I Love You, Endlessly
Satu plastik berisi lauk favorit sang kekasih sedang satu sisanya berisi cokelat pisang yang selalu mampu membuat laki-laki di hadapannya luluh, kini tengah Juna angkat tepat di depan dada. Membuat Aska jadi mau nggak mau tersenyum miring, bergeleng-geleng kepala lantaran kekasihnya itu selalu paham harus berbuat apa untuk meredakan pikirannya yang sedang bergejolak.
“Sini masuk, nanti keburu basah.” Tangan Aska terangkat untuk menghalangi rintik air hujan mengenai puncak kepala Juna. Keduanya berjalan ke dalam gedung indekos Aska dengan lengan Aska yang terlingkar pada tubuh Juna guna menuntunnya masuk.
Selagi Aska menata makanan yang kekasihnya bawa ke mari, Juna terdiam memandang Aska yang juga ikut diam. Berusaha menyiapkan diri agar masalah apa pun itu yang terjadi di antara keduanya dapat segera terselesaikan.
“Masih nggak enak perasaannya?”
Pertanyaan Juna muncul tatkala Aska sedang menyiapkan sepiring nasi untuk Juna santap. Akan tetapi, dirinya justru memilih untuk bungkam. Hanya menyerahkan piring nasi tersebut ke hadapan Juna.
“Aska.”
“Makan dulu, Jun. Tadi makan siangnya udah telat, masa yang sekarang mau telat lagi?”
Menghela napasnya, Juna hanya dapat berkata, “Oke... makasih, ya, udah disiapin makanannya.”
“Iya, aku makan, ya, piscoknya?”
“Makan aja, Aska.”
“Thanks.“
Aska menyenderkan tubuh pada sandaran sofa selagi Juna menghabiskan makanannya. Ia kemudian menjadi pihak yang juga merapikan sisa makanan dan mencuci piring. Nggak ingin membiarkan Juna yang sudah tampak lelah itu bekerja membereskan meja.
“Mau naik ke kamar nggak?” tawar Aska seraya mengeringkan tangan dengan kain lap.
“Is that okay?” Juna bertanya memastikan. Nggak ingin tawaran yang datang dari kekasihnya itu bersifat terpaksa.
Menaikkan kedua bahu, Aska menjawab, “Gapapa 'kan aku juga yang nawarin.”
“Hm, ya udah boleh, deh.”
Memasukki kamar indekos Aska yang terbilang rapi, ternyata Aska sudah mengatur temperatur pendingin ruangan pada angka yang pas. Juna meletakkan tas hitamnya di atas meja. Terduduk di atas kursi meja belajar selagi Aska menenggak substansi dalam botol minumnya.
“Masih ngambek sama aku?” tanya Juna, masih ingin membawa percakapan ini ke permukaan.
“Ya, gimana, ya... aku sebenernya seneng kamu nggak posesif karena aku juga males kalo dikekang. Tapi, kalo terlalu ngebebasin gini rasanya kurang enak juga, takut akunya nggak bisa ngontrol diri habis itu malah keterusan. Atau takut kalo selama ini sebenernya kamu cemburu cuma nggak berani bilang aja.”
Jawaban yang keluar dari mulut Aska kini terdengar jelas. Kekasih Juna itu terduduk di tepian ranjang berhadap-hadapan dengan Juna yang terduduk di atas kursi.
“Hm... I see.“
“Tapi, jangan jadi hilang kepercayaan sama aku,” sahut Aska, “aku masih sayang sama kamu. Nggak mungkin cuma gara-gara dianter atau nganter balik orang lain dan cuma berdua di mobil atau motor, aku jadi langsung sayang sama orang itu.”
“Iya, aku juga masih percaya kalo soal itu,” jawab Juna, tangannya bergerak untuk meraih telapak Aska yang tergeletak bebas di atas pahanya. “Mungkin orang lain bilang cemburu itu tandanya sayang. Tapi buat aku, kalo pun aku nggak cemburu bukan berarti aku nggak sayang sama kamu, Aska. Aku cuma percaya aja sama kamu dan selagi orang itu nggak keliatan punya niatan buat ngerebut kamu, ya... aku kayaknya nggak bakal keberatan. Justru aku makasih banget sama mereka karena udah ngejagain kamu pas aku lagi nggak ada. Aku nggak peduli sama perasaan mereka, aku cuma mentingin kamunya aja.”
Juna menjeda kalimatnya untuk sesaat.
“Toh, selama ini aku nganterin orang lain balik, kamu juga selalu percaya sama aku. Akunya juga nggak ada niatan lebih dari sekedar nganter mereka balik dengan aman. Makanya, aku bingung kenapa aku harus keberatan kalo kamu dianter atau nganter orang lain balik.”
Aska menatap kekasihnya yang sedang berusaha menjelaskan perasaannya. Dan kini Aska justru menyesal sebab perkataan Juna barusan memang benar-benar mencerminkan aksinya.
“Maaf, ya, Aska. Kamu maunya aku kayak gimana biar kamu ngerasa disayang?” tanya Juna penuh pengertian, kepalanya miring empat puluh lima derajat menatap kekasihnya itu. “Besok-besok dianter aku aja ke mana-mana?”
“Nggak gitu... kamu 'kan juga punya urusan sendiri. Dan nggak usah minta maaf juga...,” cicit Aska pelan.
“Oke, terus kamu mau aku gimana biar hal kayak begini nggak jadi masalah lagi?”
“Just....” Kalimat Aska terjeda. “Ask me kalo orang yang aku anter atau nganterin aku balik siapa, orangnya kayak gimana, can you trust them or not. Jangan langsung kamu iyain aja, aku justru seneng kalo kamu perhatiin sampe sebegitu detailnya. Asal masih tau batas wajarnya aja.”
Senyum Juna kian mengembang, sudah sepenuhnya paham akan mau kekasihnya itu. “Perlu aku interview dulu nggak orangnya?”
“Ih, nggak gitu juga maksud akuuu.”
Terkekeh, Juna melengkungkan matanya hingga terbentuk bulan sabit yang indah. “Iya, iya, bercanda aja akuuu.”
Rambut Aska diusak pelan oleh kekasih di hadapannya itu.
“Oke, lain kali aku tanya kamu dulu sebelum ngeiyain. Terus kalo aku nganter atau dianter balik sama orang lain, aku juga harus ngabarin kamu dulu dia orangnya kayak gimana?”
“Iya, boleh kayak begitu,” jawab Aska, “ribet, sih, tapi kayaknya buat antisipasi juga. Nggak ada yang tau kalo semisal orang itu ternyata punya niatan buruk. Nanti jadinya kita bisa nge-track satu sama lain.”
“Hahaha, oke, deh, kalo gitu.”
“Keberatan nggak kamunya?”
“Enggak, kok. 'Kan cuma tinggal ngabarin orangnya kayak gimana aja.”
“Ya udah.”
“Ya udah, terus mana?” tanya Juna yang kemudian membuat Aska kebingungan.
Alis Aska jadi berkerut menanggapi pertanyaan Juna. “Terus mana apanya?”
“Mana pelukannya? 'Kan habis baikan.”
Terkekeh pelan, Aska bangkit dari tepian ranjang guna bergerak maju memberi kekasihnya itu sebuah rengkuhan hangat di tengah dinginnya malam.
“Nggak usah nunggu marahan juga biasanya aku peluk.”
Juna tersenyum penuh kemenangan sembari kepalanya beristirahat pada permukaan dada Aska yang detak jantungnya terdengar tenang; detak jantung yang selalu ia ingin dengar di sepanjang sisa hidupnya.
“Sayang kamu,” ujar Juna dengan suara yang teredam pada fabrik pakaian Aska. Membuat Aska mengeratkan pelukannya sembari mengusap tengkuk kekasihnya itu.
“Iya, aku juga.”
Posisi keduanya lama-lama berpindah ke atas ranjang ukuran single itu. Membuat keduanya harus berdempet berdekatan sebab ukurannya yang terlampau kecil untuk diisi dua tubuh jenjang mereka. Lampu utama telah dimatikan, terganti oleh lampu tidur yang sinarnya temaram.
Lengan kiri Juna akan selalu menjadi bantalan kepala Aska selagi lengan Aska terlingkar pada tubuh atletis Juna. Keduanya akan saling berbincang akan harinya yang panjang atau sama-sama berdiam diri menikmati peluk yang ada.
“Aska.”
“Hm?”
“Despite everything I do that you find it lacking here and there, I hope you'll always remember that I still love you endlessly. Kalo ada perilaku aku yang kurang tepat di mata kamu, please know that I did it unintentionally. Just tell me right away so that I can fix it as soon as possible.“
Dibanding membalas perkataan kekasihnya, Aska justru melepaskan pelukannya dan menjauhkan wajah dari tubuh sang kekasih. Senyumnya terpatri memandang Juna penuh kasih.
“Whyyy?” tanya Juna kebingungan.
“I'm in love with the character development,” terang Aska dalam satu kalimat.
“Hah, maksudnya?”
“You used to run away from most of your problems, tapi sekarang coba liat. Di hari kita punya masalah, kamu langsung mau nyamperin aku. Asking me how can you make me feel better, also giving me your further explanation. I love you so... so much for that.“
Jemari Aska bergerak naik, menelusuri wajah Juna yang dipahat bak dewa paling tampan di muka bumi. “Kereeen. A' Ajun selalu keren di mata aku.”
Semburat kemerahan muncul begitu saja menjalar pada permukaan pipi Juna. Senyum salah tingkahnya nggak lagi mampu ia tahan dengan sisa tenaga yang ia miliki.
“Keren banget. Pacarnya siapa, sih?”
“Askaaa, udaaah....”
Juna tersipu, menundukkan wajahnya agar nggak perlu terlihat salah tingkah di depan kekasihnya. Sementara Aska hanya tergelak, mengelus pucuk kepala Juna membawanya hingga terlelap ke alam mimpi.
“Hahaha! Ya udah, bobo aja bobo biar nggak salting lagi.”
Aska akan terbangun dari ranjang ketika ia rasa kekasihnya itu sudah tertidur pulas. Menelepon Hanan agar teman SMA-nya itu menyiapkan satu setel pakaian untuk ia ambil nanti. Sepertinya, Aska akan membiarkan Juna menginap lantaran ia nggak sampai hati untuk membangunkan kekasihnya yang tengah terlelap. Juna bahkan nggak terbangun ketika Aska bergerak turun, menandakan kalau laki-laki itu memang betulan terlampau lelah hari ini.
Selagi Aska pergi ke luar untuk mengambil pakaian Juna sampai ia kembali masuk ke dalam kamar, Juna masih tampak tertidur pulas. Posisinya kini terlentang, nggak menyisakan ruang bagi Aska untuk dapat tidur di sebelahnya. Bibirnya terkatup rapat dan entah kenapa terlihat jauh dua kali lebih tebal dari biasanya. Pipinya yang juga membulat, memberikan kesan lucu bagi laki-laki yang pada kebanyakan waktu justru tampak mendintimidasi.
Laki-laki kelahiran Agustus itu hanya terkekeh pelan. Mengusap pelan pucuk kepala Juna selagi ia terjaga mengerjakan sisa tugasnya. Ia akan memastikan dirinya untuk terbangun lebih dahulu daripada Juna guna menyiapkan laki-laki itu sarapan di keesokan hari.