60

Satu hal yang tak banyak orang tahu, Lazuardi bukan seseorang yang sejak lahir sudah memiliki segudang kemampuan. Ia tumbuh seperti kebanyakan remaja pada umumnya, yang hanya mengikuti alur kehidupan seperti apa yang telah ditempuh oleh kebanyakan orang. Laki-laki itu hanya berbekal tingkah perilaku yang baik hasil didikan sang ibu.

Sisanya? Ia belajar semua sendiri dengan sedikit tambahan motivasi.

Termasuk kemampuannya menyulap seluruh bahan mentah yang sempat ia beli pada swalayan terdekat menjadi semangkuk hidangan sayur sop hangat beserta ayam goreng lengkuas—yang mana sebetulnya, bumbunya telah diracik oleh sang ibu dari rumah.

“Nih.”

Satu mangkuk dan satu piring yang Lazuardi beri tak kunjung diterima oleh laki-laki yang tengah berdiri terpaku pada tempatnya.

“Kenapa? Udah makan?” tanya Lazuardi yang kemudian bergerak untuk menuang kembali isi mangkuk putih tersebut ke atas panci.

“E-eh, mau diapain, Bang?”

“Ya, kalo lo udah makan, gue tuang lagi sopnya. Biar nanti lo bawa mangkoknya aja,” jawab Lazuardi dengan mangkuk pada tangan kanannya yang isinya belum sempat ia tuang kembali. “Daripada mubazir nggak lo makan.”

“Gue-” Laki-laki itu terlihat gugup hanya dari memandang sorot mata Lazuardi yang terlihat datar. “Belom makan, kok, Bang....”

“Oh, terus kenapa nggak diterima makanan gue, Bin?” tanya Lazuardi, mangkuknya kembali ia taruh di atas pantry. “Nggak suka lauknya?”

“Suka, kok!” sela laki-laki yang diketahui bernama Bintang itu. “Gue cuma- gue cuma bingung aja, k-kenapa lo tiba-tiba ngasih gue makan malem.”

Sial, batin laki-laki itu. Ke mana perginya semua pengetahuan Bintang terkait kiat-kiat berbicara dengan baik dan lancar di depan orang? Kenapa juga lidahnya tiba-tiba gerasa kelu jika dihadapkan dengan sosok laki-laki berparas tampan yang sedang berdiri tepat di hadapannya sekarang.

“Waktu itu, lo ngasih gue bubur buat sarapan. Terus sekarang, kenapa gue jadi nggak boleh ngasih lo makan malem?”

“Karena bubur itu sebenernya balesan buat bantuan lo di malem mobil gue mogok,” jawab Bintang, yang kemudian menciptakan sunyi yang terdengar nyaring di telinga.

Lazuardi memutus kontak mata, menelusupkan kedua telapak tangannya pada kantung celana selutut yang tengah ia pakai. “Ya udah, jadi lo nggak mau sop sama ayamnya?”

“Mau.”

Tolak, Bintang! Biarkan laki-laki itu hidup tenang tanpa hadirnya dirimu lagi.

“Mau makan di sini juga, boleh...?”

Astaga.


Bunyi denting akibat pertemuan antara sendok dan piring menjadi pengisi suara di dalam unit apartemen studio bernomor 1827 itu. Dua lelaki yang tengah duduk berhadap-hadapan sembari menikmati hidangannya masing-masing tak kunjung membuka suara untuk menciptakan percakapan.

Yang lebih tua menghabiskan seluruh makan malamnya terlebih dahulu. Kemudian memutuskan untuk berdiri membawa peralatan makannya yang kotor untuk ia cuci pada sink dapur yang terletak tidak jauh dari tempat laki-laki yang lebih muda terduduk.

Lantas, ia yang masih menikmati gurihnya ayam di atas piring diam-diam memperhatikan punggung laki-laki itu yang terlihat jauh lebih bidang dengan berbalut pakaian berwarna putih. Ia mengulas senyumnya singkat sebelum ikut berdiri membawa peralatan makannya yang kotor.

“Nggak usah dicuci piring sama sendoknya,” ucap Lazuardi, “taro aja udah.”

“Nggak enak, masa udah dikasih makan, tapi nggak nyuci piring.”

Lazuardi hanya bisa mengalah, membiarkan laki-laki itu mencuci piringnya sementara ia berjalan mundur meraih kaus bersih yang tergeletak di atas meja.

“Jangan nengok ke belakang.”

“Kenap-“ Yang diberi perintah justru abai, memutar badannya 180 derajat secepat kilat. “Ups, maaf.”

Lazuardi yang baru saja melepas kemeja putihnya hanya mengembuskan napas yang sempat tertahan, kemudian segera mengenakan kaus yang telah ia siapkan.

Sial, Bintang tidak baru saja melihat tubuh polosnya yang tak terbalut benang barang sehelai pun.

Laki-laki bulan April itu menghela napas pasrah, tungkainya bergerak ke arah jendela guna membiarkan udara malam masuk ke dalam unit apartemennya. Bintang yang tengah mengeringkan tangan melirik melalui ekor mata, tersenyum simpul sebelum ikut menghampiri laki-laki itu.

“Nggak balik?” tanya Lazuardi. Ada bunyi serpihan abu yang terbakar pada puntung gulungan tembakau yang tengah ia isap untuk kali terakhir sebelum ia matikan ketika Bintang berdiri tepat di samping dirinya.

“Ngusir?”

“Ya-” Ucapan Lazuardi terputus, yang kemudian langsung disambut dengan kekehan Bintang.

“Kalo lo nyuruh, gue balik sekarang, nih.”

“Ya udah, nggak jadi.”

“Jadi, lo mau gue tetep di sini?” tanya Bintang, menatap Lazuardi dalam seolah laki-laki itu akan membunuh Lazuardi hanya dari sorot matanya. “Hehe, nggak, nggak. Nggak usah dijawab.”

Mereka terdiam, terbungkus oleh sunyi yang begitu nyata. Bising kendaraan bermotor yang berlalu lalang di jalan raya, bunyi roda kereta yang bergesekan dengan rel, keduanya sama-sama mampu mengisi hening yang tercipta di antara kedua insan itu.

“Belajar masak dari mana?” Bintang berbasa-basi, melipat kedua tangan di atas kuseng jendela.

“Sendiri, kadang diajarin nyokap.”

“Haha, motivasi dari mana lo belajar masak?” kekeh Bintang, “perasaan dulu lebih suka terima jadi. Apalagi terima jadi dari gue.”

Lazuardi memilih untuk bungkam, menelan pahit ludahnya selepas Bintang menyelesaikan kalimatnya.

“Bang Lazu.”

“Hm?” Lazuardi bergumam, menjawab dengan fokus yang masih tertuju pada kereta rel listrik dengan jadwal terakhir pada malam itu.

Memutar tubuhnya, kini Bintang tersandar pada kusen jendela dengan menggunakan lengan kanannya yang juga terlipat di depan dada.

Life's been treating you well?

Life's been treating you well?

Lazuardi menoleh tepat setelah Bintang bertanya. Kini, kedua insan itu saling bersitatap. Seolah ia adalah karakter utama pada sebuah film, Lazuardi dapat melihat seluruh putar balik kehidupan pada masa abu-abunya di dalam hitam teduhnya mata Bintang.

Bagaimana kepal tangan keduanya yang saling beradu ketika pertama mengenalkan diri,

Bagaimana Lazuardi yang pertama tahu jika hatinya mulai menumbuhkan rasa tepat ketika ia menyaksikan tawa lepas Bintang untuk yang kesepuluh kali,

Bagaimana Bintang yang mampu membuat jantung Lazuardi berdegub jutaan kali lebih kencang ketika hangat ujung jemarinya menyapa dingin permukaan kulit pipi Lazuardi,

Bagaimana jemari Bintang yang kian gencar berlari menjelajahi rambut hitam Lazuardi ketika laki-laki April itu memperdalam pagutannya,

Semua yang telah Bintang tinggalkan dan kini laki-laki itu justru bertanya,

Life's been treating you well?

Ada ribuan, atau mungkin jutaan frasa yang ini Lazuardi utarakan agar laki-laki yang tengah ia tatap mengerti bagaimana rasanya menjadi pihak yang satu-satunya ditinggal dengan balutan rasa yang masih tersisa di seluruh permukaan hati.

Tapi ia tahu, ia tak akan pernah mampu.

Life's been treating me well.

“Oh?” Bintang menaikkan kedua alis tebalnya, kemudian tersenyum simpul menanggapi jawaban Lazuardi. “Glad to hear that.

Glad to hear that.

Semua yang buat Bintang tersenyum, biar seorang Lazuardi usahakan.