Hospital – 3

Sama seperti kali sebelumnya, Juna dan Aska akan kembali dapat ditemukan pada satu kendaraan bersama. Mungkin hari ini keduanya akan berkendara dengan sedan putih milik Juna, kemudian pada hari berikutnya berganti dengan SUV abu-abu milik Aska. Terkadang Aska akan mengambil alih kemudi tatkala Juna berhalangan, tetapi di kebanyakan waktu Juna akan terduduk di balik kemudi sebab kekasih Aska itu memang seorang pengemudi yang handal.

Kali ini, masih seperti saat-saat sebelumnya, Juna kembali tersenyum begitu ia masuk ke dalam SUV abu-abu miliki Aska dan menemukan sang kekasih telah terduduk manis di samping kursinya.

“Hai, A'.”

“Halo,” balas Juna dengan nada yang kelewat manis. “Udah kamu panasin, ya?”

“Iya, biar cepet.”

“Oke, oke.”

Juna setengah kaget ketika lelakinya itu tampak berusaha mengenakan sabuk pengaman padanya. Yang kemudian diakhiri sebuah senyuman singkat sebelum Aska membuka kotak bekal yang ia sengaja bawa untuk menemani perjalan mereka sore ini.

“Udah makan belom, Jun?”

“Belom, 'kan kamu udah bilang mau masak.” Juna menjawab Aska sembari menolehkan kepalanya singkat, sesaat sebelum fokusnya kembali tertuju pada jalan raya di depan.

“Oke, aku suapin, ya?”

“Makasih, Askaaa,” jawab laki-laki April itu dengan nada yang mengayun di akhir kalimat, membuat Aska tersenyum kelimpungan.

Ini bukan kali pertama Aska menyuapi seorang Juna. Mungkin sudah nggak terhitung seberapa banyak laki-laki Agustus itu menyuapi sang kekasih selagi keduanya sedang berada di perjalanan. Dan Juna akan selalu menemukan kelezatan di dalam setiap masakan sang kekasih. Mungkin terdengar sedikit klise dan menggelikan, tapi bisa jadi hal itu disebabkan oleh masakan Aska yang dibumbui dengan banyak rasa sayang.

Sesekali, kepala Juna bertoleh untuk memandang Aska. Lagi-lagi mengucap syukur di dalam lubuk hatinya sebab telah dipersatukan oleh sosok penuh kasih seperti laki-laki Agustus itu.

“Enak, Jun?”

Tersenyum pelan, Juna hanya akan membalas pertanyaan sang kekasih dengan satu perkataan, “Selalu.”

Keadaan rumah sakit sore ini tampak sedikit lengang. Sebuah kelegaan sebab rasanya, nggak ada satu orang pun yang menginginkan ramai dari suatu rumah sakit. Manusia mana yang tega melihat manusia lain terbaring nggak berdaya di atas ranjang unit gawat darurat.

Kabar baik pun tampaknya datang bagi keluarga Aska sebab dokter yang selama beberapa hari ke belakang menangani sang ayah, siang ini sudah memperbolehkan beliau untuk pulang ke rumah di hari lusa. Yang tentunya masih perlu diobservasi secara berkala dan nggak lupa melakukan terapi guna meningkatkan kemampuan fisik. Setelah ini, sepertinya keluarga Aska perlu menyewa seorang perawat dan anak laki-laki itu harus sering pulang ke rumah.

Juna tersenyum begitu mendapati sosok yang juga merupakan teman baik sang ayah kini telah berada pada kondisi yang jauh lebih baik dari pertama kali pemuda itu memutuskan untuk menjenguk beliau.

“Juna ikut seneng dengernya. Semoga lekas membaik ya, Om... sampe nanti bisa golf sama papi dan sama Juna.” Begitu ujarnya kira-kira.

Pria bernama Saka itu berusaha tersenyum usai Juna menyelesaikan kalimatnya.

“Mungkin lusa pulangnya sore ya, Nak? Tunggu Aska dan Mikha selesai kuliah, soal tante nggak bisa kalau nyetir mobil sendiri. Apalagi nanti papa dibawanya pakai kursi roda 'kan?”

Juna, masih tetap dengan sikap yang sopan, menawarkan diri untuk mengantar ayah Aska pulang ke rumah. “Atau... Juna aja yang anter, Tante? Kayaknya lusa Juna nggak ada acara sampe jam tujuh malem.”

“Oh?” Ibu Mikha yang bernama Sarah itu tersenyum. “Nggak apa-apa 'kah, Juna?”

“Gapapa, Tante, mumpung luang juga. Nanti Juna ikut bantu-bantu pas hari itu.”

Sementara Aska justru tampak kebingungan. “Bukannya kamu ada kelas ya pagi?”

“Di-cancel sama dosennya, Aska. Beliau berhalangan, jadi dipindah ke hari lain.”

“Oh, oke....” Aska berangguk paham.

Jadilah di hari lusa, Juna kembali datang ke rumah sakit seorang diri. Melangkahkan kaki menuju bangsal rawat inap yang sudah ia hafal betul letaknya.

Pemuda itu tampak gesit membantu Sarah merapikan barang-barang yang tersisa di dalam ruangan agar jangan sampai ada yang tertinggal. Tenaganya yang kuat juga ia pakai untuk mendorong kursi roda ayah Aska. Termasuk membantu beliau masuk ke dalam mobil dan melipat kursi rodanya untuk bisa muat di dalam bagasi mobil Aska.

Juna sempat dibuatkan sarapan oleh Sarah sebelum dirinya diizinkan untuk pulang. Sedikit banyak berbincang dengan wanita tersebut. Topiknya berada di sekitar kehidupan Aska, tentang bagaimana anak itu tumbuh tanpa figur seorang ibu, namun tetap dapat menjadi sesosok manusia yang penuh kasih. Hingga rasanya seluruh anggota keluarga besar Aska nggak bisa untuk nggak menumbuhkan rasa sayang pada cucu termuda itu.

Usai membantu Sarah mencuci piring (meskipun beliau telah bersikeras agar Juna meninggalkan piringnya di atas bak cucian saja), ia akhirnya diperbolehkan untuk pulang. Maka pemuda tersebut akhirnya mengucapkan pamitnya sebelum kembali mengendarai SUV abu-abu milik Aska untuk kembali ke Depok, menunggu sang empunya menyelesaikan kelas sebelum mereka pergi menuju rumah Aska lagi.

“Aa'!”

Juna yang tadinya sedang menghisap santai sebatang rokok, menolehkan kepalanya sebelum menghabiskan gulungan tembakau itu. Baru kemudian menekan-nekan puntungnya sebelum ia buang ke dalam bak sampah. Kekasihnya pun terlihat kian mendekat, maka yang selanjutnya ia lakukan adalah menenggak air mineralnya dan menyemprotkan beberapa semprot parfum pada area leher.

“Yeee, katanya ngerokok kalo lagi sama temen-temen doang.”

Pemuda April itu mengeluarkan kekehannya. “Hahaha, sorry tadi aku gabut nungguin kamu jadi aku pesen kopi.” Juna berujar, memasukan kotak rokoknya ke dalam tas. “Eh... kopinya habis, rokoknya masih lanjut terus.”

Aska mencibir, meledek Juna hingga laki-laki itu lagi-lagi terkekeh tanpa dosa. “Kesehatannya dijaga ya, Jun.”

“Iya, Aska, makasiiih.”

Keduanya berjalan beriringan menuju tempat mobil Aska terparkir dengan Juna yang, seperti saat-saat sebelumnya, setia untuk meraih tas Aska biar dia yang membawakannya. Kini, laki-laki itu tampak menjinjing dua tas kanvas, satu miliknya dan yang satunya lagi tentu milik Aska. Tas kanvas yang sengaja dibelikan Aska agar laki-laki itu tahu di mana ia harus menempatkan barangnya ketika hendak bepergian ke luar. Sebab sempat beberapa kali, Juna menitipkan barang pada tas Aska dan berujung ia pun lupa mengambilnya kembali.

Ayah Aska kembali tersenyum begitu mendapati Juna yang lagi-lagi datang ke rumahnya. Keduanya sama-sama menyalami pria tersebut, sebelum Aska membersihkan tangan dan kakinya dan membantu bibinya menyuapi sang ayah.

“Lekas pulih, Pa. Nanti kalo udah bisa jalan-jalan, Aska traktir all you can eat rawon, deh. Suka 'kan papa makan rawon? Apa mau Aska yang masakin? Sebutin aja, Pa, mau yang mana, tapi papa harus pulih dulu.”

Juna yang berada di samping Aska tampak terkekeh hingga matanya melengkung membentuk bulan sabit.

Kekasihnya itu memang pantas dinobatkan sebagai manusia paling perhatian di seluruh penjuru dunia. Lihat bagaimana Aska menyuapi sang ayah dengan sabar, menyeka permukaan kulit beliau dengan telaten sampai ke sela-sela jari, dan nggak lupa menaikkan selimut hingga tepat ke atas dada serta mengatur temperatur pendingin ruangan yang pas bagi ayahnya itu.

“Aku malem ini nginep di rumah ya, Jun. Kamu pulangnya bawa mobil aku aja.”

“Gapapa emang?” tanya Juna setelah menenggak seduhan teh yang kekasihnya buat. “Aku naik KRL juga gapapa, sih. Masih ada juga jam segini.”

“Emang udah mau pulang sekarang?” tanya Aska dengan sedikit nada manja yang tersirat di dalamnya.

“Hahaha.”

“Apaaa? Kok ketawa doang.”

“Boleh aku di sini sampe jam sembilan?”

“Nggak ada yang ngelarang juga.”

Akhirnya, Juna memilih untuk tinggal di rumah Aska sedikit lebih lama. Menemani Aska menggarap tugas organisasinya sembari tangannya bertopang dagu, memperhatikan sang kekasih yang keningnya sedikit berkerut, tanda dirinya sedang serius.

“Cantiknya....”

Laki-laki April itu menyingkap rambut tebal kekasihnya yang jatuh ketika ia sedang menunduk memperhatikan daftar nama pada ponselnya. Nggak bisa dipungkiri, pujian 'cantik' itu terdengar beribu-ribu kali lebih mendebarkan ketika keluar dari belah bibir seorang Arjuna.

Aska akan selalu tersenyum, secara nggak sadar meronakan pipinya sebelum mengucapkan rasa terima kasih. “Thank you, A' Ajun yang nggak kalah ganteng, nggak kalah manis.”

“Nah, gini dooong.”

“Haaah?” Kepala Aska kini beralih, memandang mata sang kekasih yang setia tertuju padanya itu. “Gini gimana?”

“Minta temenin aku terus. Terserah... mau kamu diemin aku atau mau cerita panjang kali lebar. Aku suka aja gitu ngehabisin waktu bareng kamu.”

Pemuda kelahiran Agustus itu terkekeh. “It feels nice being needed by someone you love, ya?”

“Iya, bener,” jawab Juna, “tapi, gapapa juga kalo kamu butuh waktu sendiri kayak kemaren-kemaren ini. Cuma mungkin, lain kali bilang aja kalo kamu lagi pengen sendiri, jangan tiba-tiba akunya didinginin.” Laki-laki itu berusaha bertutur tanpa menyakiti perasaan sang lawan bicara.

“Tapi, yah... anggep aja yang kemaren bukan suatu kesalahan yang serius. Mungkin kamu emang bener-bener lagi nggak mood ngapa-ngapain, apalagi ngobrol sama aku.”

Kedua ujung bibir Aska turun ke bawah, lensa matanya yang hitam legam membulat di tengah suasana ruang tengah yang memang tampak remang di malam hari. “Maaf buat yang kemaren-kemaren....”

“Iya gapapa, Aska, 'kan udah aku maafin.” Juna mengusap pelan rambut Aska yang hitam dan tebal, tangannya terdiam sesaat selagi ibu jarinya berusap pelan.

Thank you, A', udah mau ngertiin aku.”

“Iya... sama-sama ya, Cantik.”

Hal ini mungkin terdengar sederhana dan terlampau biasa bagi kebanyakan orang. Namun, Juna dan Aska sama-sama menyukai bagaimana keduanya selalu paham kapan harus berucap terima kasih. Sesederhana karena telah berusaha untuk selalu ada, Aska tetap mengucapkan rasa terima kasihnya yang dalam pada sang kekasih.

Keduanya kembali terfokus pada pekerjaannya masing-masing, Aska dengan layar laptopnya dan kini Juna memilih untuk menggarap tugas salah satu mata kuliah yang paling ia kuasai di semester ini.

Bertepatan dengan pekerjaan Aska yang selesai, rupanya Juna juga telah menyelesaikan lima butir soal yang sempat diberikan dosennya hari Senin kemarin. Dikarenakan waktu telah menunjukan pukul sembilan lewat lima belas menit, Juna akhirnya berizin untuk pamit pulang ke indekosnya. Berjanji akan datang di keesokan hari untuk mengunjungi ayah Aska dan mengembalikan mobil kekasihnya.

“Hati-hati, ya, Jun. Kabarin kalo udah sampe kosan.”

“Siaaap.” Juna mengacungkan ibu jarinya. “Aku jalan nih, ya?”

“Iya, gih.”

“Oke, dadah, As-”

Belum sempat Juna melambaikan tangannya, Aska tiba-tiba menahan jendela kaca mobilnya itu.

“Eh, tunggu, A'”

Kening Juna berkerut kebingungan. “Kenapa, Aska?”

“Itu....” Telunjuk Aska berarah pada speedometer mobilnya. “Speedometer aku kenapa deh, A'?”

“Hah?” Kening Juna tampak kian berkerut, ia nggak merasa ada yang salah pada speedometer mobil SUV itu, sebelum laki-laki itu akhirnya bertoleh untuk memeriksa speedometer di depan kemudinya dan yang ia malah dapatkan adalah,

Cup.

Sebuah kecupan ringan yang mendarat tepat di atas pipi kanannya. Kecupan pertama dalam sepanjang sejarah hidup percintaan Juna. Kecupan pertama yang nyatanya amat mampu menerbangkan kupu-kupu di dalam rongga perutnya, menciptakan gelenyar geli yang kemudian membuat otaknya arus pendek. Tubuhnya terdiam kikuk, nggak tahu harus berbuat apa.

“Dah, kali ini beneran dadah. Makasiiih udah ditemenin. Hati-hati, ya, A'.” Aska berujar ringan, seperti nggak baru saja melakukan hal yang mampu kaki Juna terasa seperti jeli. “Jalan gih, udah malem tau.”

What was thaaat?” tanya Juna frustrasi setelah sempat malfungsi.

Aska membalas dengan nada yang cukup meledek, berpura-pura lupa akan hal impulsif yang baru saja ia lakukan. “What was whaaat?

Ughhh, Askaaa.”

Ughhh, Junaaa.” Aska lagi-lagi meledek Juna, mengikuti nada bicara Juna yang masih terdengar frustrasi.

“A-”

“Nanti nyetirnya jangan nabrak gara-gara salting ya, Ganteng,” sambung laki-laki itu sembari jemarinya terangkat ke udara, menjawil usil pucuk hidung bangir milik Juna.

“Hufff, oke.”

“Dah, A'.”

“Oke, dadah.”

Juna masih berusaha mengatur ritme jantungnya yang berdetak nggak karuan itu sebelum Aska menyuruhnya untuk segera melajukan kendaraan. Tersenyum salah tingkah sembari akhirnya menurunkan rem tangan dan melaju menghilang di persimpangan jalan.

Ah, sepertinya Juna nggak akan membiarkan air barang setetes pun untuk membasuh wajahnya malam ini.