127
Ketukan pintu yang berulang-ulang dan terdengar nyaring membuat Lazuardi harus terburu-buru memasang kaus pada tubuhnya. Pemuda itu kemudian sesegera mungkin membuka pintu unit apartemennya. Ternyata Bintang sudah berdiri menunggunya di depan dengan sebuah senyum yang terpatri lebar.
“Hai.”
Sapaan Bintang membuat kening Lazuardi mengernyit kebingungan. Rasa-rasanya baru kemarin pemuda itu memasang raut wajah sedihnya, namun dengan waktu yang secepat ini ia sudah bisa kembali tersenyum seperti sedia kala.
Lazuardi mempersilakan Bintang masuk dan entah kenapa kata-kata inilah yang pertama keluar dari belah bibir Bintang ketika laki-laki itu akhirnya terduduk pada sofa di tepi jendela.
“Lo habis mandi parfum apa gimana?” tanya Bintang, “wangi banget perasaan.”
Alih-alih menjawab celotehan Bintang, Lazuardi justru beranjak ke area dapur kecilnya. Pemuda itu menuang isi sup krim yang sempat ia masak sebelum Bintang datang ke dalam dua buah mangkuk. Kemudian ia pun kembali ke sisi Bintang, menaruh kedua mangkuknya di atas meja lipat yang tersedia. Tak lupa, Lazuardi juga menyeduh satu cangkir teh hangat untuk Bintang nikmati. Keduanya kini terduduk berhadap-hadapan dengan pemandangan malam Depok yang sedikit dihiasi dengan deru mesin kendaraan bermotor dan bising gesekan rel kereta api. Namun tak apa, suara tersebut dapat diredakan dengan alunan lagu yang keluar melalui pengeras suara milik Lazuardi.
“Jago masak beneran, ya, lo sekarang?” ledek Bintang usai pemuda itu menyuap sup krim yang dimasak oleh Lazuardi. Sedang pemuda di hadapannya yang mendengus pelan sebelum ikut menyantap sup krimnya.
“Lo masakin gue tiba-tiba begini, nggak tau kenapa rasanya kayak kita udah kenal dan tau satu sama lain sejak lama,” celetuk Bintang. Arah pandangnya terlempar keluar entah ke mana itu asal tidak mengarah ke Lazuardi. “Kayak lo tau gue nggak bakal nolak bentuk afeksi apa pun itu yang lo kasih ke gue.”
“Siapa juga yang bilang kita enggak kenal dan tau satu sama lain sejak lama?” tanya Lazuardi.
“Yaaa... maksud gue, kita udah lama nggak kayak begini. Tapi, kita berdua tiba-tiba jadi sering ngehubungin satu sama lain dan saling ngasih afeksi kayak kita udah kenal sejak lama, kayak di antara kita berdua ngga pernah ada masalah apa-apa.”
“Pusing dengernya.”
Lazuardi dengan sifat kurang pedulinya. Bintang hanya bisa berdecak mendengar tanggapan pemuda itu. Jadi hanya ada suara alat makan yang bersinggungan dengan mangkuk keramik mengisi ruang di antara keduanya. Dan seolah Lazuardi memilik fungsi autopilot, pemuda itu langsung membersihkan mangkuk milik Bintang tanpa harus disuruh. Tidak membiarkan Bintang bekerja barang sedikit pun. Membuat pemuda itu terduduk memandangi punggung Lazuardi dari jarak sekian meter. Otaknya dipaksa bekerja memikirkan akan bagaimana Lazuardi belum memiliki pasangan dengan perlakuan seistimewa ini.
“Minum tehnya,” pinta Lazuardi ketika pemuda itu kembali terduduk di hadapan Bintang.
“Orang maunya minum alkohol.”
Lazuardi meraih selimut tipis yang terletak di tepi sofa. Melebarkan kain bulu tersebut untuk menutupi tubuh Bintang agar tidak langsung terkena terpaan angin dari pendingin ruangan. “Teh panas juga bisa bikin lo tenang.”
Perlakuan Lazuardi lagi-lagi membuat Bintang memikirkan hal yang sama. Mungkin seharusnya sekarang Lazuardi sedang berbagi kasih dengan seseorang yang mampu memperlakukan pemuda itu dengan sama baiknya. Jika saja Bintang tidak terus menerus merepotkannya....
“Masih penasaran nggak?” tanya Bintang sambil merapatkan selimut pada tubuhnya.
“Penasaran apa?”
“Ish, masa udah lupa, sih?” Bintang melayangkan protesnya. “Yang tadi di _chat, lho....”
“Oh, soal pacar lo?” tanya Lazuardi, kini pemuda itu tampak sedang merapikan meja lipat yang keduanya sempat pakai untuk menaruh mangkuk beserta cangkir. “Cerita aja, gue dengerin.”
“Nah, ya udah. Sebenernya bukan apa-apa, sih. Gue cuma mau bilang aja kalo Satya, tuh, bukan pacar gue, tapi cuma cowok gue.”
Kening Lazuardi berkerut dibuat Bintang. “Apa bedanya?”
“Beda. Dia bukan pacar gue karena dia pernah bilang dia belom siap buat berkomitmen, jadi akhirnya kita berdua cuma ngejalanin apa yang ada. Cuma, yah... orang-orang taunya kita berdua pacaran karena emang kita udah sedeket itu.”
Ada hening yang menjeda percakapan mereka. Lazuardi masih sibuk menyimpan meja lipatnya pda ruang kecil yang tersedia di bawah sofa.
“Jadi....” Lazuardi berkacak pinggang usai dirinya bangkit dari lantai. “Dari pas lo masih di Cali sampe akhirnya balik ke Jakarta, lo berdua belom pacaran?”
“Belom... tapi kita sama-sama setuju kalo gue punya dia dan dia punya gue.”
Pemuda yang lebih tua berangguk-angguk, kembalj sibuk berjalan ke sana kemari untuk merapikan unit apartemennya.
“Dan lucunya dia malah main belakang sama orang lain. Kalo dia nggak siap buat berkomitmen, kenapa malah selingkuh? Satu aja belom cukup buat lo pertahanin, ini lagi malah nambah dua,” gerutu Bintang. Membuat Lazuardi terkekeh pelan.
“Bang Lazu.”
“Apa, Abin?” Lazuardi membalas sapaan Bintang tanpa menolehkan kepala.
“Kalo gue mutusin dia lewat chat, gue kurang ajar banget nggak?”
Pertanyaan Bintang yang kali ini membuat Lazuardi menolehkan kepalanya secepat kilat.
“Gue... nggak yakin gue bisa ngomong langsung di depan muka dia, tapi gue juga nggak mau lagi berhubungan sama dia.” Bintang menundukkan kepala, jari jemarinya memainkan ujung kain selimut. “Gue udah capek. Udah cukup, deh, nyokap aja yang selingkuh. Kalo sampe gue harus bertahan sama pasangan yang juga suka selingkuh... rasa-rasanya gue nggak bakal kuat. Orang mana yang kuat diduain sama pasangannya? Yah... walaupun dia bukan pasangan resmi gue, tapi tetep aja selama ini gue udah sangat amat percaya sama dia.”
Dengan kakinya yang berjalan pelan, Lazuardi menghampiri Bintang di sofa. Tangannya bergerak perlahan untuk mengusap bahu bidang milik seorang Bintang.
“Do whatever makes your heart feel at ease,” ujar Lazuardi dengan nada yang terdengar tenang layaknya permukaan air danau.
Bintang mengangkat kepalanya untuk menatap Lazuardi. “Tapi, gimana kalo semisal Satya nggak terima gue putusin lewat chat dan ngelakuin hal yang aneh-aneh buat gue?”
“I’ll make sure he won’t get to bother you if he ever shows up.”
Tepukan lembut yang Lazuardi berikan mampu mengusir sedikit rasa gundah dan membalut relung hati seorang Bintang. Lazuardi tak sampai hati melihat Bintang yang harus melalui semua ini sendiri, tak tahu tempat aman mana yang bisa ia tuju untuk mencurahkan isi hatinya. Maka, Lazuardi benar-benar bertekad untuk setidaknya memastikan Bintang akan selalu aman selama ia masih tinggal pada sisi pemuda itu.