40

Bintang adalah sosok paling sempurna yang pernah laki-laki itu tangkap—sosok lelaki yang kini sedang terduduk di barisan paling belakang, mengawasi seluruh tamu yang diundang pada acara malam ini.

Entah itu perihal bagaimana penampilannya yang selalu tampak menawan—biasanya Bintang akan memakai kemeja dengan kerah bowling yang disetrika rapi sampai tak terlihat mulus, atau juga pembawaannya yang selalu terlihat tenang, akan tetapi tetap berwibawa sesuai pada porsinya.

Ia selalu mengagumi Bintang, sebagaimana seharusnya seorang laki-laki akan mendamba.

Bahkan hingga detik ini, ia masih memandang Bintang dengan tatap seribu arti meskipun ia terduduk jauh di belakang, di mana seharusnya Bintang bahkan tidak akan menaruh atensinya sampai ke sana.

“Oke, hai Abang-abang, Kakak-kakak semua.” Bintang berdiri dari kursi kayu tempat ia terduduk sebelumnya, perlahan mengukir senyum tulus pada rupanya. Mengedarkan pandang sebagai wujud kesopanan sebelum ia memperkenalkan diri. “Kenalin, gue Bintang dari TI angkatan 21. Gue di sini sebagai salah satu BP Seni di BEM FT. Salam kenal, Abang-abang, Kakak-kakak. Semoga bisa seneng-seneng bareng, ya, di acara malem ini.”

Hampir semua orang yang hadir bertepuk tangan selepas Bintang mengenalkan diri. Tak terkecuali laki-laki di pojok belakang yang sampai saat ini belum melepaskan tatapannya kepada Bintang.

“Sebutin tiga fun fact tentang lo, dong,” pinta salah satu alumni pendahulu, membuat Bintang berangguk sopan sebelum kembali berujar.

“Oke, Bang. Hm... fun fact gue, pertama gue sebenernya angkatan 20, tapi karena gue sempet exchange jadi gue lulus telat satu tahun dari temen-temen yang lain,” ujar Bintang dengan gestur tangan yang tak pernah luput. Gestur yang menjadikannya sosok yang berpenampilan menarik tiap kali ia berujar di depan orang banyak.

“Kedua, sebenernya gue lebih suka dipanggil ‘Abin’, hehehe.”

“Eh, emang kenapa, sih?” Reynold, BPH Seni, tiba-tiba menyela pembicaraan Bintang. “Gue yang BPH lo, kok baru tau lo lebih suka dipanggil ‘Abin’?”

“Hm, sebenernya itu panggilan gue dari jaman SMA yang dibuat sama....” Kalimat Bintang terjeda untuk sepersekian detik, bola matanya bergerak perlahan sampai akhirnya berhenti tepat pada laki-laki berbalut jaket hitam di bagian belakang meja.

Keduanya bersitatap untuk beberapa waktu, sebelum laki-laki yang Bintang tatap memutus kontak matanya. Beralih menatap suasana kafe yang terbilang masih cukup ramai walau ramai akan pengunjung.

“Sama- sama... ada, temen deket gue dulu pas SMA,” lanjut Bintang, “sebenernya biar lebih singkat aja. Tapi, waktu itu ada yang nambahin kalo ‘Abin’ itu singkatan dari ‘Anak Bintaro’, yang kalo dipikir-pikir bener juga, sih, soalnya gue emang tinggal di Bintaro, hahaha.”

“Wih, keren. Siapa, tuh, yang bikin usulan begitu?” sahut Hesa, BPH Depor, yang tengah terduduk di bagian belakang juga.

“Ada, temen SMA gue yang namanya Hesa. Tapi, sekarang gue manggilnya harus Bang Hesa.”

“Lah?” Alumni yang tadi bertanya terkekeh pelan. “Hahah, lo dulu satu SMA apa gimana, Bin, sama si Hesa? Kok akrab begitu?”

“Iya, Bang. Tadinya gue satu angkatan juga sama Hesa, cuma karena gue lulusnya telat, sekarang gue jadi junior dia, deh.”

“Anak Bukitduri, dong? Sama Laju juga?” Alumni itu kembali memberi pertanyaan lanjutan. “Ya nggak, Ju?”

“Iya, Bang.”

Untuk pertama kalinya, laki-laki bernama Lazuardi yang terduduk di kursi bagian belakang akhirnya ikut menimpali percakapan antara Bintang dan para senior.

“Iya, Bang, dulu akrab banget dia sama Abi- aduduh.” Hesa seketika merunduk memegangi ujung jari kakinya yang baru diinjak kencang oleh Lazuardi. “Maksudnya, deket sama Abin sama gue juga. Bestie gitu, dah, kita bertiga.”

Bintang tersenyum canggung menghadapai situasi itu. Ia tahu persis apa yang sebetulnya ingin Hesa utarakan, namun pastinya Lazuardi tidak akan membiarkan sohibnya asal bicara di hadapan banyak senior pendahulu.

“Wah, asik dong sekarang bisa kumpul bareng lagi di Kresma?”

“Yoi.” Hesa tercengir, menunjukan senyum tanpa dosanya. “Bener banget, Bang.”

“Ya udah, lanjut, lanjut.”

“Oke....” Bintang tersenyum lega usai mengetahui bahwa alumni itu tak lagi ingin mengulik masa lalunya bersama Lazuardi dan Hesa jauh lebih dalam. “Fun fact terakhir, kalo sekarang gue lebih ke terserah, sih, mau dipanggil siapa. ‘Bintang’ boleh, ‘Abin’ juga boleh. Asal jangan dipanggil ‘Sayang’ aja, soalnya takut ada yang marah.”

Meja panjang yang diisi dengan pengurus serta senior pendahulu Kresma seketika terisi dengan gelak tawa. Beberapa di antaranya sampai harus bergeleng-geleng kepala sebab Bintang secara tidak langsung baru saja meminta orang-orang yang ingin berusaha menaklukan hatinya untuk mundur secara teratur.

“Yah, Bin... Wildan baru aja mau deketin- aw! Sakit, anjing.” Laki-laki yang baru saja berceletuk kini mengusap dadanya pelan akibat pukulan dari temannya yang baru ia terima.

“Nggak, Bin, bohong dia.”

Bintang tertawa pelan menanggapi gurauan itu. Sebelum akhirnya ia kembali mengambil tempat duduk dan acara malam itu berlanjut ke sesi berikutnya.

Pada waktu di mana tamu yang hadir dipersilakan untuk berbincang dengan siapa saja yang mereka mau, Lazuardi memilih untuk tetap terduduk pada tempatnya bersama Hesa yang kini berada tepat di seberangnya.

Diam-diam, Hesa melirik hal apa yang sedang Lazuardi perhatikan pada layar ponselnya, yang ternyata teman baiknya itu hanya sedang menggulir timeline Instagram. Ia jadi terkekeh, menyeruput kopi dinginnya sebelum meledek Lazuardi. “Kalo galau, jangan pas lagi rame acara begini, Ju.”

“Siapa galau?” tanya Lazuardi sembari tetap menggulir layar ponselnya.

“Lo, anjir. Siapa lagi coba?”

“Gue nggak galau.”

“Ya udah, iya.” Hesa menghela napasnya panjang. “Kalo nggak kenapa-kenapa, interaksilah sama yang lain. Tuh, BP-BP lo lagi ditanyain sama senior. Nggak mau ikut nimbrung?”

“‘Kan itu BP-BP lo juga.”

“Ck, ya udah iyeee.” Hesa berdiri memundurkan bangkunya. “Nih, gue samperin biar lo puas.”

Lazuardi memandang Hesa yang perlahan bergerak menuju tempat badan pengurusnya berada. Di mana mereka terlihat sedang diajak berinteraksi dengan para senior. Mau tak mau, Lazuardi jadi ikut berdiri. Berjalan menghampiri badan pengurusnya yang juga sedang ditanya-tanya oleh senior lain.

Raganya mungkin berada di tempat, pun mulutnya yang juga masih bisa dipakai untuk berkalimat jika diminta. Namun, jiwa laki-laki itu terasa seperti dibawa mengawang entah ke mana. Berada pada satu atmosfer yang sama dengan Bintang membuat Lazuardi seperti ingin cepat-cepat pergi, apalagi dengan kondisi ramai akan teman-teman yang lain. Ia sendiri tak tahu mau sampai kapan bersikap seperti ini.

“Bang, lo gapapa?”

Pertanyaan dari salah satu badan pengurusnya yang bernama Stefan itu membuat seluruh atensi Lazuardi kembali ke tempat semula.

“Eh, gapapa, Stef.”

“Nggak lagi sakit ‘kan?” tanya Stefan lagi, “perasaan banyak banget diemnya.”

Lazuardi hanya tersenyum sembari bergeleng pelan sebagai bentuk sanggahan dari dugaan Stefan. Membuat juniornya itu berangguk-angguk sebelum kembali berbincang dengan senior yang lain.


“Duluan aja, nih, gue?”

“Iya, tiati, dah.”

“Oke, lo juga, yak.”

Hesa memasang sabuk pengamannya sebelum memberi Lazuardi fist bump. Temannya itu baru saja menyuruhnya untuk berkendara pulang terlebih dahulu, meninggalkan dirinya yang masih ingin tinggal di kafe tersebut untuk beberapa waktu.

Ia melirik melalui rearview sedan hitamnya. Tersenyum miring begitu melihat Lazuardi yang terlihat tengah memperhatikan sedan abu-abu yang ia tahu persis siapa pemiliknya. “Kasian gue liatnya,” gumam Hesa sebelum menginjak pedal gas jauh lebih dalam meninggalkan area parkir kafe.

Sementara yang ditinggal kembali berjalan masuk ke area depan kafe, terduduk dengan segelas kopi dingin yang esnya mulai mencair seiring bergeraknya jarum pada arloji yang mulai mengarah ke angka sepuluh.

Kepulan asap bernikotin yang Lazuardi keluarkan membutakan arah pandangnya untuk sesaat sebelum kembali menampangkan mobil sedan abu-abu yang terpakir beberapa meter dari tempat ia duduk. Liurnya ia telan paksa hingga menimbulkan rasa nyeri. Kepalanya pun ia paksa berpikir mengenai alasan-alasan mengenai dirinya yang tetap tinggal di sini meskipun acara Kolintang yang terselenggara telah sampai pada pada penghujung sejak beberapa waktu yang lalu.

Kenapa ia masih di sini?

Kenapa juga ia harus terduduk menunggu sosok itu sampai akhirnya ia pulang?

Kepalanya tak kunjung memberi ia jawaban meskipun sudah berulang kali ia paksa bekerja.

Intinya, Lazuardi hanya ingin memastikan sosok itu pulang dengan selamat, meskipun ia sama sekali tak berkeharusan.

Kaca film mobil yang tidak terlalu gelap membuat Lazuardi dapat melihat jika sosok di dalamnya baru sama mematikan tabletnya. Bergerak untuk menyalakan start engine, namun mesin mobilnya itu tak kunjung memberi respons.

Lantas, laki-laki itu memutuskan untuk keluar dari dalam mobil. Membuka kap depan mobil sebelum akhirnya mendenguskan napasnya kencang. Siku tangan kanannya bertumpu pada lengan kirinya yang terlipat, memijat keningnya pelan sebab tak kunjung menemukan akar masalah dari mesin mobilnya yang tak bisa menyala.

Lazuardi menekan puntung gulungan tembakaunya ke atas permukaan asbak, meraih gelas plastik di hadapannya untuk ia buang sebelum beranjak menghampiri laki-laki yang tengah terdiam berdiri di depan kap mobilnya.

“Kenapa?” tanya Lazuardi, “nggak mau ke-starter?”

Sosok yang baru menghampirinya itu membuat dirinya terkejut bukan main. Rasa-rasanya, jantung yang berada di dalam rongga dadanya baru saja merosot turun ke rongga perut.

“E-eh, Bang....”

Lazuardi mengeluarkan ponsel di dalam kantung celana jeans hitamnya, menyalakan lampu flash demi bisa meneliti isi kap mobil sedan abu-abu di depannya.

“Sepenglihatan gue, akinya nggak kenapa-kenapa, sih, Bang. Air radiatornya juga masih ada.”

“Hm,” gumam Lazuardi, kembali menyimpan ponselnya ke dalam kantung celana. “Iya, bener. Mungkin masalahnya ada di bagian lain. Dulu, mobil Hesa pernah mogok gara-gara saluran bensinnya, yang mana kita nggak bisa liat dari luar. Siapa tau mobil lo juga gitu sekarang.”

Laki-laki di samping Lazuardi mengembuskan napas berat, dadanya merosot seiring lengannya menutup kap mobil.

“Bengkel yang gue tau nggak buka 24 jam. Lo tau bengkel lain?” tanya Lazuardi.

“Enggak, Bang....”

“Ya udah, saran gue kita coba tanya ke pihak kafe aja, bisa atau enggak kita titipin mobil lo di sini. Nanti balik bareng gue gampang, toh tempat tinggal kita juga sama.”

Kening laki-laki itu berkerut usai Lazuardi memberikan saran. “Emang bisa...?”

“Dicoba dulu aja, Abin.” Lazuardi berujar sembari menatap laki-laki bernama Bintang di hadapannya, laki-laki yang kini pandangnya tampak jutaan kali lebih teduh di bawah sinar rembulan malam. “Gue coba tanya dulu ke dalem.”

“B-bang!”

Belum sempat Bintang menahan lengannya, Lazuardi sudah terlanjur bergerak ke dalam gedung kafe. Terlihat dari kaca jendela bahwa laki-laki itu sedang berusaha bernegoisasi dengan manajer kafe sebelum ia kembali berjalan ke luar, menemui Bintang yang masih berdiri pada tempat yang sama.

“Boleh katanya. Baik, kok, yang punya kafe. Kemaren, gue udah sempet kontak-kontakan sama CP-nya, yang ternyata langsung pemiliknya.”

“Bang....”

“Ayo, pulang.”

Lagi dan lagi, belum sempat Bintang berujar terima kasih, Lazuardi sudah terlebih dahulu berjalan menunu tempat motornya berada. Terdiam menunggu Bintang untuk mengikutinya ke tempat, sebelum akhirnya Bintang menelan ludahnya dan menghampiri sang senior.

Sorry, gue nggak bawa helm dua.” Lazuardi berujar seraya melepas jaket hitam yang melekat pada tubuhnya. “Tapi, pake jaket, deh. Kemeja lo tipis begini, kena angin malem apa nggak dingin?”

Bintang terpaku, tak kunjung menerima jaket pemberian laki-laki bermata bulan sabit itu. Hingga akhirnya Lazuardi memutuskan untuk menyampirkan jaketnya pada kedua pundak Bintang sebelum ia menyalakan mesin motornya.

Lazuardi bodoh. Ia pikir Bintang tak akan tahu jika kaus hitamnya juga terbuat dari fabrik yang tipis. Padahal, selepas laki-laki berparas manis itu menaiki motornya, ia bisa langsung tahu bahwa kaus yang Lazuardi kenakan bahkan dapat dibilang jauh lebih tipis dari kemeja yang ia kenakan. Bintang hanya mengembuskan napasnya untuk yang kesekian kali, memandang figur yang berada tepat di hadapannya, yang sedang berkendara dengan berhati-hati di tengah gelapnya malam.

Aroma tubuh Lazuardi yang Bintang hirup dari jarak setipis kertas membuat pikiran Bintang seolah dibawa melayang kembali ke masa lalu. Lobus temporal Bintang memberi sinyal bahwa bagian otaknya itu mengenali harum tubuh Lazuardi yang masih terasa sama. Bukan hanya itu, bahkan dari cara Lazuardi membantu Bintang malam ini, rasanya seperti laki-laki itu tak pernah berubah barang sedikit pun meski tentunya terdapat banyak faktor yang mungkin bisa merubah pemikiran dan perasaannya.

Bintang tersenyum selepas pikiran sekelebatnya itu terlewat.

Lo nggak pernah berubah, ya, Zu? Dengan cara lo memperlakukan orang sebegini baiknya, gue masih bertanya-tanya kenapa lo nggak kunjung dapet seseorang yang pantes atas semua cinta lo.

Tolong, bawa Bintang agar kembali tersadar sebab tak seharusnya ia tersenyum usai memiliki firasat bahwa Lazuardi belum berubah.

Laki-laki itu harus berubah dan memilih jalan bahagianya sendiri.