20

Terpaan udara yang keluar melalui celah pendingin ruangan membuat Bintang sedikit bergidik mengangkat kedua bahu. Pasalnya, kali ini laki-laki itu sedang mengenakan bowling shirt berbahan tipis. Ia tidak mengira kalau suhu tempat yang berisikan kios-kios makanan ini akan bersuhu cukup dingin. Tahu akan begini, seharusnya ia membawa sweater-nya ke mari.

Melangkah menuju tempat rekan beserta BPH bidangnya berada, Bintang disambut dengan lambaian tangan Ica, si wakil kepala bidang.

“Bin, sini!”

“Hai, Kak,” sapa Bintang dengan senyumnya yang selalu ramah. “Hai, Bang, Chel, Kev, Fio.”

Satu persatu, Bintang memberi fist bump kepada masing-masing teman beserta seniornya yang telah hadir. Hanya tersisa satu, Zhafran yang masih memiliki janji dengan asisten dosennya.

“Sendiri, Bin, ke sininya?” tanya si kepala bidang, Reynold, yang baru saja menenggak es teh lecinya.

“Iya, Bang,” jawab Bintang, “Zhafran masih lama apa gimana?”

Memberi anggukan sebagai jawaban, Ica ikut menimpali, “Iya, deh, kayaknya. Kita mulai dulu aja nggak, sih, Ren? Daripada kelamaan.”

“Ya udah, boleh.” Reynold tampak menegakkan tubuhnya, bersiap-siap untuk memulai jalannya rapat. “BTW, tukeran kabar dululah. Lo semua lagi sibuk nggak di dept masing-masing?”

Berasal dari departemen yang berbeda-beda, anggota BEM biasanya senang bertukar kabar setiap kali mereka berkumpul. Bercerita dan berkeluh kesah tentang kesibukan di masing-masing departemen. Seperti saat ini, di mana Bintang diminta untuk menceritakan kegiatan di departemennya.

“Gitu-gitu aja, sih. Cuma, ya.... chaos dikit ada, soalnya kaget juga, ternyata kuliah sambil ngejalanin dua organisasi sekaligus rasanya capek. Tapi, ya udah jalanin aja ya 'kan?”

Reynold terkekeh sembari bertopang dagu. “Hahah, tapi emang waktu semester dua gue juga kaget, sih, karena ternyata pas semester satu gue segabut itu dan pas ikut organisasi gue langsung nyadar kalo gue jadi sibuk banget. Good luck, dah, semoga lancar terus semua-semuanya.”

Bergantian dengan teman yang lain, satu persatu pengurus bidang Seni mulai mengutarakan kabarnya sendiri. Kebanyakan dari badan pengurus ternyata sama-sama merasa kesulitan di awal semester dua, kemudian Reynold dan Ica akan merespons dengan saran yang mungkin dapat berguna bagi pengurus-pengurus yang notabenenya merupakan adik tingkat mereka.

Berlanjut pada inti rapat, Reynold memimpin diskusi tentang pembagian job desc untuk acara kolintang yang akan dilaksanakan dalam tiga minggu ke depan. Kolintang sendiri merupakan singkatan dari konsolidasi lintas angkatan di mana acara ini dapat disamakan dengan gathering bidang, tapi nantinya akan mengundang senior pendahulu.

Bintang diberi limpahan tugas berupa penanggung jawab publikasi. Dengan senang hati, Bintang menerima tugas tersebut sebab dirinya memang sudah terbiasa dengan jobdesc relasi, publikasi, desain, serta dokumentasi. Ia juga diberi tahu bahwa nanti dirinya akan bekerja sama dengan publikasi dari bidang Depor dan juga Iptek (dua bidang yang juga merupakan bagian dari koridor Kresma atau Kreasi Mahasiswa).

Rapat tersebut tidak berlangsung lama lantaran Reynold harus pulang secepat mungkin dan memang tidak banyak yang harus dibicarakan. Usai menghabiskan makanan serta minuman masing-masing, satu persatu pengurus bidang Seni mulai meninggalkan meja. Hingga pada saat Ica ikut beranjak, tiba-tiba datang segerombol remaja yang tampak familier. Bintang baru diberi tahu oleh Ica bahwa anggota Depor juga akan melaksanakan rapatnya di tempat ini. Lantas, Bintang hanya bisa menganggukan kepala sebagai respons sebelum BPH-nya itu benar-benar pergi meninggalkannya sendiri.

Mata Bintang sempat bertemu dengan milik Reysha dan Stefan yang tengah berjalan melaluinya. Stefan sempat memberi fist bump, sementara Reysha melambai-lambaikan tangan.

Ingin rasanya Bintang menyudahi pandangannya yang masih terpusat pada segerombol teman-teman satu koridornya itu, tapi yang kini ia lakukan justru menatap sosok laki-laki yang tingginya menjulang, berjalan tepat di belakang gerombolan untuk menjaga adik-adiknya. Lantas, Bintang tersenyum seadanya kemudian kembali memfokuskan pikiran pada layar laptop yang terpampang di atas meja.

Ia memang sengaja untuk tinggal di sini lebih lama sebab ia telah memutuskan untuk melanjutkan pekerjaannya sembari menikmati ambience tempat ini yang tetap terasa tenang walaupun sedikit ramai akan pengunjung. Namun tidak disangka-sangka, ia pada akhirnya harus bertemu dengan sosok yang selama ini terus ia hindari.

Jemari Bintang mungkin menari dengan lancar di atas keyboard laptopnya, tapi ketahuilah kalau pikirannya justru sedang berkelana ke mana-mana. Ia bahkan tidak bisa berpikir terlalu jernih sekarang. Entah kalimat seperti apa yang pada akhirnya tertulis pada lembar tugas miliknya.

Suara laki-laki yang terus terdengar melalui telinganya terasa begitu familier dan ia seolah tergiring oleh waktu. Kembali pada saat di mana ia masih bisa terus mendengar suara sosok tersebut tanpa harus menghindarinya, saat-saat di mana ia masih bisa berekspresi dengan bebas di depan lelaki itu.

Bintang menghela napas. Menitipkan barang bawaannya pada sosok perempuan di sebelah meja duduknya selagi ia pergi ke toilet guna membasuh wajahnya menggunakan air mengalir yang dingin, dengan harapan pikirannya akan kembali terjernihkan dan ia bisa melanjutkan pekerjaannya dengan benar.

Kembali ke tempat duduk, ia baru ingat kalau sore tadi sebelum berangkat dirinya sempat memasukkan headphone ke dalam tas yang ia bawa. Maka, ia pun memutuskan untuk menyambungkan wireless headphone itu pada jaringan Bluetooth di laptopnya sebelum kemudian memutar playlist kesukaannya yang sudah ia rancang dari lama.

Terputar salah satu lagu cinta yang membuat Bintang terpikirkan akan sosok kekasihnya hingga tangannya beralih untuk meraih ponsel yang ia gelatakan di samping laptop. Ibu jarinya bergerak menggulir layar, mengetikan nama 'Satya' pada kolom pencarian.

Hasilnya nihil, ternyata kekasihnya itu tidak kunjung membaca pesan terakhir yang dikirimkan olehnya. Bintang pikir, kekasihnya yang bernama Satya itu akan setidaknya bertanya apakah dirinya sudah makan atau mungkin pertanyaan lain seperti di mana ia berada sekarang.

Kalau boleh jujur, Bintang merasa hubungan keduanya memang telah berada di ujung tanduk sebab sebetulnya ia tahu kegiatan apa yang kekasihnya itu lakukan di kota rantaunya. Main Satya kurang apik, Bintang masih bisa mengetahuinya lewat unggahan insta story milik teman-temannya yang juga berkuliah di kota yang sama, Bandung.

Pekerjaannya selesai, maka Bintang memutuskan untuk mematikan daya laptopnya dan bersiap pulang. Ketika dirinya bangkit dari tempat duduk untuk mengambil seluruh barang bawaannya, aroma parfum yang familier tercium melalui lubang hidungnya. Lantas, ia tolehkan kepalanya ke arah kanan, melihat meja tempat pengurus Depor terduduk yang kini sudah tidak ditempati lagi. Kemudian kepalanya tertoleh ke kiri dan pada akhirnya ia tahu kalau teman-teman Depornya telah beranjak pergi dan sosok terakhir ia masih bisa ia lihat kepergiannya adalah sang kepala bidang.

Kaki Bintang melangkah ke luar, berjalan menuju tempat mobil sedannya terparkir. Tubuhnya sempat terdiam tatkala ekor matanya menangkap keberadaan laki-laki yang masih tampak terduduk di atas jok motor. Padahal, orang tersebut sudah terlebih dahulu beranjak ke luar jika dibandingkan dengan Bintang.

Bahkan sampai dirinya telah berkendara, Bintang masih bisa menangkap keberadaan laki-laki berjaket hitam itu melalui kaca spionnya. Dahinya mengernyit keheranan, tapi yang bisa ia lakukan hanya kembali fokus mengemudi.

Selama Bintang berkuliah di Kota Depok, ayahnya membelikan satu unit apartemen Grand Taman Melati yang terletak di tower C. Usai memarkirkan mobil, pemuda tersebut berjalan menyusuri lobi apartemen. Sempat menyapa salah satu resepsionisnya sebelum beranjak memasuki lift dan menempelkan kartu aksesnya agar ia bisa naik ke lantai 18.

Bukannya segera masuk ke kamar mengistirahatkan badan, Bintang justru menyenderkan lengan pada salah satu bagian dinding di dekat lift agar bisa memantau angka yang menunjukan ke lantai mana lift tersebut akan bergerak.

Tepat ketika angka tersebut berganti dari angka 17 menuju angka 18, Bintang menelan ludahnya gugup, namun ketika pintu lift terbuka, ia berusaha dengan sekuat tenaga mengusir rasa gugupnya.

“Ehm.” Bintang berdeham. “Jatohnya creepy nggak, sih, ngikutin orang sampe ke tempat dia tinggal?”

Mengembuskan napas kasar, sosok laki-laki yang baru saja terperanjat kaget itu memegangi dadanya yang tengah berdebar-debar.

“Lo ngapain ke sini, Bang?” tanya Bintang yang kini sudah memiliki nyali untuk menatap laki-laki di hadapannya.

Sementara laki-laki tersebut tidak memberikan jawaban verbal. Ia hanya mengangkat kartu akses apartemen beserta kunci pintunya.

“Oh?” Kedua alis Bintang terangkat. “Sejak kapan lo tinggal di sini?”

“Lain kali jangan asal ngatain orang creepy.

Laki-laki itu beranjak meninggalkan Bintang sendiri depan pintu lift. Hingga akhirnya Bintang menyusul langkahnya yang cepat itu.

“Lo baru pindah apa gimana?” tanya Bintang penasaran. “Perasaan gue nggak pernah liat lo di sini.”

“Sabtu besok baru mau fully pindah.”

“Ke sini?” Bintang memunculkan tubuhnya di samping laki-laki yang tengah memasukan kunci ke dalam lubang pada pintu unit apartemennya. “Ke samping kamar gue?”

“Menurut lo?” Laki-laki itu justru balik bertanya. “Kalo ini bukan kamar gue, ngapain gue ke sini?”

Sosok tersebut menghilang dari pandangan Bintang tepat setelah ia menutup pintu kayu kamarnya. Meninggalkan Bintang yang tak lama kemudian menepuk jidatnya kencang.

Susah-susah gue ngehindar, eh dia tiba-tiba pindah ke kamar sebelah.