang, Lazuardi justru beranjak ke area dapur kecilnya. Pemuda itu menuang isi sup krim yang sempat ia masak sebelum Bintang datang ke dalam dua buah mangkuk. Kemudian ia pun kembali ke sisi Bintang, menaruh kedua mangkuknya di atas meja lipat yang tersedia. Tak lupa, Lazuardi juga menyeduh satu cangkir teh hangat untuk Bintang nikmati. Keduanya kini terduduk berhadap-hadapan dengan pemandangan malam Depok yang sedikit dihiasi dengan deru mesin kendaraan bermotor dan bising gesekan rel kereta api. Namun tak apa, suara tersebut dapat diredakan dengan alunan lagu yang keluar melalui pengeras suara milik Lazuardi.

“Jago masak beneran, ya, lo sekarang?” ledek Bintang usai pemuda itu menyuap sup krim yang dimasak oleh Lazuardi. Sedang pemuda di hadapannya yang mendengus pelan sebelum ikut menyantap sup krimnya.

“Lo masakin gue tiba-tiba begini, nggak tau kenapa rasanya kayak kita udah kenal dan tau satu sama lain sejak lama,” celetuk Bintang. Arah pandangnya terlempar keluar entah ke mana itu asal tidak mengarah ke Lazuardi. “Kayak lo tau gue nggak bakal nolak bentuk afeksi apa pun itu yang lo kasih ke gue.”

“Siapa juga yang bilang kita enggak kenal dan tau satu sama lain sejak lama?” tanya Lazuardi.

“Yaaa... maksud gue, kita udah lama nggak kayak begini. Tapi, kita berdua tiba-tiba jadi sering ngehubungin satu sama lain dan saling ngasih afeksi kayak kita udah kenal sejak lama, kayak di antara kita berdua ngga pernah ada masalah apa-apa.”

“Pusing dengernya.”

Lazuardi dengan sifat kurang pedulinya. Bintang hanya bisa berdecak mendengar tanggapan pemuda itu. Jadi hanya ada suara alat makan yang bersinggungan dengan mangkuk keramik mengisi ruang di antara keduanya. Dan seolah Lazuardi memilik fungsi autopilot, pemuda itu langsung membersihkan mangkuk milik Bintang tanpa harus disuruh. Tidak membiarkan Bintang bekerja barang sedikit pun. Membuat pemuda itu terduduk memandangi punggung Lazuardi dari jarak sekian meter. Otaknya dipaksa bekerja memikirkan akan bagaimana Lazuardi belum memiliki pasangan dengan perlakuan seistimewa ini.

“Minum tehnya,” pinta Lazuardi ketika pemuda itu kembali terduduk di hadapan Bintang.

“Orang maunya minum alkohol.”

Lazuardi meraih selimut tipis yang terletak di tepi sofa. Melebarkan kain bulu tersebut untuk menutupi tubuh Bintang agar tidak langsung terkena terpaan angin dari pendingin ruangan. “Teh panas juga bisa bikin lo tenang.”

Perlakuan Lazuardi lagi-lagi membuat Bintang memikirkan hal yang sama. Mungkin seharusnya sekarang Lazuardi sedang berbagi kasih dengan seseorang yang mampu memperlakukan pemuda itu dengan sama baiknya. Jika saja Bintang tidak terus menerus merepotkannya....

“Masih penasaran nggak?” tanya Bintang sambil merapatkan selimut pada tubuhnya.

“Penasaran apa?”

“Ish, masa udah lupa, sih?” Bintang melayangkan protesnya. “Yang tadi di _chat, lho....”

“Oh, soal pacar lo?” tanya Lazuardi, kini pemuda itu tampak sedang merapikan meja lipat yang keduanya sempat pakai untuk menaruh mangkuk beserta cangkir. “Cerita aja, gue dengerin.”

“Nah, ya udah. Sebenernya bukan apa-apa, sih. Gue cuma mau bilang aja kalo Satya, tuh, bukan pacar gue, tapi cuma cowok gue.”

Kening Lazuardi berkerut dibuat Bintang. “Apa bedanya?”

“Beda. Dia bukan pacar gue karena dia pernah bilang dia belom siap buat berkomitmen, jadi akhirnya kita berdua cuma ngejalanin apa yang ada. Cuma, yah... orang-orang taunya kita berdua pacaran karena emang kita udah sedeket itu.”

Ada hening yang menjeda percakapan mereka. Lazuardi masih sibuk menyimpan meja lipatnya pda ruang kecil yang tersedia di bawah sofa.

“Jadi....” Lazuardi berkacak pinggang usai dirinya bangkit dari lantai. “Dari pas lo masih di Cali sampe akhirnya balik ke Jakarta, lo berdua belom pacaran?”

“Belom... tapi kita sama-sama setuju kalo gue punya dia dan dia punya gue.”

Pemuda yang lebih tua berangguk-angguk, kembalj sibuk berjalan ke sana kemari untuk merapikan unit apartemennya.

“Dan lucunya dia malah main belakang sama orang lain. Kalo dia nggak siap buat berkomitmen, kenapa malah selingkuh? Satu aja belom cukup buat lo pertahanin, ini lagi malah nambah dua,” gerutu Bintang. Membuat Lazuardi terkekeh pelan.

“Bang Lazu.”

“Apa, Abin?” Lazuardi membalas sapaan Bintang tanpa menolehkan kepala.

“Kalo gue mutusin dia lewat chat, gue kurang ajar banget nggak?”

Pertanyaan Bintang yang kali ini membuat Lazuardi menolehkan kepalanya secepat kilat.

“Gue... nggak yakin gue bisa ngomong langsung di depan muka dia, tapi gue juga nggak mau lagi berhubungan sama dia.” Bintang menundukkan kepala, jari jemarinya memainkan ujung kain selimut. “Gue udah capek. Udah cukup, deh, nyokap aja yang selingkuh. Kalo sampe gue harus bertahan sama pasangan yang juga suka selingkuh... rasa-rasanya gue nggak bakal kuat. Orang mana yang kuat diduain sama pasangannya? Yah... walaupun dia bukan pasangan resmi gue, tapi tetep aja selama ini gue udah sangat amat percaya sama dia.”

Dengan kakinya yang berjalan pelan, Lazuardi menghampiri Bintang di sofa. Tangannya bergerak perlahan untuk mengusap bahu bidang milik seorang Bintang.

Do whatever makes your heart feel at ease,” ujar Lazuardi dengan nada yang terdengar tenang layaknya permukaan air danau.

Bintang mengangkat kepalanya untuk menatap Lazuardi. “Tapi, gimana kalo semisal Satya nggak terima gue putusin lewat chat dan ngelakuin hal yang aneh-aneh buat gue?”

I’ll make sure he won’t get to bother you if he ever shows up.

Tepukan lembut yang Lazuardi berikan mampu mengusir sedikit rasa gundah dan membalut relung hati seorang Bintang. Lazuardi tak sampai hati melihat Bintang yang harus melalui semua ini sendiri, tak tahu tempat aman mana yang bisa ia tuju untuk mencurahkan isi hatinya. Maka, Lazuardi benar-benar bertekad untuk setidaknya memastikan Bintang akan selalu aman selama ia masih tinggal pada sisi pemuda itu.

Penerangan yang redup, alunan musik yang membuat jantung bergedub. Lazuardi, Bintang, bersama beberapa teman satu organisasinya sedang berada pada salah satu drinking club yang terletak di daerah Braga, Bandung. Tampak salah satu teman perempuan terdekat Bintang menenggak minuman beralkoholnya. Kerongkongannya terasa seperti baru saja terbakar, namun ia justru menyukai sensasi tersebut. Disodorkannya sloki berisi minuman ke arah Bintang, hendak menawarkan minuman beralkohol tersebut kepada temannya.

“Bin, minum?”

Bintang menggeleng pelan, berusaha menolak tawaran Reysha dengan sesopan mungkin. “Nggak, Sha. Lo aja. Gue bagian jagain lo, Stef, sama yang lain.”

Memang seperti itu peran Bintang dari tahun ke tahun, dari lingkup pertemanan yang satu ke yang lain. Pemuda itu bisa dibilang pemuda yang cukup menjaga kesehatan tubuhnya. Merokok tak pernah, menenggak alkohol pun juga. Jika paru-parunya terindikasi suatu penyakit, maka hal tersebut pasti disebabkan oleh paparan asap rokok dari teman-temannya. Bintang selalu menjaga tubuhnya agar tetap prima dengan rajin berolahraga dan mengonsumsi makanan yang sehat. Sungguh seorang pemuda paling ideal di antara teman-temannya.

Ada celetuk yang tercipta dari mulut yang satu ke yang lainnya, membuat Bintang tergelak sampai kepalanya terlempar ke arah belakang. Atau sesekali mereka turut bernyanyi mengikuti melodi lagu yang terpancar melalui pengeras suara. Hesa dengan suara emasnya yang membuat teman-temannya berhasil memberinya sebuah tepuk tangan yang meriah.

Malam ini memang seharusnya berlalu menyenangkan seperti malam-malam lain yang kebanyakan remaja sering lakukan.

Namun dunia seolah tidak berpihak kepada Bintang pada malam hari ini. Ketika ia sedang mengusap air mata yang menumpuk pada pelupuk mata sebab ia tertawa terlalu kencang akibat lelucon yang dikeluarkan oleh Hesa, ekor matanya justru menangkap keberadaan sosok yang familier pada ingatannya. Kepalanya refleks menoleh secepat kilat. Kelopak matanya ia kecilkan demi memperjelas pandangnya.

Pada salah satu meja lain yang tersedia di tempat ini, terdapat sosok yang Bintang tahu betul siapa dia. Ingin sekali lagi Bintang memastikan, maka yang selanjutnya ia lakukan adalah beranjak pergi ke toilet yang memang terletak di dekat meja itu. Dan benar saja, tebakan Bintang sama sekali tidak meleset.

Itu Satya, pemuda yang malam tadi berkata bahwa ia tidak punya waktu untuk pergi keluar menemui Bintang, tetapi yang saat ini ia lakukan justru bersenang-senang berada di bawah pengaruh alkohol sembari berbincang dengan laki-laki lain. Lengan Satya yang terlingkar sempurna pada laki-laki itu membuat hati dan harga diri Bintang hancur terinjak-injak Satya.

Bintang sudah tahu hal ini sejak lama, bahwa Satya memang sudah menduakannya sejak pemuda itu pindah ke Bandung untuk memulai studinya. Namun, Bintang tidak tahu bahwa rasanya akan sesakit ini melihat Satya berselingkuh tepat di depan bola matanya sendiri.

Pemuda itu malfungsi. Otaknya menyuruh ia untuk pergi menghajar Satya, namun tubuhnya justru berkata sebaliknya. Ia berjalan gontai kembali ke tempat duduk yang diisi teman-temannya, memilih untuk tetap bungkam.

Persis ketika Bintang menemukan fakta bahwa ibunya juga bermain pria di belakang ayahnya, ia juga memilih untuk tetap diam. Berusaha untuk terlihat baik-baik saja di depan ayah dan ibunya yang pernikahannya perlahan-lahan mulai renggang.

Ketika yang lain sibuk menikmati minumannya masing-masing, ada Lazuardi yang sedari tadi sibuk memperhatikan Bintang. Sampai ketika Bintang beranjak ke toilet pun, Lazuardi tahu bahwa Bintang tidak benar-benar ingin pergi ke toilet. Dan dari gerak-geriknya, Lazuardi juga jadi sadar akan kehadiran Satya. Meskipun selama ini Lazuardi hanya pernah melihat rupa Satya dari akun media sosialnya sebab entah sudah berapa ratus kali ia melihat unggahan Bintang yang menunjukan potret mereka berdua, Lazuardi sampai sudah hafal seperti apa rupa dari seorang Satya. Mulutnya juga ikut ternganga ketika ia melihat Satya tampak merangkul mesra lelaki lain. Satu yang Lazuardi bisa tebak, sepertinya Satya memang sedang bermain belakang sebab Bintang juga tampak sama terkejutnya.

Bintang kembali pada tempat duduknya, menepuk pundak Reysha untuk berbisik sesuatu. Lazuardi dapat melihat betapa terkejutnya Reysha ketika Bintang selesai berbisik. Arah pandang Reysha langsung jatuh tepat pada meja Satya berada. Lazuardi yakin seratus persen bahwa tebakannya yang barusan itu benar. Ditambah dengan Hesa yang tidak sengaja mendengar percakapan di antara Bintang dan Reysha, kini pemuda itu jadi ikut meminta penjelasan dari Bintang, membuat Bintang harus memijat pelipisnya pelan. Padahal, ia tidak ingin semuanya tahu bahwa ia baru saja menangkap 'kekasihnya berselingkuh'. Hesa dan Reysha tampak berangguk-angguk setuju ketika Bintang berujar sesuatu.

G-guys.....” Reysha berdiri dari tempat ia duduk. “Bintang nggak enak badan, mau izin pulang duluan.”

Seluruh atensi langsung tertuju kepada Bintang, sementara laki-laki itu hanya tersenyum canggung. Lazuardi mengira, sepertinya Hesa dan Reysha baru saja menyetujui ide Bintang untuk berbohong.

“Iya, guys. Sorry banget ganggu seneng-senengnya, kalian lanjut aja, ya.” Bintang tersenyum tipis, membuat yang lain mengucapkannya ujaran agar pemuda itu bisa lekas pulih. Ketika Bintang beranjak pergi, Lazuardi pun ikut beranjak dari tempat duduknya. Meraih jaket yang ia taruh di atas kursi dan menepuk pundak Hesa sebagai sinyal bahwa ia akan menyusul Bintang.

Tepat saat Bintang hendak membuka pintu mobilnya, tangan Lazuardi sudah terlebih dulu terjulur untuk menahannya.

“E-eh, Bang...?” Bintang tersentak mundur, terkejut dengan kehadiran Lazuardi yang terlalu tiba-tiba itu. “K-kenapa?”

“Yakin bisa nyetir sendiri?”

Pertanyaan Lazuardi tak kunjung Bintang tanggapi sampai beberapa detik kemudian, membuat pemuda itu mencoba untuk mengambil alih kemudi yang kemudian Bintang setujui meski tanpa kata-kata. Lazuardi berakhir menjadi pihak yang berada di balik kemudi, sementara Bintang terduduk di sampingnya dengan kepala yang tertunduk lesu. Malam ini, Bintang tidak menjadi pihak yang menjaga orang lain dari pengaruh alkohol. Lazuardi justru menjadi pihak yang memastikan pemuda itu dapat pulang dengan aman dan selamat.

“Yang tadi itu pacar lo 'kan?” Lazuardi menodong Bintang dengan sebuah pertanyaan yang sudah ia tahu betul apa jawabannya.

Sedang Bintang terkekeh pelan mendengar pertanyaan Lazuardi. “Lo hafal, ya?”

“Hesa juga hafal.”

“Hm.” Bintang bergumam mengangguk-anggukan kepala. “Ya udah, jangan bilang-bilang ke yang lain, ya. Gue malu kalo orang-orang tau pacar gue selingkuh.”

Selang beberapa waktu kemudian, Bintang kembali melanjutkan kalimatnya. “Well..., bukan pacar juga, sih, sebenernya. He wasn't ready for a commitment, he said. Nggak tau kalo sekarang gimana.”

Ada sunyi yang mengisi ruang di antara keduanya sebelum Bintang perlahan-lahan mulai hilang kesadaran dan terlelap. Kepalanya yang beberapa kali terbentur kaca jendela membuat Lazuardi harus menepi sesaat untuk mengganjal kepala Bintang dengan menggunakan jaket hitamnya. Sebelum Lazuardi kembali berkendara, ia sempat menatap lentik bulu mata Bintang yang nampak begitu panjang ketika sang empunya tengah memejamkan mata. Hati Lazuardi seolah ikut hancur melihat Bintang 'sakit' ketika ia sedang berada di dekat laki-laki itu. Jika saja Lazuardi diberi satu kesempatan untuk menjadi pasangan bagi pemuda Agustus itu, akan ia pastikan bahwa rasa sakit menjadi hal terakhir yang dapat Bintang rasakan di dalam hidupnya.

Keduanya pun sampai di tempat mereka akan menginap untuk malam ini. Lazuardi berjalan tepat di belakang Bintang untuk menjaga pemuda itu. Saat Bintang ingin beristirahat pada salah satu tepi ranjang, Lazuardi terlebih dahulu menyibakan selimut yang terpasang di atasnya. Bintang tersenyum tipis, mengucapkan terima kasihnya sebelum membungkus dirinya dengan selimut tersebut. Gumpalan jaket hitam Lazuardi masih Bintang peluk, membuat Lazuardi harus menahan dingin pada kulit lengannya yang terekspos sebab ia memang tengah mengenakan pakaian tanpa lengan.

“Balik aja, Bang. Yang lain pasti masih di sana,” ujar Bintang dengan suara yang samar-samar akibat wajahnya kini tengah tertutup selimut tebal.

“Gampang.”

Alih-alih menuruti permintaan Bintang, Lazuardi justru memutuskan untuk pergi bersantai pada balkon kamar. Mulutnya sempat menyesap kopi kemasan sebelum mengapit gulungan tembakau favoritnya. Dibakarnya ujung batang rokok tersebut sebelum ia mengepulkan asapnya di udara. Kepalanya sesekali menoleh ke belakang untuk memeriksa Bintang yang masih terbaring di atas ranjang dengan terbalut selimut. Dan Bintang juga sesekali mengintip melalui celah pada selimutnya, memeriksa apakah Lazuardi kembali pergi ke luar atau tidak.

Lazuardi menghela napasnya panjang. Dalam hatinya berharap agar Bintang dapat segera kembali ke keadaan semula. Melihat Bintang bersedih berada pada daftar paling terakhir yang ingin Lazuardi saksikan.

Pasang mata yang menatapnya dengan sebegitu dalam, beserta figur yang beberapa waktu ke belakang ini ia rindukan. Aska sama sekali tidak berani membalas tatapan tersebut. Tungkainya dibawa melangkah menuju sedan yang membawa figur itu kemari. Dengan kepala yang masih tertunduk menatap aspal, ia pun tiba di samping pintu kursi penumpang.

Semula, tangan Juna masih setia beristirahat di atas persneling, namun melihat lelakinya yang tak kunjung masuk ke dalam mobil, ia pun menghela napasnya panjang dan beranjak keluar untuk membukakan laki-laki itu pintu.

Ketika keduanya sudah berada di bawah satu atap mobil yang sama, Aska masih belum berani menatap pasang mata Juna yang baginya sulit ia artikan. Pemuda itu justru tertunduk memandang jemarinya yang ia letakkan di atas kedua paha. Deru mesin mobil sang kekasih seolah terdengar begitu nyaring mengalahkan sunyi di antara mereka.

“Hei.”

Juna mencoba untuk menyapa Aska. Butuh selang waktu yang cukup lama sebelum keberanian Aska akhirnya terkumpul untuk mengangkat kepala dan membalas tatapan yang Juna beri. Ia masih merasa sulit menerka tujuan Juna datang kemari. Bahkan ia juga belum tahu apakah Juna telah sepenuhnya memafkaan dirinya atau belum. Sempat beberapa kalo ia berpapasan dengan Juna di area fakultas, namun lelaki itu selalu memandang Aska dengan tatapan yang ia tidak kunjung mengerti apa arti di baliknya.

“J-jun, aku....”

Aska hendak menyampaikan rasa bersalahnya. Ingin meminta maaf kepada Juna secara langsung. Namun, yang selanjutnya Juna lakukan justru memajukan tubuhnya. Kedua tangannya terbuka lebar untuk membawa Aska masuk ke dalam dekapannya. Indera penciuman Juna langsung mampu mengenali harum tubuh Aska yang familier. Harum yang selalu mampu membuat Juna merasa tenang sebab lobus otaknya kemudian menyadarkan Juna bahwa Askanya tidak akan pergi ke mana-mana.

“Juna, I’m-

Kalimat Aska terputus ketika Juna kian mengeratkan dekapannya. Bahkan kini telapak tangan Juna sedang ia gunakan untuk mengusap lembut helai rambut tebal Aska. Membuat laki-laki itu akhirnya pasrah dan menenggelamkan wajah pada perporongan leher Juna. Lengan Aska ikut terlingkar pada pinggang ramping Juna yang hanya terbalut fabrik dari kaus putih tanpa lengan yang ia gunakan.

I’m so sorry...,” Aska melanjutkan kalimatnya dengan suara yang sedikit teredam. “Could’ve done it better... harusnya aku nggak perlu ngedumel kayak begitu, padahal ‘kan posisinya kamu juga lagi capek. Harusnya aku bilang makasih, bukannya marah-marah nggak jelas kayak begitu. Maaf, aku bikin kamu jadi kesel sampe berhari-hari.”

Juna menyunggingkan senyumnya. Merasa senang sebab Aska mengerti seluruh isi hatinya. “Kamu nggak bilang ‘maaf’ pun, aku udah pasti maafin kamu. Jadi, nggak usah minta maaf lagi, ya? Aku udah nggak marah lagi.”

“Hum, iya... makasih udah maafin aku....”

Senyum Juna kian melebar mendengar cicitan pasrah Aska. Ia terkekeh pelan sebelum kembali mengusap kepala kekasihnya.

“Iya, Aska. Yang penting sekarang kamu tau kalo aku, tuh, peduli sama kamu. Malem itu hujan, aku nggak tau kamu pulangnya aman atau enggak. Sebagai pacar, wajar dong kalo aku khawatir terus nyamperin ke kafe yang sempet kamu kasih tau namanya. Aku nggak keberatan kalo harus repot-repot keluar demi mastiin kamu selamat. Kamu prioritas aku. Toh, kalo pun kamu akhirnya bisa pulang tanpa aku, aku juga sama sekali nggak masalah. Kamu selamat sampe tujuan itu udah lebih dari cukup buat aku. Udah, niat aku cuma itu. Aku sayang sama kamu, Aska. Biarin aja aku repot, mungkin emang kayak begitu cara aku express rasa sayang aku ke kamu. Maaf juga, ya, udah tiga hari belakang aku nggak nyapa dan bales chat kamu. I needed some time alone. Kamu bener, aku emang lagi capek makanya aku jadi sensitif juga. Cuma sekarang udah enggak kok, energi aku udah ke-recharge lagi habis ketemu kamu begini.”

Yang tadi itu terdengar seperti ujaran paling panjang yang pernah Juna lontarkan semasa keduanya menjalin kasih. Aska pun jadi mengerti bahwa seperti inilah marahnya seorang Juna. Alih-alih meninggikan suara, kekasih Aska justru akan mengeluarkan apa yang ia rasakan di dalam hati dengan kalimat sopan yang mudah untuk Aska mengerti. Pemuda Agustus itu jadi ingin menangis sebab rasa harunya. Ia akhirnya hanya kembali mengeratkan pelukannya. Dalam hatinya merapalkan jutaan syukur sebab telah diberi pasangan seperti Juna.

“Udah ngerti ‘kan sekarang?” tanya Juna, yang kemudian dibalas dengan anggukan Aska yang bisa ia rasakan. Juna pun mencoba melepaskan pelukannya, yang kemudian membuat Aska bingung sebab ia masih ingin merasakan hangat dari tubuh Juna.

“Kamu tunggu sebentar.”

Aska mengernyitkan dahinya kebingungan ketika Juna memutar balik tubuhnya untuk meraih kotak putih pada jok belakang yang baru Aska sadari kehadirannya. Ia tahu betul apa isi di dalam kotak itu. Donat dengan isian saus cokelat yang sangat Aska sukai.

Dengan berhati-hati, Juna membuka kotak tersebut dan memasang satu batang lilin ulanh tahun berwarna silver tepat di tengah-tengah kotak. Korek api yang ia simpan di dalam kantung celana jeans-nya ia rogoh guna menyalakan api pada sumbu lilin. Aska tersenyum penuh haru melihat kejutan yang Juna beri. Ia merasa senang sebab Juna masih mengingat hari ulang tahunnya meskipun Aska telah membuat pemuda itu kehabisan stok sabar.

Yeay, happy birthday, pacar aku.” Juna tersenyum sampai kedua matanya membentuk lengkungan yang mirip bulan sabit. Keduanya sempat menyanyikan lagu ulang tahun sebelum Aska meniup api di atas lilin ulang tahunnya. Pemuda yang sedang berulang tahun itu bertepuk tangan tepat setelah nyala apinya padam.

“Ah... mau nangisss.” Aska menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya yang besar, kontras terbalik dengan ukuran wajahnya yang justru mungil.

“Kenapaaa? Kok nangis? ‘Kan lagi ulang tahun.” Juna tertawa sambil mengusak-usak puncak kepala Aska.

“Lagian kamu....” Aska menurunkan telapak tangan yang menutupi wajahnya. “Masih sempet-sempetnya beliin aku donat ulang tahun. Padahal ‘kan aku kemaren nyebelin.”

Bukannya menjawab kalimat Aska, Juna justru kembali terkekeh. Ditutupnya kotak berisi donat di atas pangkuannya untuk disimpan pada jok belakang. Juna lagi-lagi meraih satu kotak berukuran sedang dan satu kotak berukuran kecil untuk ia bawa ke depan.

“Jun?” Aska melongo melihat kotak yang ia tebak merupakan hadiah yang hendak Juna berikan. “Sumpah, ini apa...?”

Juna memiringkan senyumnya. “Kado, buat pacar aku.”

Tebakan Aska benar. Laki-laki itu meminta Aska untuk membuka kotak yang berukuran sedang terlebih dahulu. Membuat Aska tersenyum sebab Juna benar-benar mengetahui selera sandal favoritnya. Dari merk hingga warna yang Juna beli, kekasihnya itu memberi Aska hadiah yang tepat. Kemudian, beralih pada kotak yang berukuran sedang, Aska menemukan sebuah dompet dan parfum di dalam sana. Entah dengan cara apa Juna berhasil membuat Aska menyukai seluruh pemberian Juna. Sampai pemuda Agustus itu berakhir memberinya ribuan kata ‘terima kasih’ dan memeluknya erat.

“Padahal, masih ada satu lagi tau. Kenapa aku udah dipeluk sekarang?” tanya Juna, yang kemudian membuat Aska spontan bergerak mundur.

Please, kali ini apa lagi?” Aska balik bertanya. “Ini kamu udah ngasih aku buanyak buanget. Aku sampe nggak tau harus bilang makasih kayak gimana lagi.”

“Coba diliat lagi kotak yang isinya dompet sama parfum itu.”

Dengan pandangan mata yang masih melekat pada Juna, tangan Aska sibuk merogoh isi kotak yang berukuran sedang. Kemudian, ketika Aska menemukan sebuah kartu yang di atasnya tertempel potret Juna dan Aska ketika keduanya berada di Bandung, ia lagi-lagi menutup mulut dengan menggunakan telapak tangannya.

“Woy, sumpah?” Aska kembali merasa terharu sebab di atas kartu itu tertulis, ’One day pass to a Bandung trip. Let’s celebrate your birthday in that city of ours :)’

Yeay!” Juna berseru kegirangan. “Ke Bandung lagi kita, hahaha.”

“Juna....” Aska tidak mempedulikan kotak pada pangkuannya. Ia kembali merengkuh tubuh Juna. “Ah... sumpah kamu, tuh, ya.”

“Mau ‘kan ke Bandung sama aku lagi?”

“Ya, maulah!” Aska mendumal. “Nanti aku coba izin, ya, ke papa.”

“Udah aku izinin.”

“Hah?” Aska mengernyitkan dahi.

“Aku udah cari tau jadwal kamu kosongnya kapan, terus aku juga udah izin ke papa kamu buat ngajak kamu ke Bandung, baru habis itu aku book yang perlu di-book. Pokoknya kamu tinggal terima jadi aja, ini hadiah dari aku buat kamu.”

“Junaaa... pantesan papa sus semalem....” Aska kembali merengek. “Ini aku jadi nggak kelar-kelar bilang ‘makasih’ ke kamu... makasih, ya, Jun. Aku nggak tau mau bilang apa lagi selain bilang ‘makasih’.”

Terkekeh, Juna mengusap punggung bidang Aska. Ia istirahatkan kepalanya pada perpotongan leher Aska. Dirasakannya hangat dan rasa nyaman yang Aska tawarkan melalui pelukan tubuhnya. Amarahnya seolah menguap entah ke mana setelah Juna kembali ke sisi Aska. Ia berani bersumpah tidak ada tempat untuk pulang paling nyaman selain pelukan yang Aska beri.

“Sama-sama, ya. Happiest birthday, the greatest love I’ve ever encountered.

Satu hal yang tak banyak orang tahu, Lazuardi bukan seseorang yang sejak lahir sudah memiliki segudang kemampuan. Ia tumbuh seperti kebanyakan remaja pada umumnya, yang hanya mengikuti alur kehidupan seperti apa yang telah ditempuh oleh kebanyakan orang. Laki-laki itu hanya berbekal tingkah perilaku yang baik hasil didikan sang ibu.

Sisanya? Ia belajar semua sendiri dengan sedikit tambahan motivasi.

Termasuk kemampuannya menyulap seluruh bahan mentah yang sempat ia beli pada swalayan terdekat menjadi semangkuk hidangan sayur sop hangat beserta ayam goreng lengkuas—yang mana sebetulnya, bumbunya telah diracik oleh sang ibu dari rumah.

“Nih.”

Satu mangkuk dan satu piring yang Lazuardi beri tak kunjung diterima oleh laki-laki yang tengah berdiri terpaku pada tempatnya.

“Kenapa? Udah makan?” tanya Lazuardi yang kemudian bergerak untuk menuang kembali isi mangkuk putih tersebut ke atas panci.

“E-eh, mau diapain, Bang?”

“Ya, kalo lo udah makan, gue tuang lagi sopnya. Biar nanti lo bawa mangkoknya aja,” jawab Lazuardi dengan mangkuk pada tangan kanannya yang isinya belum sempat ia tuang kembali. “Daripada mubazir nggak lo makan.”

“Gue-” Laki-laki itu terlihat gugup hanya dari memandang sorot mata Lazuardi yang terlihat datar. “Belom makan, kok, Bang....”

“Oh, terus kenapa nggak diterima makanan gue, Bin?” tanya Lazuardi, mangkuknya kembali ia taruh di atas pantry. “Nggak suka lauknya?”

“Suka, kok!” sela laki-laki yang diketahui bernama Bintang itu. “Gue cuma- gue cuma bingung aja, k-kenapa lo tiba-tiba ngasih gue makan malem.”

Sial, batin laki-laki itu. Ke mana perginya semua pengetahuan Bintang terkait kiat-kiat berbicara dengan baik dan lancar di depan orang? Kenapa juga lidahnya tiba-tiba gerasa kelu jika dihadapkan dengan sosok laki-laki berparas tampan yang sedang berdiri tepat di hadapannya sekarang.

“Waktu itu, lo ngasih gue bubur buat sarapan. Terus sekarang, kenapa gue jadi nggak boleh ngasih lo makan malem?”

“Karena bubur itu sebenernya balesan buat bantuan lo di malem mobil gue mogok,” jawab Bintang, yang kemudian menciptakan sunyi yang terdengar nyaring di telinga.

Lazuardi memutus kontak mata, menelusupkan kedua telapak tangannya pada kantung celana selutut yang tengah ia pakai. “Ya udah, jadi lo nggak mau sop sama ayamnya?”

“Mau.”

Tolak, Bintang! Biarkan laki-laki itu hidup tenang tanpa hadirnya dirimu lagi.

“Mau makan di sini juga, boleh...?”

Astaga.


Bunyi denting akibat pertemuan antara sendok dan piring menjadi pengisi suara di dalam unit apartemen studio bernomor 1827 itu. Dua lelaki yang tengah duduk berhadap-hadapan sembari menikmati hidangannya masing-masing tak kunjung membuka suara untuk menciptakan percakapan.

Yang lebih tua menghabiskan seluruh makan malamnya terlebih dahulu. Kemudian memutuskan untuk berdiri membawa peralatan makannya yang kotor untuk ia cuci pada sink dapur yang terletak tidak jauh dari tempat laki-laki yang lebih muda terduduk.

Lantas, ia yang masih menikmati gurihnya ayam di atas piring diam-diam memperhatikan punggung laki-laki itu yang terlihat jauh lebih bidang dengan berbalut pakaian berwarna putih. Ia mengulas senyumnya singkat sebelum ikut berdiri membawa peralatan makannya yang kotor.

“Nggak usah dicuci piring sama sendoknya,” ucap Lazuardi, “taro aja udah.”

“Nggak enak, masa udah dikasih makan, tapi nggak nyuci piring.”

Lazuardi hanya bisa mengalah, membiarkan laki-laki itu mencuci piringnya sementara ia berjalan mundur meraih kaus bersih yang tergeletak di atas meja.

“Jangan nengok ke belakang.”

“Kenap-“ Yang diberi perintah justru abai, memutar badannya 180 derajat secepat kilat. “Ups, maaf.”

Lazuardi yang baru saja melepas kemeja putihnya hanya mengembuskan napas yang sempat tertahan, kemudian segera mengenakan kaus yang telah ia siapkan.

Sial, Bintang tidak baru saja melihat tubuh polosnya yang tak terbalut benang barang sehelai pun.

Laki-laki bulan April itu menghela napas pasrah, tungkainya bergerak ke arah jendela guna membiarkan udara malam masuk ke dalam unit apartemennya. Bintang yang tengah mengeringkan tangan melirik melalui ekor mata, tersenyum simpul sebelum ikut menghampiri laki-laki itu.

“Nggak balik?” tanya Lazuardi. Ada bunyi serpihan abu yang terbakar pada puntung gulungan tembakau yang tengah ia isap untuk kali terakhir sebelum ia matikan ketika Bintang berdiri tepat di samping dirinya.

“Ngusir?”

“Ya-” Ucapan Lazuardi terputus, yang kemudian langsung disambut dengan kekehan Bintang.

“Kalo lo nyuruh, gue balik sekarang, nih.”

“Ya udah, nggak jadi.”

“Jadi, lo mau gue tetep di sini?” tanya Bintang, menatap Lazuardi dalam seolah laki-laki itu akan membunuh Lazuardi hanya dari sorot matanya. “Hehe, nggak, nggak. Nggak usah dijawab.”

Mereka terdiam, terbungkus oleh sunyi yang begitu nyata. Bising kendaraan bermotor yang berlalu lalang di jalan raya, bunyi roda kereta yang bergesekan dengan rel, keduanya sama-sama mampu mengisi hening yang tercipta di antara kedua insan itu.

“Belajar masak dari mana?” Bintang berbasa-basi, melipat kedua tangan di atas kuseng jendela.

“Sendiri, kadang diajarin nyokap.”

“Haha, motivasi dari mana lo belajar masak?” kekeh Bintang, “perasaan dulu lebih suka terima jadi. Apalagi terima jadi dari gue.”

Lazuardi memilih untuk bungkam, menelan pahit ludahnya selepas Bintang menyelesaikan kalimatnya.

“Bang Lazu.”

“Hm?” Lazuardi bergumam, menjawab dengan fokus yang masih tertuju pada kereta rel listrik dengan jadwal terakhir pada malam itu.

Memutar tubuhnya, kini Bintang tersandar pada kusen jendela dengan menggunakan lengan kanannya yang juga terlipat di depan dada.

Life's been treating you well?

Life's been treating you well?

Lazuardi menoleh tepat setelah Bintang bertanya. Kini, kedua insan itu saling bersitatap. Seolah ia adalah karakter utama pada sebuah film, Lazuardi dapat melihat seluruh putar balik kehidupan pada masa abu-abunya di dalam hitam teduhnya mata Bintang.

Bagaimana kepal tangan keduanya yang saling beradu ketika pertama mengenalkan diri,

Bagaimana Lazuardi yang pertama tahu jika hatinya mulai menumbuhkan rasa tepat ketika ia menyaksikan tawa lepas Bintang untuk yang kesepuluh kali,

Bagaimana Bintang yang mampu membuat jantung Lazuardi berdegub jutaan kali lebih kencang ketika hangat ujung jemarinya menyapa dingin permukaan kulit pipi Lazuardi,

Bagaimana jemari Bintang yang kian gencar berlari menjelajahi rambut hitam Lazuardi ketika laki-laki April itu memperdalam pagutan terhadap bibirnya yang kemerah-merahan,

Semua yang telah Bintang tinggalkan dan kini laki-laki itu justru bertanya,

Life's been treating you well?

Ada ribuan, atau mungkin jutaan frasa yang ini Lazuardi utarakan agar laki-laki yang tengah ia tatap mengerti bagaimana rasanya menjadi pihak yang satu-satunya ditinggal dengan balutan rasa yang masih tersisa di seluruh permukaan hati.

Tapi ia tahu, ia tak akan pernah mampu.

Life's been treating me well.

“Oh?” Bintang menaikkan kedua alis tebalnya, kemudian tersenyum simpul menanggapi jawaban Lazuardi. “Glad to hear that.

Glad to hear that.

Semua yang buat Bintang tersenyum, biar seorang Lazuardi usahakan.

Satu hal yang tak banyak orang tahu, Lazuardi bukan seseorang yang sejak lahir sudah memiliki segudang kemampuan. Ia tumbuh seperti kebanyakan remaja pada umumnya, yang hanya mengikuti alur kehidupan seperti apa yang telah ditempuh oleh kebanyakan orang. Laki-laki itu hanya berbekal tingkah perilaku yang baik hasil didikan sang ibu.

Sisanya? Ia belajar semua sendiri dengan sedikit tambahan motivasi.

Termasuk kemampuannya menyulap seluruh bahan mentah yang sempat ia beli pada swalayan terdekat menjadi semangkuk hidangan sayur sop hangat beserta ayam goreng lengkuas—yang mana sebetulnya, bumbunya telah diracik oleh sang ibu dari rumah.

“Nih.”

Satu mangkuk dan satu piring yang Lazuardi beri tak kunjung diterima oleh laki-laki yang tengah berdiri terpaku pada tempatnya.

“Kenapa? Udah makan?” tanya Lazuardi yang kemudian bergerak untuk menuang kembali isi mangkuk putih tersebut ke atas panci.

“E-eh, mau diapain, Bang?”

“Ya, kalo lo udah makan, gue tuang lagi sopnya. Biar nanti lo bawa mangkoknya aja,” jawab Lazuardi dengan mangkuk pada tangan kanannya yang isinya belum sempat ia tuang kembali. “Daripada mubazir nggak lo makan.”

“Gue-” Laki-laki itu terlihat gugup hanya dari memandang sorot mata Lazuardi yang terlihat datar. “Belom makan, kok, Bang....”

“Oh, terus kenapa nggak diterima makanan gue, Bin?” tanya Lazuardi, mangkuknya kembali ia taruh di atas pantry. “Nggak suka lauknya?”

“Suka, kok!” sela laki-laki yang diketahui bernama Bintang itu. “Gue cuma- gue cuma bingung aja, k-kenapa lo tiba-tiba ngasih gue makan malem.”

Sial, batin laki-laki itu. Ke mana perginya semua pengetahuan Bintang terkait kiat-kiat berbicara dengan baik dan lancar di depan orang? Kenapa juga lidahnya tiba-tiba gerasa kelu jika dihadapkan dengan sosok laki-laki berparas tampan yang sedang berdiri tepat di hadapannya sekarang.

“Waktu itu, lo ngasih gue bubur buat sarapan. Terus sekarang, kenapa gue jadi nggak boleh ngasih lo makan malem?”

“Karena bubur itu sebenernya balesan buat bantuan lo di malem mobil gue mogok,” jawab Bintang, yang kemudian menciptakan sunyi yang terdengar nyaring di telinga.

Lazuardi memutus kontak mata, menelusupkan kedua telapak tangannya pada kantung celana selutut yang tengah ia pakai. “Ya udah, jadi lo nggak mau sop sama ayamnya?”

“Mau.”

Tolak, Bintang! Biarkan laki-laki itu hidup tenang tanpa hadirnya dirimu lagi.

“Mau makan di sini juga, boleh...?”

Astaga.


Bunyi denting akibat pertemuan antara sendok dan piring menjadi pengisi suara di dalam unit apartemen studio bernomor 1827 itu. Dua lelaki yang tengah duduk berhadap-hadapan sembari menikmati hidangannya masing-masing tak kunjung membuka suara untuk menciptakan percakapan.

Yang lebih tua menghabiskan seluruh makan malamnya terlebih dahulu. Kemudian memutuskan untuk berdiri membawa peralatan makannya yang kotor untuk ia cuci pada sink dapur yang terletak tidak jauh dari tempat laki-laki yang lebih muda terduduk.

Lantas, ia yang masih menikmati gurihnya ayam di atas piring diam-diam memperhatikan punggung laki-laki itu yang terlihat jauh lebih bidang dengan berbalut pakaian berwarna putih. Ia mengulas senyumnya singkat sebelum ikut berdiri membawa peralatan makannya yang kotor.

“Nggak usah dicuci piring sama sendoknya,” ucap Lazuardi, “taro aja udah.”

“Nggak enak, masa udah dikasih makan, tapi nggak nyuci piring.”

Lazuardi hanya bisa mengalah, membiarkan laki-laki itu mencuci piringnya sementara ia berjalan mundur meraih kaus bersih yang tergeletak di atas meja.

“Jangan nengok ke belakang.”

“Kenap-“ Yang diberi perintah justru abai, memutar badannya 180 derajat secepat kilat. “Ups, maaf.”

Lazuardi yang baru saja melepas kemeja putihnya hanya mengembuskan napas yang sempat tertahan, kemudian segera mengenakan kaus yang telah ia siapkan.

Sial, Bintang tidak baru saja melihat tubuh polosnya yang tak terbalut benang barang sehelai pun.

Laki-laki bulan April itu menghela napas pasrah, tungkainya bergerak ke arah jendela guna membiarkan udara malam masuk ke dalam unit apartemennya. Bintang yang tengah mengeringkan tangan melirik melalui ekor mata, tersenyum simpul sebelum ikut menghampiri laki-laki itu.

“Nggak balik?” tanya Lazuardi. Ada bunyi serpihan abu yang terbakar pada puntung gulungan tembakau yang tengah ia isap untuk kali terakhir sebelum ia matikan ketika Bintang berdiri tepat di samping dirinya.

“Ngusir?”

“Ya-” Ucapan Lazuardi terputus, yang kemudian langsung disambut dengan kekehan Bintang.

“Kalo lo nyuruh, gue balik sekarang, nih.”

“Ya udah, nggak jadi.”

“Jadi, lo mau gue tetep di sini?” tanya Bintang, menatap Lazuardi dalam seolah laki-laki itu akan membunuh Lazuardi hanya dari sorot matanya. “Hehe, nggak, nggak. Nggak usah dijawab.”

Mereka terdiam, terbungkus oleh sunyi yang begitu nyata. Bising kendaraan bermotor yang berlalu lalang di jalan raya, bunyi roda kereta yang bergesekan dengan rel, keduanya sama-sama mampu mengisi hening yang tercipta di antara kedua insan itu.

“Belajar masak dari mana?” Bintang berbasa-basi, melipat kedua tangan di atas kuseng jendela.

“Sendiri, kadang diajarin nyokap.”

“Haha, motivasi dari mana lo belajar masak?” kekeh Bintang, “perasaan dulu lebih suka terima jadi. Apalagi terima jadi dari gue.”

Lazuardi memilih untuk bungkam, menelan pahit ludahnya selepas Bintang menyelesaikan kalimatnya.

“Bang Lazu.”

“Hm?” Lazuardi bergumam, menjawab dengan fokus yang masih tertuju pada kereta rel listrik dengan jadwal terakhir pada malam itu.

Memutar tubuhnya, kini Bintang tersandar pada kusen jendela dengan menggunakan lengan kanannya yang juga terlipat di depan dada.

Life's been treating you well?

Life's been treating you well?

Lazuardi menoleh tepat setelah Bintang bertanya. Kini, kedua insan itu saling bersitatap. Seolah ia adalah karakter utama pada sebuah film, Lazuardi dapat melihat seluruh putar balik kehidupan pada masa abu-abunya di dalam hitam teduhnya mata Bintang.

Bagaimana kepal tangan keduanya yang saling beradu ketika pertama mengenalkan diri,

Bagaimana Lazuardi yang pertama tahu jika hatinya mulai menumbuhkan rasa tepat ketika ia menyaksikan tawa lepas Bintang untuk yang kesepuluh kali,

Bagaimana Bintang yang mampu membuat jantung Lazuardi berdegub jutaan kali lebih kencang ketika hangat ujung jemarinya menyapa dingin permukaan kulit pipi Lazuardi,

Bagaimana jemari Bintang yang kian gencar berlari menjelajahi rambut hitam Lazuardi ketika laki-laki April itu memperdalam pagutannya,

Semua yang telah Bintang tinggalkan dan kini laki-laki itu justru bertanya,

Life's been treating you well?

Ada ribuan, atau mungkin jutaan frasa yang ini Lazuardi utarakan agar laki-laki yang tengah ia tatap mengerti bagaimana rasanya menjadi pihak yang satu-satunya ditinggal dengan balutan rasa yang masih tersisa di seluruh permukaan hati.

Tapi ia tahu, ia tak akan pernah mampu.

Life's been treating me well.

“Oh?” Bintang menaikkan kedua alis tebalnya, kemudian tersenyum simpul menanggapi jawaban Lazuardi. “Glad to hear that.

Glad to hear that.

Semua yang buat Bintang tersenyum, biar seorang Lazuardi usahakan.

Bintang adalah sosok paling sempurna yang pernah laki-laki itu tangkap—sosok lelaki yang kini sedang terduduk di barisan paling belakang, mengawasi seluruh tamu yang diundang pada acara malam ini.

Entah itu perihal bagaimana penampilannya yang selalu tampak menawan—biasanya Bintang akan memakai kemeja dengan kerah bowling yang disetrika rapi sampai tak terlihat mulus, atau juga pembawaannya yang selalu terlihat tenang, akan tetapi tetap berwibawa sesuai pada porsinya.

Ia selalu mengagumi Bintang, sebagaimana seharusnya seorang laki-laki akan mendamba.

Bahkan hingga detik ini, ia masih memandang Bintang dengan tatap seribu arti meskipun ia terduduk jauh di belakang, di mana seharusnya Bintang bahkan tidak akan menaruh atensinya sampai ke sana.

“Oke, hai Abang-abang, Kakak-kakak semua.” Bintang berdiri dari kursi kayu tempat ia terduduk sebelumnya, perlahan mengukir senyum tulus pada rupanya. Mengedarkan pandang sebagai wujud kesopanan sebelum ia memperkenalkan diri. “Kenalin, gue Bintang dari TI angkatan 21. Gue di sini sebagai salah satu BP Seni di BEM FT. Salam kenal, Abang-abang, Kakak-kakak. Semoga bisa seneng-seneng bareng, ya, di acara malem ini.”

Hampir semua orang yang hadir bertepuk tangan selepas Bintang mengenalkan diri. Tak terkecuali laki-laki di pojok belakang yang sampai saat ini belum melepaskan tatapannya kepada Bintang.

“Sebutin tiga fun fact tentang lo, dong,” pinta salah satu alumni pendahulu, membuat Bintang berangguk sopan sebelum kembali berujar.

“Oke, Bang. Hm... fun fact gue, pertama gue sebenernya angkatan 20, tapi karena gue sempet exchange jadi gue lulus telat satu tahun dari temen-temen yang lain,” ujar Bintang dengan gestur tangan yang tak pernah luput. Gestur yang menjadikannya sosok yang berpenampilan menarik tiap kali ia berujar di depan orang banyak.

“Kedua, sebenernya gue lebih suka dipanggil ‘Abin’, hehehe.”

“Eh, emang kenapa, sih?” Reynold, BPH Seni, tiba-tiba menyela pembicaraan Bintang. “Gue yang BPH lo, kok baru tau lo lebih suka dipanggil ‘Abin’?”

“Hm, sebenernya itu panggilan gue dari jaman SMA yang dibuat sama....” Kalimat Bintang terjeda untuk sepersekian detik, bola matanya bergerak perlahan sampai akhirnya berhenti tepat pada laki-laki berbalut jaket hitam di bagian belakang meja.

Keduanya bersitatap untuk beberapa waktu, sebelum laki-laki yang Bintang tatap memutus kontak matanya. Beralih menatap suasana kafe yang terbilang masih cukup ramai walau ramai akan pengunjung.

“Sama- sama... ada, temen deket gue dulu pas SMA,” lanjut Bintang, “sebenernya biar lebih singkat aja. Tapi, waktu itu ada yang nambahin kalo ‘Abin’ itu singkatan dari ‘Anak Bintaro’, yang kalo dipikir-pikir bener juga, sih, soalnya gue emang tinggal di Bintaro, hahaha.”

“Wih, keren. Siapa, tuh, yang bikin usulan begitu?” sahut Hesa, BPH Depor, yang tengah terduduk di bagian belakang juga.

“Ada, temen SMA gue yang namanya Hesa. Tapi, sekarang gue manggilnya harus Bang Hesa.”

“Lah?” Alumni yang tadi bertanya terkekeh pelan. “Hahah, lo dulu satu SMA apa gimana, Bin, sama si Hesa? Kok akrab begitu?”

“Iya, Bang. Tadinya gue satu angkatan juga sama Hesa, cuma karena gue lulusnya telat, sekarang gue jadi junior dia, deh.”

“Anak Bukitduri, dong? Sama Laju juga?” Alumni itu kembali memberi pertanyaan lanjutan. “Ya nggak, Ju?”

“Iya, Bang.”

Untuk pertama kalinya, laki-laki bernama Lazuardi yang terduduk di kursi bagian belakang akhirnya ikut menimpali percakapan antara Bintang dan para senior.

“Iya, Bang, dulu akrab banget dia sama Abi- aduduh.” Hesa seketika merunduk memegangi ujung jari kakinya yang baru diinjak kencang oleh Lazuardi. “Maksudnya, deket sama Abin sama gue juga. Bestie gitu, dah, kita bertiga.”

Bintang tersenyum canggung menghadapai situasi itu. Ia tahu persis apa yang sebetulnya ingin Hesa utarakan, namun pastinya Lazuardi tidak akan membiarkan sohibnya asal bicara di hadapan banyak senior pendahulu.

“Wah, asik dong sekarang bisa kumpul bareng lagi di Kresma?”

“Yoi.” Hesa tercengir, menunjukan senyum tanpa dosanya. “Bener banget, Bang.”

“Ya udah, lanjut, lanjut.”

“Oke....” Bintang tersenyum lega usai mengetahui bahwa alumni itu tak lagi ingin mengulik masa lalunya bersama Lazuardi dan Hesa jauh lebih dalam. “Fun fact terakhir, kalo sekarang gue lebih ke terserah, sih, mau dipanggil siapa. ‘Bintang’ boleh, ‘Abin’ juga boleh. Asal jangan dipanggil ‘Sayang’ aja, soalnya takut ada yang marah.”

Meja panjang yang diisi dengan pengurus serta senior pendahulu Kresma seketika terisi dengan gelak tawa. Beberapa di antaranya sampai harus bergeleng-geleng kepala sebab Bintang secara tidak langsung baru saja meminta orang-orang yang ingin berusaha menaklukan hatinya untuk mundur secara teratur.

“Yah, Bin... Wildan baru aja mau deketin- aw! Sakit, anjing.” Laki-laki yang baru saja berceletuk kini mengusap dadanya pelan akibat pukulan dari temannya yang baru ia terima.

“Nggak, Bin, bohong dia.”

Bintang tertawa pelan menanggapi gurauan itu. Sebelum akhirnya ia kembali mengambil tempat duduk dan acara malam itu berlanjut ke sesi berikutnya.

Pada waktu di mana tamu yang hadir dipersilakan untuk berbincang dengan siapa saja yang mereka mau, Lazuardi memilih untuk tetap terduduk pada tempatnya bersama Hesa yang kini berada tepat di seberangnya.

Diam-diam, Hesa melirik hal apa yang sedang Lazuardi perhatikan pada layar ponselnya, yang ternyata teman baiknya itu hanya sedang menggulir timeline Instagram. Ia jadi terkekeh, menyeruput kopi dinginnya sebelum meledek Lazuardi. “Kalo galau, jangan pas lagi rame acara begini, Ju.”

“Siapa galau?” tanya Lazuardi sembari tetap menggulir layar ponselnya.

“Lo, anjir. Siapa lagi coba?”

“Gue nggak galau.”

“Ya udah, iya.” Hesa menghela napasnya panjang. “Kalo nggak kenapa-kenapa, interaksilah sama yang lain. Tuh, BP-BP lo lagi ditanyain sama senior. Nggak mau ikut nimbrung?”

“‘Kan itu BP-BP lo juga.”

“Ck, ya udah iyeee.” Hesa berdiri memundurkan bangkunya. “Nih, gue samperin biar lo puas.”

Lazuardi memandang Hesa yang perlahan bergerak menuju tempat badan pengurusnya berada. Di mana mereka terlihat sedang diajak berinteraksi dengan para senior. Mau tak mau, Lazuardi jadi ikut berdiri. Berjalan menghampiri badan pengurusnya yang juga sedang ditanya-tanya oleh senior lain.

Raganya mungkin berada di tempat, pun mulutnya yang juga masih bisa dipakai untuk berkalimat jika diminta. Namun, jiwa laki-laki itu terasa seperti dibawa mengawang entah ke mana. Berada pada satu atmosfer yang sama dengan Bintang membuat Lazuardi seperti ingin cepat-cepat pergi, apalagi dengan kondisi ramai akan teman-teman yang lain. Ia sendiri tak tahu mau sampai kapan bersikap seperti ini.

“Bang, lo gapapa?”

Pertanyaan dari salah satu badan pengurusnya yang bernama Stefan itu membuat seluruh atensi Lazuardi kembali ke tempat semula.

“Eh, gapapa, Stef.”

“Nggak lagi sakit ‘kan?” tanya Stefan lagi, “perasaan banyak banget diemnya.”

Lazuardi hanya tersenyum sembari bergeleng pelan sebagai bentuk sanggahan dari dugaan Stefan. Membuat juniornya itu berangguk-angguk sebelum kembali berbincang dengan senior yang lain.


“Duluan aja, nih, gue?”

“Iya, tiati, dah.”

“Oke, lo juga, yak.”

Hesa memasang sabuk pengamannya sebelum memberi Lazuardi fist bump. Temannya itu baru saja menyuruhnya untuk berkendara pulang terlebih dahulu, meninggalkan dirinya yang masih ingin tinggal di kafe tersebut untuk beberapa waktu.

Ia melirik melalui rearview sedan hitamnya. Tersenyum miring begitu melihat Lazuardi yang terlihat tengah memperhatikan sedan abu-abu yang ia tahu persis siapa pemiliknya. “Kasian gue liatnya,” gumam Hesa sebelum menginjak pedal gas jauh lebih dalam meninggalkan area parkir kafe.

Sementara yang ditinggal kembali berjalan masuk ke area depan kafe, terduduk dengan segelas kopi dingin yang esnya mulai mencair seiring bergeraknya jarum pada arloji yang mulai mengarah ke angka sepuluh.

Kepulan asap bernikotin yang Lazuardi keluarkan membutakan arah pandangnya untuk sesaat sebelum kembali menampangkan mobil sedan abu-abu yang terpakir beberapa meter dari tempat ia duduk. Liurnya ia telan paksa hingga menimbulkan rasa nyeri. Kepalanya pun ia paksa berpikir mengenai alasan-alasan mengenai dirinya yang tetap tinggal di sini meskipun acara Kolintang yang terselenggara telah sampai pada pada penghujung sejak beberapa waktu yang lalu.

Kenapa ia masih di sini?

Kenapa juga ia harus terduduk menunggu sosok itu sampai akhirnya ia pulang?

Kepalanya tak kunjung memberi ia jawaban meskipun sudah berulang kali ia paksa bekerja.

Intinya, Lazuardi hanya ingin memastikan sosok itu pulang dengan selamat, meskipun ia sama sekali tak berkeharusan.

Kaca film mobil yang tidak terlalu gelap membuat Lazuardi dapat melihat jika sosok di dalamnya baru sama mematikan tabletnya. Bergerak untuk menyalakan start engine, namun mesin mobilnya itu tak kunjung memberi respons.

Lantas, laki-laki itu memutuskan untuk keluar dari dalam mobil. Membuka kap depan mobil sebelum akhirnya mendenguskan napasnya kencang. Siku tangan kanannya bertumpu pada lengan kirinya yang terlipat, memijat keningnya pelan sebab tak kunjung menemukan akar masalah dari mesin mobilnya yang tak bisa menyala.

Lazuardi menekan puntung gulungan tembakaunya ke atas permukaan asbak, meraih gelas plastik di hadapannya untuk ia buang sebelum beranjak menghampiri laki-laki yang tengah terdiam berdiri di depan kap mobilnya.

“Kenapa?” tanya Lazuardi, “nggak mau ke-starter?”

Sosok yang baru menghampirinya itu membuat dirinya terkejut bukan main. Rasa-rasanya, jantung yang berada di dalam rongga dadanya baru saja merosot turun ke rongga perut.

“E-eh, Bang....”

Lazuardi mengeluarkan ponsel di dalam kantung celana jeans hitamnya, menyalakan lampu flash demi bisa meneliti isi kap mobil sedan abu-abu di depannya.

“Sepenglihatan gue, akinya nggak kenapa-kenapa, sih, Bang. Air radiatornya juga masih ada.”

“Hm,” gumam Lazuardi, kembali menyimpan ponselnya ke dalam kantung celana. “Iya, bener. Mungkin masalahnya ada di bagian lain. Dulu, mobil Hesa pernah mogok gara-gara saluran bensinnya, yang mana kita nggak bisa liat dari luar. Siapa tau mobil lo juga gitu sekarang.”

Laki-laki di samping Lazuardi mengembuskan napas berat, dadanya merosot seiring lengannya menutup kap mobil.

“Bengkel yang gue tau nggak buka 24 jam. Lo tau bengkel lain?” tanya Lazuardi.

“Enggak, Bang....”

“Ya udah, saran gue kita coba tanya ke pihak kafe aja, bisa atau enggak kita titipin mobil lo di sini. Nanti balik bareng gue gampang, toh tempat tinggal kita juga sama.”

Kening laki-laki itu berkerut usai Lazuardi memberikan saran. “Emang bisa...?”

“Dicoba dulu aja, Abin.” Lazuardi berujar sembari menatap laki-laki bernama Bintang di hadapannya, laki-laki yang kini pandangnya tampak jutaan kali lebih teduh di bawah sinar rembulan malam. “Gue coba tanya dulu ke dalem.”

“B-bang!”

Belum sempat Bintang menahan lengannya, Lazuardi sudah terlanjur bergerak ke dalam gedung kafe. Terlihat dari kaca jendela bahwa laki-laki itu sedang berusaha bernegoisasi dengan manajer kafe sebelum ia kembali berjalan ke luar, menemui Bintang yang masih berdiri pada tempat yang sama.

“Boleh katanya. Baik, kok, yang punya kafe. Kemaren, gue udah sempet kontak-kontakan sama CP-nya, yang ternyata langsung pemiliknya.”

“Bang....”

“Ayo, pulang.”

Lagi dan lagi, belum sempat Bintang berujar terima kasih, Lazuardi sudah terlebih dahulu berjalan menunu tempat motornya berada. Terdiam menunggu Bintang untuk mengikutinya ke tempat, sebelum akhirnya Bintang menelan ludahnya dan menghampiri sang senior.

Sorry, gue nggak bawa helm dua.” Lazuardi berujar seraya melepas jaket hitam yang melekat pada tubuhnya. “Tapi, pake jaket, deh. Kemeja lo tipis begini, kena angin malem apa nggak dingin?”

Bintang terpaku, tak kunjung menerima jaket pemberian laki-laki bermata bulan sabit itu. Hingga akhirnya Lazuardi memutuskan untuk menyampirkan jaketnya pada kedua pundak Bintang sebelum ia menyalakan mesin motornya.

Lazuardi bodoh. Ia pikir Bintang tak akan tahu jika kaus hitamnya juga terbuat dari fabrik yang tipis. Padahal, selepas laki-laki berparas manis itu menaiki motornya, ia bisa langsung tahu bahwa kaus yang Lazuardi kenakan bahkan dapat dibilang jauh lebih tipis dari kemeja yang ia kenakan. Bintang hanya mengembuskan napasnya untuk yang kesekian kali, memandang figur yang berada tepat di hadapannya, yang sedang berkendara dengan berhati-hati di tengah gelapnya malam.

Aroma tubuh Lazuardi yang Bintang hirup dari jarak setipis kertas membuat pikiran Bintang seolah dibawa melayang kembali ke masa lalu. Lobus temporal Bintang memberi sinyal bahwa bagian otaknya itu mengenali harum tubuh Lazuardi yang masih terasa sama. Bukan hanya itu, bahkan dari cara Lazuardi membantu Bintang malam ini, rasanya seperti laki-laki itu tak pernah berubah barang sedikit pun meski tentunya terdapat banyak faktor yang mungkin bisa merubah pemikiran dan perasaannya.

Bintang tersenyum selepas pikiran sekelebatnya itu terlewat.

Lo nggak pernah berubah, ya, Zu? Dengan cara lo memperlakukan orang sebegini baiknya, gue masih bertanya-tanya kenapa lo nggak kunjung dapet seseorang yang pantes atas semua cinta lo.

Tolong, bawa Bintang agar kembali tersadar sebab tak seharusnya ia tersenyum usai memiliki firasat bahwa Lazuardi belum berubah.

Laki-laki itu harus berubah dan memilih jalan bahagianya sendiri.

Terpaan udara yang keluar melalui celah pendingin ruangan membuat Bintang sedikit bergidik mengangkat kedua bahu. Pasalnya, kali ini laki-laki itu sedang mengenakan bowling shirt berbahan tipis. Ia tidak mengira kalau suhu tempat yang berisikan kios-kios makanan ini akan bersuhu cukup dingin. Tahu akan begini, seharusnya ia membawa sweater-nya ke mari.

Melangkah menuju tempat rekan beserta BPH bidangnya berada, Bintang disambut dengan lambaian tangan Ica, si wakil kepala bidang.

“Bin, sini!”

“Hai, Kak,” sapa Bintang dengan senyumnya yang selalu ramah. “Hai, Bang, Chel, Kev, Fio.”

Satu persatu, Bintang memberi fist bump kepada masing-masing teman beserta seniornya yang telah hadir. Hanya tersisa satu, Zhafran yang masih memiliki janji dengan asisten dosennya.

“Sendiri, Bin, ke sininya?” tanya si kepala bidang, Reynold, yang baru saja menenggak es teh lecinya.

“Iya, Bang,” jawab Bintang, “Zhafran masih lama apa gimana?”

Memberi anggukan sebagai jawaban, Ica ikut menimpali, “Iya, deh, kayaknya. Kita mulai dulu aja nggak, sih, Ren? Daripada kelamaan.”

“Ya udah, boleh.” Reynold tampak menegakkan tubuhnya, bersiap-siap untuk memulai jalannya rapat. “BTW, tukeran kabar dululah. Lo semua lagi sibuk nggak di dept masing-masing?”

Berasal dari departemen yang berbeda-beda, anggota BEM biasanya senang bertukar kabar setiap kali mereka berkumpul. Bercerita dan berkeluh kesah tentang kesibukan di masing-masing departemen. Seperti saat ini, di mana Bintang diminta untuk menceritakan kegiatan di departemennya.

“Gitu-gitu aja, sih. Cuma, ya.... chaos dikit ada, soalnya kaget juga, ternyata kuliah sambil ngejalanin dua organisasi sekaligus rasanya capek. Tapi, ya udah jalanin aja ya 'kan?”

Reynold terkekeh sembari bertopang dagu. “Hahah, tapi emang waktu semester dua gue juga kaget, sih, karena ternyata pas semester satu gue segabut itu dan pas ikut organisasi gue langsung nyadar kalo gue jadi sibuk banget. Good luck, dah, semoga lancar terus semua-semuanya.”

Bergantian dengan teman yang lain, satu persatu pengurus bidang Seni mulai mengutarakan kabarnya sendiri. Kebanyakan dari badan pengurus ternyata sama-sama merasa kesulitan di awal semester dua, kemudian Reynold dan Ica akan merespons dengan saran yang mungkin dapat berguna bagi pengurus-pengurus yang notabenenya merupakan adik tingkat mereka.

Berlanjut pada inti rapat, Reynold memimpin diskusi tentang pembagian job desc untuk acara kolintang yang akan dilaksanakan dalam tiga minggu ke depan. Kolintang sendiri merupakan singkatan dari konsolidasi lintas angkatan di mana acara ini dapat disamakan dengan gathering bidang, tapi nantinya akan mengundang senior pendahulu.

Bintang diberi limpahan tugas berupa penanggung jawab publikasi. Dengan senang hati, Bintang menerima tugas tersebut sebab dirinya memang sudah terbiasa dengan jobdesc relasi, publikasi, desain, serta dokumentasi. Ia juga diberi tahu bahwa nanti dirinya akan bekerja sama dengan publikasi dari bidang Depor dan juga Iptek (dua bidang yang juga merupakan bagian dari koridor Kresma atau Kreasi Mahasiswa).

Rapat tersebut tidak berlangsung lama lantaran Reynold harus pulang secepat mungkin dan memang tidak banyak yang harus dibicarakan. Usai menghabiskan makanan serta minuman masing-masing, satu persatu pengurus bidang Seni mulai meninggalkan meja. Hingga pada saat Ica ikut beranjak, tiba-tiba datang segerombol remaja yang tampak familier. Bintang baru diberi tahu oleh Ica bahwa anggota Depor juga akan melaksanakan rapatnya di tempat ini. Lantas, Bintang hanya bisa menganggukan kepala sebagai respons sebelum BPH-nya itu benar-benar pergi meninggalkannya sendiri.

Mata Bintang sempat bertemu dengan milik Reysha dan Stefan yang tengah berjalan melaluinya. Stefan sempat memberi fist bump, sementara Reysha melambai-lambaikan tangan.

Ingin rasanya Bintang menyudahi pandangannya yang masih terpusat pada segerombol teman-teman satu koridornya itu, tapi yang kini ia lakukan justru menatap sosok laki-laki yang tingginya menjulang, berjalan tepat di belakang gerombolan untuk menjaga adik-adiknya. Lantas, Bintang tersenyum seadanya kemudian kembali memfokuskan pikiran pada layar laptop yang terpampang di atas meja.

Ia memang sengaja untuk tinggal di sini lebih lama sebab ia telah memutuskan untuk melanjutkan pekerjaannya sembari menikmati ambience tempat ini yang tetap terasa tenang walaupun sedikit ramai akan pengunjung. Namun tidak disangka-sangka, ia pada akhirnya harus bertemu dengan sosok yang selama ini terus ia hindari.

Jemari Bintang mungkin menari dengan lancar di atas keyboard laptopnya, tapi ketahuilah kalau pikirannya justru sedang berkelana ke mana-mana. Ia bahkan tidak bisa berpikir terlalu jernih sekarang. Entah kalimat seperti apa yang pada akhirnya tertulis pada lembar tugas miliknya.

Suara laki-laki yang terus terdengar melalui telinganya terasa begitu familier dan ia seolah tergiring oleh waktu. Kembali pada saat di mana ia masih bisa terus mendengar suara sosok tersebut tanpa harus menghindarinya, saat-saat di mana ia masih bisa berekspresi dengan bebas di depan lelaki itu.

Bintang menghela napas. Menitipkan barang bawaannya pada sosok perempuan di sebelah meja duduknya selagi ia pergi ke toilet guna membasuh wajahnya menggunakan air mengalir yang dingin, dengan harapan pikirannya akan kembali terjernihkan dan ia bisa melanjutkan pekerjaannya dengan benar.

Kembali ke tempat duduk, ia baru ingat kalau sore tadi sebelum berangkat dirinya sempat memasukkan headphone ke dalam tas yang ia bawa. Maka, ia pun memutuskan untuk menyambungkan wireless headphone itu pada jaringan Bluetooth di laptopnya sebelum kemudian memutar playlist kesukaannya yang sudah ia rancang dari lama.

Terputar salah satu lagu cinta yang membuat Bintang terpikirkan akan sosok kekasihnya hingga tangannya beralih untuk meraih ponsel yang ia gelatakan di samping laptop. Ibu jarinya bergerak menggulir layar, mengetikan nama 'Satya' pada kolom pencarian.

Hasilnya nihil, ternyata kekasihnya itu tidak kunjung membaca pesan terakhir yang dikirimkan olehnya. Bintang pikir, kekasihnya yang bernama Satya itu akan setidaknya bertanya apakah dirinya sudah makan atau mungkin pertanyaan lain seperti di mana ia berada sekarang.

Kalau boleh jujur, Bintang merasa hubungan keduanya memang telah berada di ujung tanduk sebab sebetulnya ia tahu kegiatan apa yang kekasihnya itu lakukan di kota rantaunya. Main Satya kurang apik, Bintang masih bisa mengetahuinya lewat unggahan insta story milik teman-temannya yang juga berkuliah di kota yang sama, Bandung.

Pekerjaannya selesai, maka Bintang memutuskan untuk mematikan daya laptopnya dan bersiap pulang. Ketika dirinya bangkit dari tempat duduk untuk mengambil seluruh barang bawaannya, aroma parfum yang familier tercium melalui lubang hidungnya. Lantas, ia tolehkan kepalanya ke arah kanan, melihat meja tempat pengurus Depor terduduk yang kini sudah tidak ditempati lagi. Kemudian kepalanya tertoleh ke kiri dan pada akhirnya ia tahu kalau teman-teman Depornya telah beranjak pergi dan sosok terakhir ia masih bisa ia lihat kepergiannya adalah sang kepala bidang.

Kaki Bintang melangkah ke luar, berjalan menuju tempat mobil sedannya terparkir. Tubuhnya sempat terdiam tatkala ekor matanya menangkap keberadaan laki-laki yang masih tampak terduduk di atas jok motor. Padahal, orang tersebut sudah terlebih dahulu beranjak ke luar jika dibandingkan dengan Bintang.

Bahkan sampai dirinya telah berkendara, Bintang masih bisa menangkap keberadaan laki-laki berjaket hitam itu melalui kaca spionnya. Dahinya mengernyit keheranan, tapi yang bisa ia lakukan hanya kembali fokus mengemudi.

Selama Bintang berkuliah di Kota Depok, ayahnya membelikan satu unit apartemen Grand Taman Melati yang terletak di tower C. Usai memarkirkan mobil, pemuda tersebut berjalan menyusuri lobi apartemen. Sempat menyapa salah satu resepsionisnya sebelum beranjak memasuki lift dan menempelkan kartu aksesnya agar ia bisa naik ke lantai 18.

Bukannya segera masuk ke kamar mengistirahatkan badan, Bintang justru menyenderkan lengan pada salah satu bagian dinding di dekat lift agar bisa memantau angka yang menunjukan ke lantai mana lift tersebut akan bergerak.

Tepat ketika angka tersebut berganti dari angka 17 menuju angka 18, Bintang menelan ludahnya gugup, namun ketika pintu lift terbuka, ia berusaha dengan sekuat tenaga mengusir rasa gugupnya.

“Ehm.” Bintang berdeham. “Jatohnya creepy nggak, sih, ngikutin orang sampe ke tempat dia tinggal?”

Mengembuskan napas kasar, sosok laki-laki yang baru saja terperanjat kaget itu memegangi dadanya yang tengah berdebar-debar.

“Lo ngapain ke sini, Bang?” tanya Bintang yang kini sudah memiliki nyali untuk menatap laki-laki di hadapannya.

Sementara laki-laki tersebut tidak memberikan jawaban verbal. Ia hanya mengangkat kartu akses apartemen beserta kunci pintunya.

“Oh?” Kedua alis Bintang terangkat. “Sejak kapan lo tinggal di sini?”

“Lain kali jangan asal ngatain orang creepy.

Laki-laki itu beranjak meninggalkan Bintang sendiri depan pintu lift. Hingga akhirnya Bintang menyusul langkahnya yang cepat itu.

“Lo baru pindah apa gimana?” tanya Bintang penasaran. “Perasaan gue nggak pernah liat lo di sini.”

“Sabtu besok baru mau fully pindah.”

“Ke sini?” Bintang memunculkan tubuhnya di samping laki-laki yang tengah memasukan kunci ke dalam lubang pada pintu unit apartemennya. “Ke samping kamar gue?”

“Menurut lo?” Laki-laki itu justru balik bertanya. “Kalo ini bukan kamar gue, ngapain gue ke sini?”

Sosok tersebut menghilang dari pandangan Bintang tepat setelah ia menutup pintu kayu kamarnya. Meninggalkan Bintang yang tak lama kemudian menepuk jidatnya kencang.

Susah-susah gue ngehindar, eh dia tiba-tiba pindah ke kamar sebelah.

Satu plastik berisi lauk favorit sang kekasih sedang satu sisanya berisi cokelat pisang yang selalu mampu membuat laki-laki di hadapannya luluh, kini tengah Juna angkat tepat di depan dada. Membuat Aska jadi mau nggak mau tersenyum miring, bergeleng-geleng kepala lantaran kekasihnya itu selalu paham harus berbuat apa untuk meredakan pikirannya yang sedang bergejolak.

“Sini masuk, nanti keburu basah.” Tangan Aska terangkat untuk menghalangi rintik air hujan mengenai puncak kepala Juna. Keduanya berjalan ke dalam gedung indekos Aska dengan lengan Aska yang terlingkar pada tubuh Juna guna menuntunnya masuk.

Selagi Aska menata makanan yang kekasihnya bawa ke mari, Juna terdiam memandang Aska yang juga ikut diam. Berusaha menyiapkan diri agar masalah apa pun itu yang terjadi di antara keduanya dapat segera terselesaikan.

“Masih nggak enak perasaannya?”

Pertanyaan Juna muncul tatkala Aska sedang menyiapkan sepiring nasi untuk Juna santap. Akan tetapi, dirinya justru memilih untuk bungkam. Hanya menyerahkan piring nasi tersebut ke hadapan Juna.

“Aska.”

“Makan dulu, Jun. Tadi makan siangnya udah telat, masa yang sekarang mau telat lagi?”

Menghela napasnya, Juna hanya dapat berkata, “Oke... makasih, ya, udah disiapin makanannya.”

“Iya, aku makan, ya, piscoknya?”

“Makan aja, Aska.”

Thanks.

Aska menyenderkan tubuh pada sandaran sofa selagi Juna menghabiskan makanannya. Ia kemudian menjadi pihak yang juga merapikan sisa makanan dan mencuci piring. Nggak ingin membiarkan Juna yang sudah tampak lelah itu bekerja membereskan meja.

“Mau naik ke kamar nggak?” tawar Aska seraya mengeringkan tangan dengan kain lap.

Is that okay?” Juna bertanya memastikan. Nggak ingin tawaran yang datang dari kekasihnya itu bersifat terpaksa.

Menaikkan kedua bahu, Aska menjawab, “Gapapa 'kan aku juga yang nawarin.”

“Hm, ya udah boleh, deh.”

Memasukki kamar indekos Aska yang terbilang rapi, ternyata Aska sudah mengatur temperatur pendingin ruangan pada angka yang pas. Juna meletakkan tas hitamnya di atas meja. Terduduk di atas kursi meja belajar selagi Aska menenggak substansi dalam botol minumnya.

“Masih ngambek sama aku?” tanya Juna, masih ingin membawa percakapan ini ke permukaan.

“Ya, gimana, ya... aku sebenernya seneng kamu nggak posesif karena aku juga males kalo dikekang. Tapi, kalo terlalu ngebebasin gini rasanya kurang enak juga, takut akunya nggak bisa ngontrol diri habis itu malah keterusan. Atau takut kalo selama ini sebenernya kamu cemburu cuma nggak berani bilang aja.”

Jawaban yang keluar dari mulut Aska kini terdengar jelas. Kekasih Juna itu terduduk di tepian ranjang berhadap-hadapan dengan Juna yang terduduk di atas kursi.

Hm... I see.

“Tapi, jangan jadi hilang kepercayaan sama aku,” sahut Aska, “aku masih sayang sama kamu. Nggak mungkin cuma gara-gara dianter atau nganter balik orang lain dan cuma berdua di mobil atau motor, aku jadi langsung sayang sama orang itu.”

“Iya, aku juga masih percaya kalo soal itu,” jawab Juna, tangannya bergerak untuk meraih telapak Aska yang tergeletak bebas di atas pahanya. “Mungkin orang lain bilang cemburu itu tandanya sayang. Tapi buat aku, kalo pun aku nggak cemburu bukan berarti aku nggak sayang sama kamu, Aska. Aku cuma percaya aja sama kamu dan selagi orang itu nggak keliatan punya niatan buat ngerebut kamu, ya... aku kayaknya nggak bakal keberatan. Justru aku makasih banget sama mereka karena udah ngejagain kamu pas aku lagi nggak ada. Aku nggak peduli sama perasaan mereka, aku cuma mentingin kamunya aja.”

Juna menjeda kalimatnya untuk sesaat.

“Toh, selama ini aku nganterin orang lain balik, kamu juga selalu percaya sama aku. Akunya juga nggak ada niatan lebih dari sekedar nganter mereka balik dengan aman. Makanya, aku bingung kenapa aku harus keberatan kalo kamu dianter atau nganter orang lain balik.”

Aska menatap kekasihnya yang sedang berusaha menjelaskan perasaannya. Dan kini Aska justru menyesal sebab perkataan Juna barusan memang benar-benar mencerminkan aksinya.

“Maaf, ya, Aska. Kamu maunya aku kayak gimana biar kamu ngerasa disayang?” tanya Juna penuh pengertian, kepalanya miring empat puluh lima derajat menatap kekasihnya itu. “Besok-besok dianter aku aja ke mana-mana?”

“Nggak gitu... kamu 'kan juga punya urusan sendiri. Dan nggak usah minta maaf juga...,” cicit Aska pelan.

“Oke, terus kamu mau aku gimana biar hal kayak begini nggak jadi masalah lagi?”

Just....” Kalimat Aska terjeda. “Ask me kalo orang yang aku anter atau nganterin aku balik siapa, orangnya kayak gimana, can you trust them or not. Jangan langsung kamu iyain aja, aku justru seneng kalo kamu perhatiin sampe sebegitu detailnya. Asal masih tau batas wajarnya aja.”

Senyum Juna kian mengembang, sudah sepenuhnya paham akan mau kekasihnya itu. “Perlu aku interview dulu nggak orangnya?”

“Ih, nggak gitu juga maksud akuuu.”

Terkekeh, Juna melengkungkan matanya hingga terbentuk bulan sabit yang indah. “Iya, iya, bercanda aja akuuu.”

Rambut Aska diusak pelan oleh kekasih di hadapannya itu.

“Oke, lain kali aku tanya kamu dulu sebelum ngeiyain. Terus kalo aku nganter atau dianter balik sama orang lain, aku juga harus ngabarin kamu dulu dia orangnya kayak gimana?”

“Iya, boleh kayak begitu,” jawab Aska, “ribet, sih, tapi kayaknya buat antisipasi juga. Nggak ada yang tau kalo semisal orang itu ternyata punya niatan buruk. Nanti jadinya kita bisa nge-track satu sama lain.”

“Hahaha, oke, deh, kalo gitu.”

“Keberatan nggak kamunya?”

“Enggak, kok. 'Kan cuma tinggal ngabarin orangnya kayak gimana aja.”

“Ya udah.”

“Ya udah, terus mana?” tanya Juna yang kemudian membuat Aska kebingungan.

Alis Aska jadi berkerut menanggapi pertanyaan Juna. “Terus mana apanya?”

“Mana pelukannya? 'Kan habis baikan.”

Terkekeh pelan, Aska bangkit dari tepian ranjang guna bergerak maju memberi kekasihnya itu sebuah rengkuhan hangat di tengah dinginnya malam.

“Nggak usah nunggu marahan juga biasanya aku peluk.”

Juna tersenyum penuh kemenangan sembari kepalanya beristirahat pada permukaan dada Aska yang detak jantungnya terdengar tenang; detak jantung yang selalu ia ingin dengar di sepanjang sisa hidupnya.

“Sayang kamu,” ujar Juna dengan suara yang teredam pada fabrik pakaian Aska. Membuat Aska mengeratkan pelukannya sembari mengusap tengkuk kekasihnya itu.

“Iya, aku juga.”

Posisi keduanya lama-lama berpindah ke atas ranjang ukuran single itu. Membuat keduanya harus berdempet berdekatan sebab ukurannya yang terlampau kecil untuk diisi dua tubuh jenjang mereka. Lampu utama telah dimatikan, terganti oleh lampu tidur yang sinarnya temaram.

Lengan kiri Juna akan selalu menjadi bantalan kepala Aska selagi lengan Aska terlingkar pada tubuh atletis Juna. Keduanya akan saling berbincang akan harinya yang panjang atau sama-sama berdiam diri menikmati peluk yang ada.

“Aska.”

“Hm?”

Despite everything I do that you find it lacking here and there, I hope you'll always remember that I still love you endlessly. Kalo ada perilaku aku yang kurang tepat di mata kamu, please know that I did it unintentionally. Just tell me right away so that I can fix it as soon as possible.

Dibanding membalas perkataan kekasihnya, Aska justru melepaskan pelukannya dan menjauhkan wajah dari tubuh sang kekasih. Senyumnya terpatri memandang Juna penuh kasih.

Whyyy?” tanya Juna kebingungan.

I'm in love with the character development,” terang Aska dalam satu kalimat.

“Hah, maksudnya?”

You used to run away from most of your problems, tapi sekarang coba liat. Di hari kita punya masalah, kamu langsung mau nyamperin aku. Asking me how can you make me feel better, also giving me your further explanation. I love you so... so much for that.

Jemari Aska bergerak naik, menelusuri wajah Juna yang dipahat bak dewa paling tampan di muka bumi. “Kereeen. A' Ajun selalu keren di mata aku.”

Semburat kemerahan muncul begitu saja menjalar pada permukaan pipi Juna. Senyum salah tingkahnya nggak lagi mampu ia tahan dengan sisa tenaga yang ia miliki.

“Keren banget. Pacarnya siapa, sih?”

“Askaaa, udaaah....”

Juna tersipu, menundukkan wajahnya agar nggak perlu terlihat salah tingkah di depan kekasihnya. Sementara Aska hanya tergelak, mengelus pucuk kepala Juna membawanya hingga terlelap ke alam mimpi.

“Hahaha! Ya udah, bobo aja bobo biar nggak salting lagi.”

Aska akan terbangun dari ranjang ketika ia rasa kekasihnya itu sudah tertidur pulas. Menelepon Hanan agar teman SMA-nya itu menyiapkan satu setel pakaian untuk ia ambil nanti. Sepertinya, Aska akan membiarkan Juna menginap lantaran ia nggak sampai hati untuk membangunkan kekasihnya yang tengah terlelap. Juna bahkan nggak terbangun ketika Aska bergerak turun, menandakan kalau laki-laki itu memang betulan terlampau lelah hari ini.

Selagi Aska pergi ke luar untuk mengambil pakaian Juna sampai ia kembali masuk ke dalam kamar, Juna masih tampak tertidur pulas. Posisinya kini terlentang, nggak menyisakan ruang bagi Aska untuk dapat tidur di sebelahnya. Bibirnya terkatup rapat dan entah kenapa terlihat jauh dua kali lebih tebal dari biasanya. Pipinya yang juga membulat, memberikan kesan lucu bagi laki-laki yang pada kebanyakan waktu justru tampak mendintimidasi.

Laki-laki kelahiran Agustus itu hanya terkekeh pelan. Mengusap pelan pucuk kepala Juna selagi ia terjaga mengerjakan sisa tugasnya. Ia akan memastikan dirinya untuk terbangun lebih dahulu daripada Juna guna menyiapkan laki-laki itu sarapan di keesokan hari.

Sama seperti kali sebelumnya, Juna dan Aska akan kembali dapat ditemukan pada satu kendaraan bersama. Mungkin hari ini keduanya akan berkendara dengan sedan putih milik Juna, kemudian pada hari berikutnya berganti dengan SUV abu-abu milik Aska. Terkadang Aska akan mengambil alih kemudi tatkala Juna berhalangan, tetapi di kebanyakan waktu Juna akan terduduk di balik kemudi sebab kekasih Aska itu memang seorang pengemudi yang handal.

Kali ini, masih seperti saat-saat sebelumnya, Juna kembali tersenyum begitu ia masuk ke dalam SUV abu-abu miliki Aska dan menemukan sang kekasih telah terduduk manis di samping kursinya.

“Hai, A'.”

“Halo,” balas Juna dengan nada yang kelewat manis. “Udah kamu panasin, ya?”

“Iya, biar cepet.”

“Oke, oke.”

Juna setengah kaget ketika lelakinya itu tampak berusaha mengenakan sabuk pengaman padanya. Yang kemudian diakhiri sebuah senyuman singkat sebelum Aska membuka kotak bekal yang ia sengaja bawa untuk menemani perjalan mereka sore ini.

“Udah makan belom, Jun?”

“Belom, 'kan kamu udah bilang mau masak.” Juna menjawab Aska sembari menolehkan kepalanya singkat, sesaat sebelum fokusnya kembali tertuju pada jalan raya di depan.

“Oke, aku suapin, ya?”

“Makasih, Askaaa,” jawab laki-laki April itu dengan nada yang mengayun di akhir kalimat, membuat Aska tersenyum kelimpungan.

Ini bukan kali pertama Aska menyuapi seorang Juna. Mungkin sudah nggak terhitung seberapa banyak laki-laki Agustus itu menyuapi sang kekasih selagi keduanya sedang berada di perjalanan. Dan Juna akan selalu menemukan kelezatan di dalam setiap masakan sang kekasih. Mungkin terdengar sedikit klise dan menggelikan, tapi bisa jadi hal itu disebabkan oleh masakan Aska yang dibumbui dengan banyak rasa sayang.

Sesekali, kepala Juna bertoleh untuk memandang Aska. Lagi-lagi mengucap syukur di dalam lubuk hatinya sebab telah dipersatukan oleh sosok penuh kasih seperti laki-laki Agustus itu.

“Enak, Jun?”

Tersenyum pelan, Juna hanya akan membalas pertanyaan sang kekasih dengan satu perkataan, “Selalu.”

Keadaan rumah sakit sore ini tampak sedikit lengang. Sebuah kelegaan sebab rasanya, nggak ada satu orang pun yang menginginkan ramai dari suatu rumah sakit. Manusia mana yang tega melihat manusia lain terbaring nggak berdaya di atas ranjang unit gawat darurat.

Kabar baik pun tampaknya datang bagi keluarga Aska sebab dokter yang selama beberapa hari ke belakang menangani sang ayah, siang ini sudah memperbolehkan beliau untuk pulang ke rumah di hari lusa. Yang tentunya masih perlu diobservasi secara berkala dan nggak lupa melakukan terapi guna meningkatkan kemampuan fisik. Setelah ini, sepertinya keluarga Aska perlu menyewa seorang perawat dan anak laki-laki itu harus sering pulang ke rumah.

Juna tersenyum begitu mendapati sosok yang juga merupakan teman baik sang ayah kini telah berada pada kondisi yang jauh lebih baik dari pertama kali pemuda itu memutuskan untuk menjenguk beliau.

“Juna ikut seneng dengernya. Semoga lekas membaik ya, Om... sampe nanti bisa golf sama papi dan sama Juna.” Begitu ujarnya kira-kira.

Pria bernama Saka itu berusaha tersenyum usai Juna menyelesaikan kalimatnya.

“Mungkin lusa pulangnya sore ya, Nak? Tunggu Aska dan Mikha selesai kuliah, soal tante nggak bisa kalau nyetir mobil sendiri. Apalagi nanti papa dibawanya pakai kursi roda 'kan?”

Juna, masih tetap dengan sikap yang sopan, menawarkan diri untuk mengantar ayah Aska pulang ke rumah. “Atau... Juna aja yang anter, Tante? Kayaknya lusa Juna nggak ada acara sampe jam tujuh malem.”

“Oh?” Ibu Mikha yang bernama Sarah itu tersenyum. “Nggak apa-apa 'kah, Juna?”

“Gapapa, Tante, mumpung luang juga. Nanti Juna ikut bantu-bantu pas hari itu.”

Sementara Aska justru tampak kebingungan. “Bukannya kamu ada kelas ya pagi?”

“Di-cancel sama dosennya, Aska. Beliau berhalangan, jadi dipindah ke hari lain.”

“Oh, oke....” Aska berangguk paham.

Jadilah di hari lusa, Juna kembali datang ke rumah sakit seorang diri. Melangkahkan kaki menuju bangsal rawat inap yang sudah ia hafal betul letaknya.

Pemuda itu tampak gesit membantu Sarah merapikan barang-barang yang tersisa di dalam ruangan agar jangan sampai ada yang tertinggal. Tenaganya yang kuat juga ia pakai untuk mendorong kursi roda ayah Aska. Termasuk membantu beliau masuk ke dalam mobil dan melipat kursi rodanya untuk bisa muat di dalam bagasi mobil Aska.

Juna sempat dibuatkan sarapan oleh Sarah sebelum dirinya diizinkan untuk pulang. Sedikit banyak berbincang dengan wanita tersebut. Topiknya berada di sekitar kehidupan Aska, tentang bagaimana anak itu tumbuh tanpa figur seorang ibu, namun tetap dapat menjadi sesosok manusia yang penuh kasih. Hingga rasanya seluruh anggota keluarga besar Aska nggak bisa untuk nggak menumbuhkan rasa sayang pada cucu termuda itu.

Usai membantu Sarah mencuci piring (meskipun beliau telah bersikeras agar Juna meninggalkan piringnya di atas bak cucian saja), ia akhirnya diperbolehkan untuk pulang. Maka pemuda tersebut akhirnya mengucapkan pamitnya sebelum kembali mengendarai SUV abu-abu milik Aska untuk kembali ke Depok, menunggu sang empunya menyelesaikan kelas sebelum mereka pergi menuju rumah Aska lagi.

“Aa'!”

Juna yang tadinya sedang menghisap santai sebatang rokok, menolehkan kepalanya sebelum menghabiskan gulungan tembakau itu. Baru kemudian menekan-nekan puntungnya sebelum ia buang ke dalam bak sampah. Kekasihnya pun terlihat kian mendekat, maka yang selanjutnya ia lakukan adalah menenggak air mineralnya dan menyemprotkan beberapa semprot parfum pada area leher.

“Yeee, katanya ngerokok kalo lagi sama temen-temen doang.”

Pemuda April itu mengeluarkan kekehannya. “Hahaha, sorry tadi aku gabut nungguin kamu jadi aku pesen kopi.” Juna berujar, memasukan kotak rokoknya ke dalam tas. “Eh... kopinya habis, rokoknya masih lanjut terus.”

Aska mencibir, meledek Juna hingga laki-laki itu lagi-lagi terkekeh tanpa dosa. “Kesehatannya dijaga ya, Jun.”

“Iya, Aska, makasiiih.”

Keduanya berjalan beriringan menuju tempat mobil Aska terparkir dengan Juna yang, seperti saat-saat sebelumnya, setia untuk meraih tas Aska biar dia yang membawakannya. Kini, laki-laki itu tampak menjinjing dua tas kanvas, satu miliknya dan yang satunya lagi tentu milik Aska. Tas kanvas yang sengaja dibelikan Aska agar laki-laki itu tahu di mana ia harus menempatkan barangnya ketika hendak bepergian ke luar. Sebab sempat beberapa kali, Juna menitipkan barang pada tas Aska dan berujung ia pun lupa mengambilnya kembali.

Ayah Aska kembali tersenyum begitu mendapati Juna yang lagi-lagi datang ke rumahnya. Keduanya sama-sama menyalami pria tersebut, sebelum Aska membersihkan tangan dan kakinya dan membantu bibinya menyuapi sang ayah.

“Lekas pulih, Pa. Nanti kalo udah bisa jalan-jalan, Aska traktir all you can eat rawon, deh. Suka 'kan papa makan rawon? Apa mau Aska yang masakin? Sebutin aja, Pa, mau yang mana, tapi papa harus pulih dulu.”

Juna yang berada di samping Aska tampak terkekeh hingga matanya melengkung membentuk bulan sabit.

Kekasihnya itu memang pantas dinobatkan sebagai manusia paling perhatian di seluruh penjuru dunia. Lihat bagaimana Aska menyuapi sang ayah dengan sabar, menyeka permukaan kulit beliau dengan telaten sampai ke sela-sela jari, dan nggak lupa menaikkan selimut hingga tepat ke atas dada serta mengatur temperatur pendingin ruangan yang pas bagi ayahnya itu.

“Aku malem ini nginep di rumah ya, Jun. Kamu pulangnya bawa mobil aku aja.”

“Gapapa emang?” tanya Juna setelah menenggak seduhan teh yang kekasihnya buat. “Aku naik KRL juga gapapa, sih. Masih ada juga jam segini.”

“Emang udah mau pulang sekarang?” tanya Aska dengan sedikit nada manja yang tersirat di dalamnya.

“Hahaha.”

“Apaaa? Kok ketawa doang.”

“Boleh aku di sini sampe jam sembilan?”

“Nggak ada yang ngelarang juga.”

Akhirnya, Juna memilih untuk tinggal di rumah Aska sedikit lebih lama. Menemani Aska menggarap tugas organisasinya sembari tangannya bertopang dagu, memperhatikan sang kekasih yang keningnya sedikit berkerut, tanda dirinya sedang serius.

“Cantiknya....”

Laki-laki April itu menyingkap rambut tebal kekasihnya yang jatuh ketika ia sedang menunduk memperhatikan daftar nama pada ponselnya. Nggak bisa dipungkiri, pujian 'cantik' itu terdengar beribu-ribu kali lebih mendebarkan ketika keluar dari belah bibir seorang Arjuna.

Aska akan selalu tersenyum, secara nggak sadar meronakan pipinya sebelum mengucapkan rasa terima kasih. “Thank you, A' Ajun yang nggak kalah ganteng, nggak kalah manis.”

“Nah, gini dooong.”

“Haaah?” Kepala Aska kini beralih, memandang mata sang kekasih yang setia tertuju padanya itu. “Gini gimana?”

“Minta temenin aku terus. Terserah... mau kamu diemin aku atau mau cerita panjang kali lebar. Aku suka aja gitu ngehabisin waktu bareng kamu.”

Pemuda kelahiran Agustus itu terkekeh. “It feels nice being needed by someone you love, ya?”

“Iya, bener,” jawab Juna, “tapi, gapapa juga kalo kamu butuh waktu sendiri kayak kemaren-kemaren ini. Cuma mungkin, lain kali bilang aja kalo kamu lagi pengen sendiri, jangan tiba-tiba akunya didinginin.” Laki-laki itu berusaha bertutur tanpa menyakiti perasaan sang lawan bicara.

“Tapi, yah... anggep aja yang kemaren bukan suatu kesalahan yang serius. Mungkin kamu emang bener-bener lagi nggak mood ngapa-ngapain, apalagi ngobrol sama aku.”

Kedua ujung bibir Aska turun ke bawah, lensa matanya yang hitam legam membulat di tengah suasana ruang tengah yang memang tampak remang di malam hari. “Maaf buat yang kemaren-kemaren....”

“Iya gapapa, Aska, 'kan udah aku maafin.” Juna mengusap pelan rambut Aska yang hitam dan tebal, tangannya terdiam sesaat selagi ibu jarinya berusap pelan.

Thank you, A', udah mau ngertiin aku.”

“Iya... sama-sama ya, Cantik.”

Hal ini mungkin terdengar sederhana dan terlampau biasa bagi kebanyakan orang. Namun, Juna dan Aska sama-sama menyukai bagaimana keduanya selalu paham kapan harus berucap terima kasih. Sesederhana karena telah berusaha untuk selalu ada, Aska tetap mengucapkan rasa terima kasihnya yang dalam pada sang kekasih.

Keduanya kembali terfokus pada pekerjaannya masing-masing, Aska dengan layar laptopnya dan kini Juna memilih untuk menggarap tugas salah satu mata kuliah yang paling ia kuasai di semester ini.

Bertepatan dengan pekerjaan Aska yang selesai, rupanya Juna juga telah menyelesaikan lima butir soal yang sempat diberikan dosennya hari Senin kemarin. Dikarenakan waktu telah menunjukan pukul sembilan lewat lima belas menit, Juna akhirnya berizin untuk pamit pulang ke indekosnya. Berjanji akan datang di keesokan hari untuk mengunjungi ayah Aska dan mengembalikan mobil kekasihnya.

“Hati-hati, ya, Jun. Kabarin kalo udah sampe kosan.”

“Siaaap.” Juna mengacungkan ibu jarinya. “Aku jalan nih, ya?”

“Iya, gih.”

“Oke, dadah, As-”

Belum sempat Juna melambaikan tangannya, Aska tiba-tiba menahan jendela kaca mobilnya itu.

“Eh, tunggu, A'”

Kening Juna berkerut kebingungan. “Kenapa, Aska?”

“Itu....” Telunjuk Aska berarah pada speedometer mobilnya. “Speedometer aku kenapa deh, A'?”

“Hah?” Kening Juna tampak kian berkerut, ia nggak merasa ada yang salah pada speedometer mobil SUV itu, sebelum laki-laki itu akhirnya bertoleh untuk memeriksa speedometer di depan kemudinya dan yang ia malah dapatkan adalah,

Cup.

Sebuah kecupan ringan yang mendarat tepat di atas pipi kanannya. Kecupan pertama dalam sepanjang sejarah hidup percintaan Juna. Kecupan pertama yang nyatanya amat mampu menerbangkan kupu-kupu di dalam rongga perutnya, menciptakan gelenyar geli yang kemudian membuat otaknya arus pendek. Tubuhnya terdiam kikuk, nggak tahu harus berbuat apa.

“Dah, kali ini beneran dadah. Makasiiih udah ditemenin. Hati-hati, ya, A'.” Aska berujar ringan, seperti nggak baru saja melakukan hal yang mampu kaki Juna terasa seperti jeli. “Jalan gih, udah malem tau.”

What was thaaat?” tanya Juna frustrasi setelah sempat malfungsi.

Aska membalas dengan nada yang cukup meledek, berpura-pura lupa akan hal impulsif yang baru saja ia lakukan. “What was whaaat?

Ughhh, Askaaa.”

Ughhh, Junaaa.” Aska lagi-lagi meledek Juna, mengikuti nada bicara Juna yang masih terdengar frustrasi.

“A-”

“Nanti nyetirnya jangan nabrak gara-gara salting ya, Ganteng,” sambung laki-laki itu sembari jemarinya terangkat ke udara, menjawil usil pucuk hidung bangir milik Juna.

“Hufff, oke.”

“Dah, A'.”

“Oke, dadah.”

Juna masih berusaha mengatur ritme jantungnya yang berdetak nggak karuan itu sebelum Aska menyuruhnya untuk segera melajukan kendaraan. Tersenyum salah tingkah sembari akhirnya menurunkan rem tangan dan melaju menghilang di persimpangan jalan.

Ah, sepertinya Juna nggak akan membiarkan air barang setetes pun untuk membasuh wajahnya malam ini.