332
Entah kenapa, suhu ruangan yang Sena tempatin sekarang rasanya jauh lebih dingin dari yang seharusnya. Udara yang berhembus dari AC dengan gampangnya nembun fabrik kemeja putih polos yang Sena pake. Bikin Sena berkali-kali bergidik karena dingin udara tersebut.
Nggak berhenti-berhentinya Sena ngegigit bibir bawahnya. Ujung loafers yang Sena pake juga berkali-kali Sena ketuk ke lantai berlapis karpet di bawahnya. Ada gelenyar aneh yang kerasa di dalam rongga perut Sena, tanda laki-laki itu sedang gugup.
Alasan Sena nyuruh personal assistant-nya Dimas buat nggak ngeburu-buruin Dimas tadi juga karena dia sendiri masih belom siap kalo harus ketemu sama Dimas sekarang juga. Tapi, mau nggak mau pasti bakalan ada saat di mana Sena...
“Hace!”
Deg.
Jantung Sena berdegub jauh lebih cepet dari tempo biasanya. Gelombang suara yang barusan masuk ke dalam gendang telinga Sena kerasa sangat familiar. Sena tau persis siapa pemilik suara itu walaupun sekarang kedengerannya jauh lebih berat dibanding sepuluh tahun yang lalu.
“Eh, ini Hace bukan, ya?”
Perlahan, Sena ngebalik tubuhnya. Pandangan Sena ikut naik, yang tadinya natap lantai di bawah jadi menghadap ke laki-laki di hadapannya.
Itu dia.
Itu dia, Dimasnya.
Udah berapa lama sejak kali terakhir Sena bisa ngerasain hangatnya presensi Dimas di sekitar dia?
Udah berapa lama sejak kali terakhir Sena bisa natap mata yang akan melengkung membentuk bulan sabit waktu sang empunya tersenyum?
Dimasnya nggak banyak berubah, kecuali sekarang bahunya terlihat semakin bidang dan gurat-gurat di wajahnya keliatan semakin tegas. Suatu hal yang wajar dialami oleh laki-laki ketika udah beranjak dewasa.
Tapi, entah hati Dimasnya itu udah berubah atau belum. Masihkah tersimpan Sena di ruang terkecil di dalam sana atau sang empunya justru udah ngebuang jauh-jauh perasaan sayang itu.
Jadi, pertanyaannya...
Apa Sena masih bisa nyebut laki-laki di hadapannya dengan sebutan 'Dimasku' atau sekarang Sena harus manggil dia tanpa embel-embel '-ku' di belakangnya. Lagipula, kalo dipikir baik-baik, Dimas itu sebenernya nggak pernah jadi milik Sena sejak awal.
“Sena?”
Masih dengan rasa gugup yang sama, Sena akhirnya ngejawab, “Hai... Dim?”
Nggak jauh beda, lawan bicara Sena juga ngerasain perasaan yang sama kayak dia. Antara bingung, kaget, dan gugup bercampur jadi satu.
“Eh, iya, ini.” Buket bunga yang ada di tangan Sena kini berada di genggaman laki-laki di hadapannya. “Dari Hace. Katanya, dia nggak bisa dateng, jadi gua disuruh...”
Sena nggak sanggup buat ngelanjutin kalimatnya barusan. Masa bodo dengan pesan yang dititipin sama Hace. Otak dan hati Sena lagi sibuk bekerja sama biar tubuhnya tetep bisa berfungsi dengan baik walau aslinya gugup setengah mati.
“Kamu...” Dimas nelen ludahnya kasar. “Kamu sejak kapan pulang ke Jakarta?”
Dimas menekan nada suaranya pada kata 'pulang'. Bertanya seakan-akan di sinilah rumah Sena yang sesungguhnya. Atau kalo bisa lebih spesifik lagi, di situ...
Di ruang kecil yang aman dan nyaman buat Sena tinggal.
Tepat di dalam hati Dimas seorang.