108

Penerangan yang redup, alunan musik yang membuat jantung bergedub. Lazuardi, Bintang, bersama beberapa teman satu organisasinya sedang berada pada salah satu drinking club yang terletak di daerah Braga, Bandung. Tampak salah satu teman perempuan terdekat Bintang menenggak minuman beralkoholnya. Kerongkongannya terasa seperti baru saja terbakar, namun ia justru menyukai sensasi tersebut. Disodorkannya sloki berisi minuman ke arah Bintang, hendak menawarkan minuman beralkohol tersebut kepada temannya.

“Bin, minum?”

Bintang menggeleng pelan, berusaha menolak tawaran Reysha dengan sesopan mungkin. “Nggak, Sha. Lo aja. Gue bagian jagain lo, Stef, sama yang lain.”

Memang seperti itu peran Bintang dari tahun ke tahun, dari lingkup pertemanan yang satu ke yang lain. Pemuda itu bisa dibilang pemuda yang cukup menjaga kesehatan tubuhnya. Merokok tak pernah, menenggak alkohol pun juga. Jika paru-parunya terindikasi suatu penyakit, maka hal tersebut pasti disebabkan oleh paparan asap rokok dari teman-temannya. Bintang selalu menjaga tubuhnya agar tetap prima dengan rajin berolahraga dan mengonsumsi makanan yang sehat. Sungguh seorang pemuda paling ideal di antara teman-temannya.

Ada celetuk yang tercipta dari mulut yang satu ke yang lainnya, membuat Bintang tergelak sampai kepalanya terlempar ke arah belakang. Atau sesekali mereka turut bernyanyi mengikuti melodi lagu yang terpancar melalui pengeras suara. Hesa dengan suara emasnya yang membuat teman-temannya berhasil memberinya sebuah tepuk tangan yang meriah.

Malam ini memang seharusnya berlalu menyenangkan seperti malam-malam lain yang kebanyakan remaja sering lakukan.

Namun dunia seolah tidak berpihak kepada Bintang pada malam hari ini. Ketika ia sedang mengusap air mata yang menumpuk pada pelupuk mata sebab ia tertawa terlalu kencang akibat lelucon yang dikeluarkan oleh Hesa, ekor matanya justru menangkap keberadaan sosok yang familier pada ingatannya. Kepalanya refleks menoleh secepat kilat. Kelopak matanya ia kecilkan demi memperjelas pandangnya.

Pada salah satu meja lain yang tersedia di tempat ini, terdapat sosok yang Bintang tahu betul siapa dia. Ingin sekali lagi Bintang memastikan, maka yang selanjutnya ia lakukan adalah beranjak pergi ke toilet yang memang terletak di dekat meja itu. Dan benar saja, tebakan Bintang sama sekali tidak meleset.

Itu Satya, pemuda yang malam tadi berkata bahwa ia tidak punya waktu untuk pergi keluar menemui Bintang, tetapi yang saat ini ia lakukan justru bersenang-senang berada di bawah pengaruh alkohol sembari berbincang dengan laki-laki lain. Lengan Satya yang terlingkar sempurna pada laki-laki itu membuat hati dan harga diri Bintang hancur terinjak-injak Satya.

Bintang sudah tahu hal ini sejak lama, bahwa Satya memang sudah menduakannya sejak pemuda itu pindah ke Bandung untuk memulai studinya. Namun, Bintang tidak tahu bahwa rasanya akan sesakit ini melihat Satya berselingkuh tepat di depan bola matanya sendiri.

Pemuda itu malfungsi. Otaknya menyuruh ia untuk pergi menghajar Satya, namun tubuhnya justru berkata sebaliknya. Ia berjalan gontai kembali ke tempat duduk yang diisi teman-temannya, memilih untuk tetap bungkam.

Persis ketika Bintang menemukan fakta bahwa ibunya juga bermain pria di belakang ayahnya, ia juga memilih untuk tetap diam. Berusaha untuk terlihat baik-baik saja di depan ayah dan ibunya yang pernikahannya perlahan-lahan mulai renggang.

Ketika yang lain sibuk menikmati minumannya masing-masing, ada Lazuardi yang sedari tadi sibuk memperhatikan Bintang. Sampai ketika Bintang beranjak ke toilet pun, Lazuardi tahu bahwa Bintang tidak benar-benar ingin pergi ke toilet. Dan dari gerak-geriknya, Lazuardi juga jadi sadar akan kehadiran Satya. Meskipun selama ini Lazuardi hanya pernah melihat rupa Satya dari akun media sosialnya sebab entah sudah berapa ratus kali ia melihat unggahan Bintang yang menunjukan potret mereka berdua, Lazuardi sampai sudah hafal seperti apa rupa dari seorang Satya. Mulutnya juga ikut ternganga ketika ia melihat Satya tampak merangkul mesra lelaki lain. Satu yang Lazuardi bisa tebak, sepertinya Satya memang sedang bermain belakang sebab Bintang juga tampak sama terkejutnya.

Bintang kembali pada tempat duduknya, menepuk pundak Reysha untuk berbisik sesuatu. Lazuardi dapat melihat betapa terkejutnya Reysha ketika Bintang selesai berbisik. Arah pandang Reysha langsung jatuh tepat pada meja Satya berada. Lazuardi yakin seratus persen bahwa tebakannya yang barusan itu benar. Ditambah dengan Hesa yang tidak sengaja mendengar percakapan di antara Bintang dan Reysha, kini pemuda itu jadi ikut meminta penjelasan dari Bintang, membuat Bintang harus memijat pelipisnya pelan. Padahal, ia tidak ingin semuanya tahu bahwa ia baru saja menangkap 'kekasihnya berselingkuh'. Hesa dan Reysha tampak berangguk-angguk setuju ketika Bintang berujar sesuatu.

G-guys.....” Reysha berdiri dari tempat ia duduk. “Bintang nggak enak badan, mau izin pulang duluan.”

Seluruh atensi langsung tertuju kepada Bintang, sementara laki-laki itu hanya tersenyum canggung. Lazuardi mengira, sepertinya Hesa dan Reysha baru saja menyetujui ide Bintang untuk berbohong.

“Iya, guys. Sorry banget ganggu seneng-senengnya, kalian lanjut aja, ya.” Bintang tersenyum tipis, membuat yang lain mengucapkannya ujaran agar pemuda itu bisa lekas pulih. Ketika Bintang beranjak pergi, Lazuardi pun ikut beranjak dari tempat duduknya. Meraih jaket yang ia taruh di atas kursi dan menepuk pundak Hesa sebagai sinyal bahwa ia akan menyusul Bintang.

Tepat saat Bintang hendak membuka pintu mobilnya, tangan Lazuardi sudah terlebih dulu terjulur untuk menahannya.

“E-eh, Bang...?” Bintang tersentak mundur, terkejut dengan kehadiran Lazuardi yang terlalu tiba-tiba itu. “K-kenapa?”

“Yakin bisa nyetir sendiri?”

Pertanyaan Lazuardi tak kunjung Bintang tanggapi sampai beberapa detik kemudian, membuat pemuda itu mencoba untuk mengambil alih kemudi yang kemudian Bintang setujui meski tanpa kata-kata. Lazuardi berakhir menjadi pihak yang berada di balik kemudi, sementara Bintang terduduk di sampingnya dengan kepala yang tertunduk lesu. Malam ini, Bintang tidak menjadi pihak yang menjaga orang lain dari pengaruh alkohol. Lazuardi justru menjadi pihak yang memastikan pemuda itu dapat pulang dengan aman dan selamat.

“Yang tadi itu pacar lo 'kan?” Lazuardi menodong Bintang dengan sebuah pertanyaan yang sudah ia tahu betul apa jawabannya.

Sedang Bintang terkekeh pelan mendengar pertanyaan Lazuardi. “Lo hafal, ya?”

“Hesa juga hafal.”

“Hm.” Bintang bergumam mengangguk-anggukan kepala. “Ya udah, jangan bilang-bilang ke yang lain, ya. Gue malu kalo orang-orang tau pacar gue selingkuh.”

Selang beberapa waktu kemudian, Bintang kembali melanjutkan kalimatnya. “Well..., bukan pacar juga, sih, sebenernya. He wasn't ready for a commitment, he said. Nggak tau kalo sekarang gimana.”

Ada sunyi yang mengisi ruang di antara keduanya sebelum Bintang perlahan-lahan mulai hilang kesadaran dan terlelap. Kepalanya yang beberapa kali terbentur kaca jendela membuat Lazuardi harus menepi sesaat untuk mengganjal kepala Bintang dengan menggunakan jaket hitamnya. Sebelum Lazuardi kembali berkendara, ia sempat menatap lentik bulu mata Bintang yang nampak begitu panjang ketika sang empunya tengah memejamkan mata. Hati Lazuardi seolah ikut hancur melihat Bintang 'sakit' ketika ia sedang berada di dekat laki-laki itu. Jika saja Lazuardi diberi satu kesempatan untuk menjadi pasangan bagi pemuda Agustus itu, akan ia pastikan bahwa rasa sakit menjadi hal terakhir yang dapat Bintang rasakan di dalam hidupnya.

Keduanya pun sampai di tempat mereka akan menginap untuk malam ini. Lazuardi berjalan tepat di belakang Bintang untuk menjaga pemuda itu. Saat Bintang ingin beristirahat pada salah satu tepi ranjang, Lazuardi terlebih dahulu menyibakan selimut yang terpasang di atasnya. Bintang tersenyum tipis, mengucapkan terima kasihnya sebelum membungkus dirinya dengan selimut tersebut. Gumpalan jaket hitam Lazuardi masih Bintang peluk, membuat Lazuardi harus menahan dingin pada kulit lengannya yang terekspos sebab ia memang tengah mengenakan pakaian tanpa lengan.

“Balik aja, Bang. Yang lain pasti masih di sana,” ujar Bintang dengan suara yang samar-samar akibat wajahnya kini tengah tertutup selimut tebal.

“Gampang.”

Alih-alih menuruti permintaan Bintang, Lazuardi justru memutuskan untuk pergi bersantai pada balkon kamar. Mulutnya sempat menyesap kopi kemasan sebelum mengapit gulungan tembakau favoritnya. Dibakarnya ujung batang rokok tersebut sebelum ia mengepulkan asapnya di udara. Kepalanya sesekali menoleh ke belakang untuk memeriksa Bintang yang masih terbaring di atas ranjang dengan terbalut selimut. Dan Bintang juga sesekali mengintip melalui celah pada selimutnya, memeriksa apakah Lazuardi kembali pergi ke luar atau tidak.

Lazuardi menghela napasnya panjang. Dalam hatinya berharap agar Bintang dapat segera kembali ke keadaan semula. Melihat Bintang bersedih berada pada daftar paling terakhir yang ingin Lazuardi saksikan.