Pasang mata yang menatapnya dengan sebegitu dalam, beserta figur yang beberapa waktu ke belakang ini ia rindukan. Aska sama sekali tidak berani membalas tatapan tersebut. Tungkainya dibawa melangkah menuju sedan yang membawa figur itu kemari. Dengan kepala yang masih tertunduk menatap aspal, ia pun tiba di samping pintu kursi penumpang.
Semula, tangan Juna masih setia beristirahat di atas persneling, namun melihat lelakinya yang tak kunjung masuk ke dalam mobil, ia pun menghela napasnya panjang dan beranjak keluar untuk membukakan laki-laki itu pintu.
Ketika keduanya sudah berada di bawah satu atap mobil yang sama, Aska masih belum berani menatap pasang mata Juna yang baginya sulit ia artikan. Pemuda itu justru tertunduk memandang jemarinya yang ia letakkan di atas kedua paha. Deru mesin mobil sang kekasih seolah terdengar begitu nyaring mengalahkan sunyi di antara mereka.
“Hei.”
Juna mencoba untuk menyapa Aska. Butuh selang waktu yang cukup lama sebelum keberanian Aska akhirnya terkumpul untuk mengangkat kepala dan membalas tatapan yang Juna beri. Ia masih merasa sulit menerka tujuan Juna datang kemari. Bahkan ia juga belum tahu apakah Juna telah sepenuhnya memafkaan dirinya atau belum. Sempat beberapa kalo ia berpapasan dengan Juna di area fakultas, namun lelaki itu selalu memandang Aska dengan tatapan yang ia tidak kunjung mengerti apa arti di baliknya.
“J-jun, aku....”
Aska hendak menyampaikan rasa bersalahnya. Ingin meminta maaf kepada Juna secara langsung. Namun, yang selanjutnya Juna lakukan justru memajukan tubuhnya. Kedua tangannya terbuka lebar untuk membawa Aska masuk ke dalam dekapannya. Indera penciuman Juna langsung mampu mengenali harum tubuh Aska yang familier. Harum yang selalu mampu membuat Juna merasa tenang sebab lobus otaknya kemudian menyadarkan Juna bahwa Askanya tidak akan pergi ke mana-mana.
“Juna, I’m-“
Kalimat Aska terputus ketika Juna kian mengeratkan dekapannya. Bahkan kini telapak tangan Juna sedang ia gunakan untuk mengusap lembut helai rambut tebal Aska. Membuat laki-laki itu akhirnya pasrah dan menenggelamkan wajah pada perporongan leher Juna. Lengan Aska ikut terlingkar pada pinggang ramping Juna yang hanya terbalut fabrik dari kaus putih tanpa lengan yang ia gunakan.
“I’m so sorry...,” Aska melanjutkan kalimatnya dengan suara yang sedikit teredam. “Could’ve done it better... harusnya aku nggak perlu ngedumel kayak begitu, padahal ‘kan posisinya kamu juga lagi capek. Harusnya aku bilang makasih, bukannya marah-marah nggak jelas kayak begitu. Maaf, aku bikin kamu jadi kesel sampe berhari-hari.”
Juna menyunggingkan senyumnya. Merasa senang sebab Aska mengerti seluruh isi hatinya. “Kamu nggak bilang ‘maaf’ pun, aku udah pasti maafin kamu. Jadi, nggak usah minta maaf lagi, ya? Aku udah nggak marah lagi.”
“Hum, iya... makasih udah maafin aku....”
Senyum Juna kian melebar mendengar cicitan pasrah Aska. Ia terkekeh pelan sebelum kembali mengusap kepala kekasihnya.
“Iya, Aska. Yang penting sekarang kamu tau kalo aku, tuh, peduli sama kamu. Malem itu hujan, aku nggak tau kamu pulangnya aman atau enggak. Sebagai pacar, wajar dong kalo aku khawatir terus nyamperin ke kafe yang sempet kamu kasih tau namanya. Aku nggak keberatan kalo harus repot-repot keluar demi mastiin kamu selamat. Kamu prioritas aku. Toh, kalo pun kamu akhirnya bisa pulang tanpa aku, aku juga sama sekali nggak masalah. Kamu selamat sampe tujuan itu udah lebih dari cukup buat aku. Udah, niat aku cuma itu. Aku sayang sama kamu, Aska. Biarin aja aku repot, mungkin emang kayak begitu cara aku express rasa sayang aku ke kamu. Maaf juga, ya, udah tiga hari belakang aku nggak nyapa dan bales chat kamu. I needed some time alone. Kamu bener, aku emang lagi capek makanya aku jadi sensitif juga. Cuma sekarang udah enggak kok, energi aku udah ke-recharge lagi habis ketemu kamu begini.”
Yang tadi itu terdengar seperti ujaran paling panjang yang pernah Juna lontarkan semasa keduanya menjalin kasih. Aska pun jadi mengerti bahwa seperti inilah marahnya seorang Juna. Alih-alih meninggikan suara, kekasih Aska justru akan mengeluarkan apa yang ia rasakan di dalam hati dengan kalimat sopan yang mudah untuk Aska mengerti. Pemuda Agustus itu jadi ingin menangis sebab rasa harunya. Ia akhirnya hanya kembali mengeratkan pelukannya. Dalam hatinya merapalkan jutaan syukur sebab telah diberi pasangan seperti Juna.
“Udah ngerti ‘kan sekarang?” tanya Juna, yang kemudian dibalas dengan anggukan Aska yang bisa ia rasakan. Juna pun mencoba melepaskan pelukannya, yang kemudian membuat Aska bingung sebab ia masih ingin merasakan hangat dari tubuh Juna.
“Kamu tunggu sebentar.”
Aska mengernyitkan dahinya kebingungan ketika Juna memutar balik tubuhnya untuk meraih kotak putih pada jok belakang yang baru Aska sadari kehadirannya. Ia tahu betul apa isi di dalam kotak itu. Donat dengan isian saus cokelat yang sangat Aska sukai.
Dengan berhati-hati, Juna membuka kotak tersebut dan memasang satu batang lilin ulanh tahun berwarna silver tepat di tengah-tengah kotak. Korek api yang ia simpan di dalam kantung celana jeans-nya ia rogoh guna menyalakan api pada sumbu lilin. Aska tersenyum penuh haru melihat kejutan yang Juna beri. Ia merasa senang sebab Juna masih mengingat hari ulang tahunnya meskipun Aska telah membuat pemuda itu kehabisan stok sabar.
“Yeay, happy birthday, pacar aku.” Juna tersenyum sampai kedua matanya membentuk lengkungan yang mirip bulan sabit. Keduanya sempat menyanyikan lagu ulang tahun sebelum Aska meniup api di atas lilin ulang tahunnya. Pemuda yang sedang berulang tahun itu bertepuk tangan tepat setelah nyala apinya padam.
“Ah... mau nangisss.” Aska menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya yang besar, kontras terbalik dengan ukuran wajahnya yang justru mungil.
“Kenapaaa? Kok nangis? ‘Kan lagi ulang tahun.” Juna tertawa sambil mengusak-usak puncak kepala Aska.
“Lagian kamu....” Aska menurunkan telapak tangan yang menutupi wajahnya. “Masih sempet-sempetnya beliin aku donat ulang tahun. Padahal ‘kan aku kemaren nyebelin.”
Bukannya menjawab kalimat Aska, Juna justru kembali terkekeh. Ditutupnya kotak berisi donat di atas pangkuannya untuk disimpan pada jok belakang. Juna lagi-lagi meraih satu kotak berukuran sedang dan satu kotak berukuran kecil untuk ia bawa ke depan.
“Jun?” Aska melongo melihat kotak yang ia tebak merupakan hadiah yang hendak Juna berikan. “Sumpah, ini apa...?”
Juna memiringkan senyumnya. “Kado, buat pacar aku.”
Tebakan Aska benar. Laki-laki itu meminta Aska untuk membuka kotak yang berukuran sedang terlebih dahulu. Membuat Aska tersenyum sebab Juna benar-benar mengetahui selera sandal favoritnya. Dari merk hingga warna yang Juna beli, kekasihnya itu memberi Aska hadiah yang tepat. Kemudian, beralih pada kotak yang berukuran sedang, Aska menemukan sebuah dompet dan parfum di dalam sana. Entah dengan cara apa Juna berhasil membuat Aska menyukai seluruh pemberian Juna. Sampai pemuda Agustus itu berakhir memberinya ribuan kata ‘terima kasih’ dan memeluknya erat.
“Padahal, masih ada satu lagi tau. Kenapa aku udah dipeluk sekarang?” tanya Juna, yang kemudian membuat Aska spontan bergerak mundur.
“Please, kali ini apa lagi?” Aska balik bertanya. “Ini kamu udah ngasih aku buanyak buanget. Aku sampe nggak tau harus bilang makasih kayak gimana lagi.”
“Coba diliat lagi kotak yang isinya dompet sama parfum itu.”
Dengan pandangan mata yang masih melekat pada Juna, tangan Aska sibuk merogoh isi kotak yang berukuran sedang. Kemudian, ketika Aska menemukan sebuah kartu yang di atasnya tertempel potret Juna dan Aska ketika keduanya berada di Bandung, ia lagi-lagi menutup mulut dengan menggunakan telapak tangannya.
“Woy, sumpah?” Aska kembali merasa terharu sebab di atas kartu itu tertulis, ’One day pass to a Bandung trip. Let’s celebrate your birthday in that city of ours :)’
“Yeay!” Juna berseru kegirangan. “Ke Bandung lagi kita, hahaha.”
“Juna....” Aska tidak mempedulikan kotak pada pangkuannya. Ia kembali merengkuh tubuh Juna. “Ah... sumpah kamu, tuh, ya.”
“Mau ‘kan ke Bandung sama aku lagi?”
“Ya, maulah!” Aska mendumal. “Nanti aku coba izin, ya, ke papa.”
“Udah aku izinin.”
“Hah?” Aska mengernyitkan dahi.
“Aku udah cari tau jadwal kamu kosongnya kapan, terus aku juga udah izin ke papa kamu buat ngajak kamu ke Bandung, baru habis itu aku book yang perlu di-book. Pokoknya kamu tinggal terima jadi aja, ini hadiah dari aku buat kamu.”
“Junaaa... pantesan papa sus semalem....” Aska kembali merengek. “Ini aku jadi nggak kelar-kelar bilang ‘makasih’ ke kamu... makasih, ya, Jun. Aku nggak tau mau bilang apa lagi selain bilang ‘makasih’.”
Terkekeh, Juna mengusap punggung bidang Aska. Ia istirahatkan kepalanya pada perpotongan leher Aska. Dirasakannya hangat dan rasa nyaman yang Aska tawarkan melalui pelukan tubuhnya. Amarahnya seolah menguap entah ke mana setelah Juna kembali ke sisi Aska. Ia berani bersumpah tidak ada tempat untuk pulang paling nyaman selain pelukan yang Aska beri.
“Sama-sama, ya. Happiest birthday, the greatest love I’ve ever encountered.”